Rabu, 14 Januari 2009

[daarut-tauhiid] Kezaliman Pajak

Kezaliman
Pajakhttp://www.warnaislam.com/rubrik/muamalat/2009/1/2/39840/Kezaliman_Pajak.htm
penulis :
Zaim Saidi
Di tengah sulitnya hidup masyarakat saat ini pemerintah, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, justru merencanakan beban
baru bagi masyarakat. Rencana baru ini sungguh sesuatu yang tidak lazim dan
tak wajar, yaitu mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk
pertanian.
Di tengah sulitnya hidup masyarakat saat ini pemerintah, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, justru merencanakan beban
baru bagi masyarakat. Rencana baru ini sungguh sesuatu yang tidak lazim dan
tak wajar, yaitu mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk
pertanian. Pemerintah akan menetapkan produk pertanian menjadi BKP
(Barang Kena Pajak). Sebagai BKP semua produk primer, termasuk beras,
jagung, kedele, bahkan singkong, akan terkena PPN.
Pengenaan pajak pada produk pertanian hampir tak pernah dilakukan oleh
pemerintahan di mana pun. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau
negara-negara di Uni Eropa bukan saja membebaskannya dari pajak, tetapi
juga memberikan subsidi besar-besaran, dalam berbagai bentuk, kepada para
petani dan produk pertaniannya. Pemajakan produk pertanian adalah
kezaliman yang tak bisa diterima oleh nurani sehat. Inilah esensi dari
negara fiskal, sistem politik usurokrasi yang berbasis pada riba, yang kini
kita kenal sebagai "negara modern" ini.
Rasul , sallalahu walayhi wa sallam, dengan tegas menyatakan larangan atas
pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadisnya (riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah , sallalahu walayhi wa sallam, mengatakan, "Tidak akan masuk
surga orang yang memungut cukai". Dalam riwayat lain ia mengatakan,
"Sungguh orang yang memungut cukai berada dalam neraka." Cukai yang dirujuk
dalam hadis ini adalah sejenis pajak pertambahan nilai, yang disebut
sebagai al 'asyir, yang nilainya adalah 10%. Di zaman kita kini PPN
umumnya dikenakan sebesar antara 10%-15%.
Pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh satu pihak, yang merusak
transaksi muamalat, dan menambah harga yang tidak ada imbal-baliknya.
Pajak adalah riba yang diharamkan dalam Islam. Allah , subhanahu wa ta
'ala, melarang perolehan harta seseorang dengan cara memaksa, kecuali atas
dasar perdagangan sukarela. Allah , subhanahu wa ta 'ala, berfirman,
"Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan sukarela" (An Nisa, 29). Dalam Surat Al A'raf ayat
86, secara lebih eksplisit, Allah , subhanahu wa ta 'ala, melarang
pemajakan: "Janganlah kamu duduk di tepi jalan dengan mengancam dan
menghalang-halangi orang beriman di jalan Allah dan membelokkannya."
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah , sallalahu walayhi wa sallam,
pernah menegaskan "Pemalakan di jalan-jalan dan menghalangi akses orang
kepada jalan umum adalah haram." Ketika mengatakan hal itu Rasul ,
sallalahu walayhi wa sallam, sambil mengutip ayat di atas. Para mufassir
menjelaskan makna "mengancam dan manghalang-halangi" dalam ayat ini sebagai
pemajakan atau pemalakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan oleh para
pemalak ini adalah 10% atau lebih.
Dulu para pemalak mengancam para pedagang secara fisik, yang tentu saja
merupakan perbuatan kriminal. Para pemalak di jalanan dikejar-kejar para
Muhtasib, para pengawas pasar, dan dibawa ke mahkamah untuk diadili. Kini,
dalam sistem politik riba, yang terjadi adalah sebaliknya: para pedagang
(yang tak mau menyerahkan pajak) diancam hukuman penjara, sementara para
pemalaknya dilindungi undang-undang.
Para penarik pajak, yang tak lain adalah perampasan yang dilegalkan,
berdalih bahwa pajak diperlukan untuk membiayai kepentingan umum:
pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan dan sebagainya. Tentu saja hal
ini tidak benar, sebab hampir seluruh anggaran belanja pemerintah dibiayai
dari utang dari para rentenir asing. Sebaliknya, dalam kenyatannya untuk
negeri-negeri seperti Indonesia ini, hampir tak ada layanan publik yang
memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pajak dipaksa ditarik dari
setiap orang untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus
berlipat ganda. Untuk membayar bunga dan cicilannya saja pun, seluruh pajak
yang ditarik itu masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal lagi dengan
utang baru.
Lihatlah para birokrat negara fiskal yang setiap tahun menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan dalih untuk pelayanan publik
(pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan sebagainya) tadi,
dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada para kreditor. Negara
menjamin kepada para bankir atas (pengembalian) utang ini dari pembebanan
pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu saja, dengan sangat mudah
memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun nilainya, dengan cara
mencetak kredit ex nihilo: mencetak angka-angka dalam buku atau sebagai
byte dalam layar komputer (baca juga: Pat Gulipat Bank Ketupat). Dari
sinilah kita disodori suatu trick yang dikenal sebagai 'Utang Negara'
(Public Debt) yang tak lain merupakan konspirasi kaum rentenir dengan para
birokrat kompradornya.
Jelas, dari zaman jahiliyah dulu sampai kini, pajak adalah saudara kembar
riba, yang haram hukumnya. Pajak zaman modern bahkan jauh lebih keji dan
zalim dari pajak masa lalu, karena jenis dan ragamnya yang semakin luas dan
memberatkan. Pajak bagai laut tak bertepi: dari pajak atas tanah dan
bangunan, lalu pajak atas kerja keras dan cucuran keringat (pajak
penghasilan) karena tak semua orang memiliki tanahdan bangunan, pajak atas
barang konsumei (pajak pertambahan nilai) karena tak semua orang memiliki
penghasilan yang cukup untuk dipajaki, bea dan cukai, pajak tontonan, pajak
hiburan, pajak jalan, begitu seterusnya. Secara keseluruhan sistem
perpajakan dirancang untuk melestarikan sistem riba yang berlaku itu.
Di sinilah kembali kita melihat kemuliaan harta wakaf dengan sedekah jariah
yang diperoleh darinya. Dengan harta wakaf lah berbagai kepentingan umum
bagi masyarakat selalu dapat dipenuhi. Secara historis di dalam masyarakat
Muslim jasa-jasa sosial seperti pendidikan, layanan kesehatan, penyediaan
jalan-jalan raya dan jembatan, taman-taman kota, sumber air bersih, padang
rumput, dan sebagainya, semuanya berupa wakaf. Ketika wakaf subur,
masyarakat makmur. Pungutan dan pajak, serta berbagai bentuk praktek riba
lainnya, adalah bentuk-bentuk penyimpangan sosial yang tak boleh
ditolerir. Apalagi sampai dikenakan pada perdagangan singkong.
Dan, ingatlah, wahai para penarik cukai dan pajak, panasnya api neraka
menanti Anda.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Send big files for free. Simple steps. No registration.
Visit now http://www.nawelny.com


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: