Selasa, 10 Maret 2009

[daarut-tauhiid] Film Children of Heaven; Representasi Nilai Universalitas Islam

diadopsi dari http://taufiqelrahman.multiply.com/

Anda sudah nonton film Chidren of Heaven? Konon film ini pernah beredar di
Indonesia, entah kapan (soalnya saya ndak pernah menjumpainya). Jikalau anda
pernah lihat judulnya, entah dalam bentuk kepingan cd, dvd atau lainnya,
saran saya, segera beli itu, tonton dan nikmati film ini. Dan tolong
beritahu saya dimana beli cd atau dvdnya. Soalnya saya baru lihat dalam
versi dvd original, tentu saja subtitle yang masih in english version.
Sebuah film yang luar biasa, sungguh. Jujur saya katakan, film ini tidak
akan membuat anda banjir air mata, namun akan membuat anda terkagum dengan
nilai-nilai kebaikan universal yang dibangun dalam beberapa adegan dan
karakter pemain, yang menjadikan film ini cukup memiliki nilai lebih
dibandingkan film-film lainnya. Nilai2 itu adalah kejujuran, tanggung jawab,
kepedulian, kedisiplinan dan lain sebagainya. Kalau anda nonton film ini,
saya yakin andapun pasti akan sepakat dengan yang saya katakan ini.

Sungguh saya sendiri tidak menyangka ada sebuah film dari Iran yang sebagus
ini. Dan emang ini film dari negara teluk pertama yang saya saksikan,
setelah film The Message yang pernah saya tonton saat masih kanak-kanak
dahulu. Bahkan dibandingkan banyak film yang pernah saya tonton, entah itu
film hollywood, china, apalagi produk lokal, tak sekuat ini pesan moral,
spirit dan karakter yang disampaikan. Film ini sangat realistis dan natural.
Film ini sangat dekat dengan keseharian kita. Banyak kita jumpai orang
miskin di sekitar kita, keluarga yang mengalami kesulitan unyuk
menyekolahkan anak-anaknya, fasilitas yang serba terbatas, pekerjaan yang
tidak tetap dan sulit untuk diandalkan cashflow untuk biaya hidup
sehari-hari dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Namun film ini memberikan
gambaran bagaimana sebuah keluarga yang menghadapi kemiskinan tanpa ada
tangisan bombai sebagaimana pada film-film lainnya, yang membuat film ini
sungguh memiliki kekuatan dan nilai lebih dibanding film lainnya.

Terus terang saya jadi ingin melihat film Iran lainnya, setidaknya karya
sutradara Madjid Majidi lainnya (Kalo saja tidak diberitahu kalo orang ini
dari Iran, pasti saya udah mengira orang ini dari Sunda, yang biasanya
namanya diulang, misal Karna Sukarna, Ajad Sudrajat, Dedah Mardedah dan
lainnya, sebagaimana nama ini, yakni Majid Majidi).

Dengan background yang khas, sebuah perkampungan miskin yang berada di
tengah perkotaan, cirri khas di daerah urban negara sedang berkembang
sebagaimana Indonesia. Potret ini ternyata juga tampak di sebuah negara
teluk yang selama ini diembargo oleh negara yang sedang dipergilirkan
olehNya untuk menjadi penguasa dunia, yakni Amerika Serikat, dengan isu
syiahnya, nuklirnya, perlawanannya yang sengit terhadap Israel dan lain
sebagainya. Siapa sangka, di balik citra ketat dan kerasnya hukum Islam di
Iran, film dari Iran ini justru tampil mendunia (kabarnya tidak hanya film
ini yang sukses).

Film ini menggambarkan kehidupan sebuah keluarga yang berada di sebuah
perkampungan. Seorang anak, bernama Aku kira-kira berusia 10 tahun dan
adiknya Zahra berusia 8 tahun. Aku benar-benar menjadi sangat teringat dan
kangen berat pada si kecil HudaSyifa… hffhh, ya Allah, limpahkan keberkahan
dan kebahagiaan kepada mereka berdua, jadikan mereka menjadi anak yang
shaleh dan shalehah, amien.

Kembali ke film ini, Bapaknya Ali adalah seorang pekerja srabutan yang
sekaligus mendapat kepercayaan mengurus masjid, semacam marbot kalo di
Indonesia. Ibunya yang sakit-sakitan serasa tidak mampu untuk menangani dan
mengurus anaknya yang masih bayi sehaingga harus sering dibantu oleh Zahra
kakaknya.

Kisah diawali dengan adegan saat Ali sedang membetulkan sepatu adiknya pada
seorang tukang sol sepatu. Saya sempat heran, betapa miripnya dengan tukang
sol yang ada di kampung saya, dari cara kerjanya, fasilitas dan
alat-alatnya. Setelah selesai mengerjakan tugas itu, Ali sekaligus
melaksanakan tugas dari ibunya untuk berbelanja membeli kentang di warung
langganannya. Sepatu pun dibungkus dengan tas plastik hitam, semacam tas
kresek belanjaan pada ibu di Indonesia, dan ditaruhnya di tempat pajangan
jualan buah di luar toko. Saat Ali sedang memilih kentang, datanglah seorang
tukang sampah yang secara tidak sengaja mengangkat plastic berisi sepatu Ali
tersebut karena letaknya berada di sekitar tas sampah lainnya. Betapa
kagetnya Ali saat menyadari sepatu itu tidak ada lagi. Maka kalang kabutlah
dia, membayangkan bagaimana perasaan adiknya kalo mengetahui sepatunya
hilang. Dengan segala cara dilakukan untuk menemukan sepatu tersebut namun
tak mendapatkan hasil.

Ali jelas sedih dengan hal ini, namun tetap tegar dan keras dalam upaya
mencari sepatu tersebut. Dengan penuh rasa tanggung jawab dan upaya untuk
senantiasa mencari solusi, Ali membujuk Zahra agar tidak melapor kepada
orang tuanya. "Please, jangan bilang ke bapak ya dik, karena bapak juga
tidak punya uang untuk membelikan sepatu yang hilang itu", begitu kira-kira
Ali berusaha membujuk adiknya. Sebuah ungkapan yang sederhana namun penuh
makna.

Kejadian lucu sekaligus mengharukan yang dikombinasikan dengan ketegaran
alami dunia pada dunia anak-anak tampak saat mereka berupaya untuk mencari
solusi atas kejadian setelah kehilangan sepatu itu. Mereka berdua membahas
solusi apa yang akan dilakukan besok pagi ke sekolah dengan tanpa sepatu, di
tengah-tengah suasana belajar di depan kedua orang tuanya, dengan cara
bergantian memberikan catatan yang menghabiskan kertas berlembar-lembar.
Mereka berdiskusi tanpa berbicara. Perhatikan dialog lewat komunikasi
tulisan yangmereka lakukan di tengah-tengah belajar mereka:

Zahra : Kak Ali, tanpa sepatu bagaimana aku besok akan pergi ke sekolah?
Ali : Kau bisa memakai sandal.
Zahra : Keterlaluan. Aku akan bilang pada ayah bahwa kakak menghilangkan
sepatuku.
Ali : Lalu kita berdua akan dipukuli ayah karena beliau tidak punya
uang
Zahra : Lalu bagaimana?
Ali : Pakai sepatuku. Aku kan sekolah setelah kau pulang sekolah.
Zahra : Aku tidak mau!
Ali : Aku mohon.
Zahra : Pokoknya aku tidak mau.
Ali : Ini hadiah untukmu.

Maka mereka pun bergantian menggunakan sepatu Ali. Namun hal itu tidak mudah
menjalankan praktek bergantian menggunakan sepatu untuk dua orang tersebut.
Banyak sekali kendala yang dialami oleh keduanya, namun berbagai kendala
tetap dihadapi dengan penuh ketegaran. Tiap habis sekolah Zahra selalu
berupaya untuk pulang sesegera mungkin, langsung berlari kencang untuk
bertemu dengan Ali di sebuah gang, lalu tanpa banyak bicara mereka saling
berganti sepatu dengan senyum. Alipun lantas berlari kencang menuju
sekolahnya. Kadang Ali protes, "kenapa terlambat?". Dan Zahra
menjawab,"Habis bagaimana, aku udah berlarian dari sekolah". Mereka mampu
mengcreate kebahagiaan dan keceriaan saat mencuci sepatu bersama agar besok
sepatunya bersih. Banyak kejadian yang terjadi saat Zahra berlarian,
misalnya sepatunya terlempar masuk ke got yang airnya mengalir deras dan
upaya keras Zahra untuk mengejar sepatu tersebut, dan lain sebagainya.

Tiap hari Ali juga harus berjingkat-jingkat untuk masuk kelas, agar tidak
ketahuan oleh guru bp. Namun selalu saja dia ketahuan, dan Ali selalu
berkilah dan mencari alasan kenapa musti terlambat. Akhirnya suatu ketika
karena sudah berkali-kali terlambat, Ali langsung diusir oleh guru bp.
Dengan sedih Ali pun keluar dari halaman sekolah. Namun tak disangka, guru
kelas Ali datang, dan menolong Ali agar tetap diijinkan masuk kelas. "Sayang
kalo dipulangkan, soalnya dia anak yang baik dan pintar", bela guru
kelasnya.

Kisah Zahra yang tiap ke sekolah menggunakan sepatu Ali ini juga diselingi
dengan suatu kejadian dimana Zahra melihat bahwa suatu saat dia menjumpai
sepatunya yang hilang, ternyata saat itu dipakai oleh teman sekolahnya di
kelas lain. Pada awalnya dia menyelidiki anak yang menggunakan sepatunya
tersebut, dan mengikutinya dengan diam-diam untuk mengetahui dimana
rumahnya. Dia pun mengajak Ali untuk menyelidiki anak tersebut dan akhirnya
mereka memutuskan untuk mengikhlaskan sepatunya tersebut digunakan oleh
orang lain, saat mereka melihat bahwa anak yang menggunakan sepatunya itu
ternyata lebih miskin dari dirinya. Mereka melihat bagaimana profil keluarga
temannya itu lebih miskin dari mereka yang miskin, dan mereka menampilkan
keceriaan. Bapak anak itu buta matanya namun tetap ikhtiar bekerja untuk
keluarga dengan semangat dan ceria. Keceriaan anak-anak yang tampak bahkan
dari cara jalannya yang melompat-lompat. Dunia kebahagiaan khas anak-anak.
Mereka tidak tega untuk meminta atau sekadar menanyakan soal sepatu itu.

Setelah sekian lama bergantian menggunakan sepatu dengan adiknya dengan
segala kendala yang dihadapinya dengan penuh ketegaran, Ali terus berusaha
untuk mewujudkan angan-angan untuk membelikan sepatu untuk adiknya. Upaya
bekerja keras dilakukan Ali dengan membantu bapaknya mengcreate ikhtiar,
misalnya menjadi tukang kebun ke rumah-rumah mewah. Setelah seharian nyaris
tanpa hasil, suatu saat mereka menjumpai sebuah keluarga yang baik hati yang
memanfaatkan tenaga mereka dan memberikan tip cukup besar saat mereka
selesai bekerja. Senang? Tentu, apalagi saat Ali membayangkan dengan uang
itu akan bisa membelikan sepatu untuk adiknya. Sayangnya pada waktu mereka
pulang malah mengalami kecelakaan, karena rem sepeda yang dipakainya blong
saat jalanan menurun. Mereka pun bonyok, sepeda rusak porak poranda. Uang
yang dihasilkan habis buat berobat.

Suatu saat di kota mereka menyelenggarakan lomba lari marathon 4,2 km.
Mula-mula Ali tidak ada minat ikut lomba itu. Namun saat tanpa sengaja Ali
membaca bahwa salah satu hadiahnya, yaitu hadiah juara ketiga adalah
sepasang sepatu karet, maka dia berusaha keras untuk ikut lomba tersebut,
dengan keinginan agar dia dapat memenangkan lomba pada juara ketiga. Dengan
perjuangan keras melobby pihak sekolah agar diperbolehkan untuk mewakili
sekolahnya akhirnya setelah melalui test yang ketat Ali berhasil ikut lomba.
Dia sempat menyampaikan kabar baik ke adiknya dengan semangat bahwa dia akan
mendapatkan sepatu dfengan menjadi juara ketiga. Adiknya sempat protes,
"kenapa targetnya juara ketiga, kak?". Dia menjawab,"Soalnya juara satu dan
dua hadiahnya lain. Nanti hadiah itu saya tukar dengan sepatu perempuan
untuk kamu. Aku pasti juara ketiga", jawab Ali dengan optimis.

Di tengah rasa kelelahan di tengah-tengah lomba, Ali teringat bayangan
adiknya yang setiap hari memakai sepatunya. Begitu kuat motivasi dan
keinginan dia untuk memenangkan hadiah sepatu demi adiknya. Setelah melalui
perjuangan yang keras dan menegangkan, disertai dengan jatuh bangun,
sepatunya jebol, kakinya berdarah, dan lain sebagainya, akhirnya Ali tidak
saja menjadi juara ketiga melainkan juara pertama. Ternyata hal ini justru
mencewakan Ali. Karena mendekati garis finish, para pelari terdepan jaraknya
sangat pendek sehingga Ali tidak sempat melihat pelari yang lainnya. Dia
hanya tidak ingin kehilangan peluang untuk juara, sehingga dengan tekad yang
kuat, setelah terjatuh dia bangkit dan berlari secepat kilat. Akhirnya
terjadilah Ali juara 1. Kepala pelatih sekolahnya dia sempat
bertanya,"Apakah aku pemenang ketiga, pak". Pelatihnya menjawab dengan
ketawa penuh kebanggaan,"Kenapa pemenang ketika? Kau juara pertamanya!". Ali
pun tampak kecewa. Saat dielu-elukan para supporter dan berfoto bersama, Ali
menundukkan mukanya karena kehilangan sepatu yang diidam-idamkan tersebut.
Dia tidak memperoleh hadiah sepatu yang diinginkan sebagai hadiah untuk
adiknya. Dan tentu tidak ada sesuatu yang kebetulan, saat Ali tidak
mendapatkan sepatu yang diinginkannya, ternyata di tempat lain ayahnya
sedang membelikan sepatu untuk Zahra. Bukan suatu hal yang kebetulan pula
saat ternyata dari kejadian ini di kemudian hari Ali menjadi seorang pelari
professional. Yah, konon cerita ini emang diangkat dari kisah nyata.

Nah, hal yang terpenting adalah, apa dan bagaimana pesan moral, hikmah dan
spirit yang bisa yang bisa kita petik dari film ini?

Pertama adalah karakter seorang anak yang bisa menampilkan karakter rasa
tanggungjawab, semenjak dia memahami bagaimana kondisi keluarganya,
bagaimana dia membantu keluarganya untuk tetap struggle dan survive dalam
keluarganya, juga tanggungjawab untuk menjaga dan mensupport adiknya saat
dia menghilangkan sepatunya. Juga karakter kepedulian, disiplin, kejujuran
dan lain sebagainya.

Kedua, film ini sangat realis dan natural. Menggambarkan potret kemiskinan
yang merupakan representasi universal. Kemiskinan ada di negara manapun,
apalagi di Indonesia, ada di sekeliling kita. Namun di tengah kemiskinan
yang dihadapi ini, sikap dan karakter yang ditampilkan oleh Ali dan Zahra
ini benar-benar bertolak belakang dengan kemiskinan materi yang mereka
alami. Mereka tetap dengan penuh percaya diri, struggle, survive, tetap
optimis, positive thinking, penuh tanggungjawab. Juga mereka sesungguhnya
tidaklah miskin. Mereka bisa mengcreate kekayaan hati saat mereka
menunjukkan bisa emphaty saat melihat ada teman mereka yang lebih miskin
dibandingkan dengan mereka. Dengan hanya bermodal sepatu yang butut dan
kedodoran, keduanya termasuk murid yang cemerlang. Mereka tetap disiplin.
Meski harus terlambat karena urusan sepatu tersebut, namun itu sudah upaya
maksimal setelah mereka berlarian tiap hari untuk bersekolah. Meski tiap
hari harus terlambat, namun ada hikmah yang terjadi. Apa itu? Karena tiap
hari harus berlarian, saat ada lomba lari marathon itu, Ali berhasil menjadi
juara satu.

Ketiga, film ini memberikan pelajaran kepada kita bagaimana menerjemahkan
dan mensikapi suatu bencana. Saat kehilangan satu-satunya sepatu itu, Ali
dan Zahra bisa memutuskan untuk mencari solusi yang terbaik. Bencana adalah
realitas, sedangkan penderitaan adalah pilihan. Tidak banyak diantara kita
yang mengalami bencana namun memilih menderita sebagai respon atas bencana
tersebut. Padahal sesungguhnya, kita bisa memilih untuk tidak menderita atas
bencana yang telah menjadi kenyataan tersebut. Ini adalah sebuah pelajaran
yang berharga bagi kita. Saat melihat sepatunya kembali, Zahra kontan
senang, namun saat sepatu itu dipakai oleh teman sekolah yang ternyata lebih
miskin dibanding dengannya, Zahra benar-benar bisa menghayati betapa dia
tiba-tiba merasa menjadi orang kaya dan emphaty terhadap teman tersebut.

Keempat, film ini menurut saya juga sangat universal. Film ini bisa
menampilkan bagaimana film berkualitas bisa muncul dari sebuah negeri yang
selama ini memiliki image yang sangat ekstrim, dari sikap politik Negara
yang menganut syiah dan non mainstream di kalangan Negara teluk, negeri yang
diembargo oleh penguasa dunia saat ini, negeri yang diisukan sedang
mengembangkan teknologi nuklir dan lain sebagainya. Film ini bisa
menampilkan sebuah karakter film Islam yang sifatnya universal. Untuk
menampilkan wajah Islam sebenarnya tidak harus dengan ayat-ayat yang
sedikit-sedikit disitir dengan penerjemahan yang ala kadarnya. Film ini
menampilkan karakter yang Islami tanpa harus secara eksplisit mengatakan
kepada penonton, ini lo yang namanya Islam. Film ini merepresentasi bahwa
Islam itu universal dan tidak semata simbolik, dengan ayat, jilbab, dan
ataupun symbol-simbol lainnya, melainkan dengan penguatan karakter
tanggungjawab, empaty, jujur, optimis, dan lain sebagainya. Bukankah itu
sifat-sifat dan karakter yang Islami, tanpa harus dengan menampilkan
ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk bertanggungjawab, jujur dan lain
sebagainya.

Film berdurasi 88 menit ini meraih penghargaan pada Montreal World Film
Festival, Newport International Film Festival, dan Silver Screen Awards di
Singapore International Film Festival. Film ini menjadi nominatar Film Asing
terbaik Academy Award. Sayang sekali, piala Oscar itu jatuh ke tangan film
Italia, Life Is Beautiful karya Roberto Benigni. Itulah kenapa film ini
masuk dalam nominasi oscar. Karena unsur-unsur ketabahan, kejujuran
tanggungjawab, care dan lain sebagainya tersebut adalah universal sifatnya.

Kelima, film ini menghadirkan realitas empiric kemiskinan tanpa kemuraman,
dan membicarakan kesedihan tanpa mengekspos kecengengan. Satu lagi, dunia
anak-anak nyaris menjadi fokus utamanya. Menurut hemat saya, film-film
semacam ini, yang universal dan tidak menggurui, adalah contoh film dakwah
yang baik dan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Menurut saya film ini
sangatlah Islami. Tapi apakah relevansinya sebuah pengkategorisasian film
menjadi film yang Islami atau tidak? Kadang-kadang orang membuat kategori
hanya berdasarkan symbol yang tampak saja, misalnya adakah ayat-ayat
dilantunkan pada film tersebut, adakah perempuannya menggunakan jilbab,
adakah dakwah pada film itu dan lain sebagainya. Kalau emang masih seperti
ini, pertanyaan tentang pengkategorisasian film Islam tadi malah justru akan
menemukan relevansinya.


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya terpukau dgn analisa anda. saya memang blom pernah menonton film itu, hanya membaca sinopsisnya saja. mudah2an anda bisa menyediakannya untuk saya, atau sekadar memenjamkan sebentar seperti yang dilakukan ali kepada zahra. betul skali bahwa mengajarkan sesuatu harus menyentuh yg substansial ketimbang memamer2kan hal2 simbolik semata.