Selasa, 07 April 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2593

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1.
Melatih Pikiran Positif From: fla cheya
2a.
Re: BLOCK SAJA From: Mimin
3a.
[Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham- From: Kang Dani
3b.
Re: [Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham- From: susanti
3c.
Re: [Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham- From: Bu CaturCatriks
4.
Artikel: Menolong Perusahaan Keluar Dari Krisis From: dkadarusman
5a.
[HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan? From: Anwar Holid
5b.
Re: [HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan? From: susanti
6.
(etalase) "LET'S TALK ABOUT..." DI DFM (103,4 FM) & MP BOOKPOINT From: Bu CaturCatriks
7a.
[catcil] Yuk, Tebak-Tebakan From: Bang Aswi
8a.
Re: (Ruang Baca) Menghargai Persahabatan From: Bu CaturCatriks
9.
[Ruang Baca] Jodoh dari Negeri Seberang From: Rini Agus Hadiyono
10a.
[catcil] Apakah saya termasuk orang yang bahagia? From: Nurhadi@tecsg.com.sg
10b.
Re: [catcil] Apakah saya termasuk orang yang bahagia? From: MIAU IMA
11.
(catcil) Pengaruh Lingkungan Pada Perilaku Anak From: agussyafii
12.
[Catcil] Hati Malaikat Sang Guru From: Nursalam AR
13a.
[Catatan Kaki] -Tips Menulis- 7 Langkah Menulis Fiksi From: Nursalam AR
13b.
Re: [Catatan Kaki] -Tips Menulis- 7 Langkah Menulis Fiksi From: susanti
14a.
[Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKIH JURNALISTIK – E From: novi khansa'
14b.
Re: [Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKIH JURNALISTIK " Etik From: novi_ningsih
14c.
Re: [sekolah-kehidupan] [Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKI From: ugik madyo
15.
(catcil) Belajar Sholat From: agussyafii
16a.
[prestasi] Cerpen-cerpen gagal tayang From: susanti
16b.
Re: [prestasi] Cerpen-cerpen gagal tayang From: hariyanty thahir
17.
Jurnalisme From: may.ya55

Messages

1.

Melatih Pikiran Positif

Posted by: "fla cheya" fla_cheya@yahoo.com   fla_cheya

Mon Apr 6, 2009 2:57 am (PDT)

Pada suatu malam, saya melihat anak kecil yang berusia sekitar 8 tahun di sekitar jalan veteran. Sepertinya, hujan yang mengguyur kota Malang semakin membuat tidurnya nyenyak, padahal tahu petis dan rujak yang dia jual masih banyak. Dalam hatipun terlintas kalimat,"tega banget orang tuanya yang menyuruh anaknya yang masih kecil berjualan, padahal harusnya dia di rumah untuk belajar." Namun, dalam sekejab saya menyesal dengan komentar saya. Astaghfirullah... seharusnya saya harus lebih positive thinking. Siapa tahu orang tuanya sedang sakit dan butuh banyak dana dan mungkin saja, orang tuanya memang kurang mampu dan anak itu sendiri yang ingin membantu orang tuanya (tanpa keterpaksaan).
 
Saya menghampiri lelaki kecil itu dan saya bertanya dengan maksud:
 
"Kelas berapa?" dia menjawab "Masih SD"
"Rumahnya dimana?" dia menjawab "pakis" Wow! lumayan jauh, ujar hati saya
"Trus pulangnya jam berapa," dia menjawab "nunggu kakak menjemput, sekitar jam 10 malam"
 
Subhanallah… begitu hebatnya anak itu yang dari kecil sudah mendapat pelajaran mental, kerja keras, cara survive yang berbeda dengan kebanyakan anak kecil yang seusia dengannya. Beberapa menit dari kejadian itu, saya memasuki sebuah mall, dan terlihat anak banyak anak kecil yang terlihat binar bahagia dimata mereka. Ada yang bemain tembak-tembakan, naik kereta jalan dan permainan menarik lainnya. Yah... berbeda jauh kondisinya dengan anak kecil yang saya ceritakan sebelumnya.
 
Kalau ada orang tua yang menyuruh anaknya menjadi pengemis itu bisa bilang TEGA, namun bila ada orang tua yang terpaksa meminta anaknya membantu tugas orang tua, itu karena orang tua memiliki rasa sayang ke semua anggota keluarga. Jadi, akan lebih efektif bila dalam keluarga itu menerapkan gotong royong demi kebaikan bersama.
 
Saya teringat dengan keputusan saya yang mendapat kontroversi dari berbagai pihak. Mereka memang tidak tahu kondisi yang sebenarnya, mereka hanya menyamakan pengalaman mereka dengan yang saya alami. Mungkin mereka lupa, situasi, masalah dan karakteristik tiap individu berbeda, begitupula dengan jalan yang terbaik dimataNya bagi hamba-hambaNya. Namun, mereka jarang sekali mau mengerti.
 
Yah… berusaha positive thinking dan menerima keputusan serta prioritas hidup orang lain. Mungkin selama ini orang lain bisa berkomentar ini dan itu dan dengan mudahnya memberikan judgement, padahal mereka tidak tahu apa alasan kita yang sebenarnya memutuskan dan berbuat sesuatu. Selain itu, mungkin yang orang lain tahu hanya beberapa alasan kita dan bukan seluruh alasan. Bila mereka menjadi diri kita, mungkin mereka akan berbuat hal yang kurang lebih sama atau kita memiliki alternative penyelesaian lain. Bersikap waspada itu memang perlu, namun jangan diimbangi dengan sikap yang berubah menjadi buruk terhadap orang lain. Misalnya saja ketika kita menduga rekan kita sendiri pencuri, maka sikap kita jangan langsung berubah drastis dari baik menjadi buruk, namun berusahalah untuk jaga jarak. Mengapa? karena kita masih belum tahu kebenarannya.
 
Berpikir positif memang memerlukan latihan atau proses. Bagaimana caranya?
1. Menyadari bahwa semua merupakan rencana Allah
2. Menyadari bahwa yang terjadi pasti ada hikmahnya
3. Menyadari bahwa yang terjadi merupakan ujian bagi kita
4. Berusaha meminimalisasi pikiran-pikiran negatif ketika menjumpai masalah
5. Melatih diri untuk bersabar
 
Berpikir positif ini akan lebih bagus bila ditanamkan pada anak kita sejak mereka kecil. Misalnya saja ketika usia anak kita kelas dua SD. Kita bisa menjelaskan mengenai kenapa ada orang yang sudah tua tapi terus bekerja dengan memungut gelas minuman plastik ditempat sampah. Berikanlah kemungkinan-kemungkinan jawaban kepada mereka. Selain bisa membuat kepekaan diri dan rasa syukur mereka bertambah, pikiran mereka juga bisa berkembang karena stimulasi dari jawaban kita. Seperti ketika kita menjawab,"mereka harus dapat uang untuk membeli makanan" mereka bisa saja bertanya kembali dengan pertanyaan seperi,"apa mereka tidak punya rumah?","kenapa tidak anaknya saja yang bekerja?","bajunya kotor dan sobek, kenapa tidak beli baju?" dsb
 
Yah… proses hidup… selama kita hidup, kita pasti melewatinya hingga ajal menjemput. Namun, dalam proses itu, sangat penting bila kita bisa memanfaatkan waktu dijalan yang Ia ridhai, bila kita berusaha untuk bisa lebih baik dan bagaimana kita belajar darinya. Karenannya, dalam kesempatan ini pula saya ingin mengingatkan diri saya kembali dan semoga bisa bermanfaat pula untuk saudara semua amin…
 
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (QS. Ali 'Imran [3]:191)
 
"Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti" (Ali 'Imraan [3]:193)
 
 
Best Regard's
 
Flacheya
http://cheya.blogspot.com
Flacehay@gmail.com

2a.

Re: BLOCK SAJA

Posted by: "Mimin" minehaway@gmail.com   mine_haway

Mon Apr 6, 2009 3:08 am (PDT)

Gimana kalo di remove saja ID nya dari daftar member milis ini.
*Ups...mungkin terlalu ekstrim
Atau
Ngatur di sistem milisnya jadi di set default new member pasti di moderasijadi
tiap dia posting, ga bisa langsung tampil.. harus di aprove sama moderator
dulu
CMIIW

--
http://minesweet.co.cc
YM : mine_haway
3a.

[Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham-

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Apr 6, 2009 3:32 am (PDT)

Pagi ini saya
menerima telpon dari seorang sahabat lama. Deri, namanya. Agak
mengherankan, karena kami jarang sekali berkomunikasi via telpon,
apalagi hari masih pagi. Dia salah satu sahabat baik saya sejak SMU,
kami pernah beririsan dalam organisasi intra sekolah, dia wakil ketu
OSIS sementara saya ketuanya. Dari sana kami menjadi seperti saudara.

Saya mengangkat telpon darinya tanpa prasangka apa-apa. Suaranya terdengar .. lirih.

"Assalamualaikum, Der.." sapa saya, biasa.

"Wa'alaikumussalam.., Dan.. " terputus. Saya bersabar menunggu kalimat
selanjutnya. "Kalo Ibu saya ada kesalahan sama kamu, mohon di maafkan
ya..." lanjutnya. Saya mulai curiga, hampir saja saya berseru
innalillahi, tapi saya khawatir salah pengertian.

"Emang kenapa, Der?" tanya saya, penuh curiga.

"Beliau sudah nggak ada..." Kini Sahabat saya itu terdengar menangis.
Lirih. Leher belakang saya meremang... dingin. Kecurigaan saya atas
telepon yang tidak biasa dipagi hari ini terbukti. Dia mengambil satu
lagi orang-orang yang kami kasihi.

"Innalillahi wainailaihi roji'un.." Lalu suara sahabat saya mulai tak
jelas, karena lirihnya. Saya dapat membayangkan wajah sahabat saya itu,
matanya pasti sembab dan merah. Percakapan selanjutnya adalah
percakapan takziyah. Saya tidak bisa datang untuk turut mendoakannngya
langsung. Hari ini saya masih harus masuk kerja seperti biasa. Lalu doa
dan salam mengakhiri percakapan singkat kami: tentang sebuah kematian.

Terakhir kali saya menemui Deri adalah ketika istrinya baru melahirkan
putra pertama mereka beberapa bulan yang lalu. Dan saat itu saya masih
sempat bertemu dengan ibunya. Beliau memang sudah nampak tak sehat.
Gerakannya terbatas. "Penyakit gula" ujarnya ketika saya bertanya
tentang kondisi beliau saat itu.

Ketika percakapan singkat pagi tadi berakhir, saya teringat ibu saya
yang juga mulai renta. Asam urat dan tensi darah yang tidak stabil
sudah sering mengganggu hari-harinya. Ditambah emosi yang terkadang
kurang terkontrol dengan baik. Saya sadar, suatu saat saya akan melalui
hal tersebut. Mungkin nanti saya yang akan menghubungi sahabat saya itu
untuk mengabarkan hal serupa tentang ibu atau ayah saya. Tapi saya
harap itu masih sangat lama, atau bahkan saya berharap hal tersebut
tidak pernah terjadi. Atau bahkan mungkin Istri saya yang akan menelpon
satu persatu sahabat saya dan mengabarkan, bahwa saya sudah tiada.

Pagi ini, Nibras melepas saya pergi ke kantor dengan menangis, dia
merangkak mengejar saya hingga ke pintu depan. Lengannya menjulur ke
arah saya minta diraih dan digendong, racauannya yang bercampur tangis
terdengar lucu. Tapi saya harus menutup pintu dari luar untuk segera
berangkat. Saya memandangnya dari balik jendela berkaca riben. Saat itu
saya sadar, betapa Nibras sangat berarti bagi saya, saya menyayanginya
sepenuh hati. Ada perasaan tak rela saat harus meninggalkannya. Semoga
sore ini saya masih bisa menemuinya seperti biasa.

Atau mungkin sore ini, saya akan menerima sms dari sahabat-sahabat saya yang mengabarkan bahwa anda telah meninggal dunia.

Jakarta, 06 April 2009

Allahummaghfirlaha warhamha wa afihi wa'fuanha…

Dani Ardiansyah
www.sekolah-kehidupan.com
www.catatankecil.multiply.com

3b.

Re: [Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham-

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Mon Apr 6, 2009 6:32 pm (PDT)


Innalillahi wa inna ilaihi rojiun
Kang, bisa minta tolong disampaikan ke Mas Deri bahwa saya sekeluarga turut berduka cita.
Semoga beliau diberi ketabahan,
dan semoga arwah almarhumah di terima di sisi Allah SWT.
Amin...
Kadang ditingalkan sesorang terasa begitu menyakitkan, tapi bagi saya yang percaya bahwa akherat itu ada, selalu ada harapan bahwa saya dan mereka yang telah pergi akan bertemu lagi.
Suatu hari nanti
semoga di tempat yang lebih baik dari di sini

~Sky~

----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.0.238 / Virus Database: 270.11.44/2044 - Release Date: 04/06/09 18:59:00
3c.

Re: [Catcil] Sahabat saya dan Ibunya -Allahuyarham-

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Apr 6, 2009 6:53 pm (PDT)

inna lillahi wa inna ilaihi rojiun kang.
semoga deri dan keluarganya diberi ketabahan dan kesabaran ya. amin..

salam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Kang Dani <fil_ardy@...> wrote:
>
> Pagi ini saya
> menerima telpon dari seorang sahabat lama. Deri, namanya. Agak
> mengherankan, karena kami jarang sekali berkomunikasi via telpon,
> apalagi hari masih pagi. Dia salah satu sahabat baik saya sejak SMU,
> kami pernah beririsan dalam organisasi intra sekolah, dia wakil ketu
> OSIS sementara saya ketuanya. Dari sana kami menjadi seperti saudara.
>
>
>
> Saya mengangkat telpon darinya tanpa prasangka apa-apa. Suaranya terdengar .. lirih.
>
>
>
> "Assalamualaikum, Der.." sapa saya, biasa.
>
>
>
> "Wa'alaikumussalam.., Dan.. " terputus. Saya bersabar menunggu kalimat
> selanjutnya. "Kalo Ibu saya ada kesalahan sama kamu, mohon di maafkan
> ya..." lanjutnya. Saya mulai curiga, hampir saja saya berseru
> innalillahi, tapi saya khawatir salah pengertian.
>
>
>
> "Emang kenapa, Der?" tanya saya, penuh curiga.
>
>
>
> "Beliau sudah nggak ada..." Kini Sahabat saya itu terdengar menangis.
> Lirih. Leher belakang saya meremang... dingin. Kecurigaan saya atas
> telepon yang tidak biasa dipagi hari ini terbukti. Dia mengambil satu
> lagi orang-orang yang kami kasihi.
>
>
>
> "Innalillahi wainailaihi roji'un.." Lalu suara sahabat saya mulai tak
> jelas, karena lirihnya. Saya dapat membayangkan wajah sahabat saya itu,
> matanya pasti sembab dan merah. Percakapan selanjutnya adalah
> percakapan takziyah. Saya tidak bisa datang untuk turut mendoakannngya
> langsung. Hari ini saya masih harus masuk kerja seperti biasa. Lalu doa
> dan salam mengakhiri percakapan singkat kami: tentang sebuah kematian.
>
>
>
> Terakhir kali saya menemui Deri adalah ketika istrinya baru melahirkan
> putra pertama mereka beberapa bulan yang lalu. Dan saat itu saya masih
> sempat bertemu dengan ibunya. Beliau memang sudah nampak tak sehat.
> Gerakannya terbatas. "Penyakit gula" ujarnya ketika saya bertanya
> tentang kondisi beliau saat itu.
>
>
>
> Ketika percakapan singkat pagi tadi berakhir, saya teringat ibu saya
> yang juga mulai renta. Asam urat dan tensi darah yang tidak stabil
> sudah sering mengganggu hari-harinya. Ditambah emosi yang terkadang
> kurang terkontrol dengan baik. Saya sadar, suatu saat saya akan melalui
> hal tersebut. Mungkin nanti saya yang akan menghubungi sahabat saya itu
> untuk mengabarkan hal serupa tentang ibu atau ayah saya. Tapi saya
> harap itu masih sangat lama, atau bahkan saya berharap hal tersebut
> tidak pernah terjadi. Atau bahkan mungkin Istri saya yang akan menelpon
> satu persatu sahabat saya dan mengabarkan, bahwa saya sudah tiada.
>
>
>
> Pagi ini, Nibras melepas saya pergi ke kantor dengan menangis, dia
> merangkak mengejar saya hingga ke pintu depan. Lengannya menjulur ke
> arah saya minta diraih dan digendong, racauannya yang bercampur tangis
> terdengar lucu. Tapi saya harus menutup pintu dari luar untuk segera
> berangkat. Saya memandangnya dari balik jendela berkaca riben. Saat itu
> saya sadar, betapa Nibras sangat berarti bagi saya, saya menyayanginya
> sepenuh hati. Ada perasaan tak rela saat harus meninggalkannya. Semoga
> sore ini saya masih bisa menemuinya seperti biasa.
>
>
>
> Atau mungkin sore ini, saya akan menerima sms dari sahabat-sahabat saya yang mengabarkan bahwa anda telah meninggal dunia.
>
>
>
> Jakarta, 06 April 2009
>
> Allahummaghfirlaha warhamha wa afihi waĆ¢€™fuanhaĆ¢€¦
>
>
> Dani Ardiansyah
> www.sekolah-kehidupan.com
> www.catatankecil.multiply.com
>

4.

Artikel: Menolong Perusahaan Keluar Dari Krisis

Posted by: "dkadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Mon Apr 6, 2009 3:34 am (PDT)

Artikel: Menolong Perusahaan Keluar Dari Krisis

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kita sering mengartikan sahabat sebagai orang yang bersedia menerima kita apa adanya. Dan memang benar, sahabat sejati selalu bersedia menerima kita, bahkan ketika kita sedang berada dalam kesulitan. Karenanya, peran sahabat bisa lebih dekat dibandingkan dengan kerabat. Hebatnya lagi, persahabatan tidak hanya bisa dibangun antar manusia. Sebab, begitu banyak kisah tentang persahabatan antara manusia dengan mahluk lain. Tetapi, pernahkah singgah dalam pikiran anda gagasan untuk bersahabat dengan perusahaan?

Perusahaan memang bukanlah mahluk hidup. Namun, serangkaian kegiatan yang terjadi didalamnya menjadikan perusahaan seperti sebuah organisme hidup. Memiliki beragam ciri layaknya mahluk hidup. Itu sebabnya, perusahaan bisa tumbuh dari kecil hingga besar. Perusahaan bisa sangat sehat atau menderita sakit. Perusahaan bisa terus hidup atau mati. Sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa perusahaan itu memiliki 'jiwa'. Jika demikian, rasanya menjadi masuk akal bagi kita untuk bersahabat dengan perusahaan tempat kita mencari nafkah ini. Sekarang, cobalah kita renungkan; apakah kita bersedia menjadi sahabat baginya?

Jika sahabat kita sedang dilanda kesulitan, apa yang kita lakukan? Kita berusaha mencarikannya jalan keluar. Jika sahabat kita tengah dirundung kesedihan, kita memberinya penghiburan. Dan jika sahabat kita sedang membutuhkan bantuan, maka kita mengulurkan tangan. Jika perusahaan yang kini telah menjadi sahabat bagi kita ini sedang dilanda krisis, apa yang harus kita lakukan?

Kita tidak akan pernah tega membiarkannya terus menerus menderita. Bukan karena kita merasa berkepentingan atas sejumlah penghasilan, atau takut terkena pemutusan hubungan kerja. Melainkan karena kita merasa bahwa perusahaan ini sudah menjadi sahabat yang menemani perjalanan hidup kita sehari-hari. Selama ini, dia sudah lama menjadi tempat yang bersedia menerima kedatangan kita setiap hari, tanpa ditanya; kamu siapa? Dia tidak pernah menghujat; ngapain kamu datang kesini? Dan dia, sahabat kita itu, tidak pernah mengusir kita. Bayangkan, bertahun-tahun sudah dia menerima kehadiran kita dengan tangan terbuka. Dan perusahaan kita – sang sahabat itu – telah menerima kita, seperti halnya sebuah rumah kedua bagi kita.

Sekarang coba tengok sekali lagi; apakah perusahaan kita ikut terimbas oleh krisis ekonomi ini atau tidak? Tanyakan kepadanya apakah kita bisa membantunya keluar dari krisis itu? Mengapa? Karena kita ini adalah sahabatnya kini. Kita tidak mungkin membiarkan sahabat terkasih ini berjibaku dengan kesulitan demi kesulitan yang tengah menghimpitnya.

Lantas, bagaimana caranya menolong sahabat kita ini? Bekerja dengan sungguh-sungguh adalah salah satu caranya. Menghemat kertas dikantor, juga sangat membantunya. Atau mematikan lampu kamar kerja ketika hendak makan siang, juga bisa meringankan beban. Dan lebih dari itu, kita perlu meningkatkan disiplin diri. Datang ke kantor tepat waktu. Melakukan makan siang sesuai dengan jatah waktu yang diberikan, serta mengurangi hal apapun yang tidak berdampak positif bagi perusahaan.

Mudah-mudahan, dengan kontribusi sekecil apapun yang kita berikan, kita bisa membantu sang sahabat sejati ini keluar dari krisis yang tengah menghimpitnya.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/
Business Administration & People Development
Business Talk Setiap Jumat: 06.30-07.30 di 103.4 FM Day Radio

Catatan Kaki:
Kita sering khawatir perusahaan tidak bisa keluar dari krisis. Ironisnya, kita sering membiarkannya semakin terpuruk kedalam krisis dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan disaat seharusnya kita kerja.

5a.

[HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?

Posted by: "Anwar Holid" wartax@yahoo.com   wartax

Mon Apr 6, 2009 4:55 pm (PDT)


[HALAMAN GANJIL]

Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?
--Anwar Holid

Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting dalam perkawinan? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung tertawa mendengar jawaban itu.
"Memang, menurut kamu apa?" balas dia.
"Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah."

Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam bayanganku waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara itu menayangkan seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya. Mangsa itu dia cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia persembahkan pada anak-anak dan pasangannya. Setelah itu dia memperhatikan mereka berebut makanan yang dia bawa. Terdengar narasi: Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia pulang dengan selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang dia bawa daripada kehadiran dirinya sendiri.

Terdengar ironik?

Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan itu ialah cinta, kasih sayang. Ha ha, dalam rumah tangga kasih sayang menurutku sudah jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus selesai sejak jauh-jauh hari sebelum pasangan menikah dan membangun rumah tangga. Tanpa itu, rumah tangga dan perkawinan berarti sia-sia.

Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada orang yang bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta? Nggak. Orang hanya bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok merasa agak yakin bahwa cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh jadi memang begitu, sebenarnya, terutama orang yang terbutakan oleh cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri atau perpisahan sepasang kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai keributan, termasuk sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang terlalu sulit dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada di mana cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal, jengkel, atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak segera menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran dan menuduh dia tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi perkawinan di media massa. Dari sana kita belajar bahwa persoalan perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat sederhana (misalnya kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) maupun hal yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh, berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam perkawinan bobot masalah "sederhana" dan "berat" ternyata sama saja. Masalah adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak akibatnya bisa fatal.

Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan yang kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau tak punya nafkah? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi mungkin sedikit lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi kekayaan yang terus tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan tak perlu kerja. Tapi dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya mengeluh, sebab kerjanya hanya "menghabiskan harta orangtua" dan terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan tanpa mata pencaharian itu merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang gadis dalam keadaan nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis Anda dipinang pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda kepada pemuda itu? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia.

Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku sendiri pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend husband/wife sudah dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah pasangan yang hanya ketemu sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Jelas karena tidak mengalami, rasanya aku sulit berempati kepada pasangan yang hanya ketemu sebulan, tiga bulan, atau setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan menikah? Bukankah mereka menikah untuk "bersatu", berdekat-dekatan? Wajarkah pasangan mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya absurd. Tapi sekali lagi, bayangkanlah bila tanpa itu semua mereka tak punya penghasilan, atau itulah satu-satunya cara mereka mendapat nafkah. Kalau sudah begitu, apa boleh buat. Kita hanya bisa maklum dan
ikut berdoa supaya mereka selamat. Daripada bersatu tanpa penghasilan?

Orang menempuh berbagai mode untuk mendapat nafkah. Ada yang normal dan abnormal. Ada kalanya seseorang tak tahu persis apa pekerjaan pasangannya; tapi selama ada penghasilan, aku berani bertaruh itu akan baik-baik saja. Tanyalah pada istri para kriminal, koruptor, atau pembunuh bayaran. Mereka tentu bakal terkejut bila dibenturkan pada fakta bahwa nafkah yang selama ini mereka terima ternyata hasil dari kejahatan atau uang haram, lantas mereka bersikap tak mau tahu atau malah ingin cuci tangan secepatnya. Tapi selama tak tahu, mereka akan baik-baik saja, dan yakin sebagaimana pasangan normal lain, nafkah itu berasal dari cara yang baik.

Bila menyangkut penghasilan, orang bisa begitu emosional dan irasional. Kita sulit mengira-ngira sampai sejauh apa orang merasa bangga, baik-baik saja, terpaksa, atau rela menjalani profesinya. Boleh jadi orang bangga dengan profesi sebagai pembunuh bayaran. Siapa tahu. Bintang porno di AS bangga kok dengan profesinya. Apa sebab? Karena mereka juga bayar pajak, berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Itu mulia. Kita yang tak mengalami mungkin bisa menertawakan atau menganggap hina kerja sebagai bandar judi, pembuat narkoba, direktur klub malam, tukang sampah, mucikari, atau bandar narkoba. Tapi kalau penghasilannya melimpah ruah, Anda mau apa? Pendapatan itu nyata. Lihatlah di jalanan, lihatlah di tempat kerja, di lapangan. Begitu menyangkut pendapatan, nyawa taruhannya. Kadang-kadang orang masih merasa kurang dengan sekadar mengandalkan kekuatan fisik. Perhatikanlah cara kerja debt collector atau tukang sita.

Pasangan pengangguran tentu sulit diterima. Jangankan penganggur, pasangan dengan penghasilan setara, tampak kurang motivasi, atau kurang berkenan saja bisa bermasalah. Dunia adalah tempat yang sulit dan keras. Nggak ada tempat buat pemalas, atau kalau tidak berubahlah jadi orang ikhlas, yang bisa bersyukur dan menerima segala keadaan. Kita dituntut menghasilkan nafkah dengan memanfaatkan segala kemampuan dan kesempatan yang memungkinkan. Dengan itulah kita memelihara perkawinan, kebersamaan, menjalankan roda kehidupan, memastikan bahwa dua puluh empat ke depan---atau beberapa tahun ke depan---keadaan cukup bisa dipastikan kesejahteraannya.

Tapi kenapa pasangan dengan nafkah berkecukupan pun kehidupan perkawinan mereka bisa hancur-hancuran? Tentu ada faktor lain entah apa lagi. Aku juga bukan ahli perkawinan. Itu menunjukkan walaubagaimanapun penghasilan ternyata bukan satu-satunya faktor paling penting dalam perkawinan. Jadi apa dong? Mungkin ada jawaban lain, yaitu keikhlasan.

Sementara keikhlasan butuh permbicaraan baru lagi.[]

Anwar Holid telah menikah sepuluh tahun dengan Fenfen, dikaruniai dua anak.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

5b.

Re: [HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Mon Apr 6, 2009 11:05 pm (PDT)


Kalau bicara mengenai perkawinan, akan dituliskan berlembar-lembar halaman serupa novel.
Memang, cinta saja tak cukup untuk mempertahankan suatu ikatan pernikahan, karena cinta ternyata bisa aus dan terserang abrasi.
Cinta yang kata orang bisa mendamaikan dunia dan lain-lain atribut ternyata hanya bisa diam tatkala seorang istri dipukuli dan diusir dari rumah, padahal si suami tahu bahwa si istri tak punya siapa-siapa di kota itu. Lalu kemana cinta?
Cinta ternyata tak berkata-kata kala seorang istri dikata-katai sebagai pelacur hanya karena ingin tahu kemana suaminya pergi malam sebelumnya.
Cinta ternyata hanya bersembunyi ketika seorang istri mendapatkan pisau yang dihunus suaminya tepat di depan lehernya.
Lalu, apakah itu cinta?
untuk lebih tahu, silakan baca buku Mba Retno dkk. Lho, kok jadi ngiklan?

Iya mas, penghasilan berpengaruh terhadap keberlangsungan sebuah perkawinan.

~Sky~
hampir enam tahun menikah, dikaruniai 2 orang anak

----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.0.238 / Virus Database: 270.11.44/2044 - Release Date: 04/06/09 18:59:00
6.

(etalase) "LET'S TALK ABOUT..." DI DFM (103,4 FM) & MP BOOKPOINT

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Apr 6, 2009 6:00 pm (PDT)

NGOBROL BUKU BARENG SAHABAT
DI DFM (103,4 FM) & MP BOOKPOINT

Apa ya yang biasa diobrolin para sahabat kala bertemu?
Mungkin tentang keluarga, cinta, serta makna kehidupan. Atau tentang update kabar, film terbaru, fashion terkini, gosip artis?
Dalam buku "Let's Talk About Friendship, Love&Marriage, Ordinary Miracles" karya Retnadi Nur'aini, Airin Nisa, Shinta Anita, ini dibahas mengenai perbincangan antar sahabat yang membahas tentang cinta, keluarga, dan banyak keajaiban dalam hidup kita.
Mau tahu seperti apa bahasan mereka? Yuk, ikuti jadwalnya!
"Obrolan Siang On Air bersama Para Penulis `Let's Talk About Friendship, Love&Marriage, Ordinary Miracles'," di DFM (103,4 FM)
Hari/ tanggal : Minggu, 12 April 2009
Pukul : 15.00-16.00 WIB
(*Kuis berhadiah 5 buku untuk 5 pemenang)

"Afternoon Coffee: `Let's Talk About Friendship, Love&Marriage, Ordinary Miracles'," * (Bedah Buku Gratis)
Hari/ tanggal : Minggu/ 19 April 2009
Pukul : 11.00-13.00 WIB
Tempat : MP BookPoint
Jl Puri Mutiara Raya 72, Jakarta Selatan (dekat Pasar Cipete Selatan)*
Tlp: (021) 75910212
Pembedah : Ade Armando & Kurnia Effendi
Moderator : Lia Octavia
MC : Rudi G Aswan


* Free coffee, free tea, and free snack
* Rute:
- dari arah Blok M, naik Kopaja 63 jurusan Depok, turun depan MP
- dari arah Depok, naik Kopaja 63 jurusan Blok M, turun depan MP

Jangan sampai ketinggalan ya!

Salam,

Halaman Moeka Publishing
CP: Catur (0813 25494096)/ Retno (0812 10698852)
Http://letstalkabout.co.cc

7a.

[catcil] Yuk, Tebak-Tebakan

Posted by: "Bang Aswi" bangaswi@yahoo.com   bangaswi

Mon Apr 6, 2009 6:24 pm (PDT)

Kali ini, saya ingin mengajak sobat baraya untuk berpikir sejenak, terutama yang berhubungan dengan angka. Ya, marilah kita sejenak mengutak-atik beberapa angka dalam sebuah mata pelajaran yang bernama matematika! Bukan kebetulan, soal ini saya tanyakan pada kedua murid privat saya yang akan menghadapi UAN tingkat SMP dan ternyata ... mereka tidak bisa menjawab hingga saya harus turun tangan untuk menjelaskan. Padahal, keduanya termasuk cerdas. Minimal, kalau salah satu tidak bisa menjawab, yang lain pasti bisa menjawab.

Jarak kota A dan kota B adalah 200 km. Sebuah truk berangkat dari kota A ke kota B pada pukul 08.00 dengan kecepatan 40 km/jam. Kemudian sebuah bus berangkat dari kota B ke kota A pada pukul 09.00 dengan kecepatan 60 km/jam. Nah, pertanyaannya adalah, pada pukul berapakah truk dan bus itu akan berpapasan?

Silakan bagi sobat baraya yang ingin menjawab. Jangan lupa, saya menginginkan jawaban yang tepat dengan jalan atau cara yang tepat pula. Bukan sekadar hitungan logika apalagi hitungan kancing.[]

Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi.com/]

8a.

Re: (Ruang Baca) Menghargai Persahabatan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Apr 6, 2009 7:01 pm (PDT)

waaah, makasih banyak mas sis utk reviewnya :)
oya, utk komposisi tulisan, begini, karena basically buku itu adl kumpulan tulisan yg ada dlm blog. nah, shinta hanya menyumbang 3-4 tulisan karena kami pikir banyak tulisannya yg kelewat personal utk dibagikan (maklum, saat itu dia newlywed yg langsung ditinggal suami ke korea :) )
demikian.
sekali lagi, terima kasih banyak ya :)

salam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "sismanto" <siril_wafa@...> wrote:
>
>
> Judul buku : Let's Talk About…
>
> Penulis : Retnadi Nur'aini, Airin Nisa, Shinta Anita Sari
>
> Tebal : 191 halaman
>
> Penerbit : Halaman Moeka Publishing
>
> Cetakan : Pertama, Februari 2009
>
> ISBN : 978-979-19351-0-4
>
>
>
> Melihat cover dan kecerdasan marketing penulisnya sebelum peluncuran
> buku ini menyita perhatian saya untuk segera memiliki buku
> "Let's Talk Abaout Friendship, Married, & Ordinary Miracle".
> Bagaimana tidak, awal sebelum merilis peluncuran buku perdananya salah
> satu penulisnya (Retnadi Nuraini) sudah memberikan rasa penasaran kepada
> khalayak pembaca akan ada buku yang akan terbit di bulan itu. Demikian
> pula saya yang sejara jujur saya akui sebagai pengagum setia
> tulisan-tulisannya.
>
> Meski saya sudah beberapa kali membaca beberapa tulisan yang diposting
> oleh penulisnya di milis maupun di blog pribadinya, saya merasa tetap
> saja haus akan tulisan-tulisan penulis untuk saya baca berulang-ulang.
> Bagi saya, Tidak ada kejenuhan untuk membaca tulisan yang bermutu meski
> sudah membacanya secara berulang-ulang. Sepertinya tidak ingin melupakan
> begitu saja rangkaian kata demi kata yang disusunnya menjadi sebuah
> bacaan yang enak dibacadan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan
> sederhana.
>
> Buku yang enak dibaca oleh siapapun di tengah kedahagaan saya akan
> buku-buku bacaan yang bermutu dan layak baca di Sangata. Maklum saja
> buku ini hanya satu–satunya di sangatta dan kebetulan saya secara
> langsung mendapatkannya dari salah satu penulisnya. Begitu buku ini
> selesai saya baca, antrian muncul di beberapa teman dekat saya yang juga
> mempunyai hobi yang sama dengan saya – hobi membaca buku. Pun
> demikian dengan teman-teman yang lain saling antri ingin segera membaca
> buku yang renyah dan bermutu.
>
> Sayangnya, saya melihat ada semacam monopoli dan dominasi tulisan dari
> salah satu penulis, yang seharusnya diberikan porsi yang sama antara
> ketiga penulis. Biasanya kesulitan memadukan buku yang ditulis secara
> bersama-sama akan tampak perbedaan gaya penulisan dari masing-masing
> penulisnya. Meski demikian, saya tidak melihat perbedaan yang menyolok
> dari ketiga penulisnya. Barangkali sentuhan sang editor (Catur Sukono)
> yang tak lain juga suami dari salah satu penulisnya memberikan kesamaan
> makna dan kelembutan bahasa yang disuguhkan kepada pembaca.
>
> Benar juga kata orang persahabatan tidak akan lekang oleh waktu, apalagi
> diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dengan menulis buku
> bmersama-sama diantaranya. Persahabatan yang diawali semenjak masa
> perkuliahan itu kini menjadi semakin intens saja dengan membicarakan
> tentang satu sama lainnya. Perbicaraan sehari-hari seorang sahabat yang
> tidak hanya terbatas pada sesi persahabatan (friendship) semenjak kuliah
> maupun setelahnya tetapi membicarakan juga tentang pernikahan.
>
> Saya jadi yakin terhadap calon ibu satu ini (Retno), meskipun ada
> beberapa ketakutan menjadi orang tua tapi janji-janji yang diucapkan
> untuk anaknya nanti membuat keyakinan pada siapapun yang membaca buku
> ini bahwa siapapun yang menikah mau tidak mau harus berani menjadi orang
> tua, menjadi teladan bagi anak-anaknya dan buku ini benar-benar semakin
> menginspirasi saya dengan memberikan pelajaran-pelajaran penting di
> bagian akhir buku.
>
> Setelah membaca kata demi kata, paragraf demi paragraf, dan membuka
> halaman demi halaman yang akhirnya memberikan saya suatu kesimpulan
> bahwa saya sepakat dengan isi buku persahabtan akan menjadi indah,
> persahabatan akan banyak memberikan dinamika dan dinamika yang saya
> dapat dalam buku ini adalah bagaimana menghargai persahabatan.
> Menghargai persahabatan antar sahabat, persqhabatan antara seorang anak
> dengan orang tuanya, dan persabahatan antara suami dengan istrinya.
>
>
>
>
> Selamat membaca buku yang bermutu dan dapatkan pelajaran di dalamnya . .
> . .!
>
>
>
> Sangatta, 4 April 2009
>
> http://mkpd.wordpress.com/2009/04/06/menghargai-persahabatan/
> <http://mkpd.wordpress.com/2009/04/06/menghargai-persahabatan/>
>
> http://sismanto.multiply.com/reviews/item/21
> <http://sismanto.multiply.com/reviews/item/21>
>

9.

[Ruang Baca] Jodoh dari Negeri Seberang

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Mon Apr 6, 2009 7:11 pm (PDT)

Sub judul: Catatan Cinta Pernikahan Beda Bangsa

Penyusun: Rahmadiyanti Rusdi

Penerbit: Lingkar Pena Publishing House

Tebal: 240 halaman

Cetakan: I, Maret 2009

ISBN: 978-979-1367-83-7

Skor: 7,9

Untuk membuka lembaran hidup baru, jalan berliku harus dilalui. Dengan calon pasangan, ada hal-hal yang perlu didiskusikan: pandangan hidup, cita-cita, rencana masa depan, konsep keluarga, sampai pengelolaan ekonomi dan pengasuhan anak, tentu saja berikut tempat tinggal. Dengan keluarga, harus pula presentasi bersama karena akan sukar menempuh biduk lanjutan ini tanpa restu khususnya dari orangtua kedua belah pihak.

Orangtua dahulu [dalam bahasa Sunda] mengatakan bahwa jodoh itu 'jorok'. Terjemahan bebasnya, jodoh adalah misteri. Kita tak bisa menggunakan rancangan detail bagaikan arsitek, tak bisa menggunakan pola USP seperti hendak meluncurkan produk baru, tak bisa juga menggunakan analisis statistik regresi atau berpandu pada variabel terikat dan tidak terikat. Karena demikian abstraknya, proses pertemuan dengan sang jodoh mendebarkan sekaligus mengusik emosi. Simak saja tuturan para kontributor dalam buku ini.

Berjumpa belahan hati dari benua yang berjauhan, tak bisa ditampik bila memang sudah garis Yang Maha Kuasa. Istri-istri berkumpul di buku ini menuangkan suka-dukanya, terutama urusan birokrasi karena begitu melekat cap berkelimpahan materi pada orang asing sehingga dianggap 'layak' dipersukar dan dikenai tarif yang menggelembung dari biasanya. Padahal palu belum final. Di negeri yang hendak dijadikan kediaman kelak, masih menanti aneka pernik adaptasi. Bukan hanya dengan budaya sekitar, pemahaman keluarga suami terhadap muslim dan sejumlah perbedaan personal yang perlu dijembatani mengingat rata-rata kontributor saling mengenal melalui dunia maya pun harus dilalui seserius mungkin.

Dibandingkan Nikah Sama Bule, yang penyusun dan penerbitnya sama, saya lebih menyukai Jodoh dari Negeri Seberang. Dari segi judul, cenderung berkonotasi 'dewasa' karena tidak terlalu gaul. Klop dengan foto di kulit depannya yang indah, mengedepankan kecantikan cinta kala diikat di pelaminan dan menyatakan jelas bahwa kisah-kisah ini benar adanya. Masih dengan sisipan tips dan foto para kontributor beserta keluarga masing-masing, Jodoh dari Negeri Seberang enak dibaca lagi mengandung sejumlah pengetahuan yang dibutuhkan bagi Anda yang bersiap meniti dunia rumahtangga di rantau.

Ingin tahu di mana itu Comoro? Bagaimana mengharmoniskan diri dengan pasangan dari Turki? Bagaimana merenda hari-hari di Tokyo? Apakah pria asal Colombia memang semesra tokoh-tokoh sentral di telenovela? Cari tahu di buku ini.

10a.

[catcil] Apakah saya termasuk orang yang bahagia?

Posted by: "Nurhadi@tecsg.com.sg" Nurhadi@tecsg.com.sg

Mon Apr 6, 2009 8:32 pm (PDT)

http://hadynur.multiply.com/journal/item/49/Apakah_saya_termasuk_orang_yang_bahagia

Saya baru saja menerima pesan lewat personal message dari seorang kawan
lama. Pernah satu kampus meskipun beda jurusan. Meski sama-sama satu
angkatan, ternyata "tega-teganya" meninggalkan kampus duluan, maklumlah
otak saya ini tak seencer dia.

Tapi sejenak setelah membaca pesan, saya kaget bercampur sedih. Bagaimana
tidak? dia yang menurut persepsi saya sedang dalam kondisi "Bahagia
banget" justru berkeluh kesah tentang masa depan dan pekerjaanya.
Senyampang dari tulisannya, tergambar jelas jikalau dia ingin segera
keluar dari kantornya saat ini.

Berarti ia sedang tidak bahagia dong? Betul ! padahal jika dipikir-pikir
dengan logika awam, apa sih yang belum ia dapatkan saat ini. Gaji besar
(lebih dari cukup untuk hidup sangat layak di Surabaya), Jabatan oke
(meski baru masuk, namun posisinya memang didesain untuk mengisi jabatan
level management), rumah dinas ada, mobil dinas juga ada.....dst.

Tapi, yang menjadi pertanyaan besar buat kita :

Mengapa masih saja ia mengeluh? berarti ada something wrong disana?

Betul jika kemudian bahwa ukuran kebahagian tidak melulu soal : Harta,
Tahta dan Wanita (buat yang perempuan tentunya Pria). Tidak mesti mereka
yang memiliki banyak harta melimpah, deposito di bank milyaran, sawah
berhektar atau ternak melimpah otomatis bahagia. Tidak mesti orang yang
memiliki jabatan bagus merasakan bahagia. Tidak mesti juga seorang pria
yang beristri cantik setiap hari merasakan kenyamanan.

Sebenarnya, bahagian itu ada dimana-mana dan mudah didapatkan. Kuncinya
ada pada diri kita sendiri. Tanpa uang yang berlimpah pun kita bisa
bahagia. Tanpa mobil kita bahagia. Tanpa rumah gedung orang juga bisa
bahagia. Tak didesa, tak juga dikota.

Orang selalu bilang Money can buy house, but can't buy home.

Dengan jutaan rupiah kita bisa membeli rumah dengan segala macam
perabotnya, tetapi apakah ada jaminan dirumah tersebut ada kebahagian.

Orang bilang Money can buy bed, but can't buy sleep.

Mungkin kita bisa tidur dikasur empuk, bermerk dengan pegas super lentur,
namun boleh jadi penuh dengan kegelisahan.

Orang bilang Money can buy sex, but can't buy love.

Dengan beberapa lembar ratusan ribu, mungkin seseorang bisa menyalurkan
hasrat seksual dengan segera, tetapi tidak akan pernah akan mendapatkan
kasih sayang yang abadi. Jelas-jelas Alloh SWT berfirman dalam Al-qur'an
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."

Kini, mari kita hitung-hitung sebentar, dengan cara bagaimana kita bisa
membahagiakan diri kita sendiri?

Wassalam
Nurhadi

===============================
Inspirasional
http://hadynur.multiply.com
Email: hadynur@GMail.com
===============================
10b.

Re: [catcil] Apakah saya termasuk orang yang bahagia?

Posted by: "MIAU IMA" yory_2008@yahoo.com   yory_2008

Mon Apr 6, 2009 9:20 pm (PDT)

iya bener,

uang adalah salah satu sumber kebahagiaan, tapi uang bukan satu2nya sumber kebahagiaan

uang tidak bisa membeli kebahagiaan

http://mioariefiansyah.wordpress.com

--- On Tue, 7/4/09, Nurhadi@tecsg.com.sg <Nurhadi@tecsg.com.sg> wrote:

From: Nurhadi@tecsg.com.sg <Nurhadi@tecsg.com.sg>
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Apakah saya termasuk orang yang bahagia?
To: theprofec@yahoogroups.com
Cc: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Tuesday, 7 April, 2009, 10:12 AM

http://hadynur. multiply. com/journal/ item/49/Apakah_ saya_termasuk_ orang_yang_ bahagia

Saya baru saja menerima pesan lewat
personal message dari seorang kawan lama. Pernah satu kampus meskipun beda
jurusan. Meski sama-sama satu angkatan, ternyata "tega-teganya"
meninggalkan kampus duluan, maklumlah otak saya ini tak seencer dia.

Tapi sejenak setelah membaca pesan,
saya kaget bercampur sedih. Bagaimana tidak? dia yang menurut persepsi
saya sedang dalam kondisi "Bahagia banget" justru berkeluh kesah
tentang masa depan dan pekerjaanya. Senyampang dari tulisannya, tergambar
jelas jikalau dia  ingin segera keluar dari kantornya saat ini.

Berarti ia sedang tidak bahagia dong?
Betul ! padahal jika dipikir-pikir dengan logika awam, apa sih yang belum
ia dapatkan saat ini. Gaji besar (lebih dari cukup untuk hidup sangat layak
di Surabaya), Jabatan oke (meski baru masuk, namun posisinya memang didesain
untuk mengisi jabatan level management), rumah dinas ada, mobil dinas juga
ada.....dst.

Tapi, yang menjadi pertanyaan besar
buat kita :

Mengapa masih saja ia mengeluh? berarti
ada something wrong disana?

Betul jika kemudian bahwa ukuran kebahagian
tidak melulu soal : Harta, Tahta dan Wanita (buat yang perempuan tentunya
Pria). Tidak mesti mereka yang memiliki banyak harta melimpah, deposito
di bank milyaran, sawah berhektar atau ternak melimpah otomatis bahagia.
Tidak mesti orang yang memiliki jabatan bagus merasakan bahagia. Tidak
mesti juga seorang pria yang beristri cantik setiap hari merasakan kenyamanan.

Sebenarnya, bahagian itu ada dimana-mana
dan mudah didapatkan. Kuncinya ada pada diri kita sendiri. Tanpa uang yang
berlimpah pun kita bisa bahagia. Tanpa mobil kita bahagia. Tanpa rumah
gedung orang juga bisa bahagia. Tak didesa, tak juga dikota.

Orang selalu bilang Money can buy house,
but can't buy home.

Dengan jutaan rupiah kita bisa membeli
rumah dengan segala macam perabotnya, tetapi apakah ada jaminan dirumah
tersebut ada kebahagian.

Orang bilang Money can buy bed, but
can't buy sleep.

Mungkin kita bisa tidur dikasur empuk,
bermerk dengan pegas super lentur, namun boleh jadi penuh dengan kegelisahan.

Orang bilang Money can buy sex, but
can't buy love.

Dengan beberapa lembar ratusan ribu,
mungkin seseorang bisa menyalurkan hasrat seksual dengan segera, tetapi
tidak akan pernah akan mendapatkan kasih sayang yang abadi. Jelas-jelas
Alloh SWT berfirman dalam Al-qur'an "Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu
jalan yang buruk."

Kini, mari kita hitung-hitung sebentar,
dengan cara bagaimana kita bisa membahagiakan diri kita sendiri?

Wassalam

Nurhadi

============ ========= ========= =

Inspirasional

http://hadynur. multiply. com

Email: hadynur@GMail. com

============ ========= ========= =












Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
11.

(catcil) Pengaruh Lingkungan Pada Perilaku Anak

Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Apr 6, 2009 9:51 pm (PDT)

Pengaruh Lingkungan Pada Perilaku Anak

By: agussyafii

Bagi kami untuk anak-anak Amalia yang paling penting adalah membangun lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondusif dalam pola pembelajaran akan mendorong anak-anak lebih menghayati nilai-nilai kebaikan.

Nilai-nilai kebaikan dalam tindakan yang sepele seperti saling berbagi, saling menjelaskan untuk teman-temannya akan lebih mudah bagi anak-anak itu menciptakan pengaruh lingkungan yang positif.

seperti yang dikatakan oleh Dr. Ramadlan al-Qadzdzafi adalah menempati posisi lingkungan. Lingkungan adalah ruang di mana seseorang hidup, baik ruangan fisik, mental maupun spiritual. Lingkungan itu sendiri sebenarnya netral, tidak mempengaruhi apa-apa jika hanya dilalui sepintas kilas. Ia baru mempengaruhi manusia ketika menstimuli manusia secara berulang-ulang, terus menerus dalam waktu yang lama. Pengaruh lingkungan terhadap manusia bisa berupa membentuk atau mengubah tingkah laku, bisa positif bisa juga negatif bergantung kepada faktor-faktor apa yang relevan dengan kegiatan atau dengan perhatian manusia.

Manusia adalah makhluk sosial yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana ia berada. Seringkali pengaruh lingkungan itu sangat besar sehingga bukan hanya mengubah atau meluruskan, tetapi sampai mengalahkan tabiat asal seseorang. Hadits Nabi yang berbicara tentang fitrah manusia sejalan dengan pandangan tersebut. Sabda Baginda Rasul.

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Meskipun demikian, jika seseorang dalam merespons lingkungan itu tetap berpegang teguh kepada tuntutan agama dan taat kepada Allah SWT, maka orientasinya itu akan mengarahkan tingkah lakunya ke arah kebaikan dirinya, baik kebaikan di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya jika dalam merespons lingkungan itu ia mengikuti dorongan syahwat dan pikiran rendahnya, maka ia akan terbawa kepada tingkah laku yang mncelakakan dirinya, terutama jika dilihat dari ukuran orang beragama.

Jadi lingkungan tertentu mempersubur motif yang sudah ada dalam nafs manusia untuk memperoleh pemuasannya. Seseorang yang memiliki motif kepada kebaikan akan mudah terangsang untuk melakukan perbuatan baik jika lingkungan di mana ia hidup memberikan situasi yang kondusif untuk melakukannya. Jika lingkungan tidak kondusif untuk itu, maka motif kepada kebaikan itu mengendur atau tertekan. Selanjutnya motif baik yang sudah menguat mudah menggerakkan manusia untuk melaksanakan kebaikan.

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU) Minggu, tanggal 17 Mei 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek Peruri, RT 001 RW 09, Sud-Tim, Ciledug. TNG. Program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU)' mengajak. 'Mari, hindari penggunaan kantong plastik berlebihan, bawalah kantong belanja sendiri. Sebab Kantong plastik jenis polimer sintetik sulit terurai- Bila dibakar, menimbulkan senyawa dioksin yang membahayakan- Proses produksinya menimbulkan efek berbahaya bagi lingkungan.' Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Amalia Cinta Bumi' (ACIBU) melalui http://agussyafii.blogspot.com atau sms 087 8777 12431

12.

[Catcil] Hati Malaikat Sang Guru

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Mon Apr 6, 2009 10:47 pm (PDT)

*Hati Malaikat Sang Guru*

*Oleh Nursalam AR*

*�....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
dapat menambah umur kecuali amal kebaikan.� (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa�i dan
Ibnu Majah)*

�Berangkat, Bu?� sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang berjalan
tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
sebagai tongkat.

Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
guruku. Ibu guru spesialku.

Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah untuk
ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan juga
saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan hidupku,
sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
masih di bangku Sekolah Dasar.**

Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang pertama
yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas satu,
yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
memang amal kebaikan Bu Satimah � tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu �
yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai manusia
yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan tak
tertandingi.

*****

Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon
sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
kuyu dan penyakitan.

Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan sejak
masih seminggu setelah dilahirkan � dengan mencontoh Kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku � dengan menumpang,
karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku � terutama
agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.

Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit yang
mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus berjuang
keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada puluhan
pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya, aku
berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda agar
tak merepotkan orangtuaku lebih lama.

Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari biaya
ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12 anak
yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh suatu
kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.

Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus dikhitan.
Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi sepayah
tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu dan
rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
pasien kencing batu juga belum dikenal.

Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda pun
sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku �
seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam di
rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.

***

Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.

�Kamu harus tetap sekolah,� ujarnya padaku. �Salam harus ikut testing,� ia
tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang
kepala sekolah. �Meskipun testingnya di rumah.�

�Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?� tanya seorang guru
perempuan, dengan nada sinis.

Bu Satimah menatap tegar. �Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab.�

Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku tak
bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak yang
mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa � jika tidak
bisa dibilang mengherankan.

Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tak
relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.

Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku � yang hanya berpendidikan kelas 4
SD � punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya tetap
dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan
aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.

Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan yang
diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru seakan
bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu � dengan rambut ikal
pendeknya dan kacamata minusnya � bersiteguh dengan argumentasinya yang
cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur. Namun
hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I love
you!*

Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu
mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama pekan
testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
selepas jam sekolah.

�Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
percaya saja,� demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan
soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.

* *

*Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang �di luar kebiasaan� tersebut,
aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang bertambah
parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. *Bedrest*.
Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian � setelah menjalani operasi
pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat � aku melanjutkan ke kelas dua.
Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.

Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu � mungkin hingga kini -- mau
membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun belakangan,
setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya malaikatku.

Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya. Ditakar
dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku
bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati ibuku,
yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.

Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua
dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi, lagi-lagi
hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya � dan yang menjadi
para guruku di SD � memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.

Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang
malaikat penyelamatnya � yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.

�Sudah SMP kamu, Lam?� Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP
saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.

�Makin jangkung aja!� Ia tersenyum. �Belajar yang bener ya!� Ia
menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat berhati
emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun � dalam kenanganku �
nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.

Teramat sayang saat pertemuan itu � mungkin karena gumpalan perasaan yang
campur baur di hatiku � aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya �
setelah aku lama melupakannya � bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita tak
punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku, yang
merasa kikuk bukan kepalang.

Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,�Iya, Bu, kapan-kapan.� Aku lupa
mengucapkan �Insya Allah�. Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan airnya.

Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat itu
berada.

Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.

*Jakarta, 20 Februari 2009*

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb)
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
021-92727391 (esia)
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
13a.

[Catatan Kaki] -Tips Menulis- 7 Langkah Menulis Fiksi

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Mon Apr 6, 2009 10:53 pm (PDT)

*7 Langkah Menulis Fiksi*

*Oleh Nursalam AR*

* *

*Prolog*

*Good writing is purposeful; it says something and says it correctly.
Good writing has voice and energy.
Good writing is thoughtful and thought provoking.
Good writing communicates an important message clearly to intended audience.
Good writing expresses the writer self honestly and evokes a personal
response in the reader.*

*(Christopher C. Burnham) *

*Free writing* fiksi atau menulis bebas fiksi mensyaratkan pembebasan
kreativitas dengan menggali ke dalam diri kita sendiri (pengalaman, ide,
nostalgia dll) hingga menghasilkan *mission statement* di atas seperti yang
dituliskan C. Burnham. Intinya, dengan menjadi diri kita sendiri maka pintu
kreativitas akan terbuka lebar sehingga terbentuk energi alamiah kepenulisan
yang mengantarkan kita pada ciri-ciri tulisan yang baik. Hukum besi semesta
berkata bahwa sesuatu yang lahir dari hati akan sampai ke hati dan sebuah
ketulusan akan melumerkan kekerasan hati.

Di bawah ini langkah-langkah awal untuk menghasilkan sebuah tulisan fiksi
yang baik.

*Langkah 1. Menetapkan Niat: Mengapa Kita Menulis?*

�Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.� (John
Gardner dalam On Becoming A Novelist)

Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat
atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah *software
*dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan
segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau *ending*. Untuk apakah
kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (*trauma* *healing*)?
Dalam konteks *trauma* *healing*, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang
dalam novel *The Al Chemist* menyarankan agar kita menuliskan segala
kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan
melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna.

Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak
bangsa melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini
tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan.
Alhasil, meluncurlah dari guratan tangannya *Ayat-Ayat Cinta*�novel yang
laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar�maupun *Di Atas Sajadah
Cinta*, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah
TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar adalah
dwilogi *Ketika Cinta Bertasbih* yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP pada
2006 dan langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan!

Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Kawan-kawan
penulis�yang banyak saya temui--yang bermotivasi menulis semata-mata karena
materi pun umumnya banyak yang *mutung*, tidak lagi menulis setelah berbagai
penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan
orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding
kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa--seperti
wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra--menulis adalah
memberi.

Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis,
menjual�termasuk �menjual� tulisan--adalah melayani dan memberi. Keikhlasan
melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan
menimbulkan *market
demand *dalam bentuk* repeat order *(order yang berulang). Kelimpahan materi
adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis
yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.

Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo�salah satu sastrawan favorit
saya�dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis,
menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat. Seorang
Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika *Ayat-Ayat Cinta*�yang
royaltinya untuk *infaq* pesantren--akan laris manis hingga dicetak ulang
berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin
di Inggris pun tak pernah bermimpi jika *Harry Potter* akan mendunia padahal
semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH
Abdullah Syafi�ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70an,�*Nanem padi
rumput ikut; nanem rumput padi luput*.� Tujuan yang lebih dari �sekadar�
materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan
popularitas.

Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ
saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, �Walaupun
demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya.� Ya,
optimismelah�selain motivasi--yang juga membedakan ketangguhan seseorang,
termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari
kegagalan itu baru luar biasa?

*Langkah 2: Beternak Ide*

*�Uang hanyalah sebuah ide.� (Robert T. Kiyosaki)*

*Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama
saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks industri
kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri real estate
yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku *Rich Dad Poor Dad*-�ide harus
ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan ternak, ia harus dirawat,
dikembangbiakkan dan tak ayal dijual. Lihat saja fenomena novel *Ayat-Ayat
Cinta*-nya Habiburrahman El-Shirazy atau *Laskar Pelangi* karya Andrea
Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar.
Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak
yang merupakan aset tak ternilai.*

* *

*Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan,
didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda atau unta
untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana
penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan jalan
mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide. Gola Gong
melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide *Balada Si Roy* dan
*Perjalanan di Asia*. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam �
hingga konon ia terserang wasir�demi mengejar sang ide.*

* *

*Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku,
ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli
untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. **Intinya: ide harus ditangkap.
Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan
meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka
tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin � sang penemu arde alias
penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi kunci
besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah
keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba
sesuatu yang baru.*

* *

*Jurus Pertama: Kandangkan*

*Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes,
agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki.
Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak
saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,�Kereta yang ingkar janji�.
Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal
untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu bekas
akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama *Harry Potter* yang
bertahun-tahun menghipnotis dunia?*

* *

*Jurus Kedua: Beri makan*

*Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir,
tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. **Inilah
asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan bergizi
jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.*

*�Every man�s work, whether it be literature or music or pictures or
architecture or anything else, is always a portrait of himself.�(*Samuel
Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup
relevan jadi panduan. *�Ordinary people talk about people; mediocre people
talk about events and extraordinary people talk about ideas.�* Orang-orang
kelas bawah membicarakan orang, orang �orang kelas pertengahan membicarakan
peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide
atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan
ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas
tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi
penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi luar
biasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan hal-hal
kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.

* *

*Jurus Ketiga: Kembangbiakkan*

*Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura petarung
karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide
unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang
membentuknya. Dalam *How To Be A Smart Writer*,** Afifah Afra � penulis top
FLP dengan sederet novel *best seller* salah satunya novel sejarah *Javasche
Orange* dan *De Windst* � mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni �
yang saya istilahkan inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah
memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika
dalam dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin
sangat menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan
bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.*

* *

*Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda.
Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (*Snow White*). Cinderella
yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja
kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah
dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup
kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.*

* *

*Jurus Keempat: Jual*

*Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. �Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya,� demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh
motivator menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu
menuliskannya, ide tersebut dapat dijual ke seorang teman yang
menuliskannya. Soal hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan.
Dalam dunia sinetron sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal
eksekusi penggarapan diserahkan kepada tim penulis skenario. **Si penulis
sendiri mungkin hanya sekedar mensupervisi atau menjadi *head writer*. Itu
sekedar contoh. **Namun kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan
untuk menuliskannya sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah
susah-payah menebar benih dan merawatnya.*

* *

*Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah kita
punya nyali untuk beternak ide?*

* *

* *

*Langkah 3: Berbukalah Dengan Tiga Kata***

Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut
Abraham Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu.
Jika Anda ingin sekali mencurahkan isi hati, mendamba sangat untuk
menuangkan isi otak namun tangan kaku atau -- dalam istilah Taufik Ismail--
lumpuh menulis, hmm, barangkali secara tak sadar Anda sedang "berpuasa".
Otak Anda sedang rehat, menunggu waktu berbuka. Jiwa Anda menggelegak namun
tangan kelu beku di depan *keyboard *komputer atau pena terkulai loyo di
atas kertas. Jadi, marilah berbuka!

"Kak, gimana caranya?" seorang anggota baru FLP bertanya demikian.

Yang tidak bertanya atau malu bertanya, lebih banyak menerawang ke langit
atau menekuri bumi. Sebuah pemandangan umum yang saya temui dalam berbagai
pelatihan menulis mulai dari anak-anak buruh pelabuhan Tanjung Priok, siswa
SMA di sebuah kawasan elit, karyawan-karyawan sebuah departemen bahkan
hingga anggota baru sebuah komunitas kepenulisan (baca: Forum Lingkar Pena).
Mereka lupa bahwa ide harus dikejar, bukan dinanti seperti pasifnya menanti
kereta Jabotabek yang kerap telat. Mereka abai bahwa seorang Sean Connery--
dalam *cast*-nya sebagai seorang penulis dalam film *Finding Forrester* --
mendidik keras tentornya agar "menuliskan apa yang terlintas, bukan
memikirkan apa yang hendak ditulis". Namun, jika konsep itu kelewat mewah,
maka seperti berbuka puasa, awalilah dengan yang ringan. Jika berbuka
disunnahkan dengan kurma, maka berbukalah dari puasa menulis dengan tiga
kata.

"Caranya?" Mata-mata bingung itu menatapku tajam. Mungkin mereka kira saya
bercanda.

Apapun bentuk tulisan Anda, persetankan apapun kata kritikus nantinya,
"dobrak" kebekuan es dalam benak dengan menuliskan "tiga kata". Apapun kata
yang terlintas di benak Anda. Contoh: Apa yang Anda pikirkan saat membaca
tulisan ini? Sebut saja: *bingung,* *penasaran* dan *tak tahu*. Yup! Anda
sukses mencicipi "kurma". Apakah Anda biarkan kurma itu sekedar menempel di
bibir? Jangan puas hanya dengan merasakan teksturnya. Santap saja, Kawan!

Buatlah kalimat dari ketiga kata temuan tersebut. Tak peduli dari manapun
kata itu Anda pungut (apakah dari kelebatan rok mini cewek kantoran di depan
Anda, dari *headline* sebuah koran atau dari kelebatan iseng), tuliskan
saja. Misalnya, terciptalah, *"Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa
yang aku tak tahu untuk menulisnya."* Itu satu contoh. Terus, dan teruslah
menulis. sengawur apapun. Hingga, singkat cerita, terciptalah sebuah
paragraf pendek berikut:

"*Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak tahu untuk
menulisnya. Tapi aku tahu harus menulis apa. Karena aku penulis serba bisa.
Biarpun judulnya "Kecanggihan Teknologi IT" tapi aku tahu aku pasti bisa
menulisnya. Apapun itu..."*

*Langkah 4: Menentukan Judul*

Sahabat, buatlah judul yang membuat penasaran, *eye-catching*. Awali tulisan
kita dengan ledakan (*bang*), mengutip Ismail Marahimin dalam *Menulis
Secara Populer*. Ada prinsip kuno�dengan majas ironi�dalam jurnalisme: *Good
news is bad news, but bad news is good news*. Contoh klasiknya adalah berita
yang luar biasa bukanlah anjing menggigit orang tapi orang yang menggigit
anjing. Barangkali terkesan ngawur. Namun dalam konteks menarik perhatian
pembaca, pendekatan tersebut bisa kita pakai. Misalnya dalam pemilihan
judul. Seperti manusia, penampilan luar adalah hal penting. Dalam konteks
ini, maaf, kata mutiara *don�t judge the book by its cover* menjadi kurang
relevan.

Surat kabar nasional sejenis *Poskota* atau *Rakyat Merdeka* biasa memampang
judul yang provokatif seperti: "JANDA DIPERKOSA, RAIB 300 JUTA". Meskipun
kadang informasi tersebut hanya dibahas sekilas. Tapi intinya tonjolkan
kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan kita. Ini sah-sah saja dalam
dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi sebuah industri,
yang karib dengan pranata pemasaran (*marketing*) yang canggih.

Perlu diingat juga prinsip *marketing* yang kerap dikutip Zig
Ziglar�salesman mobil terlaris dalam sejarah--bahwa �orang membeli karena
didorong emosi". Coba pelajari emosi dasar apa sih yang memancing naluri
pembaca untuk membaca? Judul yang memancing naluri seksual (itulah alasan UU
Pornografi perlu disokong), SARA atau kebutuhan perut tentu lebih mengundang
perhatian ketimbang seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca
kita adalah ilmuwan, lain soalnya).

Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut
adalah *basic
needs* yang merupakan dasar piramida dalam *survival hierarchy*, sementara
kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida
yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan
keamanan terpenuhi. Lebih jauh judul juga perlu disesuaikan apakah kita akan
mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini
wajib hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.
*Langkah 5: Bermain Dialog dan Narasi*

Di sisi lain, ada adagium penulisan *don't tell it but just show it*. Jangan
cuma diceritakan tapi juga tunjukkan. Pelukisan kejadian atau tindakan dalam
sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap
saripatinya. Di sinilah dialog berperan. Karena dialog pun dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. Josiph Novakovich dalam *Berguru
kepada Sastrawan Dunia* (Mizan, 2003) mengatakan: �*Karena dialog
mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan Anda tidak
memberi kami informasi yang sepele dan tidak relevan. Hindari pendahuluan
yang realistis; buatlah ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk
ke dalam dialog�.Jangan tunjukkan semua contohnya, sajikan yang dramatis,
saat diperlukan saja, dan sajikan yang lainnya dalam bentuk ringkasan*."
(hal. 182-183).

Namun, terlalu banyak dialog, ujar Mohammad Diponegoro dalam *Yuk Menulis
Cerpen Yuk *(Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1991*)*, bisa bikin tulisan
terlalu encer. Jadi memainkan keduanya butuh nilai rasa, seperti memainkan
gas atau persneling ketika mengendarai motor atau mobil. Seperti masakan
pula, coba minta keluarga atau sahabat kita untuk �mencicipi� tulisan kita.
Apakah sudah *ganyeng *atau bumbunya sudah pas? Sudahkah mencapai efek yang
kita inginkan?

* *
*Langkah 6: Meniupkan Ruh Pada Sebuah Tulisan*

* *

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di Indonesia saat
ini. Yakni novel *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar Pelangi.*

* *

Novel *Ayat-Ayat Cinta* karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang
hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar
lebar, filmnya � meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya -- yang
digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang
menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya. Sementara
*Laskar Pelangi* karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain *
best-seller* nasional, dielu-elukan sebagai *The Indonesia�s Most Powerful
Book* di berbagai *talkshow* termasuk di layar kaca, *Laskar Pelangi* juga
akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat
kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.

Lebih mengagumkan lagi, *Laskar Pelangi* ditulis oleh Andrea Hirata yang
belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli Belitong
yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain yakni
*Sang Pemimpi, Edensor* dan *Maryamah Karpov*---yang secara keseluruhan
merupakan Tetralogi *Laskar Pelangi*. Habiburrahman yang santri Al Azhar
kelahiran Semarang juga membawa gerbong *Ketika Cinta Bertasbih 1 &
2*, *Pudarnya
Cinta Cleopatra*, *Di Bawah Mihrab Cinta *dan beberapa karya
*best-seller*lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya
mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu mengharubiru
jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?

Sekian banyak orang bersaksi bahwa *Ayat-Ayat Cinta* dan *Laskar
Pelangi*mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya
karya-karya
besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel *Uncle Tom�s
Cabin*buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi
semangat
perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam
atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh
tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya.
Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.

Ruh, jiwa atau *soul *sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi,
dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, *elan vital* (semangat) kontemplasi
dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini
barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong
mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping juga
ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: *
novelty* (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), *
similarity* (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan *
visionary* (memiliki pandangan jauh ke depan).

Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam
hukum Kekekalan Energi Newton�yang tak dapat musnah namun berubah
bentuk. Energi
dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang
penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam bentuk
inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria gadis-gadis berjilbab
untuk berfoto bersama Kang Abik �panggilan populer Habiburrahman dan
berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau tobat
totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata.
Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.

Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal
dari kata bahasa Arab, �*nur*� yang artinya �cahaya�. Hati adalah tempat
cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah
cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah
perkawinan kimiawi yang serasi.

Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat
sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti
jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari
�anak-anak� tulisan kita. Bahkan kita adalah �tuhan� atas segala tulisan
kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi
Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita
punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.

Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh energi.
Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang
alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau *soul*. Jika ia manusia, tulisan
semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai.
Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, *no one kick the dead dog*. Tidak
ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus�ada
yang--dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.

* *

*Langkah 7: Menjadi Epigon: Salahkah?*

* *

*�Yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri..*.�

*(John Cowper Powys)*

Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang
berada di depannya. Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan
seorang penulis lazim disebut *epigon*. Sebagaimana ekor yang takkan pernah
mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli
penulis yang ditirunya. Lantas salahkah menjadi epigon? Salahkah bila kita
meniru gaya bertutur JK Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan Mohammad?

Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Bayi
manusia belajar berbicara dengan mengamati dan menirukan suara-suara di
sekitarnya terlepas dari apapun penafsiran manusia dewasa akan hasil
peniruan sang bayi. Demikian juga dalam kepenulisan. Prinsip *copy the
master* adalah kelaziman�sebagian buku panduan menulis bahkan menyebutnya
�kewajiban��dalam tahap awal pembelajaran menulis. Sebagian penulis besar
Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku *Proses Kreatif*�dari
A.A Navis sampai Arswendo Atmowiloto�bahkan menerjemahkan prinsip tersebut
dengan menyalin atau mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka
untuk kemudian dibaca dan dibedah isi perutnya.

Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi.
Sebagai �bayi�, meniru atau mengimitasi adalah perlu. Tak perlu malu
menuruti George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric
Arthur Blair dan populer dengan novel *1984 *dan *Animal Farm,* yang
menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan
lugas agar pembaca terang dengan maksudnya. Karena, lanjutnya, musuh besar
bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud
sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling
pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi
menyemburkan tintanya. Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya
menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya. Juga tak
perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway�yang piawai dengan diksi
yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam
beberapa karyanya yakni *For Whom The Bells Toll* dan *The Oldman dan The
Sea*�bahwa cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita
adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.

Namun hidup manusia tak sekadar dan tak layak terhenti pada masa bayi atau
kanak-kanak. Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam
dongeng *Peter Pan* dengan peri Tinker Bell-nya. �Bayi� butuh menjadi
dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar
meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para
penulis terdahulu yang dikagumi. Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi
bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi. Dan gaya pengarang
tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah
menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan
dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Atau dalam bahasa
John Cowper Powys, �Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya
sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca
inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya.�
Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam *Jejak Langkah* yang merupakan
salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apapun cerita yang
dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.

Jadi, salahkah menjadi epigon?

*Maybe yes, maybe no*.

*Ya*, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan
sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil
dalam bayang-bayang orang-orang besar. Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi
dalam *Sastra dan Tekniknya*, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu
dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan
menulis. Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena
ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula
tidak akan berhasil menjadi pengarang. Sang *epigon primitif* ini tak akan
pernah mengungguli para pengarang aslinya.

*Tidak*, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan
yang entah sekian tahun lamanya itu sekadar sebagai masa *pendadaran*, masa
awal pembelajaran yang tentu saja waktunya pun tidak mungkin selamanya.
Anggap saja fase menjadi epigon itu sekadar fase ketika kita mulai menaiki
bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang
lebih luas. Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap keberanian
kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti
bebasnya ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika
terputus dari tubuh inangnya. Jika kita berani mandiri seperti�sebuah contoh
yang sangat minimalis--ekor cecak maka kita adalah para *epigon
kreatif*yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana berhaknya
bayi tumbuh
gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.

Sayap-sayap keberanian itu sendiri tak mungkin tumbuh tanpa--dalam formula
untuk menjadi pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner�99%
disiplin dan 99% kerja. �Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para
pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu
sendiri,� pesan sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis ini.

*Epilog*

Sahabat, demikianlah ketujuh langkah awal *free writing* fiksi. Ini hanyalah
rangkuman bebas dan bukan sebuah dogma yang wajib diimani. Karena tak ada
salah dan benar dalam teori kreatif sastra. Namun tak ada salahnya belajar
dari perasan ilmu pengetahuan, pengalaman dan penelitian orang lain
bukan? Karena
kita semua,tak kenal penulis yunior atau senior, sejatinya adalah
pembelajar. Maka bebaskan diri untuk terus belajar dan nikmati proses jatuh
bangun dalam kepenulisan dengan berbekalkan dua kata: *Tetap Semangat!*

Semoga bermanfaat.

*Situs penulisan yang direkomendasikan*

www.rumahdunia.net, situs resmi milik komunitas Rumah Dunia asuhan Gola Gong

www.penulislepas.com, situs kepenulisan milik komunitas Penulislepas.com

www.rayakultura.net, situs kepenulisan asuhan Naning Pranoto, seorang
pengarang senior

*Buku kepenulisan yang direkomendasikan*

*How To be A Smart Writer* karya Afifah Afra

*Menulis Itu Gampang* karya Arswendo Atmowiloto

*Yuk, Menulis Cerpen Yuk* karya Muhammad Diponegoro

*Teknik Mengarang* karya Mochtar Lubis

*Sastra dan Tekniknya* karya Mochtar Lubis

*Proses Kreatif* karya Pamusuk Erneste

*Berguru Kepada Sastrawan Dunia* karya Josiph Novakovich

*Menulis Secara Populer* karya Ismail Marahimin

* *

* *

* *

* *

* *

* *

* *

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb)
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
021-92727391 (esia)
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
13b.

Re: [Catatan Kaki] -Tips Menulis- 7 Langkah Menulis Fiksi

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Mon Apr 6, 2009 11:53 pm (PDT)


Mas Nur,

Tips menulis non-fiski ada nggak? (hehe..lumayan, itung-itung ikut pelatihan menulis gratis)
makasih banget tips-nya.
Sebagai penulis jadi-jadian, diriku memang membutuhkan berbagai tutorial yang memberikan pencerahan seperti tulisan ini.

~sky~

----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.0.238 / Virus Database: 270.11.44/2044 - Release Date: 04/06/09 18:59:00
14a.

[Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKIH JURNALISTIK – E

Posted by: "novi khansa'" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Mon Apr 6, 2009 11:43 pm (PDT)



Selamat ya Bapak Faris

ayo-ayo ramaikan lagi ESKA :)

============================

FIKIH JURNALISTIK – Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam.   Kata Pengantar: HM. Said Budairy   Endorsment beberapa tokoh:   "Sebuah
karya unik tentang dua disiplin keilmuan yang terlihat berjauhan, namun
dapat dipadukan secara menarik oleh penulis. Pemahamannya yang mendalam
tentang syari'ah dan pengalamannya sebagai jurnalis menjadi modal besar
karya tulis ini."   Prof Dr Moh Ali Aziz, M.Ag. Guru Besar Ilmu Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya     "Bahasan
tentang berbagai aturan dan etika media ini menarik karena mengambil
sudut pandang berbeda, dan baru pertamakalinya digunakan oleh pengamat
dan penulis media massa. Berbagai contoh yang disajikan, dari isu
pornografi hingga ghibah, kabar bohong, dan amplop
wartawan, membuat kajian ini terasa berpijak ke bumi, karena hal-hal
itu kita hadapi dan kita alami sehari-hari."   Sirikit Syah Pendiri dan Aktivis Lembaga Konsumen Media (Media Watch)     "Buku
ini intinya menjelaskan bahwa nilai-nilai universal seperti kejujuran
(dalam konteks ini kejujuran dalam menyajikan fakta peristiwa oleh
wartawan) adalah selaras dengan Islam. Penulis sekaligus mengkritisi
praktik pers umum yang bebas nilai dalam menjalankan kebebasan pers."   Dr Muhammad Baharun  Mantan Wartawan Tempo dan Pemateri Diklat Jurnalistik     "Sebuah
upaya terpuji dari seorang yang memahami, sekaligus pelaku, agar karya
jurnalistik sesuai dengan tuntunan Allah. Penulis dapat menyajikannya
secara akurat, obyektif, komparatif, dan aplikatif."   KH Abdurrahman Navis Wakil Katib Syuriah PWNU dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim   "Buku ini tak hanya menjelaskan tentang pentingnya dakwah bil qalam
bagi kaum Muslimin, tapi juga memberikan batasan mana yang 'halal' dan
'haram' dalam dunia jurnalistik. Dalam kondisi dunia pers yang kini
sering kehilangan kendali, buku ini layak jadi panduan."   Hepi Andi Bastoni Pemimpin Redaksi Majalah al-Mujtama'  

http://fariskhoirulanam.multiply.com/journal/item/70/Alhamdulillah_buku_FIkih_Jurnalistik_saya_akhirnya_terbit_?replies_read=3

novi_khansa'kreatif
~Graphic Design 4 Publishing~
YM : novi_ningsih
http://akunovi.multiply.com
http://novikhansa.rezaervani.com/

14b.

Re: [Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKIH JURNALISTIK " Etik

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Mon Apr 6, 2009 11:51 pm (PDT)

selamat sekali lagi, bapak Faris...
beneran tertarik pengen beli, nih :D

kok MPnya jadi ga bisa di-klik, ya

Yo, wes pokoe kunjungi aja

http://fariskhoirulanam.multiply.com

http://fariskhoirulanam.multiply.com/journal/item/70/Alhamdulillah_buku_FIkih_Jurnalistik_saya_akhirnya_terbit

-- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, novi khansa' <novi_ningsih@...> wrote:
>
>
>
>
>
> Selamat ya Bapak Faris
>
> ayo-ayo ramaikan lagi ESKA :)
>
>
> ============================
>
> FIKIH JURNALISTIK Ć¢€" Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam. Ƃ Kata Pengantar: HM. Said Budairy Ƃ Endorsment beberapa tokoh: Ƃ Ć¢€œSebuah
> karya unik tentang dua disiplin keilmuan yang terlihat berjauhan, namun
> dapat dipadukan secara menarik oleh penulis. Pemahamannya yang mendalam
> tentang syariĆ¢€™ah dan pengalamannya sebagai jurnalis menjadi modal besar
> karya tulis ini.Ć¢€ Ƃ Prof Dr Moh Ali Aziz, M.Ag. Guru Besar Ilmu Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya Ƃ Ƃ Ć¢€œBahasan
> tentang berbagai aturan dan etika media ini menarik karena mengambil
> sudut pandang berbeda, dan baru pertamakalinya digunakan oleh pengamat
> dan penulis media massa. Berbagai contoh yang disajikan, dari isu
> pornografi hingga ghibah, kabar bohong, dan amplop
> wartawan, membuat kajian ini terasa berpijak ke bumi, karena hal-hal
> itu kita hadapi dan kita alami sehari-hari.Ć¢€ Ƃ Sirikit Syah Pendiri dan Aktivis Lembaga Konsumen Media (Media Watch) Ƃ Ƃ Ć¢€œBuku
> ini intinya menjelaskan bahwa nilai-nilai universal seperti kejujuran
> (dalam konteks ini kejujuran dalam menyajikan fakta peristiwa oleh
> wartawan) adalah selaras dengan Islam. Penulis sekaligus mengkritisi
> praktik pers umum yang bebas nilai dalam menjalankan kebebasan pers.Ć¢€ Ƃ Dr Muhammad Baharun Ƃ Mantan Wartawan Tempo dan Pemateri Diklat Jurnalistik Ƃ Ƃ Ć¢€œSebuah
> upaya terpuji dari seorang yang memahami, sekaligus pelaku, agar karya
> jurnalistik sesuai dengan tuntunan Allah. Penulis dapat menyajikannya
> secara akurat, obyektif, komparatif, dan aplikatif.Ć¢€ Ƃ KH Abdurrahman Navis Wakil Katib Syuriah PWNU dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim Ƃ Ć¢€œBuku ini tak hanya menjelaskan tentang pentingnya dakwah bil qalam
> bagi kaum Muslimin, tapi juga memberikan batasan mana yang Ć¢€˜halalĆ¢€™ dan
> Ć¢€˜haramĆ¢€™ dalam dunia jurnalistik. Dalam kondisi dunia pers yang kini
> sering kehilangan kendali, buku ini layak jadi panduan.Ć¢€ Ƃ Hepi Andi Bastoni Pemimpin Redaksi Majalah al-MujtamaĆ¢€™ Ƃ
>
>
>
>
>
>
>
>
> http://fariskhoirulanam.multiply.com/journal/item/70/Alhamdulillah_buku_FIkih_Jurnalistik_saya_akhirnya_terbit_?replies_read=3
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> novi_khansa'kreatif
> ~Graphic Design 4 Publishing~
> YM : novi_ningsih
> http://akunovi.multiply.com
> http://novikhansa.rezaervani.com/
>

14c.

Re: [sekolah-kehidupan] [Lonceng] Buku Baru Faris Khoirul Anam [FIKI

Posted by: "ugik madyo" ugikmadyo@gmail.com   sinkzuee

Tue Apr 7, 2009 12:30 am (PDT)

Selamat ya Ris...
Ditunggu...
bagi-bagi ilmunya ya....

Ugik Madyo
http://ugik.multiply.com
http://ruanghijau.blogspot.com

2009/4/7 novi khansa' <novi_ningsih@yahoo.com>

>
>
>
>
> Selamat ya Bapak Faris
>
> ayo-ayo ramaikan lagi ESKA :)
>
>
> ============================
>
> *FIKIH JURNALISTIK � Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam.*
> .
>
>
>
15.

(catcil) Belajar Sholat

Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Apr 6, 2009 11:54 pm (PDT)

Belajar Sholat

By: agussyafii

Belajar bagi anak-anak Amalia itu menyenangkan dan membahagiakan. Seperti belajar sholat, bukan hanya memahami bagaimana cara sholat yang benar tapi juga tujuan sholat itu untuk apa.

Kalau ditanya kepada anak-anak Amalia, sholat itu untuk apa? jawabannya pasti beragam, ada yang menjawab untuk menjalankan ibadah kepada Alloh SWT, ada yang menjawab untuk masuk surga bahkan ada juga yang sholat agar tidak diomelin orang tua. Itulah jawaban anak-anak Amalia penuh keceriaan dan kegembiraan.

Pada hari Jumat malam lalu anak-anak Amalia mendapatkan tugas untuk mencari jawaban, apa arti sholat? bagaimana cara sholat? mengapa kita sholat (tujuan sholat)?

Setelah dibagi perkelompok kami berdiskusi bersama. Diskusi kami menjadi ramai, setelah kami memberikan kesimpulan bersama, kami juga praktek sholat Isya' berjamaah.

Kesimpulan anak-anak Amalia dari diskusi kami tentang sholat adalah sebagai berikut. Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti : do'a. Cara sholat yang benar, diawali dengan niat diakhiri dengan salam sebagaimana diajarkan Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda, Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya. (HR Bukhari-Muslim). Mengapa sholat? Untuk Menjalankan Perintah Alloh SWT agar masuk surga.

Wasssalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU) Minggu, tanggal 17 Mei 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek Peruri, RT 001 RW 09, Sud-Tim, Ciledug. TNG. Program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU)' mengajak. 'Mari, hindari penggunaan kantong plastik berlebihan, bawalah kantong belanja sendiri. Sebab Kantong plastik jenis polimer sintetik sulit terurai- Bila dibakar, menimbulkan senyawa dioksin yang membahayakan- Proses produksinya menimbulkan efek berbahaya bagi lingkungan.' Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Amalia Cinta Bumi' (ACIBU) melalui http://agussyafii.blogspot.com atau sms 087 8777 12431

16a.

[prestasi] Cerpen-cerpen gagal tayang

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Tue Apr 7, 2009 12:08 am (PDT)

Atas rekomendasi Mba Achi, dua bulan lalu aku coba kirim beberapa cerpenku ke http://ilmuiman.net. Setelah dua bulan ngendon, baru deh tayang. Ni dia link-nya:

http://ilmuiman.net/story/kisah800.php?E=Testing&FN=SKylashtar/AkuBukanPilihan.web

http://ilmuiman.net/story/kisah800.php?E=Testing&FN=SKylashtar/KokBisaSih.web

http://ilmuiman.net/story/kisah800.php?E=Testing&FN=SKylashtar/RemahKemukus.web

http://ilmuiman.net/story/kisah800.php?E=Testing&FN=SKylashtar/Ungu.web

cerpen-cerpen ini sebenarnya bukan cerpen baru, melainkan cerpen-cerpen yang gagal tayang di Annida dan Gadis beberapa tahun lalu.
Aku coba kirim ke http://ilmuiman.net, dan alhamdulillah tayang.

Ps: hatur nuhun Mba Achi atas info yang dikau share

~Sky~
16b.

Re: [prestasi] Cerpen-cerpen gagal tayang

Posted by: "hariyanty thahir" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Apr 7, 2009 12:47 am (PDT)

Selamat ya teh ....
smoga terus menghasilkan karya yg luar biasa ^_^

salam
anty

17.

Jurnalisme

Posted by: "may.ya55" may.ya55@yahoo.com   may.ya55

Tue Apr 7, 2009 1:10 am (PDT)


Kepada siapa rakyat kecil sekarang ini bisa mengeluh?, walaupun mereka
ngomong sampai berbuih sekalipun jangan harap ada yang mau mendengarkan
suara mereka. Suara mereka terlalu kecil dan tidak berarti sehingga
tidak akan pernah bisa mendapatkan perhatian. Sarana mereka
satu-satunya ialah demo di depan kantor permerintah dengan risiko
digebukin oleh aparat.

Mas media baru tertarik untuk memberitakannya, apabila pada saat demo
tersebut, terjadi huru-hara. Sudah bertahun-tahun lamanya kita
mencanangkan Indonesia sebagai negara reformasi, tetapi kenyataannya
budaya yang berlaku tetap saja budaya "Sungkem dan Bungkem" seperti
ketika jaman VOC.

Memang harus diakui bahwa di Indonesia sekarang ini sudah banyak sekali
media, mulai dari media cetak sampai dengan media elektronik, Radio, TV
maupun koran online, tetapi jawablah dengan jujur, apakah tulisan wong
kecil disana bisa dijadikan berita?

Kalau bisa ditayangkan sebagai surat atau komentar pembaca saja sudah
bagus. Masalahnya berita yang ditayangkan di media utama (mainstream)
hanya ditulis oleh para wartawan profesional atau para tokoh politik.
Disamping itu di media utama: Redaksi dan para Editornya yang mendikte
dan menentukan berita apa saja yang sebaiknya diketahui atau tidak
diketahui oleh publik.

Di koran mainstream manapun juga redaksi dan editor yang menentukan
berita apa saja yang harus dimuat. Pemilihan berita pada umumnya bukan
mencerminkan kepentingan publik, melainkan kepentingan bisnis, politik
maupun pemodal, disamping itu juga karena adanya keterbatasan space.
Atau dengan kata lain, sangat subyektif

Jurnalisme mainstream (jurnalisme resmi) di mana-mana telah kehilangan
landasan filosofis sehingga dengan mudah mereka mendiktekan apa saja
yang sebaiknya diketahui atau tidak diketahui oleh publik. Yang
dicorongkan disana bukannya suara atau inspirasi rakyat murni melainkan
suara redaksi dan sang pemilik modal.

Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Mom Power

Discover doing more

for your family

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Love cars? Check out the

Auto Enthusiast Zone

Yahoo! Groups

Stay healthy

and discover other

people who can help.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: