Jumat, 31 Juli 2009

[FISIKA] Digest Number 2809

Messages In This Digest (2 Messages)

Messages

1.

TANYA SIMULINK MATLAB...PLEASE....TINGGAL DIKIT TA SELESAI....PLEASE

Posted by: "rio setiawan" rio_usil@yahoo.com   rio_usil

Thu Jul 30, 2009 9:38 am (PDT)



Siapa saja yang merasa bisa program simulasi dengan simulink matlab, saya mohon bantuannya? Pusing banget nih...TA aku macet....sebelumnya saya ucapkan trima kasih atas perhatiannya...

Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer
2a.

Re: dualisme cahaya

Posted by: "gerry fisika" gerry_fizika@yahoo.com   gerry_fizika

Fri Jul 31, 2009 6:10 am (PDT)



m: IqRo physics <iqro_physics@yahoo.com>
To: 2 2 <fisika_indonesia@yahoogroups.com>
Sent: Wednesday, July 29, 2009 12:23:30 AM
Subject: [FISIKA] dualisme cahaya

salam....

sayah baru ngointrak mata kuliah fisika modern. disana dipelajari klo cahay itu mempunyai sifa dualisme; gelombang-partikel.
saya masih bingung, pada saat kapan cahaya bersifat gelombang dan pada saat kapan bersifat partikel. dapat kah kedua sifat itu muncul bersamaan??? ?

trimz...


Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Finance

It's Now Personal

Guides, news,

advice & more.

Yahoo! Groups

Mental Health Zone

Schizophrenia groups

Find support

Get in Shape

on Yahoo! Groups

Find a buddy

and lose weight.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
===============================================================
**  Arsip          : http://members.tripod.com/~fisika/
**  Ingin Berhenti : silahkan mengirim email kosong ke :
                     <fisika_indonesia-unsubscribe@yahoogroups.com>
===============================================================

[dapurbunda] Digest Number 4122

Messages In This Digest (2 Messages)

1a.
tepung From: abdul rahman
1b.
Re: tepung From: femmy_jaco

Messages

1a.

tepung

Posted by: "abdul rahman" abdulrahman_online@yahoo.co.id   abdulrahman_online

Thu Jul 30, 2009 5:08 pm (PDT)




bunda, kalo tepung terigu dan tepung ketan item yg disimpan di kulkas masih bisa digunakan untuk pembuatan cake gak yah... ? ada tips nya gak... ? 
terima kasih,
nani

Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer
1b.

Re: tepung

Posted by: "femmy_jaco" femmy_jaco@yahoo.com   femmy_jaco

Thu Jul 30, 2009 9:50 pm (PDT)



mbak Nani,

Setahuku penyimpanan tepung disarankan di suhu ruang saja, jangan langsung di atas lantai (kalau mau tahan lama). Kalau ditaruh di kulkas tepung akan basah, tp kalau sudah terlanjur simpan di kulkas, dikeluarkan saja terus dijemur supaya kering kembali. Kalau tidak berbau dan tidak berubah warna, masih ok kok untuk dibuat cake.

Mudah2an membantu.

femmy

--- In dapurbunda@yahoogroups.com, abdul rahman <abdulrahman_online@...> wrote:
>
>
> bunda, kalo tepung terigu dan tepung ketan item yg disimpan di kulkas masih bisa digunakan untuk pembuatan cake gak yah... ? ada tips nya gak... ? 
> terima kasih,
> nani
>
>
> Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini!
> http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer
>

Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Discover Car Groups

Auto Enthusiast Zone

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web


[daarut-tauhiid] Untuk Suami-suami: Bila Istri Cerewet :)

 

Siang ini aku menerima email dari sahabat lama. Awalnya pas baca
judulnya, heh apa maksudnya nih, mo nyindir gue,hehe... Kemudian baca
kalimat pembukanya yaitu "De, ini ada tulisan bagus, nanti klo suamimu
sudah mulai sering menghela nafas denger cerewetannya kamu, kamu kasih
aja tulisan ini ya. Tulisan ini berguna banget, buat si cerewet yang
suka memberikan pembenaran diri"... heh maksud lo a'? hehe.

Tapi bener tulisannya bagus buat para istri ataupun yang masih calon, buat para suami ataupun yang masih calon. Nih baca ya:

Adakah istri yang tidak cerewet? Sulit menemukannya. Bahkan istri Khalifah sekaliber Umar bin Khatab pun sama.

Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar
bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan
kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki
itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel,
marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar.
Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar
diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki
itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.

Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun
lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa ia hanya
mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun?

Umar berdiam diri karena ingat 5 hal. Istrinya berperan sebagai BP4. Apakah BP4 tersebut?

1. Benteng Penjaga Api Neraka

Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan
pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya,
membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat
darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang
raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat.

Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi
laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah
istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab
yang kelak diterimanya Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan
akhirat.

Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran
api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari
liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari,
bernyanyi dengan liuka yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke
langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu
istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.

2. Pemelihara Rumah

Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai mejelang
malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan
terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan
uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga,
memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan
darah tak menguap sia-sia Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama
24 jam, tanpa bayaran.

Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan
penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang
sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara
rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul akan hal
itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena
(mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari
semakin membebani.

3. Penjaga Penampilan

Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi
berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar.
Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata
busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa yang
pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada
yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri.
Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu

4. Pengasuh Anak-anak

Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan
bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang
menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas
agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan
pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas
membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang
membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan
tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar paham benar akan hal itu.

5. Penyedia Hidangan

Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras,
beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi.
Di meja makan suami Cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur
asam, sambal terasi danlalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam
melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi
anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan
memilah-milih cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran
bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun
terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri
si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik
untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci
suami.

Dengan mengingat lima peran ini, Umar kerap diam setiap istrinya
ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah
tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api
neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak,
menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri,
tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela
dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya,
barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga
tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.

Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini. Ia tak
hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi
keluarganya.











Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Check out the

Y! Groups blog

Stay up to speed

on all things Groups!

Cat Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about cats.

Yahoo! Groups

Mom Power

Discover doing more

for your family

.

__,_._,___

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2750

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (5 Messages)

Messages

1.

Re: [Kelana] Menyapa Singapura => mbak indar

Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com   octavialia

Thu Jul 30, 2009 10:07 pm (PDT)



hehehe... alhamdulillah...thanks ya..
sudah dikirim ke milis tetangga juga, mbak indar ^_^

iyah insya Allah oleh-oleh ceritanya akan menyusul... thanks ^_^

salam
lia
2009/7/31 patisayang <patisayang@yahoo.com>

>
>
> Wik, Mbak Lia, keren... kapan ya aku bisa jalan2 ke LN juga. Udah dikirim
> ke milist tetangga Mbak?
>
> Kalau sempat, kami tunggu cerita selengkapnya ya. Thanks!
>
> salam,
> Indar
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> galih@... wrote:
> >
> > Novi tunggu cerita apa nunggu oleh-olehnya....?
> > Hayo ngaku...?
> >
> > Mba Lia, kok aku baru tau yah kala dirimu ke Singapura??
> > *WING*
> >
> >
> >
> >
> >
> > "novi_ningsih" <novi_ningsih@...>
> > Sent by: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>
> > 07/30/2009 10:39 AM
> > Please respond to
> > sekolah-kehidupan@yahoogroups.com <sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>
> >
> >
> > To
> > sekolah-kehidupan@yahoogroups.com <sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>
> > cc
> >
> > Subject
> > [sekolah-kehidupan] Re: [Kelana] Menyapa Singapura
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > menyapamu mbak Lia :)
> > tfs udah berbagi cerita perjalanannya
> > aku masih menunggu cerita-cerita lainnya lagi :)
> >
> > pasti seru, ya, mbak :)
> >
> > salam
> >
> > Novi
> >
> > -- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Lia Octavia <liaoctavia@>
> > wrote:
> > >
> > > *Menyapa Singapura*
> > >
> > > *Oleh Lia Octavia*
> > >
> > >
> > >
> > > Menyapamu Singapura, adalah rangkaian asa dan cinta yang
> > > terserak di balik tiket sebuah penerbangan asing yang telah kudapatkan
> > sejak
>
>
>
2a.

Re: [catatankaki] Kehilangan Pena

Posted by: "ifan yudianto" ifanxlv@yahoo.com   ifanxlv

Thu Jul 30, 2009 11:30 pm (PDT)




wah penanya tuh aku paksa tuk dihilangkan..
he he
thx komennya
--- On Thu, 7/30/09, abdul azis <abdul_azis80@yahoo.com> wrote:

From: abdul azis <abdul_azis80@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [catatankaki] Kehilangan Pena
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Thursday, July 30, 2009, 2:10 AM

 

Sahabat...Hilang itu Biasa...
Menghilangkan itu yang Nggak Biasa...

Semua makhluk akan kehilangan banyak hal...
Tinggal bagaimana sikap kita menyikapi kehilangan itu...

Note : saya punya pena dua, mau dipinjamkan?

~seorang ayah~
www.abdulazis. com

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, ifan yudianto <ifanxlv@... > wrote:
>
> Lantunan lagu terasa syahdu. Menemani sang pemilik jiwa pilu. Menenangkan semangat buta, mengakhiri pemberontakan kata.
>
> Demikianlah, aku tengah kehilangan pena, berupa raga tuk bergelut dengan rasa cinta akan sebuah cerita..
>
> Di tempatku terbaring, seakan jendela antar demensi terbentang, sampai bisa kulihat kalian menari-nari di atas awan. Menikmati keindahan ragam alam, melukis warna pelangi dan menggapai bintang dengan tinta di laut hitam
> ..
> ..
> Tertegun aku hingga tak mampu berucap. Tentang kerinduan akan..
> ..
> ..sesuatu yang terpaksa dihilangkan!
>

2b.

Re: [catatankaki] Kehilangan Pena

Posted by: "ifan yudianto" ifanxlv@yahoo.com   ifanxlv

Thu Jul 30, 2009 11:30 pm (PDT)



thanksssssssss

--- On Thu, 7/30/09, fil_ardy <fil_ardy@yahoo.com> wrote:

From: fil_ardy <fil_ardy@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [catatankaki] Kehilangan Pena
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Thursday, July 30, 2009, 2:02 AM

 

Ho oh, bagus2
mendayu2 dan melanutkan jiwa
cieeeeh :)

Wah kalo agak panjang tulisannya
akan lebih nyaman menikmatinya.
Kalo pendek gini kan jadi ngegantung
brow :)

Well, ditunggu tulisan2 yang lainnya
semoga pena yang hilang segera ditemukan

DANI

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, ifan yudianto <ifanxlv@... > wrote:
>
> Lantunan lagu terasa syahdu. Menemani sang pemilik jiwa pilu. Menenangkan semangat buta, mengakhiri pemberontakan kata.
>
> Demikianlah, aku tengah kehilangan pena, berupa raga tuk bergelut dengan rasa cinta akan sebuah cerita..
>
> Di tempatku terbaring, seakan jendela antar demensi terbentang, sampai bisa kulihat kalian menari-nari di atas awan. Menikmati keindahan ragam alam, melukis warna pelangi dan menggapai bintang dengan tinta di laut hitam
> ..
> ..
> Tertegun aku hingga tak mampu berucap. Tentang kerinduan akan..
> ..
> ..sesuatu yang terpaksa dihilangkan!
>

3.

[sharing] ROMANSA TIGA DASAWARSA

Posted by: "lia indriati" liaindriati@gmail.com

Fri Jul 31, 2009 2:00 am (PDT)



Lia Indriati
Ciomas Hills Kav. A 5 No. 47 Bogor
www.tokobogor.com

*ROMANSA TIGA DASAWARSA
**1<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote1sym>
**]*

*Oleh: Lia Indriati
**2<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote2sym>
*

*Minggu, **1 Maret 2009*

Tepat tiga puluh tahun silam, teras rumah mungil dimana sore ini aku duduk
santai di kursi malas menjadi penanda tapak perjalanan dalam melabuhkan
pengabdianku sebagai guru di Sukadana. Sebuah desa terpencil di Wilayah
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Tanpa terasa waktu bergulir demikian kencang. Tiga puluh tahun serasa baru
kemarin dijalani. Menorehkan catatan pengalaman dalam lembar sejarah
kehidupan. Menjadi mosaik indah yang senantiasa membayang. Selaksa suka dan
duka silih berganti menghampiri. Semua terekam rapih dalam ingatan yang tak
mungkin terhapus. Banyak yang membangkitkan kenangan gembira. Namun juga
diantaranya mengungkit kembali nelangsa yang sekian lama mengendap dalam
memori ingatan.

Semuanya kini menjadi bayang-bayang kisah masa lalu yang menghantarkanku
mengarungi semua tantangan, celaan, bahkan fitnah yang pernah mendera
kehidupanku.

Seolah semuanya kejadian baru kemarin dilewati. Semuanya masih terekam
gamblang di pelupuk mata.

* * * * *

Sepatu hitam yang kukenakan mulai kusam makin terlihat lusuh. Sisa lumpur
yang mengering menempel di bagian bawah. Setelah dipakai berjalan hampir
satu jam lamanya. Kini aku berhenti di tubir sungai. Sementara di seberang
nampak beberapa rumah. Sebuah desa yang menjadi tujuan akhir perjalananku
menembus jalan setapak yang becek sisa hujan semalam.

Desa di seberang sungai itu namanya Desa Salakaria, Kecamatan Rajadesa.
Sebuah tempat yang sebentar lagi menjadi tempatku memulai peran baruku
setelah lulus sekolah. Menjadi guru.

Menjadi guru?

Ya, menjadi guru!

Di desa yang terpencil?

Inilah yang tak terbayangkan sebelumnya!

Tak pernah terlintas di benakku kalau aku akhirnya menjadi guru. Tak pernah
terbersit dalam benakku menjadi guru. Karena impianku tentang masa depan
adalah menjadi pegawai sebuah bank. Yang lebih menjanjikan. Makanya guru
tidak masuk daftar dalam cita-citaku.

Namun pada akhirnya aku terbentur kenyataan. Bahwa kondisi ekonomi orang
tuaku tak memungkinkan aku untuk mengejar impianku. Bapakku hanyalah veteran
tentara yang lantas bekerja menjadi sekretaris desa. Dengan kondisi ekonomi
yang dikatakan jauh dari berada. Rasanya mustahil bagi orang tuaku untuk
membiayaku sekolahku ditingkat lanjutan seperti yang kuimpikan.

Apalagi aku terlahir dari keluarga besar. Nomer lima dari tujuh bersaudara.
Dengan jumlah tanggungan sedemikian banyak, tentunya hidup kami yang sangat
sederhana kian menerbitkan rasa nelangsa kalau harus menggantungkan harapan
yang rasanya sangat *rekasa* untuk diraih.

Akhirnya aku harus berdamai dengan kenyataan. Dengan sadar mengubur impian
menjadi pegawai bank. Meski terasa pahit, aku memang harus memupus harapan
untuk kuliah di jurusan perbankan.

Apalagi kemampuan orang tuaku hanya sebatas membiayai pendidikan setahun
tingkat diploma, atau D1 PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) di
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (sekarang bernama Universitas
Pendidikan Indonesia atau UPI).

Rasanya membosankan belajar pada jurusan yang tak disukai. Bahkan tak
dibayangkan sebelumnya. Namun aku juga tak ingin membuat kecewa orang tuaku
yang telah membiayai dengan susah payah. Rasanya aku terpenjara dilema.

Untuk menguatkan semangatku, berulangkali aku menanamkan keyakinan bahwa
yang terlihat bagus belum tentu baik menurut Allah. Begitupun sebaliknya,
setiap yang kita anggap jelek belum tentu buruk menurut pandangan Allah,
bahkan bisa jadi di situlah keberkahan terlimpah. Asal kita menjalani dengan
perasaan ikhlas. Sebuah petuah yang aku dapatkan dari nguru ngaji di surau
sebelah rumahku.

Setiap hari kupompakan pemahaman semacam itu agar semangatku menjalani masa
pendidikan tidak luruh. Agar harapanku memperoleh kehidupan lebih baik
ketimbang orang tuaku suatu saat menjadi kenyataan.

Selalu kujaga semangatku. Agar harapanku tak punah.

Karena harapan itulah satu-satunya yang aku punya.

* * * * *

Tahun 1978 aku merampungkan pendidikan DI. Setahun berikutnya, secarik
SK (Surat
Keputusan) sampai di tanganku. Surat penugasan sekaligus pengangkatan
sebagai Pegawai Negeri Sipil sudah di tangan. Senang tentunya, karena
berarti aku akan punya penghasilan sendiri.

Namun sekali lagi tak terbayangkan kalau penempatanku di Salakaria. Tepatnya
di SMP Negeri Salakaria. Sebuah sekolah yang berlokasi di desa terpencil.
Sebuah tempat yang membutuhkan kerja keras untuk sampai di sana.
Aksesibilitasnya seolah tak terjangkau. Jalanan terjal berbukit yang masih
berbatu menghadangku.

Ditambah kendaraan umum yang entah kapan bakal singgah di desa ini. Sarana
jembatan yang melintasi sungai masih dalam tahap pembangunan. Sehingga aku
harus menempuh jalan alternatif yang waktu tempuhnya dua kali lebih lama.
Atau terpaksa harus menyeberangi sungai dengan menumpang rakit/getek untuk
menyeberang.

Mendapati tempat yang begitu rupa. Aku *shocked*. Hari-hari pertama adalah
perjuangan yang sangat berat. Aku harus beradaptasi secepat mungkin. Tidak
boleh tidak! Ibarat pertunjukan, *show must go on*. Aku harus tetap
bertahan.

Ternyata perjalanan menuju salakaria sangat melelahkan. Kalau tak boleh
dibilang sangat berat! Setiap hari aku harus melakukan perjalanan pulang
pergi Salakaria- kampungku di Werasari yang berjarak lebih dari 15 kilo.
Dengan infrastruktur jalan yang kurang memadai dan sulitnya transportasi,
akhirnya aku memilih untuk segera mencari tempat kost di sekitar sekolah.

Dengan bantuan teman guru kutemukan juga tempat kos yang lumayan dekat
dengan sekolah. Tak lebih dari 500 meter. Pemiliknya sepasang suami istri
paruh baya. Mereka hanya tinggal berdua. Sementara keempat anaknya telah
berkeluarga dan tinggal di luar kota. Bapak Sahim, begitulah orang biasa
memanggilnya. Orangnya cukup dikenal bahkan disegani di Desa Salakaria.
Mungkin karena itu pula rumah Bapak Sahim direkomendasikan cocok sebagai
rumah kos. Paling tidak, aku bisa aman di sana. Dan sejak saat itulah aku
merasa menjadi bagian dari keluarga Bapak Sahim.

Rumah Bapak Sahim Dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu. Kala itu,
rumah itu tergolong besar. Di dalamnya terdapat 3 kamar tidur. Satu kamar
tidur tamu yang menghadap langsung ruang tamu. Kemudian dua kamar tidur yang
menghadap ruang keluarga merangkap ruang makan. Dari ruang keluarga menuju
dapur, dipisahkan oleh pintu, karena dapur masih berlantai tanah dan tentu
saja masih menggunakan tungku. Sehingga atap dapur sudah menghitam karena
asap yang membumbung.

Yang membuat aku tercengang. Rumah ini tak punya kamar mandi! Padahal
fasilitas satu itu mutlak bagiku. Bagaimana tidak. Di tempatku, Werasari,
air melimpah. Kamar mandi di dalam rumah. Sementara di sini, aku harus
berjalan sejauh kurang lebih 100 meter, melewati kebun yang masih dirimbuni
pepohonan, menjejaki jalan tanah yg curam, demi untuk memperoleh air. Ke
sana aku harus beranjak. Ke sebuah sumur.

Semakin terkaget-kaget manakala aku mulai tahu kehidupan bermasyarakat
Salakaria yang akrab dengan suasana mistis. Misalnya banyak pemakaman
dinaungi pepohonan besar menjadi tempat keramat yang seringkali dikunjungi
orang di waktu-waktu tertentu. Mendatangi dukun dan membuat serangkaian
sesaji seolah sebuah keharusan. Bila dilanggar maka dipercaya akan
memunculkan bencana.

Entah percaya atau tidak akan adanya Tuhan Yang Esa. Mereka seakan abai
akan kodrat alam. Suara adzan hanya terdengar lamat dari kejauhan. Ritual
shalat menjadi sesuatu hal yang aneh. Dan ketika bulan Ramadhan tiba, tak
ada malu membungkus nalurinya. Mereka akan tetap berasyik masyuk dengan
kudapan di mulutnya. Pekerjaan di sawah atau kebun menjadi kambing hitam
untuk lepas dari kuwajiban menjalankan syariat.

Jauh rupa dengan di Werasari, kampung halamanku yang begitu lekat dengan
kegiatan keagamaan. Mesjid hampir ada di setiap sudut. Begitu pula
Pesantren, senantiasa menghembuskan kedamaian kehidupan beragama bagi
masyarakatnya.

Yang kurasakan aneh waktu awal-awal menjadi guru adalah sambutan tak
bersahabat justru dari guru perempuan. Bahkan cenderung sinis. Apalagi yang
suaminya juga guru di sekolah ditempatku mulai mengajar. Aku yang begitu
sensitif saat itu, luar biasa bingungnya. Tidak pernah tahu apa kesalahanku.
Karena baru pun kaki kupijakkan di tanah baru. Tentu saja akan kuanut
peribahasa *dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung*. Jadi aku merasa
bahwa mereka tak berhak untuk memperlakukan aku sedemikian rupa.

Belakangan aku mengetahui ternyata para teman guru wanita cemburu terhadap
keberadaanku. Pengalaman serupa juga dialami oleh seorang guru perempuan
lain. Yang entah bagaimana ceritanya. Ibu guru ini menjadi perbincangan yang
tidak renyah terdengar.

Bagiku ini sebuah ujian. Aku harus bisa membuktikan pada mereka bahwa aku
seorang perempuan baik-baik, yang hanya punya niat pengabdian. Setiap
langkah, ucap dan tindakan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak ingin
kehadiranku menjadi benalu yang meresahkan. Aku ingin memercikan setitik
embun di sekolah ini. Aku ingin bersahabat dengan mereka.

Kondisi seperti itu, sempat membuatku tertekan. Tidak mudah untuk meyakinkan
mereka bahwa aku tidak seperti yang mereka kira.

Karena itu menunggu hari Sabtu merupakan penantian yang kurasakan terlalu
lama. Ingin segera rasanya pulang kampung. Untuk lari dari tekanan pergaulan
antar guru. Pulang kampung yang tidak seberapa jaraknya, rasanya seperti
selesai berpetualang menjelajah rimba. Menghirup udara kampung halaman,
apalagi bertemu dengan Ibu, Bapak dan saudara-saudaraku, rasanya keluar dari
lubang jarum. Lega! Kutumpahkan semua keluh kesah. Tentang kondisi alamnya,
tentang masyarakatnya, tentang teman-teman di sekolah. Tentu juga ketidak
nyamanan tinggal di sana. Meski Werasari tidak bisa juga disebut kota, tapi
jauh lebih baik dibanding Desa Salakaria. Setidaknya angkutan umum sudah
mulai banyak. Sudah ada banyak Angdes (Angkutan Pedesaan).

Aku selalu rindu dengan *murotal* yang suaranya hampir memenuhi setiap sudut
rumah. Terang saja, di Werasari pesantren ada di banyak tempat. Pendidikan
agama menjadi yang utama. Maka ketika aku mendapati desa tempatku mengabdi
jauh dari tuntunan agama. Rasanya aku berada pada jaman kegelapan.

Ibu yang selalu menjadi tumpahan tangisku. Di pangkuannya aku meratapi SK
pengangkatanku. Sementara teman-teman seangkatan ditempatkan di kota, kenapa
harus aku yang mendapatkan desa terpencil itu. Aku tidak yakin aku mampu
mengemban tugas ini. Belum pun tahun berganti, sepertinya aku ingin menyerah
saja.

Tapi lagi-lagi Ibu yang selalu menguatkanku, bahwa Allah tidak semata-mata
memberi sesuatu jika tidak ada kebaikan di dalamnya. Maka bersabarlah,
berserah dan ikhlaskan setiap gerak langkah. Insyaallah suatu saat kamu akan
menuai indahnya. Begitu selalu Ibu bilang. Hingga akhirnya aku merasa ringan
tinggal di desa yang begitu asing. Dan seiring dengan berjalannya waktu,
akupun dapat diterima dengan baik di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Alhamdulillah.

* * * * *

Seringkali usia adalah sumber ketakutan bagi perempuan. Aku mengalaminya.
Tahun 1979 umurku genap 23, usia yang sudah lebih dari cukup untuk membina
sebuah rumah tangga untuk ukuran masa itu. Entah kenapa ketika itu do'aku
yang selalu kupanjatkan adalah memohon pada Tuhan untuk tidak dijodohkan
dengan pemuda Desa Salakaria. Mengingat kehidupan beragama di sana masih
terlalu sederhana. Tentu aku tidak ingin memiliki imam yang tidak mampu
mengimami aku.

Dalam setiap lantunan do'a, bayang-bayang memiliki suami dari desa itu
selalu mengusikku. Ketakutanku semakin menguat tatkala kutahu betapa banyak
sekali yang belum paham tentang akidah dan akhlaq. Kekhawatiranku
berkepanjangan dan tak beralasan sebenarnya, karena saat itu aku sudah
memiliki kekasih yang akan menjadi benteng pertahananku manakala ada pemuda
yang mencoba mendekatiku.

Namun Tuhan Maha Segala Tahu. Semakin ketakutanku meraja. Saat itulah
ketakutanku seketika menjadi nyata. Tanpa kuduga, pinangan seorang lelaki
sangat mengejutkan aku. Bagaimana tidak! Lelaki itu asli dari Desa Salakaria
yang sebelumnya tak pernah kutahu keberadaannya dimana. Tiba-tiba dia hadir
dan menyatakan keinginannya menikah denganku.

Oh Tuhan…Bukan ini do'a yang kuharap Engkau kabulkan. Aku berkeinginan
sebaliknya. Aku ingin dipersunting kekasihku, bukan lelaki ini. Alih-alih
kumenolak, aku malah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bukan segera
kumenarik diri tapi kumerasa tak mampu untuk menjauh. Bukan perlahan
kumantapkan hati untuk menikah dengan kekasihku, yang ada kebimbangan
membimbingku untuk tak lekas mengambil keputusan.

Bagaimana ini? Perasaanku tak berbentuk. Aku enggan tapi ada harap yang dia
bentangkan untukku. Sebuah ketulusan. Hanya itu yang kutahu. Aku tak ingin,
tapi ku tak berniat untuk berkata tidak. Orangtuaku lah yang akhirnya
menjadi tempat curhatku. Tempat kubertanya kemana harus melangkahkan kaki.
Kudengarkan pandangan-pandangan mereka. Satu hal yang hingga anak
perempuanku menjatuhkan pilihannya, kalimat ini yang tertanam di pikiranku
"seorang wanita lebih baik dicintai".

Aku masih dalam ambang ragu. Bagaimana mungkin aku menikah dengan orang yang
tidak aku cintai? Cukupkah dengan hanya dia mencintai aku? Aku belum
menemukan jawabannya. Pun aku belum tahu bagaimana keseharian dia. Dia pergi
dalam waktu yang lama. Dan datang dalam waktu yang sangat singkat. Kadang
tak sempat bertegur sapa apalagi bercengkrama. Siapa sebenarnya dia?

Hatiku bersahutan menjawab antara ya dan tidak. Kebimbanganku mencapai
klimaks. Dalam keadaan tak jelas itu, hatiku condong untuk tidak menikah
dengan kekasihku. Tanpa ingin kutahu penyebabnya, selesai sudah urusanku
dengan dia.

Tapi meski begitu tak lantas aku mantap untuk menjadi istri lelaki itu.
Masih harus kulewati kotemplasi yang cukup lama, sehingga akhirnya aku
memutuskan hal besar dalam hidupku.

Jika kemudian aku menerima uluran cintanya, restu kedua orang tua yang
menjadi pondasinya. Lainnya aku belum punya. Yang aku tahu, lelaki itu
terlahir dari keluarga baik-baik. Keluarga yang harmonis, agamis, dan salah
satu keluarga yang dihormati di Desa Salakaria. Aku memang belum tahu
tentang keistiqomahan lelaki itu dalam menjalankan ibadah, tapi aku sangat
mengenal kedua orangtuanya, terutama sang bapak yang kelak menjadi bapak
mertuaku adalah sosok yang luar biasa. Ini juga yang menambah daftar tak ada
alasan bagiku untuk meragukan sosok lelaki itu.

Maka kubiarkan hatiku menyambut cintanya secara perlahan. Kunetralkan
perasaanku untuk dapat melihat keseluruhan dalam diri lelaki itu secara
objektif. Kukumpulkan testimoni yang ada walau tak banyak. Aku membuat
analogi bahwa buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya. Kuberharap dalam do'a
agar lelaki itu sedikit banyak memiliki kepribadian seperti bapak. Tak
kubiarkan perasaan takut mengelabuiku lagi.

Lelaki itu hanyalah lelaki biasa, yang hanya memiliki cinta tanpa
romantismenya. Bertubuh tinggi tegap, kontras sekali dengan tubuh mungilku
yang hanya setinggi dadanya. Seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen
Kehutanan di Wonosobo Jawa Tengah. Itu artinya kami harus siap dengan *long
distance relationship*.

Tak ada yang menyangka jika jodohku telah Tuhan sediakan di Desa Salakaria.
Dan lebih tidak menyangka lagi tanpa harus berpayah menjemputnya. Aku datang
di kediamannya, kala dia tak ada. Dan begitu dia tiba, diantara rasa kaget
bahwa kamarnya ditempati orang asing, lelaki itu mungkin bersyukur karena
ada semburat wajah bening menantinya.

* * * * *

Misteri jodoh sungguh sangat luar biasa. Tak bisa tertebak, tak dapat
terbaca. Datangnya tanpa terduga. Manalah tahu jika Bapak dan Ibu kosku
kelak menjadi mertuaku.

Rumah kosku seperti sudah disediakan Tuhan untukku menemukan belahan jiwa.
Dan sekarang, aku sangat mensyukuri itu. Lelah dan air mata terbayar sudah.

Keyakinanku semakin nyata, manakala lelaki itu, dengan penuh keberanian dan
rasa percaya diri, datang dan meminta aku untuk menjadi istrinya langsung
pada orangtuaku. Satu lagi poin menjadi nilai tambah. Maka tak perlu waktu
lama, masa perkenalanku dengannya hanya sekitar 4 bulan saja.

4 April 1980, adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari itu adalah
hari dimana aku resmi menjadi istri dari seorang lelaki yang kini menjadi
ayah bagi kedua anakku. Sebuah perhelatan dilaksanakan. Konon ketika itu,
pernikahanku cukup meriah. Seserahan dilakukan pada hari H. Rupa macam
hantaran dibawa serta. Dari mulai kayu bakar, daun pisang, pisang satu
tandan sampai kambing. Dari perlengkapan dapur sampai perlengkapan tidur tak
ketinggalan. Belum iring-iringan keluarga, kerabat dan sahabat yang
mengantar mempelai pria.

Prosesi acara adat lengkap. Dari mulai *sungkem, huap lingkung*, sampai buka
pintu. Semuanya telah disiapkan oleh panitia dari sekolahku. Senangnya,
padahal baru 1 tahun aku mengabdi, teman-teman mau membantuku mempersiapkan
segala sesuatunya, mulai dari menyediakan gamelan sampai pemandu acara.

Mengenang masa indah itu, keharuan selalu saja menyapaku. Hari yang sangat
istimewa. Aku mengira kebahagiaanku akan berawal dari saat itu tanpa harus
kulewati terjalnya aral terlebih dahulu. Tapi Tuhan lebih menyayangiku. Aku
ditempanya dalam lara. Digembleng lewat perih, dididik melalui resah dan
dibimbing dalam gulana. Namun sedemikian rumitnya, aku temukan keberkahan di
dalamnya.

Wonosobo adalah tempat pertama kami menghabiskan waktu berdua. Tempat kami
mereguk madu pernikahan. Indahnya tak terkatakan. Pilihanku semoga tidak
salah. Andai saja aku bisa tahu kejadian setelahnya. Aku tidak akan pernah
mau menjalani *long distance relationship*. Apalagi harus tinggal di rumah
mertua. Sungguh! Episode hidup yang terlampau berat kulewati.

*Welcome to the real world*. Satu minggu bulan madu rasanya tak cukup
memberiku bekal untuk masuk ke zona baru yang belum kukenali. Suka tidak
suka, mau tidak mau, aku harus menjalaninya demi patuh pada titah suami.

Pulang ke Desa Salakaria, aku tidak punya pilihan untuk tinggal selain tetap
di rumah Bapak Sahim. Bukan lagi sebagai anak kos melainkan sebagai anak
menantu. Posisi ini tidak menjadikan aku memiliki arti lebih bagi Ibu, yang
notabene Ibu mertuaku. Jika sebagai anak kos aku begitu dihormati dan
diperhatikan. Berbalik derajat selepas aku menikah dengan anak laki –
lakinya.

Hhhm…sejujurnya sangat berat aku menceritakan ini semua. Ibarat mengorek
luka menganga yang telah tersembuhkan oleh waktu. Perih kembali menyayat
jika aku mengingatnya. Demi Tuhan, aku mencintai Ibu mertua hingga akhir
hayatnya. Namun jika aku menuliskan kepedihan yang pernah aku rasakan,
semata karena aku ingin berbagi, bahwa bagaimanapun keadaannya, ketulusan
selalu memberi arti bagi setiap hati. Waktu selalu membuktikan kebaikan akan
tetap tumbuh menyubur dan tak pernah mati.

Setelah mengantarkan aku, suamiku kembali ke Wonosobo. Status baru sebagai
istri mulai kusandang. Aku bertekad dalam hati untuk selalu dapat menjaga
kehormatan diri dan suami. Modalku hanya kepercayaan untuk menjaga kasih
diantara kami tetap bersemi.

Keuangan yang belum stabil, membuatku harus pintar mengelolanya. Aku dan
suami memang bekerja. Tapi berapalah gaji PNS golongan II pada masa itu.
Kehidupan rumah tangga benar – benar kumulai dari angka nol. Dari tangga
paling bawah. Merangkak dan tertatih. Berjalan pun sempoyongan.

Tak mungkin kulupakan, bagaimana perihnya perasaan saat dengan terpaksa aku
harus melepas cincin kawin untuk sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari.
Hingga detik ini ingatan itu begitu mengiris perasaanku. Nilai cincin itu
tak tergantikan meski –Alhamdulillah- kini aku mampu membeli perhiasan yang
lebih mahal.

** * * * **

Sejak awal aku tinggal di rumah Bapak dan Ibu, aku sudah merasa kerasan.
Mereka sangat baik padaku. Maka idealnya tak akan ada masalah jika aku
serumah dengan mereka. Bapak adalah seorang penyayang. Semuanya makin
terpancar setelah aku menjadi mantunya. Apalagi aku mantu perempuan pertama
dalam keluarganya.

Namun dugaanku keliru. Rupanya Ibu mertua seperti tak mengharapkan aku
menjadi menantunya. Sulit untuk menerka kenapa gerangan sikap Ibu begitu
dinginnya terhadapku. Jika anaknya tak setuju menikah denganku, beliau tak
akan memberi kami restu. Jika dia tidak menyukai aku. Tak ada pula alasan
yang dapat kupahami.

Sejak hari pertama suamiku kembali bertugas, aku mulai tidak nyaman di rumah
yang satu tahun belakangan menjadi tempatku bernaung. Aku menjadi sangat
asing di dalamnya terutama dengan perubahan sikap Ibu yang sama sekali tidak
bersahabat. Pandangan sinis selalu saja menancap tajam di hatiku.

Semoga Allah memuliakan beliau. Aku tidak bermaksud membuka aib. Dengan
menulis ini, aku ingin dunia tahu, bahwa keengganan bisa menjadi kerelaan.
Lawan tidak harus menjadi musuh. Dengan cinta, hati akan kembali pada
hakikatnya. Yang belakangan berbuah kesadaran bahwa aku sangat beruntung
dianugerahi mertua sedemikian rupa. Yang menyayangi aku dengan caranya yang
unik.

Belakangan aku tahu Ibu sangat mencintai aku. Dulu, aku tidak pernah tahu
hati seperti apa yang dimiliki Ibu. Tidak ada damai yang ditawarkan
kepadaku. Jika –terpaksa- beliau bicara padaku, beliau akan mengatasnamakan
suamiku. Kado – kado yang menumpuk saat pernikahan satu per satu beralih hak
dengan dalih bahwa suamiku memintaku menyerahkannya pada Ibu. Tak harus
kumenolak, jikapun meminta langsung, pasti akan kuberikan.

Aku kesepian! Ibu yang mestinya bisa aku ajak bercengkerama, mengibarkan
bendera perang padaku. Setiap langkah yang kudengar seperti bunyi godam yang
menghentak hentak jantungku. Masuk keluar rumah meninggalkan bantingan pintu
yang sangat keras. Braakk!!! Satu dua hari aku mencoba mengabaikan setiap
perilaku yang Ibu tunjukkan padaku. Lama – lama aku merapuh.

Tak ada teman untuk sekedar aku ajak *sharing*. Suamiku pulang hanya 1 atau
2 bulan satu kali. Dan selama itu aku harus merasakannya sendiri. Bukan!
Bukan untuk mengeluh andaipun suamiku ada di sisiku. Aku hanya ingin
bercerita tentang keadaan di sekolah. Tingkah polah anak didikku.
Keseharianku di rumah tanpa harus dia tahu seperti apa keadaan yang
sebenarnya.

Beruntung sebagian waktuku terpakai oleh tugasku mengajar. Berada di depan
kelas, memberikan materi pelajaran, sedikit mengobati rasa resah yang selalu
saja menguasaiku saat berada di rumah. Di sekolah, sejenak aku bisa
menghirup udara kebebasan. Menemukan anak didikku segera paham dengan apa
yang aku ajarkan, bahagia sekali rasanya. Inginku, aku tak hanya dapat
memberi mereka teori, tapi lebih dari itu, akupun harus bisa mendidik mereka
menjadi manusia yang berakhlak.

Dalam hitungan bulan yang belum genap setengah tahun menapaki biduk rumah
tangga. Ada sesuatu kurasakan dalam perutku. Seperti ada makhluk hidup
bersemayam di sana. Dalam buncah harap, kabar bahagia itu datang. Aku
dinyatakan positif hamil. Senyumku merekah. Ada asa menyeruak dalam kalbu
semoga keadaan menjadi lebih baik. Seraya berharap bahwa ibu mertua akan
menampakkan sisi keibuannya demi mendengar aku hamil.

Lagi – lagi aku salah besar. Sikap Ibu mertua padaku tidaklah berubah, malah
makin menjadi. Yang seharusnya aku berada pada zona nyaman yang sangat
diperlukan seorang Ibu hamil, tidak aku temukan. Setiap hari yang aku
rasakan adalah tekanan batin yang luar biasa. Sensitifitas yang meninggi
karena hormon kehamilan membuat keadaanku begitu memprihatinkan. Wajah
tirus, badan kurus. Air mata tak henti menganak sungai.

Kalau saja aku pernah tahu bagaimana neraka, mungkin aku bisa menganalogikan
yang aku alami seperti dalam neraka. Menatap wajah Ibu mertua yang seolah
penuh kebencian menciutkan nyaliku. Mendengar suaranya yang seakan
membentak, bergetar seluruh tubuhku. Terdengar langkah kakinya mendekat
saja, seketika itu berhenti detak jantungku.

Aku musuh bagi Ibu mertua. Tak ada yang boleh bersikap baik padaku. Tak
boleh ada yang membelaku. Setiap kali ada keluargaku dari Werasari yang
berkunjung, selalu saja beliau menunjukkan sikap tak ramah. Apalagi jika
mereka membawakanku oleh – oleh, baik itu makanan ataupun barang.

Dalam diam aku mencari jawab kenapa Ibu berbuat tak layak padaku. Aku
temukan hipotesa sementara. Beliau sangat takut kehilangan kasih sayang
suamiku. Suamiku adalah anak laki – laki pertamanya. Anak yang telah
berpenghasilan tetap, dimana Ibu mertua yang selalu menjadi tujuan setiap
kali suamiku mendapat upah dari hasil berpeluh lelah sebelum menikahi aku.

Maka ketika anak laki – lakinya menikah, praktis dia memberikan nafkah
padaku. Otomatis, yang didapat Ibu berkurang. Inilah yang memicu ketidak
sukaan Ibu padaku. Rabb! Aku istri dari suamiku yang tidak akan pernah
membiarkan dia berpaling dari Ibundanya. Bagaimanapun, seorang lelaki seumur
hidupnya untuk Ibunya. Sementara perempuan, setelah menikah, pengabdiannya
beralih untuk suaminya. Tentu saja sampai kapanpun aku tidak akan pernah
membiarkan suamiku abai terhadap Ibunya.

Satu – satunya teman yang setia menemaniku adalah majalah Ayahbunda yang
selalu menjadi buah tangan dikala suamiku pulang mengunjungiku. Mencoba
menempatkan kesakitanku di tumpukan paling bawah lapisan hati, aku berfokus
diri untuk tetap menjaga janin yang ada dalam kandungan. Aku tidak ingin
hanya gara – gara penderitaan Ibunya, janinku bermasalah. Aku tahu betul
betapa sangat berpengaruh kondisi psikis Ibu terhadap kondisi janin.

Kuperbanyak keilmuan tentang bayi dan seluk beluknya dengan membaca. Dengan
begitu, nelangsaku tersembunyi. Tak ingin kemurunganku terbaca oleh
siapapun. Akupun belajar menjadi sebenar – benar Muslim, bahwa kebahagiaan
terpancar di wajahnya, sementara kesedihan tersimpan di hatinya. Tapi
bagaimanapun kusimpan rapih segala kesedihan, lambat laun orang – orang di
sekitarku mengetahuinya.

Tak perlu kata kuumbar demi mencari belas kasihan. Tak mesti kuperlihatkan
wajah bermuram durja, toh pada akhirnya banyak orang tahu, kalau aku
menderita, berada di bawah tekanan Ibu mertuaku sendiri. Mereka
menganalisis, memperhatikan situasi. Dan kesimpulanpun mereka dapatkan.

Dengan tabiat yang selama ini, jauh sebelum aku masuk ke dalam keluarga
suamiku, Ibu adalah sosok yang memiliki tingkat egoisme di atas rata – rata.
Kata – katanya yang keluar tanpa reduksi seringkali membuat siapa saja
jengah mendengarnya. Tak jarang orang dibuat menangis hanya karena hal
sepele. Lidah tak bertulang. Luka badan karena sembilu, obat masih bisa
didapat. Tapi luka hati karena kata. Kemana hendak obat dicari? Begitu
pepatah bilang.

Diantara marah yang kadang menguasai, aku maklum sepenuhnya dengan Ibu
mertua yang semasa kecil dari keluarga berada. Kakek buyut suami adalah
seorang pamong desa. Hal ini menjadikan Ibu mertua sosok yang manja padahal
anak sulung. Keadaan tersebut tidak lantas membuat Ibu mertua ingin
bersekolah. Lain halnya dengan adik – adiknya, Ibu tak sampai lulus Sekolah
Pertama.

Kekayaan tidak seiring dengan pola pikir yang terbuka. Inilah yang membuat
Ibu egois. Tidak ingin direndahkan tetapi cenderung meremehkan orang lain.

Diantara kekurangannya, Ibu adalah orang yang sangat baik. Memberi adalah
hal yang selalu dilakukannya. Setiap kali Bapak gajian, atau Ibu dapat
arisan atau anak – anakku dapat ranking di sekolahnya, lembaran rupiah tak
sayang beliau hibahkan. Begitupun jika ada makanan. Tentu dibagikannya pada
kami. Anak dan cucu yang rumahnya paling dekat.

Kehamilanku semakin membesar. Permasalahan demi permasalahan kulewati dengan
derai air mata. Waktu sepertinya melambat. Kadang terhenti dan segan untuk
memulai berotasi. Aku tidak akan mungkin dapat melewati semua tanpa kasih
sayang banyak orang. Ada suami yang begitu perhatian dan sangat mencintaiku,
ada Bapak mertua yang kadang 'terkalahkan' karena kesabarannya. Ada adik
laki – laki suamiku yang selalu membelaku.

Pernah satu kali. Entah masalah apa, aku disalahkan Ibu mertua. Mendengar
itu, adik iparku langsung pasang badan dengan terisak. Aku diterima di
keluarga besar suami, dihargai, disayangi. Sampai saat ini hubunganku dengan
mereka tak berbatas, begitu dekat. Inilah yang membuatku kuat didera. Tak
apalah berkorban sedikit untuk sesuatu yang banyak.

Bahkan ketika itu, aku selalu diwanti – wanti oleh aki. Aki dan Nini adalah
orangtua Bapak. Betapa sayang mereka padaku. Sayang, kedekatanku dengan Aki
hanya berlangsung sesaat. Saat si Sulung berumur 1 tahun, Aki berpulang.
Meski hanya dalam waktu yang sangat pendek. Ada satu pesannya yang akan
selalu kuingat sampai akhir hayat.

"Neneng…" . Begitu aku biasa dipanggil oleh mereka. "Omat! Sakumaha dibawa
sangsara na ku Si
Ujang3<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote3sym>,
ulah menta ditalak!!!"4<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote4sym>.
Demi mendengar itu aku hanya bisa mengangguk dalam isak. Aku bertekad dalam
hati, untuk menjaga keutuhan rumah tangga, apapun yang terjadi.

Kalimat aki yang selalu bisa menguatkanku hingga nanti. Setiap jengkal pilu
kulalui, suami dan anak-anakku adalah yang utama.

Bagaimana harus kubertahan di dalam rumah yang hanya berukuran 5 x 3 meter
persegi ketika baru saja anak pertama kami lahir di tahun 1981. Ngontrak di
sana, hingga satu tahun kemudian terpaksa aku dan suami harus tahu diri
mengosongkannya karena yang punya rumah akan segera menikah dan menempati
rumah tersebut. Miris sekali, di saat anak perempuanku lagi lucu-lucunya,
kami harus berkutat mencari tempat tinggal yang nyaman untuk si kecil.

Sampai akhirnya, sekitar tahun ke-3 pernikahan kami, Bapak mertua
menghibahkan sepetak tanahnya untuk bisa kami bangun rumah. Beliau rupanya
tidak tega melihat anak mantunya seperti kutu loncat. Terbangunlah rumah
mungil nan sederhana. Dengan luas tidak lebih dari 7 x 5 meter persegi.
Rumah semi permanent, yang dindingnya masih terbuat dari bilik bambu,
meskipun sudah berlantai semen.

Perlahan kehidupan cinta dan rumah tangga kami mulai tertata. Jarak yang
memisahkan aku dan suami, tanpa ada teknologi yang bisa menghubungkan kami
setiap saat seperti sekarang, tak lantas melunturkan kasih sayang diantara
kami. Jujur terhadap diri sendiri adalah kuncinya. Tidak neko-neko dan
percaya satu sama lain adalah pondasi yang memperkuat ikatan batin kami.

Kejadian demi kejadian menjadi sebuah media terbaik yang Allah berikan pada
kami sebagai penguat cinta. Tahun 1986, lahir anak kedua kami. 2 anak
perempuan cantik. Mereka kembar dan lahir premature, baru masuk usia
kandungan 8 bulan. Tetapi Allah lebih menyayangi mereka dan tentu saja kami,
orang tuanya. Keduanya tidak bertahan, selang satu hari mereka kembali ke
haribaan Tuhan. Jadilah setiap hari kami menguburkan anak tercinta.

Masa berkabung buat keluarga kecil kami, terutama aku. Butuh waktu
berbulan-bulan untuk pemulihan. Aku depresi. Belum pun luka melahirkan
kering, aku harus dihadapkan pada kematian mereka. Aku selalu dilanda
ketakutan dan kecemasan yang luar biasa, apalagi jika hari beranjak gelap.
Dengan terpaksa untuk beberapa waktu aku dan anakku harus mengungsi di rumah
mertuaku.

Sedikit demi sedikit aku kembali kuat dan sadar sepenuhnya. Bahwasanya semua
hal di dunia ini hanyalah sekedar titipan. Maka jika suatu saat Yang Maha
Punya mengambilnya, mau tidak mau harus ikhlas. Akupun merelakannya, dengan
do'a terpanjat, semoga kelak mereka akan menjemput kami, orang tuanya di
pintu Syurga. Amin

Akhir tahun 1988, Allah kembali mengamanahi aku dan suami seorang anak
laki-laki yang rupawan. Dengan wajah bulat, kulit putih, mata yang besar
ditambah dengan badan yang montok, merekahkan kebahagiaan kami. Allah telah
mengganti yang hilang. Lengkap sudah, sepasang anak laki dan perempuan.

Perkembangan motoriknya sangat bagus di awal. Berat badannya pun naik
normal. Tidak ada yang aneh. Sampai pada suatu hari, aku menemukan keanehan
pada gerak motoriknya. Usianya sudah 6 bulan. Tapi belum bisa loncat-loncat
sebagaimana bayi seusianya. Tulang punggungnya masih sangat lemah, belum
bisa berdiri tegak, digendong masih dalam posisi bayi 3 bulan.

Berkali-kali dia harus mengalami semacam patah tulang karena kesalahan orang
menggendongnya. Mereka mengira anakku normal seperti bayi seusianya. Berkali
– kali pula aku harus menyaksikan kegetiran ketika anakku harus diurut oleh
tukang urut. Melihat kepalanya ditarik-tarik, dijulurkan sedemikian rupa,
mendengarnya menangis *kejer*. Membuatku terisak.

Aku hanya bisa tersenyum miris jika orang-orang menanyaiku anaknya umur
berapa, sudah bisa apa. Sementara anakku baru bisa tersenyum dan
nendang-nendang. Belum bisa tidur miring apalagi tengkurap. Rabb!!! Hadiah
apa lagi yang Engkau berikan pada kami. Kekhawatiran mulai menguasaiku.
Tangisku menemani hari-hariku kembali.

Dokter anak kemudian menjadi tujuan kami. Berbagai macam obat dituliskannya
di buku resep. Diagnosanya ada kelainan pada tulang punggungnya. Habis obat
harus segera kembali dan akan dilakukan pengobatan selanjutnya.

Entah berapa kali kami keluar masuk dokter anak tanpa ada perkembangan yang
berarti. Berniat untuk mencari pengobatan alternatif, tapi tak juga kami
temukan pengobatan alternatif seperti apa yang bisa menangani bayi sekecil
itu.

Do'a dan ikhtiar kami maksimalkan. Lebihnya kami hanya berharap pertolongan
dari Sang Maha Kuasa. Cinta kami, orangtuanya, tak sedikitpun terkurangi
karena kondisinya. Tibalah hari penuh Mukjizat itu. Saat itulah aku merasa
Allah telah menurunkan Kekuasaannya pada kami. Selalu ada jalan keluar di
saat kita tidak pernah berputus asa akan Rahmat Nya. Hari indah itu, setelah
pemeriksaan rutin dari dokter anak, entah kenapa, aku dan suami menggunakan
jasa delman untuk bisa sampai terminal.

Pada saat itulah, Pak kusir bertanya pada kami, pulang dari mana. Anaknya
sakit apa. Sampailah pada pernyataan yang bagi kami benar-benar sebuah
pencerahan

"*Pak, kebetulan, kakak saya diberi kelebihan bisa menangani masalah seperti
yang anak Bapak alami. Siapa tahu Allah memberikan jalannya, Bapak dan Ibu
bisa mencobanya ke sana".*

Ada perasaan sejuk mengalir di pori-pori kami. Mungkin inilah saatnya.
Dengan rasa haru, kami berterimakasih pada beliau yang bukan saja
menginformasikan, melainkan mengantarkan kami hingga di tempat.

Maha Besar Allah, 3 kali terapi ke sana, sudah mulai ada perkembangan
berarti. Anakku mulai bisa tengkurap, kemudian duduk, merambat, dan
Alhamdulillah di usia 18 bulan, dia bisa berjalan normal. Meski terlambat,
setelahnya perkembangannnya menjadi begitu pesat. Kini dua puluh satu satu
tahun sudah terlewati masa itu. Tak henti syukurku terucap, bila melihat
anak laki-lakiku itu tumbuh menjadi pria dewasa yang sehat lahir batin.
Alhamdulillah.

* * * * *

Tiga Dasarwasa sudah. Selama itu pula aku hanya bertemu suami hanya pada
akhir pekan. Hanya sabtu minggu. Menjalani *long distance relationship*.
Bagai hidup seorang diri manakala suami sedang bertugas, berpikir menemukan
solusi saat masalah datang, mengelola keuangan sedemikian rupa agar tidak
besar pasak daripada tiang bukanlah hal yang mudah. Ada saja hal yang dapat
menggoyahkan. Percikan dan letupan terjadi di sana sini. Namun kehadiran
anak-anak selalu mempererat rasa yang ada.

Tiga Dasawarsa mungkin sebuah rentang waktu yang tak bisa dibilang sebentar.
Meski selama itu pula aku harus menanggung kenyataan bahwa aku sering merasa
kesepian. Namun kesepian tak membuatku jatuh dalam kesunyian. Namun justru
menempaku jadi sosok ibu yang bisa membimbing kedua anakku hingga dewasa.

Kini si sulung telah menikah dan bersama suaminya menjemput impian masa
depan mereka di lain kota. Anak kedua juga tak lagi di rumah karena harus
mengejar ilmu di bangku kuliah di sebuah kota di Jawa Barat.

Sejujurnya saat aku sendiri di teras seperti sore ini, ada perasaan takut.
Jauh dari anak-anak. Sementara suami masih berdinas di luar kota. Meski
sebentar lagi akan memasuki masa persiapan pensiun. Kesendirian ini
mengingatkan bayangan tiga puluh tahun lampau. Bayangan perjuangan saat
pertama kali menjejakkan kaki di desa ini kembali membayang.

Namun aku segera tersadar, bahwa begitu banyak anugerah Tuhan yang aku
terima selama tiga dasawarsa di desa ini. Aku bahagia menjadi seorang istri,
seorang Ibu, seorang guru dan sebagai individu di tengah masyarakat.

Aku bersyukur memiliki keluarga yang dilimpahi cinta. Kini apalagi yang
dapat aku ingkari dari begitu banyak nikmat yang Tuhan berikan. Dalam setiap
nafas adalah rasa syukur. Di beranda rumah ini, airmataku kembali menitik
ketika mengingat setiap detail kisah lampau yang pernah aku lalui.

Rumah ini dulu, tak pernah terbayang akan menjadi sebuah istana penyejuk
hati. Tempat yang dulu hanya sebuah ruang. Sekarang menjadi graha yang
sangat nyaman. Rumah yang dulu dihuni aku dan anak-anakku, kini aku ditemani
suami yang telah memasuki masa pensiunnya. Sesekali rumah ini diramaikan
dengan ocehan mungil jagoan kecil. Cucu pertamaku.

Ya…aku dan suamiku telah menjadi eyang sekarang.

Lengkap sudah kebahagiaan yang aku rasakan. Tuhan memberiku aral,
menghadiahiku rintang, dan mengujiku dengan berbagai hal indah. Sungguh
terdapat hikmah dari setiap kejadian. Hidup hanya satu kali. Menikmatinya
dengan penuh rasa syukur adalah anugrah tak ternilai. Betapa indah hidup ini
jika selalu ikhlas menjalaninya.

* * * * *

*Epilog*

Tiga dasawarsa sudah. Desa Salakaria telah berganti nama menjadi Sukadana.
Kecamatan Rajadesa berubah menjadi kecamatan Sukadana seiring dengan proses
pemekaran wilayah. Namun Sukadana tetap seperti Salakaria, sebuah desa yang
tersembunyi. Tidak banyak yang mengetahui. Sukadana tetap sebuah desa sunyi
yang menawarkan kedamaian.

Di tikungan Desa Sukadana, tepatnya di dekat ujung persawahan desa,
tersembul sebuah rumah yang nyaman. Dilengkapi dengan teras yang lumayan
lega. Aku sering tetirah ke rumah ini. Bagiku rumah itu adalah rumah
keduaku. Menjadi tempat membuang penatku saat keletihan mendera karena
tenggelam dalam kesibukan kerja di Ibukota.

Setiap sudut rumah ini mengingatkan aku akan kepingan-kepingan masa kecil
yang ceria. Betapa aku dulu beranjak dewasa dibawah naungan rumah yang
halaman depannya ditumbuhi pohon angsana itu.

Suatu saat, pandangan mataku tertumbuk pada sebuah buku lusuh di sela kotak
kayu penyimpanan di bagian belakang rumah. Mendadak timbul rasa
keingintahuanku. Segera aku tarik buku bersampul biru yang telah berdebu
itu.

Ternyata adalah sebuah *diary. *Sebuah buku harian. Lembar demi lembar aku
buka dan baca dengan seksama. Kisahnya sungguh menarik. Penuturannya runut
sehingga alurnya tak membosankan. Mendorong minat untuk menuntaskan hingga
tandas di halaman terakhir.

Kisahnya sungguh menarik. Sekaligus mengharukan. Tentang romantika seorang
guru perempuan. Yang harus membimbing kedua anaknya menuju gerbang
kedewasaan. Sementara suaminya berdinas di luar kota yang hanya pulang
selama dua hari di akhir pekan. Dan itu berlangsung hingga tiga puluh tahun!

Ketika menutup buku harian itu, tertera sebuah nama: Olih Eliyani Permana

Aku mengenal betul perempuan itu.

Perempuan tengah baya yang dedikasinya tak perlu diragukan lagi.

Seorang guru di sebuah desa terpencil.

Yang mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang yang tulus.

............................................

......................

Tak kuasa aku menahan linangan air mata dari sudut kelopak mataku.

PEREMPUAN ITU ADALAH: IBUKU !

* * * *

1<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote1anc>Berdasarkan
kisah nyata Olih Eliyani Permana, seorang guru SMP N 1 Sukadana,
Ciamis, Jawa Barat. Selama hampir 27 tahun, hanya bisa bertemu suami pada
hari Sabtu dan Minggu karena lokasi tugas yang berjauhan. Ibu dua anak ini
bisa dikatakan seorang diri membesarkan buah hatinya. Hingga anaknya
beranjak dewasa. Yang satu telah meninggalkan rumah karena menikah dan
satunya tinggal di luar kota begitu memasuki bangku kuliah.

2<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote2anc>Penulis
bekerja sebagai GIS Remote Sensing Officer pada sebuah lembaga
nirlaba berjaringan internasional di bilangan Kemang, Jakarta selatan.

3<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote3anc>
*Panggilan suami dalam keluarga*

4<http://bundagaul.com/include/fckeditor/editor/fckeditor.html?InstanceName=blogentry_body&Toolbar=se_blog#sdfootnote4anc>
*Bagaimanapun Si Ujang membuat kamu sengsara, jangan pernah minta cerai*
4.

[Ruang Baca] Cinta Rasul, Kok Gitu?

Posted by: "Mimin" minehaway@gmail.com   mine_haway

Fri Jul 31, 2009 2:10 am (PDT)



Judul : Cinta Rasul, Kok Gitu..?
Penulis : H.M. Subki Al-Bughury, S. Sos
Penerbit : Al Mawardi Prima
ISBN : 978-979-3862-53-8

Seringkali saya baca humor yang lucu tapi saru (jorok). Tapi tidak dalam
buku "Cinta Rasul ko Gitu? buah karya Ust. Subkhi Al-Bughury, humornya segar
dan beda tentunya. Karena kumpulan kisah ini penuh hikmah. Sebagai bukti
sejarah dakwah melalui tulisan. Sangat menggelitik hingga membuat siapapun
yang membacanya terkikik. Temenku baca jam 00.00 WIB tertawa sampai nggak
berhenti-berhenti. Aku pun demikian, melahap lembar demi lembar bisa
membantuku menghilangkan stress.
Bahasa yang sederhana dan khas Betawi tapi bisa mengundang tawa.

Dengan pemeran utama Si Jeding, pilihan nama yang unik untuk memerankan
sebuah kisah. Kisah pertama berjudul "Cinta Rasul Kok Gitu", Ustadz Jeding
melihat Bawul membaca shalawat sambil ngecak togel (toto gelap). Bawul
telah mencampur adukkan kebenaran dengan kebathilan. Alasannya biar
berkah, padahal seharusnya shalawat itu mencegahnya dari perbuatan judi.

Kisah yang menurutku paling special yakni kisah No.06 berjudul "Salah
Lullaby" halaman 29-32. Karena tokohnya ada yang bernama Mimin :D. Berikut
petikan percakapan antara Si Jeding dengan istrinya.

"Min, kata Ustadz Khairudin anak kita bandel mungkin lantaran kita salah *
ngedidik* dia waktu masih kecil."
"Salah ngedidik gimana , Bang?" Tanya Mimin, istrinya tak mengerti.
"Kata Ustadz, waktu diindung-indung dulu, elu bacain selawat nggak?"
"Nggak...saya cuman nyanyiin doan," jawab istrinya dengan rasa bersalah.
"Nah itu dia! Terus, elu nyanyiin apaan?" Tanya Jeding penasaran.
"Saya nyanyiin lagu dangdut," jawab istrinya.
"Lagu dangdut? Lagu yang mana?" Jeding makin penasaran.
"Yang begini nih, 'Mabok lagi ah' ah...mabok lagi ah'...," jawab istrinya
sambil goyang pinggul.
"Yaaah... pantes aja tuh anak mabok melulu!" Kata Jeding pasrah.

Dan masih banyak kisah menggelitik lainnya. Seperti saat Si Jeding mengantar
Ibunya pergi umrah. Baru sampai di Bombai, tapi Ibunya sudah ingin turun
dari pesawat karena tidak betah. Di halaman ini saya temukan satu
kekurangan. Judul kisahnya "Umi Mau Umrah Bukan Mau Maen Pelem", seharusnya
Ummi bukan Umi. Karena Ummi berarti Ibu, sedangkan Umi berarti bodoh.
Semoga ini bisa jadi koreksi untuk direvisi. Karena perbedaan artinya
sangat jauh meskipun hanya beda satu huruf.

Kisah yang membuat temanku tertawa tengah malam adalah kisah 22 "Imam Kok
Bingung? Kisah ini mengingatkan dia pada engkong yang jadi imam di kampung.

Tentunya bukan hanya hiburan yang terkandung dalam buku ini yang saya
dapatkan tapi esensi dan ibroh (pelajaran) yang bisa dipetik dari setiap
kisah.

--
http://minesweet.co.cc
YM : mine_haway
Recent Activity
Visit Your Group
Drive Traffic

Sponsored Search

can help increase

your site traffic.

Yahoo! Groups

Mom Power

Community just for Moms

Join the discussion

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web