Sabtu, 22 Februari 2014

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3783

1 Message

Digest #3783
1
(Kolom) Perlawanan Terhadap Jokowitainment by "Yons Achmad" freelance_corp

Message

Sat Feb 22, 2014 12:55 am (PST) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Perlawanan Terhadap Jokowitainment

Ditulis : *Yons Achmad*, 22 Februari 2014 | 09:28

Apakah Jokowi melakukan politik citra? Dia mengaku tidak. Pengakuan itu
saya dengar sendiri saat dia memberikan kuliah umum "Reformasi Birokrasi"
di Universitas Paramadina, Jakarta. "Politik citra apanya, saya televisi
*ndak* punya, Koran juga *nggak* punya, itu kerjaan wartawan saja" Begitu
kira-kira bahasa penolakan dia. Tapi masalahnya, apakah publik percaya
pengakuannya? Masing-masing tentu punya persepsi tersendiri. Yang muncul di
berbagai media sekarang, fenomena Jokowitainment begitu mewarnai tayangan
pemberitaan. Lantas, masalahnya apa?

Saya kira, besar atau kecil, setiap politikus atau pejabat publik pasti
melakukannya. Ya, saya kira pasti politik citra itu dimainkan. Omong
kosong kalau tidak melakukannya. Yang menjadi masalah, menurut saya adalah,
dramatisasi yang terlampau berlebihan, ekspose yang hanya menampilkan sisi
remeh-temeh, sisi emosional (personal), bukan ekspose atas capaian, atau
semacam restasi kerja sebagai pemimpin. Hanya saja, logika publik kadang
memang berseberangan dengan logika media.

Industri media punya logikanya sendiri untuk memberitakan sesuatu. Seperti
pengakuan Pemimpin Redaksi Detik Com, Arifin Asydhad dalam sebuah diskusi
"Islam dan Media Berita" di Jakarta beberapa waktu lalu. Katanya "Kita
memang selalu beritakan Jokowi, karena dia sosok yang jujur, pekerja keras
dan merakyat, dia sangat beraklak muslim, jadi kami dukung". Begitu kata
insan pers yang juga alumni pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo itu.

Nah, menyikapi fenomena Jokowitainment ini, biarkan media berkreasi lewat
jalannya sendiri. Tapi, publik juga punya kuasa. Kita, sebagai publik yang
kritis, tentu perlu menolak banjirnya informasi serta narasi-narasi
kepemimpinan yang dangkal, tidak penting serta tidak menukik pada akar
persoalan. Kita, perlu menolak apa yang disebut akademisi Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali dengan sebutan *communication
without substance* (banjir informasi/komunikasi yang dangkal, tanpa isi,
tanpa arti).

Kita, sebagai publik, punya tanggungjawab penting untuk mengembalikan
narasi-narasi tentang Jokowi berbasis prestasi kerja, bukan berita-berita
sentimentil, remeh temeh, walaupun memang sendikit menghibur. Kita harus
kembalikan narasi tentang bagaimana Jokowi mengatasi problem substansial
Jakarta, seperti kemacetan, banjir, pemukiman kumuh, isu pro kesehatan
publik, juga tentu saja cita-cita kemakmuran. Isu-isu demikian yang
sejatinya perlu dikawal.

Masalahnya sekarang, boleh dibilang hampir semua media mainstream (arus
utama) memperlakukan Jokowi semacam itu, menjadikannya sajian
Jokowitainment. Tentu saja, yang demikian saya kira sebuah "dosa" media
yang agak kelewatan. Penolakan serta perlawanan narasi dan wacana media
demikian harus terus dinyalakan. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan
media alternatif, bentuk nyatanya lewat "New Media" atau jejaring media
sosial yang setiap kita, masyarakat digital, memilikinya (Twitter, blog,
facebook, web interaktif dll). Itu adalah *tool-tool* yang bisa kita
gunakan sebagai alat perlawanan.

Agar agenda perlawanan terhadap fenomena Jokowitainment ini lebih tepat
sasaran, kita memerlukan filsafat media, atau konsep pendukung sebagai
landasan gerak praksisnya. Ide dasarnya, ketika tokoh melakukan komunikasi
politik, bentuk nyatanya adalah (misalnya) pencitraan, maka perlawanan yang
mesti dilakukan salah satunya adalah dengan politik komunikasi, membalik
logika dan banjir informasi. D.C Mutz (2001), dalam "The Future of
Political Communication" mengartikan politik komunikasi sebagai upaya
menjadikan warga Negara sebagai pengelola informasi yang aktif dan mandiri.

Gagasan "Public Sphere" dari Habermas barangkali juga relevan kita pinjam
untuk mendukung gerakan perlawanan (politik informasi) terhadap fenomena
jokowitainment ini. Gagasan ini bisa kita temukan lewat beberapa buku
karangannya, diantaranya "The Structural Transformation of Public Spere"
(1993) juga "Moral Consciousness and Communicative Action" (1996). Tentu
saja, istilah politik komunikasi sendiri, sejalan dengan gagasan "Ruang
Publik" dari Habermas ini.

Habermas, lewat bukunya, memimpikan sebuah "Public Sphere" yaitu ruang
publik yang lepas dari tekanan kekuatan dominan, terutama dari tekanan
istana (pemerintah) dan pasar (kapital), sehingga dapat terjadi sebuah
interaksi komunikasi yang bebas dan (relatif) rasional. Gagasan demikian,
akan terwujud jika ada syarat diantaranya "variety of media" (terdapat
variasi jenis media), "Diversity in media ownership" (keterbukaan dan
keberagaman kepemilikan media) serta "Plurality of contents" (kandungan
atau isi berita yang beraneka ragam pula). Nah, bagaimana fenomena
Jokowitainment dikaitkan dengan beberapa gagasan di atas.

Kini. Entah Jokowi atau tim/relawan suksesnya sengaja melakukan politik
citra atau tidak, "faktanya"; media khususnya media mainstream (arus utama)
telah menyuguhkan wajah Jokowitainment yang dangkal dan remeh temeh itu.
Media arus utama, ketika memainkan peran demikian, sejatinya telah gagal
melakukan fungsi utamanya, kontrol terhadap performa kepemimpinan dan
gagal melakukan advokasi media untuk urusan-urusan publik yang masih belum
terselesaikan. Media hanyut dan larut dalam dramatisasi sepak terjang
Jokowi yang sebatas kulit, bukan isi. Yang tentu saja, tujuannya sebatas
kapital, trafik atau rating. Yang demikian, sangat berlawanan dengan
cita-cita publik. Nah, melalui media alternatif didukung sosial media, kita
perlu membangun ruang yang lebih rasional terhadap Jokowi, seperti ide
Habermas.

Semua ini perlu dilakukan, untuk sebuah tatatan dan kepemimpinan yang lebih
baik. Kita perlu narasi-narasi media yang berisi dan punya arti, bukan
narasi-narasi yang dangkal, remeh temeh, yang hanya membawa efek
dramatisasi. Yang hanya menguntungkan media semata tapi sesungguhnya abai
terhadap kepentingan publik. Jadi, perlawanan terhadap fenomena
Jokowitainment, perlu terus dinyalakan. Bukan dalam rangka menciptakan
sebuah serangan, tapi membalik keadaan agar tercipta tatanan yang lebih
baik sesuai yang publik cita-citakan. Demikian. (Yons Achmad/pemerhati
media, tinggal di Jakarta).

http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment
Share on twitter<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>
Share
on facebook<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>
Share
on email<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>
Share
on print<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>
More
Sharing Services<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>
4<http://wasathon.com/politika/view/2014/02/22/perlawanan-terhadap-jokowitainment#>

Tidak ada komentar: