Sabtu, 07 September 2013

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3751

1 New Message

Digest #3751

Message

Fri Sep 6, 2013 10:38 pm (PDT) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

MUI Menggonggong: Kekerasan Bahasa CentroOne

Oleh

Yons Achmad*

Saya agak kaget ketika sebuah media online CentroOne menulis " MUI
Menggonggong, Miss World 2013 Tetap Jalan" (25 Agustus 2013/11.30). Tafsir
awamnya, sang penulis berita Fahrul Anwar menyamakan MUI ibarat anjing.
Tafsir luasnya, sang penulis berita, begitu juga politik media tersebut
begitu geram dengan sikap MUI yang menolak diselenggarakannya kontes ratu
kecantikan sejagat tersebut. Baru setelah mengetahui ada protes publik,
berita tersebut judulnya diganti dengan "MUI Bernyanyi, Miss World 2013
tetap Jalan". Sementara isi berita tersebut, hanya corong dari panitia
pelaksana, juga pihak stasiun TV. Intinya, menyayangkan sikap MUI dan
menegaskan bahwa acara Miss world 2013 tetap harus terlaksana.

Sejauh ini, situs berita tersebut memang kalah pamor dengan misalnya
detik.com, vivanews.com atau media online lain. Tak banyak dibaca. Hanya,
entah bagaimana, ada yang memergoki situs berita online tersebut menyebut
MUI dengan kata "Menggonggong". Untuk mengelak, mereka tidak bisa walau
sudah diganti judulnya menjadi "MUI Bernyanyi". Seorang teman berhasil
"Memotret" laman berita asli tersebut sebelum diganti. Mungkin beritanya
sudah lama, tapi kekerasan bahasa jurnalistik ala CentroOne ini tetap perlu
menjadi perhatian kita.

Doris A Graber (1980) dalam buku klasik "Mass Media and American Politic"
menulis: Pers berfungsi sebagai mata dan telinga bagi publik. Selain itu,
pers berperan pula sebagai *watchdog* pemerintah. Terkait dengan kasus
diatas, bagaimana kita membacanya? Apakah memang dibenarkan pers seenaknya
memberikan judul begitu dan menjadi corong kepentingan tertentu? Begitu
juga, apa relevansinya dengan kondisi sosial kemasyarakatan kita?

Membaca berita dari CentroOne, kita bisa melihat bagaimana judul beritanya
begitu tendensius. Judul "MUI Menggonggong" saya kira olok-olokan yang
nyata, kasar dan memperlihatkan bagaimana rendahnya tingkat peradaban
wartawannya. Lantas, kalau kita membaca dengan seksama isi beritanya, kita
akan melihat bagaimana berita tersebut hanyalah corong panitia, begitu juga
corong stasiun televisi yang akan menyiarkan acara tersebut. Padahal,
kalaupun CentroOne tidak suka atas pihak-pihak yang menolak kontes ratu
kecantikan tersebut, masih bisa menggunakan judul atau cara-cara yang lebih
"sopan". Tidak menghina MUI sebagai sebuah lembaga yang beranggotakan
ulama-ulama (tokoh agama). Dalam kasus ini CentroOne tidak sensitif dan
terbukti melakukan kekerasan bahasa (jurnalistik) yang berpotensi
melahirkan konflik.

Sementara, politik media CentroOne dalam kasus ini sama sekali tidak bisa
menjadi "Mata dan telinga" publik, juga tidak mampu untuk kritis terhadap
penguasa. Justru larut dalam pusaran mendukung acara kontes ratu kecantikan
tersebut. Sebuah kontes yang jauh dari adat ketimuran, sebuah kontes yang
sejatinya mendukung liberalisme budaya. Kontra produktif dengan nilai-nilai
apapun yang kita anut.

Apa yang diberitakan CentroOne ini, mungkin terlihat sepele, tapi bagi
studi jurnalisme (online) dan etika jurnalistik (kewartawanan) tentu perlu
menjadi catatan tersendiri, bagaimana buruknya kualitas wartawan dan
politik media tersebut. Sepertinya, Dewan Pers perlu turun tangan untuk
membenahi celah buruk dari praktek jurnalisme online ini. Disisi lain,
organisasi dan komunitas-komunitas pemantau media juga perlu turut berperan
aktif melakukan control terhadap praktek jurnalisme yang berpotensi
menciptakan konflik. Urusan bangsa ini sudah semakin pelik dan rumit. Pers
seharusnya bisa turut andil memberikan pencerahan dan "memecahkan masalah"
bukan malah memperkeruh suasana. Begitulah seharusnya.

*Pemerhati media. Tinggal di Jakarta.

http://kanetmedia.com/article/read/mui-menggonggong-kekerasan-bahasa-centroone/

Tidak ada komentar: