Senin, 02 Desember 2013

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3765

1 New Message

Digest #3765
1

Message

Sun Dec 1, 2013 9:46 pm (PST) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Tempo, media yang dekat dengan Sitok Srengenge, aktivis Salihara, rupanya
menggunakan beragam cara untuk membela penjahat. Sitok yang menurut BEM FIB
UI, telah melakukan pemerkosaan seorang mahasiswi UI ingin dicitrakan
sebagai sosok yang baik dan juga bertanggungjawab. Terkiat dengan kasus
Sitok Srengenge, kalau kita cermati berita-berita Tempo, kita akan
menemukan dosa-dosa Tempo dalam jurnalisme. Diantaranya:

*Pertama, menjadi humas (PR) Sitok Srengenge.* Dalam Ilmu Komunikasi ada
dua studi yang cukup popular, jurnalistik dan Humas (PR). Dalam
jurnalistik, "hadist" nya adalah "Katakan yang benar walau pahit", dalam
humas (PR), "hadist"nya adalah "Katakan yang baik atau diam". Nah, dalam
kasus ini, kita bisa lihat bagaimana Tempo justru menjadi corong Sitok
Srengenge dan keluarganya. Menampilkan berita-berita yang baik, misalnya
Sitok melakukan perbuatan atas dasar suka sama suka, tidak benar menawarkan
miras, siap bertanggungjawab, ditambah digambarkan bagaimana istrinya yang
tetap setia. Ini dosa Tempo. Kita perlu bertanya, Tempo itu media atau
perusahaan PR (humas)?

*Kedua, berpihak pada penjahat.* Dalam kasus Sitok Srengenge, begitu kuat
pembelaan Tempo terhadapnya. Tempo, kerap dikenal "Menyuarakan yang bisu".
Tapi kali ini tidak, tak ada suara korban dalam berita-berita yang
ditampilkan. Dalam prinsip jurnalistik yang kita kenal, wartawan memiliki
kewajiban utama terhadap suara hatinya. Dan Tempo tidak melakukannya, malah
membabi-buta membela Sitok. Menyedihkan.

*Ketiga, tidak mencari kebenaran.* Tempo tidak berusaha mencari kebenaran
tentang sebuah kasus atau peristiwa. Dalam kasus Sitok, yang terjadi adalah
pemberitaan yang melulu menguntungkan Sitok Srengenge. Tidak ada upaya
bagaimana wartawan melakukan usaha serius untuk membuka kedok, membuka
tabir kisah yang sebenarnya.

*Keempat, tidak melayani masyarakat.* Padahal, loyalitas pertama
jurnalistik adalah melayani masyarakat. Yang ada, Tempo hanya melayani satu
pihak, membela satu orang yang dekat dengan mereka yaitu Sitok Srengenge,
sebagai penyair yang diagung-agungkan komunitas Salihara, sebuah komunitas
yang dekat dengan Tempo.

*Kelima, tidak disiplin verifikasi.* Dalam kasus Sitok Srengenge, tidak ada
upaya Tempo untuk menggali lebih jauh tentang saksi-saksi yang kemungkinan
juga menjadi korban "rayuan" Sitok. Juga tidak melakukan misalnya
menyingkap kasus dengan menggali beragam sumber. Yang ada hanyalah
klarifikasi Sitok Srengenge untuk membersihkan namanya.

*Keenam, tidak independen.* Jelas, kalau kita baca berita-berita Tempo
tentang kasus Sitok Srengenge, yang ada adalah sumber-sumber dari Sitok
Srengenge sendiri. Sitok yang selalu melakukan bantahan, termasuk
pernyataan sikap BEM FIB UI yang dikatakannnya sebagai "Tidak Benar"

*Ketuju, ungkap fakta yang tak relevan.* Dalam kasus Sitok, Tempo begitu
bernafsu mengutip istri Sitok yang akan tetap setia mendampingi suaminya.
Dalam kasus ini, bertentangan dengan prinsip jurnalistik yaitu membuat
sesuatu yang penting menjadi menarik dan relevan. Usaha Tempo itu hanya
menguntungkan Sitok. Tapi dramatisasi keluarga itu sangat tidak relevan
dengan kasus pemerkosaan yang dituduhkannya.

*Kedelapan, tidak proporsional.* Artinya, berita yang dominan hanya
menempatkan sosok Sitok yang bertanggungjawab, baik, juga didukung oleh
istrinya yang setia. Lantas, mana suara korban? Mana fakta dimana korban
mendapatkan terror yang membuatnya trauma, terror yang menjadikan korban
pemerkosaan sempat melakukan percobaan bunuh diri.

*Kesembilan, tak berani melawan penguasa*. Dalam industri media, penguasa
bisa diartikan penguasa (pemerintah) maupun penguasa media itu sendiri.
Nah, Sitok adalah sekongkol Goenawan Mohammad. Jelas wartawan Tempo dalam
kasus ini benar-benar tak punya daya (loyo) untuk mengungkap kasus yang
sebenarnya. Termasuk, sebenarnya akan menjadi fakta yang asyik jika
desas-desus yang mengatakan GM juga melakukan hal yang sama (hanya tidak
ketahuan) juga diungkap ke publik. Tempo berani? Pasti tak punya nyali.

Begitulah, dosa-dosa Tempo. Wartawan dan pegiat Tempo telah melakukan
pilihan yang keliru itu. Apa boleh buat, Tempo mungkin bisa sesumbar
sebagai media yang besar. Tapi, apakah mampu melawan jurnalisme warga yang
menjadikannya musuh bersama? Kita tunggu saja.(Yons Achmad/wasathon)

http://wasathon.com/humaniora/view/2013/12/02/9-dosa-tempo-dalam-kasus-sitok-srengenge
We are making changes based on your feedback, Thank you !
The Yahoo! Groups Product Blog

Tidak ada komentar: