Selasa, 03 Desember 2013

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3766

3 New Messages

Digest #3766

Messages

Mon Dec 2, 2013 1:16 am (PST) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Sastra Islami. Agak berbeda memang dengan istilah Sastra Islam sebagaimana
pendapat Abdul Hadi WM, bagi Abdul Hadi Sastra Islam adalah sumbangsih
ummat Islam terhadap budaya dan peradaban serta sastra yang tak bisa
dinafikan memiliki pandang dunia sendiri.

Sastra Islam yang akan dibahas ini lebih kepada Sastra Islam yang
diartikulasikan oleh para aktivis dakwah, Irfan Hidayatullah salah satu
pegiatnya menyebutnya lebih spesifik sebagai sastra dakwah. Istilah Sastra
Islami ini sempat melambung di tahun 2000-an.

Ketika itu anak-anak muda muslim, para aktivis masjid, komunitas tarbiyah
beramai-ramai membuat karya sastra Islami. Terlahir dari pengalaman
ekstensif dalam berdakwah Islam di kampus-kampus negeri. Kumpulan cerpen
dan novel banyak lahir, dicetak ribuan eksemplar dan laris di pasaran.
Sastra Islami ini berawal dari kampanye media yang dilakukan Majalah
Annida. Diteruskan oleh komunitas yang dikenal dengan Forum Lingkar Pena
(FLP). Lantas, bagaimana nasib sastra Islami itu sekarang?

Wasathon, sebagai media yang konsen dalam perkembangan pemikiran dan sastra
Islam merasa perlu untuk mencari tahu lebih jauh mengenai perkembangan
sastra Islami ini. Salah satu wartawan Wasathon, berbincang dengan Intan
Savitri (2/12), Mantan Ketua FLP (2009-2013), pegiat sastra dan literasi
yang saat ini sedang mengambil studi Doktoral di Psikologi Universitas
Indonesia (UI).

Ditanya tentang perkembangan sastra Islami, Intan Savitri yang juga aktivis
Balai Pustaka ini punya jawaban cukup mengejutkan "Sebenarnya sastra Islami
itu sudah tidak ada" Menurutnya, eksistensi sastra Islami saat ini sedang
meredup karena tidak adanya konsistensi para pengusungnya, serta tidak
adanya upaya-upaya strategis untuk menjadikannya sebagai sebuah gerakan
yang bersifat lebih massif .

Hal itu dimulai dengan pembusukan dari dalam. Islam sebagai sebuah
pergerakan salah satunya adalah mengupayakan transformasi gaya hidup, tak
hanya ibadah ritual yang bersifat vertical antara hamba dan Tuhannya,
tetapi juga horizontal yang lebih bersifat sosiologis, atau amal
hablumminannaas. Upaya transformasi gaya hidup itu tentunya salah-satunya
adalah pemilihan dan keberpihakan terhadap bacaan dan sumber referensi.

Ketika gaya hidup Islami coba untuk dibangun dan disebarluaskan oleh para
pegiatnya, maka kebutuhan berikutnya adalah pemenuhan terhadap
kebutuhan-kebutuhan terhadap gaya hidup tersebut. Pada tahun delapan
puluhan hingga tahun 2000-an, kebutuhan terhadap referensi bacaan fiksi
Islami menjadi keniscayaan. Karena selera telah terbentuk, maka berikutnya
adalah pemenuhan terhadap selera itu. Itu sebabnya ketika majalah Annida
saat itu pimpinan redaksinya adalah Helvy Tiana Rosa, mengubah bentuk
menjadi bacaan khusus fiksi, majalah ini berjaya, menjadi salah-satunya
majalah yang menyuguhkan bacaan khusus kisah-kisah Islami.

Kerinduan terhadap bacaan jenis ini terpenuhi. Kemudian, pada tahun 2000-an
salah satu penerbit Islam yang masih muda usia, menangkap gejala ini.
Terbitlah novel dan kumpulan fiksi pertama, yang kemudian meledak di
pasaran. Saat itu, nilai-nilai, keyakinan bertemu dengan ketersediaan
bacaan, sehingga cerita Islami, atau sastra Islami merajai di pasaran. Tak
urung langkah ini diikuti oleh banyak penerbit, Mizan merangkul para
aktifis cerita atau sastra Islami ini dengan mendirikan LPPH Lingkar Pena
Publishing House, Era Intermedia, GIP, dan masih banyak lagi.

Tetapi belasan tahun kemudian, ANNIDA sebagai inisiator cerita Islami,
tumbang, ia tak lagi diterbitkan secara cetak melainkan online, buku-buku
dengan tema cerita Islami meredup. Apakah yang terjadi? Apakah selera
konsumen segmen ini bergeser seleranya? Karena apa? Apakah tak lagi
'dididik' sebagaimana awal mulai nilai-nilai ini disebarluaskan? Apakah ini
pertanda terjadi pembusukan di dalam?

Memang tidak terjadi relasi langsung keberadaan komunitas pegiat dakwah
Islam yang tumbuh dari kampus-kampus dan kerohanian Islam ini dengan
meredupnya 'tren' cerita atau sastra Islam.

Apakah ini juga terkait dengan para aktifis Islam kampus dan kerohanian
yang kemudian bertumbuh mengembangkan organisasi politik dan sibuk
berpolitik praktis sehingga lupa mengembangkan apa yang telah dirintis
yakni sumbangsih terhadap pemikiran dan kebudayaan Islam, khususnya di
Indonesia? Jika ini yang benar terjadi, maka telah terjadi pembusukan dari
dalam. Politik praktis tentu saja memiliki alamnya sendiri yang relatif
berbeda dengan pengembangan budaya dan pemikiran. Sangat disayangkan jika
ini benar-benar terjadi. Referensi Islam yang umumnya diambil dari para
ustadz tak lagi mampu memantik ide dan kreatifitas, sebab boleh jadi mereka
terlalu sibuk berpolitik.

Menurut Intan, sebenarnya dulu ada tiga kaki yang "berjalan" mengusung apa
yang dinamakan dengan sastra Islami itu. Pembaca yang ditarbiyah untuk
memiliki selera Islami, gaya hidup Islami. Penerbit yang menggagas fiksi
(sastra) Islami, diantaranya Syamil, Era Intermedia, GIP dll, sebagian
besar berasal dari komunitas Tarbiyah itu sendiri. Ketika komunitas
Tarbiyah, muncul sebagai partai terbuka, mau-tak mau ini berdampak cukup
signifikan dengan idealism mengembangkan budaya dan gaya hidup Islami ala
mereka.

"Jangan-jangan, kita telah membunuh sendiri bayi sastra Islami yang belum
lagi diakui publik" Katanya. Menurutnya, untuk menghidupkan sastra Islami
perlu strategi misalnya diadakan "Festival Sastra Islami". Keberadaan
Habiburahman Elsirazy sebagai pegiat Rabithah Al-Islami semestinya mampu
mengembangkan dan memperkuat Sastra Islam di tanah air.

Disinggung soal Forum Lingkar Pena (FLP) yang telah melahirkan
penulis-penulis muda produktif seperti Beny Arnas atau Masdar Zainal,
dikatakannya, mereka tidak serta merta bisa dikatakan menulis sastra
Islami. Meskipun keberadaan mereka tak lepas dari bacaan mereka terhadap
apa yang dikembangkan oleh Annida di tahun 90-an tetapi kemudian mereka
berkembang dan mendapatkan pengakuan dari jagat sastra arus utama
(mainstream). Dilain pihak, para aktivis FLP belum lagi menguatkan estetika
sastra Islam itu sendiri, tetapi lebih sibuk berkompetisi misalnya lewat
ajang Tulis Nusantara, event komunitas lain yang notabene bukan berasal
dari estetika sastra Islam. Boleh saja dikatakan niatan mewarnai, tetapi
bukankah setiap ajang kompetisi memiliki nalarnya tersendiri?

Begitulah, sastra Islami yang boleh dikatakan "Anak jadah yang tidak
diakui oleh ibunya sendiri". Lantas, bagaimana dengan Forum Lingkar Pena
(FLP) yang juga sebagai pelopor sastra Islami, apakah juga masih penduli
dengan sastra Islami? Kita tunggu perkembangannya (Yons
Achmad/Wasathon.com)

http://wasathon.com/humaniora/view/2013/12/02/intan-savitri-sastra-islami-sudah-tidak-ada-lagi

Mon Dec 2, 2013 1:54 am (PST) . Posted by:

"yons achmad" freelance_corp

Salam media,

Badan Bahasa Kemdikbud kembali adakan pelatihan bahasa untuk mahasiswa Ilmu Komunikasi (Jurnalistik) atau anggota pers mahasiswa. Selasa-Rabu 10-11 Desember 2013 di Hotel Salak Bogor.

Gratis dan disediakan akomodasi, transportasi. Bagi yang berminat kirimkan Nama- Kampus-Email-HP- Nama Media. Ke senjakarta (at) gmail.com.

Akan dipilih 30 peserta yang akan dihubungi langsung oleh panitia. Demikian. Terimakasih.

Salam
Yons Achmad
Publicist
082123147969
2677F8AC
@senjakarta
http://kanetmedia.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mon Dec 2, 2013 3:03 pm (PST) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Pingin tahu lengkapnya? Klik aja link berikut ^_^

http://wasathon.com/humaniora/view/2013/12/03/novel-da-conspiracao-konflik-flores-dan-nafsu-pengarang

salam
yons achmad
penikmat teh
We are making changes based on your feedback, Thank you !
The Yahoo! Groups Product Blog

Tidak ada komentar: