Kamis, 18 Juli 2013

[daarut-tauhiid] Hukum Bayar Zakat di ATM, Kantor Pos, Lotttemart, dll

 

Membayar Zakat Melalui Perwakilan/Mitra LAZ (Payment Channel)

Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menunaikan kewajiban zakat di satu sisi sangat menggembirakan, namun di sisi lain hal ini perlu diimbangi dengan ketersediaan layanan yang memberikan berbagai macam kemudahan bagi para muzakki (wajib zakat) dalam menunaikan kewajibannya. Oleh sebab itu, seiring dengan berkembangnya zaman berbagai upaya untuk memberikan layanan dan kemudahan kepada muzakki telah dilakukan, seperti jemput zakat, bedonasi langsung melalui kantor kas/cabang atau melalui Payment Channel (melalui mitra LAZ seperti: perbankan, kantor pos, restoran, swalayan, dll) atau transfer zakat via ATM, kartu kredit, dsb.
Pembayaran zakat melalui mitra Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau yang dikenal dengan Payment Channel, merupakan salah satu layanan kemudahan yang diberikan LAZ sehingga para muzakki tidak perlu datang langsung ke kantor cabang/kas LAZ untuk membayar zakat. Dalam hal ini LAZ mendelegasikan atau mewakilkan secara resmi kepada mitranya untuk menerima zakat yang diperoleh dari para muzakki, setelah itu dana tersebut diberikan kepada LAZ untuk disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahiq). Sedangkan mitra LAZ bertindak sebagai wakil resmi dari LAZ dalam penerimaan dana zakat.
Dalam khazanah fiqih Islam transaksi yang dilakukan antara LAZ dan mitranya sering disebut dengan al-Wakalah. Artinya LAZ selaku al-Muwakkil (yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan) dan mitra LAZ selaku al-Wakil (yang menerima perwakilan) bersepakat untuk mengadakan perjanjian dalam urusan mewakilkan penerimaan dana zakat dari muzakki. Urusan yang diwakilkan tadi sering disebut juga al-Muwakkal fih.
Al-Wakalah atau al-Wikalah adalah perwakilan. Menurut bahasa, artinya at-tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat), dan al-hifzhu (pemeliharaan). (Lihat Taudhih Al-Ahkam karya Abdullah Al-Bassam IV/627, dan Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya wahbah Zuhaili V/71).
Sedangkan menurut istilah syariat arti al-wakalah adalah tindakan seseorang menyerahkan urusannya kepada orang lain pada urusan yang dapat diwakilkan, agar orang lain itu mengerjakan urusan tersebut pada saat hidupnya orang yang mewakilkan. (Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/253; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/283).
Hukum al-wakalah dalam syariat Islam boleh (mubah) berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an, Hadits Nabi, dan Ijma para ulama.
• Dalil Al-Qur'an:
1. "…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun." (QS. Al-Kahfi: 19).
Ayat ini menggambarkan perginya salah seorang Ashhabul Kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
2. "Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (QS. Yusuf: 55) Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf as siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah "Federal Reserve" negeri Mesir.
3. "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Taubah [9] : 60)
Ayat di atas, menunjukkan bolehnya wakalah. Sebab amil zakat bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat. Pada saat mengumpulkan zakat, berarti amil zakat menjadi wakil para mustahiq untuk mendapatkan hak mereka. (Imam Nawawi, Al-Majmu', 14/92).
4. "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." (QS al-Nisaa' [4] : 35)
Ayat di atas menunjukkan bolehnya wakalah. Karena hakam (juru damai) adalah wakil dari suami dan dari isteri yang bersengketa. (Imam Nawawi, Al-Majmu', 14/92).

• Dalil Hadits Nabi:
1. Dari `Urwah Al-Bariqi, bahwasanya Nabi Shallallahu `Alaihi Wasallam memberikan padanya satu dinar buat ia belikan dengannya satu hewan qurban ataupun seekor kambing. Lantas ia beli dengannya dua ekor kambing, dan ia jual salah satunya seharga satu dinar, kemudian ia berikan kepada Nabi seekor kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi mendoakan keberkahan dalam jual belinya. Maka, jika ia beli pasir, niscaya ia akan beruntung padanya". (HR. Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadits tersebut di atas menjelaskan bolehnya menyuruh/mewakilkan orang lain untuk membeli sesuatu. Inilah dasar diperbolehkannya wakalah dalam transaksi.
2. "Meriwayatkan Jabir bin Abdullah RA, dia berkata,"Saya bermaksud keluar ke Khaibar lalu aku mendatangi Rasulullah SAW dan berkata kepada beliau,"Sesungguhnya aku akan keluar ke Khaibar. Rasulullah SAW berkata,'Datangilah wakilku dan ambilllah darinya 15 wasaq. Kalau dia minta suatu tanda darimu, letakkan tanganmu pada pundaknya." (HR Abu Dawud).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasul saw mewakilkan urusannya kepada orang lain.

• Dalil Ijma Ulama:
Para ulama pun bersepakat dengan ijma' atas dibolehkannya akad wakalah. Sebagian mereka bahkan ada yang cenderung menganjurkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis tolong menolong atas dasar kebaikan dan ketakwaan. Ibnu Qudamah berkata: "Umat Islam telah bersepakat dengan ijma' atas dibolehkannya akad wakalah". (Taudhih Al-Ahkam, karya Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/627).
Wakalah boleh dilakukan tanpa ujrah (upah), boleh pula dilakukan dengan ujrah. Jika wakalah dilakukan tanpa upah, itu adalah suatu kema'rufan dari pihak wakil. Jika dilakukan dengan upah, maka hukum wakalahnya mengikuti hukum ijarah. Prof. Wahbah Zuhaili dalam bukunya berkata : "Wakalah sah dengan upah atau tanpa upah. Sebab Nabi SAW dulu pernah mengutus para amilnya untuk menerima zakat dan memberikan kepada mereka upah. Karena itulah salah satu anak paman beliau berkata kepada Nabi,"Hendaklah Anda mengutus kami untuk mengambil zakat, lalu kami menunaikan tugas kami untuk Anda sebagaimana yang dilakukan orang lain, dan kami pun memperoleh apa [upah] sebagaimana yang diperoleh orang lain." (Prof. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 5/691).
Demikian pula Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) selaku pemegang otoritas dalam pengeluaran fatwa terkait fiqh muamalah di Indonesia, telah mengeluarkan fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 yang berkaitan dengan hukum al-wakalah.
Semoga penjelasannya bermanfaat. Wallahu a'lam bishawwab.

Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat
DR. H. Kardita Kintabuwana, Lc, MA

Iman Aryadi
PIC Rumah Zakat @kantor pos

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: