Seorang bocah lelaki berusia hampir sepuluh tahun punya
kebiasaan tak lazim sesudah mandi. Ia kerap melilitkan handuknya tidak
sebagaimana biasanya para lelaki melakukannya, mulai dari pusar ke bawah. Bocah
ini justru melilitkan handuknya dari atas dada ke bawah. Setelah diselidiki,
ternyata ia meniru ibu dan kakak-kakak perempuannya. Berkali-kai diajari untuk
melilitkan handuk di bawah pusar, tetap saja ia pada kebiasaannya, berhanduk
seperti para perempuan. Akhirnya keluarga itu cenderung mendiamkannya, dengan
harapan nanti juga akan mengerti jika kelak dewasa.
Kasus lain, seorang anak perempuan berusia kurang dari
delapan tahun terlihat lebih "tomboy" bahkan dari anak laki-laki sebayanya.
Orang tuanya bercerai sejak ia masih berusia empat tahun dan ia tinggal bersama
ayah dan seorang kakak lelakinya. Selama hampir empat tahun bersama dua lelaki
paling dekat dalam hidupnya itu, warna "perempuannya" makin terkikis karena ia
senang bermain bersama kakaknya di rumah. Hampir semua mainan di rumahnya
adalah mainan yang biasanya untuk anak laki-laki, seperti bola,
tembak-tembakkan, mobil-mobilan dan beragam jenis permainan lainnya.
Berbeda lagi dengan seorang anak perempuan yang lain, ia
hanya mau disuapi oleh pembantunya, ketika menangis saat bermain yang dicari
pembantunya yang biasa ia panggil "mbak". Bahkan saat tidur malam pun hanya mau
ditemani "mbak"nya itu. Anak itu tahu siapa orang tuanya, namun ia tak merasa
dekat dengan keduanya. Saat anak itu sakit pun, yang menemani di rumah sakit ya
pembantu kesayangannya itu. Awal bekerja di rumah, mungkin si pembantu hanya
sekadar menjalankan tugas yang salah satunya mengasuh anak majikan. Namun
seiring kebersamaan yang terus menerus, muncul kasih sayang di antara anak dan
pembantu itu. Tak lagi sekadar tugas, si mbak mulai menganggap anak majikannya
itu layaknya anak sendiri, sehingga kasih sayangnya begitu tulus dirasakan oleh
anak majikan yang justru disaat yang sama kehilangan kasih sayang orang tuanya
yang sibuk mengejar rezeki.
Anak-anak itu ibarat air bening yang belum diberi warna
apapun ketika lahir. Orang tuanyalah yang kelak member warna-warni dalam
hidupnya. Namun sering tidak hadirnya orang tua dalam kehidupan mereka, membuat
tak sempurna proses "pewarnaan" yang semestinya berlangsung pada diri
anak-anak. Warna-warni ini harus seimbang diberikan orang tuanya, baik Ayah dan
Ibu. Karena Ayah dan Ibu punya peran yang berbeda dalam mewarnai jiwa dan
pertumbuhkembangan anak, mulai dari ia lahir hingga menjelang dewasa. Warna
Ayah sangat berbeda dengan warna ibu, dan anak-anak membutuhkan keduanya dalam
menjaga keseimbangan jiwa mereka.
Disaat sang ibu memberikan warna kelembutan bertutur,
anak-anak juga memerlukan warna ketegasan dari Ayahnya. Mereka memerlukan
balutan perasaan dalam setiap perilaku, disaat yang sama juga perlu berpikir
dan bersikap rasional yang diajarkan Ayahnya. Sejak kecil mereka memerlukan
warna kelenturan bertindak yang diwarnai ibunya, tetapi juga memerlukan warna
keteguhan dari Ayah. Anak-anak boleh menangis jika memang seharusnya begitu,
tetapi mereka juga mesti ajarkan untuk pantaang menyerah apalagi menangis
disaat tak seharusnya menangis, Ayah dan ibunya jugalah yang bisa memberi dua
warna ini. Mereka perlu miliki warna kesabaran dan penuh pertimbangan dalam mengambil
keputusan, namun juga harus belajar kecepatan dalam berkeputusan. Dan sudah
pasti mereka juga perlu belajar mengenal perbedaan laki-laki dan perempuan.
Mereka pun harus mampu bersikap hormat kepada kaum perempuan dan bersikap gentle terhadap laki-laki.
Cara ibu memandikan anak-anak berbeda dengan Ayahnya.
Jika ibu memandikan sambil bermain bebek-bebekan dan bernyanyi, maka Ayahnya
sambil bermain semprotan air dan kadang diangkat-angkat ke atas. Ayah yang
menemani anaknya tidur berbeda pula caranya dengan seorang ibu. Ibunya
mendekapnya penuh kehangatan sambil mendongeng putri Cinderella atau Fatimah
puteri Rasulullah. Sedangkan ada sebagian Ayah yang senang meletakkan anaknya
di dadanya. Dongeng yang dipilih pun tokoh segagah Robin Hood atau cerita
heroik Ali bin Abi Thalib. Seorang anak perempuan yang baru mandi didandani bak
puteri cantik dengan pita dirambutnya, sesuatu yang mungkin tak pernah
dilakukan Ayahnya.
Seorang anak lelaki akan diajarkan bermain bola oleh
Ayahnya, bermain kejar-kejaran polisi dan penjahat dengan mobil-mobilan kepada
anak lelakinya, sedangkan ibunya mungkin hanya memberinya bola dan
mobil-mobilan, belum tentu memiliki fantasi "kelaki-lakian" dalam bermain
mobil-mobilan. Begitu juga sebaliknya, anak perempuan merasa nyaman bermain
boneka bersama ibunya ketimbang Ayahnya. Cara berbicara ibu yang lembut dengan
suara yang rendah, dan suara Ayah yang berat serta kadang sesekali suaranya
meninggi, memberi warna pada anak, bahwa meski harus tetap bersuara rendah
dalam berbicara, namun tak ada salahnya meninggikan suara jika memang
seharusnya. Cara duduk dan berjalan Ayah yang berbeda dengan cara duduk dan
berjalan ibu juga akan menjadi perhatian anak-anak, bagaimana jadinya kalau
anak laki-laki hanya melulu melihat cara duduk dan berjalan ibunya?
Bayangkan jika salah seorang dari orang tuanya sering
tidak hadir dalam kehidupan anak-anak? Tentu akan tidak seimbang proses
pewarnaan pada diri anak-anak. Meski setiap anak laki-laki maupun perempuan
memiliki naluri sebagaimana tertanam dalam sifat kelelakian atau
keperempuanannya sejak ia dilahirkan, namun dalam proses perkembangannya ia
memerlukan penguatan dari kedua orang tuanya secara seimbang. Ayah yang sering
tak hadir dalam proses perkembangan anaknya, maka anak-anak akan banyak kehilangan
keseimbangan warna yang seharusnya dimilikinya, begitu juga sebaliknya. Seorang
ibu yang sering tak di rumah, kehilangan banyak kesempatan memberi warna
"keperempuanan" kepada anaknya sendiri. Lebih-lebih, jika kedua orang tuanya
yang sering tidak ada di rumah? Siapa yang memberi warna dalam hidupnya? Sopir?
Pembantu? Atau tokoh-tokoh fiktif dalam tayangan televisi?
Jangan sampai, karena berkali-kali seorang anak menangis
dan mencari Ayahnya tak ia temukan, lama-lama kelamaan ia akan merasa tak perlu
lagi ada Ayah di rumah. Semoga tidak terjadi, seorang anak yang tak pernah
merasa punya ibu karena seringnya sang ibu alpa dalam momen-momen penting dalam
kehidupan anak. Pernahkah Anda melihat seorang anak menangis tak henti ketika
pembantunya pulang kampong dan tak kembali? Namun ia tak pernah menangis saat
Ayah dan Ibunya berlama-lama meninggalkannya dalam tugas.
Anak-anak sebenarnya selalu meminta, "color me Dad, Mom…"
(Gaw, sedang membayangkan harga mahal yang harus ditebus karena terlalu sering
meninggalkan anak-anak)
----------------------------
Ikut, SOL – School of Life for Parents "Color Me, Dad…"
Sabtu, 7 Mei 2011 (info tempat menyusul)
Register ke email; schooloflife_indonesia@yahoo.co.id
Atau sms 085219068581
Bayu Gawtama
LifeSharerSOL - School of Life
085219068581 - 087878771961
twitter: @bayugawtama
@schoolof_life
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar