Selasa, 02 Juli 2013

[daarut-tauhiid] Belajar Memaafkan dari Buya Hamka

Belajar Memaafkan dari Buya Hamka
Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka
dengan sikap HAMKA

Selasa, 02 Juli 2013

Oleh: *Artawijaya
*

*"Janganlah pandang hina musuhmu,
karena jika ia menghinamu,
itu ujian tersendiri bagimu.*."(Syair Imam Syafi'i)



*HAJI *Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka
adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa
ini. Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari
1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun
tegas dalam akidah. "Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada
Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,"demikian tegasnya
ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari
Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia
dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang
mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti "Perayaan Natal
Bersama". Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin
Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa
Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya
bertemu Paus tersebut, "Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau,
sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras,
dimurtadkan oleh perintahnya?"

Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah,
ia santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf,
tak pernah menaruh dendam...

Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang
sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut.
Buku berjudul "Ayah" itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama
sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai
tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya,
putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang
mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul "Pribadi dan Martabat
Buya Hamka."

Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku "Ayah" tersebut. Terutama
tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang
yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh
pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka
menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu
pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan
memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI),
Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya
Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan
budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).

Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir
dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai
pribadi dan martabat Buya Hamka.

Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi
Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun
empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana
pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap
dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres
No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak
sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya
pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara,
diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap
Soekarno terhadap ulama tersebut.

Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah
mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal,
peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan
sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang
yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka
lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan
tersebut berbunyi, "Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk
menjadi imam shalat jenazahku.."

Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar
kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso,
tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka
pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara
itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu.
Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan
ketulusan ia mengatakan, "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah
menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya
ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari
Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur'an
30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk
menyelesaikan pekerjaan itu..."

Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan
orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad
Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga
termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera
Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong
Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan
sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi
kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.

Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia
aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di
Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara
Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis
Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, "Bila
negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja
kita menuju jalan ke neraka!"

Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad
Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan,
baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara
dan seminar. "Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian
kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya," begitu kata Buya Hamka.

Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media
massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet
Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan
Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, "Buya,
saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah
berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan
dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau," ujarnya.

Hamka yang tertegun kemudian bertanya, "Apa pesannya?" Sang menteri itu
kemudian mengatakan,"Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah
sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini,
pak Yamin dalam keadaan sekarat,"terangnya. Selain itu, kata sang menteri,
"Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang
lahatnya." Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan,
Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak
berkenan menerima jenazahnya.

Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta
diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka,
Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya,
kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu
pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin
surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, "Laa ilaaha illallah." Dengan suara
lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin,
kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.

Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu
menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah
ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika
itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin,
Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu
sampai ke pembaringan terakhirnya.

Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer.
Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu,
menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang
Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka.
Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang
sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain adalah karena Buya
Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan
Masyumi.

Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh
mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan
keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama
Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut.
Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari
peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya.
"Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama
berbeda," demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr.
Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.

Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk
datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta
calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. "Saya lebih mantap
mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka,
meski kami berbeda paham politik," demikian Pram menjelaskan.

Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman
Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia
mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia
memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka
tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia
kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa
pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.

Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci
oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia
sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama.
Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.

Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak
pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya
sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala
kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta.
Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara...

*Penulis adalah editor Pustaka Al-Kautsar dan dosen STID Mohammad Natsir*

*
http://hidayatullah.com/read/29208/02/07/2013/belajar-memaafkan-dari-buya-hamka.html
*


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: