Sabtu, 09 April 2011

[daarut-tauhiid] Peran Media Massa Terhadap Kerusakan Umat

*Sirkuit Dekadensi Moral*

Prinsip dasar sekularisme adalah memisahkan kehidupan dari agama. Kamus
Dairatul-Ma'arif al-Brithaniyah mendefinisikan sekularisme sebagai gerakan
kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan perhatian manusia dari akherat dan
mengarahkannya kepada dunia ansich. [Mauqif Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah
minal-'Ilmaniyah 'Awaiq al-Inthalaqah al-Kubra, Muhammad 'Abdul Hadi
al-Mishriy].

*Pengaruh Sekularisme – Liberal Terhadap Institusi Keluarga*

Sebagian dari buah jadam sekularisme itu hari ini telah kita rasakan.
Tersebarnya kerusakan moral tak hanya di kalangan remaja, bahkan orang tua
yang telah berkeluarga. Yang lebih mengkhawatirkan, dekadensi itu telah
disemai benihnya sejak anak-anak tingkat pendidikan dasar. Kerusakan moral
di kalangan remaja ditandai dengan banyaknya remaja yang telah melakukan
hubungan seks pra nikah. Berdasarkan sebuah penelitian, angka itu mencapai
51%. Tetapi peneliti yang lain mengatakan bahwa angka 51% itu merupakan
angka yang telah di-reduksi, sekedar menggambarkan bahwa jumlah prosentase
kerusakan itu telah melampaui setengah. Menurut mereka angka sesungguhnya
jauh lebih besar.

Kerusakan juga terjadi di kalangan kelompok dewasa yang telah berada dalam
ikatan rumah tangga. Ini menandakan kehancuran institusi rumah tangga. Rumah
tangga sebagai unsur terkecil pembentuk masyarakat telah digerogoti
eksistensinya oleh serangan sistematis paham sekularisme-liberal. Kerusakan
institusi "usroh-muslimah" ini membawa dampak berantai; keretakan hubungan
suami-isteri, terburainya ikatan kekeluargaan, terabaikannya hak-hak anak
baik kasih sayang maupun pendidikan.

Efeknya, anak-anak merasa tidak nyaman di rumah. Mereka mencari komunitas
senasib di luar rumah, atau mencari kesenangan sendiri tanpa bimbingan dan
tanpa kontrol. Dari sini kerusakan lebih lanjut bermula. Anak-anak ini tanpa
bimbingan dan pendampingan dari orang tua mengakses informasi sendiri, tanpa
dapat memilah yang bermanfaat dari yang membahayakan, tidak dapat membedakan
yang baik dari yang buruk, belum mengerti mana yang merupakan kenyataan dan
mana yang bukan.

Ketika mereka tersesat di situs-situs porno, dengan menemukannya sendiri
atau mendapat informasi dari teman atau dengan cara yang lain, menontonnya
sendiri atau bersama dengan teman-temannya, terus mengulanginya sehingga
mengalami kecanduan. Kerusakan lebih dahsyat dimulai. Kecanduan anak-anak di
bawah umur kepada pornografi jauh lebih merusak dibandingkan kecanduan
kepada rokok, minuman keras dan narkoba.

*Peran Media Dalam Penyebaran Dekadensi Moral*

Media massa menjadikan pornografi sebagai tambang uang; koran-koran,
majalah, televisi, internet, dll. Para artis merupakan komoditas yang
terus-menerus menjadi dagangan media untuk menangguk untung, tanpa rasa
tanggung jawab atas akibat dari apa yang mereka sebarkan. Industri
penerbitan, penyiaran dengan industri perfilman dan hiburan pada umumnya
telah menjadi dua sejoli yang secara mutualistik menjadi agen dekadensi
moral.

Kejahatan media sekuler-liberal tidak berhenti di titik itu. Tersebarnya
informasi sebagai akibat kerja media melahirkan penyimpangan moral, tindak
kriminal, pelanggaran susila, perselingkuhan, affair, dll. Selanjutnya,
penyimpangan dan kerusakan tersebut justru menjadi komoditas lanjutan yang
dijual media. Halaman media tidak lagi mampu meng-coverseluruh berita
meskipun mereka telah meningkatkan jumlah halaman, menyediakan rubrik baru,
jika perlu meluncurkan media baru dengan spesifikasi makin khusus. Dengan
demikian media sekuler-liberal telah mengamankan sendiri pasarnya, bahkan
produk komoditas yang hendak mereka jual telah pula secure, dijamin selalu
ada berita sensasional.

Media cetak maupun layar kaca, siang malam berlomba adu kreasi menciptakan
program-program baru yang mengekploitasi pornografi, menayangkan para artis
dengan segala penampilan keseronokannya maupun bicaranya yang semakin
berani, sekali lagi dengan mengatasnamakan kebebasan.

Keprihatinan para tokoh terhadap dekadensi moral dianggap oleh kaum
sekuler-liberal sebagai sikap konservatif, kolot. Mereka tidak
henti-hentinya dan dengan berbagai cara melakukan delegitimasi. Upaya untuk
melindungi masa depan generasi muda dari kerusakan moral dengan usulan
Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi mereka lawan dengan berbagai
manuver, atas nama kebebasan dan pelanggaran hak asasi, tidak memberi ruang
hidup kebudayaan dan kreasi seni dll.

Anehnya, media selalu mencela, menyalahkan dan mentertawakan para pelaku
tindak kriminal maupun pelanggaran moral. Padahal tindakan itu sejatinya
kontradiktif-paradoks dengan tindakannya sendiri. Bukankah mayoritas tindak
kriminal dan pelanggaran moral berhulu dari mengkonsumsi asupan informasi
media massa yang begitu bebas, gamblang dan detail baik dengan tayangan
gambar maupun narasi cerita suatu perbuatan kriminal dan tindakan asusila?

*Kontribusi Media Massa dalam Tindak Pelanggaran*

Gambaran kejahatan kriminal, pemerkosaan, pembunuhan , atau pelanggaran
moral yang lain yang dipaparkan detail oleh media massa disimpan dalam file
di otak para pengkonsumsi berita. Selipan gambar-gambar merangsang di rubrik
olahraga maupun life style melekat di benak para pengkonsumsinya.
Gambar-gambar, cerita narasi dan reportasi kejadian tersebut terus
terakumulasi menjadi keinginan kuat untuk menyalurkan hasrat. Bagi mereka
yang mempunyai pasangan sah persoalannya dapat diatasi secara aman dan
halal.

Yang menjadi masalah, mereka yang tidak mempunyai tempat untuk menyalurkan
secara benar, sementara mereka juga tidak terdidik dengan benteng agama dan
moral yang kuat, karena paham sekuler-liberal telah merobohkan bangunan
tersebut, maka kemungkinan penyaluran mereka hanya ada di dua cara yang
haram ; melacur atau memperkosa. Bagi yang mempunyai uang dia akan melacur,
yang tidak memiliki uang akan mencari dengan cara salah, atau alternatif
yang sama-sama buruk memperkosa.

Sedihnya, biasanya yang menjadi korban tindak kriminal seperti tersebut di
atas, tidak pilih-pilih. Artinya, kadang orang baik-baik yang tidak menjadi
bagian dari rantai kerusakan tersebut tetapi berada dalam posisi lemah
menjadi korban. Jika sudah begitu, media massa akan menjadi yang terdepan
menjelek-jelekkan pelaku kejahatan atau pelanggaran moral tersebut.
Seolah-olah melebihi penyidik, bahkan jaksa atau bertindak seperti hakim.
Media lupa bahwa pelaku kejahatan melakukan tindakannya karena asupan
informasi yang secara akumulatif mereka konsumsi. Dan itu produk dari media
massa. Jadi, sejatinya, sekalipun sering tampil bak pahlawan, media massa
termasuk mata rantai kerusakan dan dekadensi moral itu sendiri.

Hendaknya seorang muslim yang bekerja di dunia media waspada agar diri dan
institusinya tidak menjadi bagian mata rantai kerusakan ini.

http://www.arrisalah.net/kajian/2011/03/sirkuit-dekadensi-moral.html


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: