Di sebuah Mall di Jakarta. "Eh, ngapain ke situ, itu
bagian baju-baju murah. Sebelah sini saja, yang mahalan..." kata gadis pertama.
Gadis kedua, "nggak apa-apa, siapa tahu di bagian sini
ada yang bagus..."
"Price No lie, jeng... ono rego ono rupo... mana
ada baju murah kualitas bagus. Kalau ada mungkin sudah bangkrut dari dulu ini
Mall..." kata gadis pertama sambil menarik tangan temannya menuju tempat
pakaian yang mahal.
Akhirnya kedua gadis itu menuju sudut yang hanya menjual
baju-baju berharga mahal dengan kualitas yang diyakini bagus dan mode yang
selalu update. Tidak ada yang salah dengan pilihan seseorang, siapapun
berhak memilih selera pakaian, sesuai mode dan kualitasnya. Dengan uang di
tangan, sah-sah saja setiap orang untuk memilih pakaian yang disuka. Masih pada
batas kewajaran bila seseorang membeli pakaian karena alasan kualitas, sedikit
lebih mahal akan lebih dipilih jika yang diutamakan persoalan kualitas, yang penting
tidak memaksakan diri. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang tidak
memersalahkan kualitas mengingat kemampuan kantongnya terbatas. Biar saja tak
sesuai mode terbaru, tak apa kurang berkualitas, yang penting punya pakaian
baru. Intinya, kualitas tergantung uang kas.
Di tempat pakaian-pakaian berlabel mahal, gadis kedua
bertanya, "Kenapa sih harus beli baju yang mahal? Baju-baju yang sedikit lebih
murah juga lumayan bagus kok... ". Dengan sedikit mengangkat bahu, gadis
pertama menaikkan suaranya, "Saya? Harus pakai baju murah? Bisa gatal-gatal ini
kulit... lagipula mau ditaruh dimana muka saya? Gengsi donk sama orang-orang,
cantik begini pakai baju murahan. Harga diri ini dipertaruhkan, jeng...".
Ada dua bagian perbincangan dari kedua gadis diatas. Perbincangan
pertama masih pada persoalan kualitas barang yang akhirnya menentukan harga
dari barang tersebut. Namun perbincangan kedua, sudah meningkat ke persoalan
harga barang –tidak lagi bicara kualitas- terkait dengan harga diri. Boleh
jadi, kualitas barang yang tak terlalu baik dengan mode yang mungkin juga agak
ketinggalan, namun jika harganya mahal akan tetap menjadi pilihan bagi
orang-orang tertentu, yakni mereka yang menempatkan harga dirinya di secarik
label yang menempel di barang jualan.
Inilah titik lemah para konsumen yang justru menjadi strong
point para produsen barang-barang atau benda-benda pemuas naluri konsumtif
kebanyakan orang. Mereka tahu, sepanjang masih ada orang-orang yang
memercayakan harga dirinya pada label harga barang, maka apapun yang mereka
produksi akan laris manis di negeri ini. Dari yang menempel di tubuh, mulai
dari pakaian dalam sampai luar, dari atas ke bawah, yang diinjak maupun yang
dijinjing, lengkap dengan segala aksesorisnya. Mulai dari kendaraan yang bikin
berkeringan sampai yang setetes keringat pun tak mungkin menetes bila berada di
dalamnya. Mobil dari yang paling murah dengan merk yang biasa dikenal, sampai
mobil-mobil yang jangankan menyebut harganya, melafalkan merknya saja sudah
bikin rumit lidah.
Sepanjang masih ada harganya, semahal apapun, akan laku
terjual di negeri yang orang-orangnya selalu mengatakan "demi harga diri". Meski
sudah punya banyak pakaian di lemari, produk terbaru di toko pun langsung
diburu hanya karena seorang temannya baru saja menggunakan produk terbaru. Seorang
gadis remaja malu membawa telepon seluler murah hadiah dari orang tuanya,
lantaran teman-teman di sekolahnya menggunakan produk terkenal, dengan fitur
lengkap yang sudah pasti lebih layak untuk dipamerkan karena harganya yang tak
murah. Takut dianggap tidak ikuti trend, makin "panas" setiap kali ada yang
tanya nomor "PIN", sedangkan telepon selulernya masih cuma mirip bentuknya,
tetapi belum pakai "PIN". Ditariknyalah tangan orangtuanya menuju toko untuk
memilih telepon baru.
Seorang isteri merasa malu dibonceng motor suaminya yang
keluaran tahun sembilanpuluhan, "Ini tahun duaribu sebelas, Ayah...". Sudah
punya mobil meski kelas menengah, terpancing untuk membeli yang terbaru dengan
harga yang lebih mahal tentunya. Penyebabnya hanya karena rekan kerjanya baru
saja menukar kendaraannya dengan yang lebih bagus, atau isterinya iri melihat
isteri tetangga dibelikan mobil baru oleh suaminya. "Harusnya Papa malu kalau
isterinya sering numpang sama ibu-ibu tetangga" lagi-lagi soal harga diri.
Setelah punya barang-barang yang diinginkan, seperti baju
model terbaru dengan harga yang sangat mahal, punya telepon seluler terbaru
yang pakai "PIN" atau jenis "android", punya motor baru dan bahkan mobil baru
yang harganya bisa untuk membangun beberapa panti asuhan, langsung pamer dan
unjuk kepemilikan kepada teman, rekan kerja, tetangga dan bahkan saingannya.
Bagi mereka, di barang-barang terbaru itulah harga dirinya tertera. Meski tanpa
mereka sadari, "harga diri" itu akan terus berubah membubung tinggi seiring
dengan perkembangan produk terbaru dengan harga yang tak pernah berhenti
memuncak.
Harga diri seseorang seharusnya tak serendah harga di
label harga barang, semahal apapun harga yang tertera di label tersebut. Apalagi
di toko selalu berlaku beragam promo seperti "discount up to 70%" atau "harga
dibanting". Tentu saja tidak ada seorang pun yang ingin harga dirinya "di
discount" atau bahkan "dibanting". Meski demikian, tidak sedikit orang-orang
yang akhirnya justru menjatuhkan harga dirinya sendiri demi "label harga diri"
itu. Korupsi, menipu rekan kerja, dan bahkan "merampas" hak orang lain demi
membeli "harga diri" yang semuanya masih tertera di label toko.
Kalau sudah demikian, bukan lagi diskon, potongan harga
atau harga dibanting lagi. Yang terjadi harga diri diskon seratus persen alias
nol besar, harga diri dipotong habis, bahkan dibanting-banting tak lagi ada
harganya. Semua karena kita salah menempatkan harga diri, yakni di label harga
toko yang selalu menggiurkan, harga diri semu yang dianggap mampu mengangkat
derajat dan status sosialnya di hadapan orang lain. Padahal belum tentu semua
barang bagus, baru dan mahal yang dimilikinya benar-benar bisa mendongkrak
harga dirinya. Kasihan sekali... (Gaw)
Bayu Gawtama
LifeSharerSOL - School of Life
085219068581 - 087878771961
twitter: @bayugawtama
@schoolof_life
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar