Selasa, 21 Februari 2012

[daarut-tauhiid] Orang Biasa yang Luar Biasa

 

Orang Biasa yang
Luar Biasa
 
Kita sudah terlalu sering melihat berbagai acara santunan
anak yatim, baik yang dilakukan oleh lembaga sosial, komunitas peduli ataupun
pribadi. Tidak ada yang aneh, meski tetap mengagumkan karena masih ada
orang-orang yang terus memberi perhatian kepada nasib anak-anak yatim. Namun apa
yang dilakukan Dahlia, seorang ibu rumah tangga di wilayah Serpong, Tangerang,
memberi warna tersendiri dari berbagai rangkaian acara santunan anak yatim yang
pernah ada. Ibu muda ini bukanlah orang kaya yang banyak harta, bukan isteri
pejabat atau pengurus sebuah yayasan sosial. Ia hanya orang biasa yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di beberapa rumah tetangganya. Upahnya sebagai
pembantu rumah tangga per hari tak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah dari
satu rumah yang dibantunya.
 
Baru-baru ini, ia memberi santunan untuk sekitar dua
puluh anak yatim di sekitar tempat tinggalnya. Tak beda dengan yang biasa diberikan
orang-orang kaya, pejabat atau isteri pejabat dan pengurus yayasan sosial,
berupa sembako dan amplop "uang jajan", mungkin besaran isi amplopnya saja yang
berbeda. Namun sangat jelas perbedaan yang sesungguhnya adalah, orang yang
melakukan ini adalah orang biasa, bukan siapa-siapa, hanya seorang pembantu
rumah tangga. Orang dengan profesi yang sering dipandang sebelah mata, dianggap
remeh dan tak mungkin melakukan hal tersebut.
 
Di daerah Tenjo, Parung Panjang, ada seorang pria paruh
baya yang menjadikan rumahnya sebagai kantor untuk sekolah yang didirikannya.
Tanah tempat sekolah itu berdiri merupakan tanah milik keluarga yang
diwakafkannya. Lalu sedikit demi sedikit ia membangun gedung sekolah yang kemudian
diberi nama Sekolah MODIS (model islami). Meski masih belum diplester, bangunan
yang hanya terdiri dari dua ruang kelas itu pun mulai beroperasi dan
menjalankan fungsinya sebagai sekolah menengah pertama.
 
Baihaki namanya, ia beserta kakak dan keponakannya adalah
guru pertama di sekolah itu. Mungkin karena tidak ada yang bersedia mengajar
tanpa digaji, namun tekad Baihaki dan keluarga yang peduli pada pendidikan di kampungnya
sangat kuat sehingga ia terus menjalankan sekolah tersebut. Siswa yang
mendaftar pun banyak, karena memang banyak anak-anak yang tidak sanggup
melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah dasar. "kalau pun ada yang sanggup,
jaraknya jauh sekali. Tentu saja menambah beban untuk transportasi," ujarnya.
 
Ruang tamu rumahnya disulap menjadi ruang guru, kantor
sekaligus laboratorium komputer. Sama sekali tidak ada kesan itu sebuah kantor,
seperti layaknya kantor sekolah yang biasa kita lihat. Dinding rumahnya pun
masih terbuat dari bilik bambu, beratap genteng tanah yang sudah tua. Jangan
membayangkan laboratorium komputer milik mereka seperti yang dipunyai sekolah
lain. Ada enam unit komputer bekas berusia tua. Sebagai gambaran, itu semua
komputer yang CPU-nya masih menggunakan sistem Disk Drive A dan B, sedangkan
layar monitornya masih cembung hitam putih. Yang menarik lagi, saat ini hanya
tinggal satu komputer saja yang bisa dipakai. Selebihnya rusak.
 
Saat mereka kekurangan ruang kelas, Mushola yang berdiri
tak jauh dari rumahnya jadi sasaran. Bagian sisi kanan Mushola ia jadikan ruang
kelas, atas kesepakatan bersama warga. "Yang kami bangun disini bukan sekolah,
tapi kami sedang membangun masyarakat melalui pendidikan," kata-kata Pak
Baihaki inilah yang mungkin menjadi semangat dan ruh dari aktifitas pendidikan
sekolah MODIS ini. Mereka tak surut langkah, tak patah semangat untuk terus
menjalankan sekolah itu, dengan segala keterbatasan yang ada.
 
Di kampung Cengal, Bogor, seorang petani manggis punya
semangat luar biasa untuk bisa menjalankan sekolah bagi anak-anak di
kampungnya. Berbekal semangat itulah, dua ruang kelas dan satu ruang guru
berdiri di atas tanah keluarganya. Ia tak berani menjadi pengajar di sekolah
tersebut lantaran merasa tak sekolah tinggi, maka adik-adik dan sepupunya lah
yang menjadi tenaga pendidiknya. "Sekolah saya tidak tinggi, tapi saya ingin
anak-anak saya dan anak-anak di kampung ini bisa terus sekolah. Adik-adik yang
mengajar, saya yang mengusahakan biaya operasional agar sekolah bisa tetap
berlangsung," ungkap Kang Agus, si petani manggis itu.  
 
Salah satu keahliannya di bidang pertanian, maka sebagian
lahan di sekolah itu dijadikan lahan penanaman bunga. Para siswa juga diajarkan
bercocok tanam, memelihara tanaman yang kemudian akan dijual dan hasilnya untuk
biaya operasional sekolah tersebut. Sebuah kreatifitas ala petani yang patut
diacungi jempol, strategi memertahankan keberlangsungan sekolah dengan
memanfaatkan lahan dan sumber daya alam, sekaligus memberi pelajaran bercocok
tanam sekaligus berwirausaha.
 
Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara Volunteer
Gathering di Aula Masjid Diknas, Senayan, Jakarta, tampil seorang pemuda
bernama Yudho. Kalem, sedikit bicara dan garis wajahnya menampakkan kerasnya
hidup yang dijalaninya. Berbeda dengan kebanyakan relawan yang hadir di acara
tersebut yang biasanya bergabung dalam sebuah komunitas atau lembaga sosial,
lelaki yang sedikit misterius ini sendirian menjalankan perannya sebagai pembina
ratusan anak-anak jalanan di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Semua hadirin
tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Ia memberi
inspirasi hebat di hari itu, bahwa berbagi itu bisa dilakukan siapa saja,
dimana saja, bersama-sama atau pun sendirian, tanpa nama, tanpa kibaran
bendera.
 
Di acara yang sama, sejumlah anak-anak sekolah SLTP dan
SLTA dari Bogor hadir dengan semangat yang luar biasa. Mereka, anak-anak yang
menyisihkan seribu rupiah setiap pekan dan gerakan itu terus bergulir dengan
nama GEBU CINTA, gerakan seribu cinta. Mulai dari puluhan anak, hingga kini
gerakan itu sudah diikuti puluhan sekolah dan melibatkan ribuan siswa.
Sederhana, namun dampaknya tidak sederhana. Uang seribu rupiah yang terkumpul
itu digunakan untuk biaya sekolah anak-anak tak mampu, dimulai dari rekan-rekan
mereka di sekolah mereka sendiri, hingga bisa merenovasi rumah warga yang
rusak, renovasi mushola, dan memberi bantuan untuk korban bencana alam.
 
Negeri ini membutuhkan sosok-sosok seperti Dahlia,
Baihaki, Kang Agus, Yudho atau nama-nama sebelumnya yang pernah muncul ke
permukaan, seperti halnya Bude Kiswanti, si pengayuh sepeda perpustakaan
keliling di kampungnya yang menerima berbagai penghargaan. Mereka adalah orang-orang
biasa, namun apa yang mereka lakukan sungguh luar biasa. Mereka menjawab semua
keraguan orang, bahwa setiap manusia bisa dan mampu melakukan hal-hal yang
menurut anggapan orang di luar batas kemampuannya.
 
Orang-orang seperti mereka akan terus hadir mengisi
kekosongan sosok mengagumkan yang seolah hampir punah di negeri yang sedang
carut marut ini. Mereka tak butuh panggung, tak perlu tepuk tangan, tak terlena
pujian dan berharap penghargaan. Tak harus menunggu jadi orang hebat untuk
melakukan hal-hal hebat. Tak perlu menjadi orang luar biasa untuk bisa
melakukan sesuatu yang luar biasa. Orang biasa, bisa melakukan hal-hal luar
biasa. Salut! (Gaw/LifeSharer)
 
Bayu Gawtama

LifeSharer
SOL - School of Life

085219068581 - 087878771961

twitter:
@bayugawtama

@schoolof_life

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: