Senin, 20 Februari 2012

[daarut-tauhiid] FPI, Televisi dan Dajjalisme Informasi

*FPI, Televisi dan Dajjalisme Informasi*

Kamis, 16 Februari 2012

Mengapa koran dan TV bernafsu 'memberangus' FPI? boleh jadi karena ada
huruf "I" (Islam) di belekang FPI

Oleh: *Suharsono*

SENIN siang, 9 Juni 2008, lebih dari 9000 umat Islam "mengepung" Istana
Negara menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Massa umat Islam se Jabodetabek
berpakaian putih-putih ini juga meminta Habib Rizieq Shihab, pimpinan FPI
dibebaskan.

Usai dari Istana Negara, massa menuju Polda Metro Jaya guna mengunjungi
Ketua FPI, Habib Rizieq. Aksi damai bertema "Sejuta Umat" ini dihadiri
puluhan ulama, tokoh Islam, aktivis Islam dan para habaib.

Dalam sebuah orasi, KH Nur Muhammad Iskandar, Pimpinan Pondok Pesantren
Assidiqiyah mengatakan, jika tak ingin dianggap sebagai kepanjangan tangan
Amerika, maka pemerintah harus segera membubarkan Ahmadiyah. "Jika tidak
membubarkan Ahmadiyah, Presiden akan bertanggungjawab di hadapan mahkamah
Allah, "ujar Kiai Nur.

Setelah orasi, sekitar sepuluh ulama dan kiai menghadap Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Meski hanya ditemui juru bicaranya, Andi
Malarangeng, yang tak lain kakak kandung Rizal Malarangeng, anggota Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang juga
penyiar Metro TV.

Tapi jangan kecewa, sebab ribuan massa itu bukan berita besar. Karenanya,
televisi tak perlu menyiarkannya secara langsung –apalagi harus--
menayangkan gambar secara berulang-ulang. Suara umat Islam tak terlalu
penting!

Bandingkan dengan berita sebelumnya, selang beberapa jam kerusuhan Monas, 1
Juni 2008, seluruh media massa –terutama TV—seolah serempak. Meminjam
bahasa Widji Tukul, "hanya satu kata, lawan FPI!". Dalam waktu sekejap,
opini masyarakat yang tadinya meminta polisi menindak FPI tiba-tiba melebar
meminta organisasi Islam yang dijuluki kalangan AKKBB sebagai "preman
berjubah" layak dibubarkan.

Selama beberapa hari, TV menayangkan berulang kali anggota FPI mengejar dan
memukul anggota AKKBB, memberikan kesan kuat "Inilah, sebuah kelompok atas
nama agama, menggunakan baju dan pakaian Muslim, yang penyuka kekerasan!"

Entah sengaja atau tidak, agar lebih dramatis, ditayangkan pula wajah pria
yang disebut-sebut kiai Nahdhatul Ulama (NU), KH Maman Imanul Haq (yang tak
lain kiai muda pendukung AKKBB dan bukan representasi PBNU). Dia disebutkan
mengalami memar di sekujur badan, sobek di dagu dan lain-lain. Ini
menunjukkan, bahwa kiai NU pun ikut menjadi korban. Meski kemudian Ketua
PBNU KH. Hasyim Muzadi marah dan tak ingin melibatkan NU (yang
direpresentasikan dalam PBNU) terlibat dalam masalah ini.

Tapi apa lacur? Kesan pemirsa yang diciptakan TV sudah bulat. FPI
"menganiaya" ulama NU! Esoknya, ormas-ormas onderbow NU seperti: PMII, GP
Anshor dan Garda Bangsa marah. Alih-alih melawan kekerasan, mereka justru
membalasnya dengan kekerasan serupa kepada FPI di beberapa daerah. Lengkap
sudah. Balas membalas atas hasil karya berita televisi.

Di hari berikutnya, TV seolah membuat suasana ibu kota dan Indonesia
mencekam. Koran Kompas, dengan tulisan cukup menyeramkan. "Negara Tidak
Boleh Kalah", menanggapi desakan media massa nasional agar bersikap tegas
pada FPI yang bentrok dalam peristiwa Monas dengan kelompok massa Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

"Saya minta hukum ditegakkan, pelaku-pelaku diproses secara hukum dan
berikan sanksi hukum secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan
perilaku-perilaku kekerasan," ujar Presiden dalam jumpa pers di Kantor
Presiden, Jakarta tahun itu.

Koran nasional berlokasi di Jakarta ini memuat habis-habisan penyerangan
AKKBB dan meminta polisi bertindak tegas. Begitu pula koran dan media lain.
Sampai sebuah koran nasional keliru memasang foto Munarman yang dinilai
"mencekik" .

Beberapa jam pernyataan SBY ini, lebih 2000 polisi dikerahkan menyerbu
rumah Habib Rizieq dan menangkapi anggota FPI. Habib, yang dalam aksi
dengan AKKBB tak ikut dilapangan, bersama anak buahnya akhirnya dipenjara.
Sementara pelaku AKKBB, Guntur Romli dan intel yang memprovokasi massa
dengan mengacung-asungkan pistol untuk memprovokasi FPI, eh malah, tak
tersentuh hukum, sampai hari ini.

Di saat yang sama, ratusan kru TV dan koran sudah menungu dan laporan LIVE
di markas FPI, Petamburan. Tapi rupanya, bentrok berdarah-darah yang
ditunggu-tunggu gagal mendongkrak rating. Maklum, tolak ukur jurnalisme
media kita masih berkutat pada, "anjing menggigit orang bukanlah berita,
tapi orang menggigit anjing barulah berita!"

Minggu lalu, peristiwa seperti ini nyaris terjadi. Selasa (14/02/2012), 60
orang anggota kelompok LSM (ada buruh, aktivis feminism, homoseksual,
lesbian dan waria yang tergabung di LGBT) berkampanye membubarkan FPI
dengan tema "IndonesiaTanpaFPI. Tak ada yang spesial, hanya demo biasa
karena kelompok ini menumpang kasus penolakan FPI di Palangkaraya.

Tapi tunggu dulu, yang spesial justru stasiun TV. Di saat yang bersamaan,
dua televisi nasional --TV One dan Metro TV—menyiarkan LIVE kejadian ini.
Rupanya, dua stasiun TV ini sudah menyiapkan dengan cermat agenda "anti
FPI". Dengan tema "Anti Ormas Anarkis" Metro "mengeroyok" Mendagri, Gamawan
Fauzi agar segera menutup FPI.

Tak sekedar itu, tiap sekian menit, Metro menayangkan gambar-gambar FPI
membabi-buta memecahkan kaca bar. Juga cuplikan SBY yang mengatakan,
"Negara Tak boleh kalah dengan kekerasan" (mungkin maksud TV, yang bolah
kalah harus masyarakat, khususnya Islam).

Tentu kasus ini tak bisa dipandang sederhana. TV begitu bernafsu menganggak
masalah biasa-biasa saja menjadi istimewa. TV ingin kasus 2008 terhadap FPI
itu berulang lagi. Ini jelas terlihat kesiapan kedua TV itu mengundang nara
sumber dan liputan LIVE.

Pertanyaan pertama, bagaimana bisa aksi kecil kemudian hari itu dibuat
seolah sebagai sesuatu kasus maha besar? Jawabnya sederhana, karena TV
ingin kasus ini dianggap besar.

Pertanyaan kedua, mengapa TV dan media begitu bernafsu memberangus FPI,
jawabannya juga sederhana, boleh jadi, karena ada satu huruf "I" (alias
Islam) di belakangnya. Bayangkan jika "I" itu diganti Indramayu atau Inul.
TV, media, politisi, artis seronok, gay, lesbi tak begitu khawatir dan
cemas.

Irasional Khayali

Dari sekian banyak media massa yang dinyawai oleh kapitalisme, TV adalah
satu-satunya yang dianggap oleh berbagai ahli sebagai "setan" paling
biadab. Apa yang disuguhkan media massa dalam bentuk lain terakumulasi pada
televisi. Ia menyuguhkan bacaan, gambar dan suara sekaligus sehingga bukan
hanya mampu mengisi dan mewarnai imajinasi, tapi juga menyihir dan
mengendalikan seluruh fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.

Jean Baudrillard, seorang filosof Prancis, mengungkap sebuah hakikat
tentang televisi. Menurutnya, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang (dalam
bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat, Mizan), rangkaian tontonan yang
disuguhkan oleh "kapitalis mutakhir" (bernama televisi), telah menyulap
(membius) individu-individu menjadi kumpulan mayoritas yang diam
(terhipnotis) . Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media
menjadikan massa yang diam itu layaknya sebuah layar raksasa yang pasrah
dijejali dan dilalui oleh segala sesuatu yang naif.

Televisi, membius ratusan juta orang dari yang paling bodoh sampai
profesor, dari penjahat sampai guru agama, dari balita sampai tua renta,
untuk sebuah tontonan sepak bola dini hari. Namun, adakah makna hakiki dan
luhur yang berbekas seusai tontonan itu? Di dalam tontonan sepak bola bukan
makna (ideologis, moralitas dan spiritualitas luhur) yang dicari para
penggilanya, melainkan semacam ekstasi (kepuasan puncak yang sangat sesaat)
dari kedangkalan ritual dalam upacara menonton televisi itu sendiri.

Tontonan sejenis, reality show (pertunjukkan nyata) seperti Akademi
Fantasi, Indonesian Idol, Kontes Dangdut, Dreamband dan masih banyak lagi,
bagi saya adalah "kejahatan spiritual", yang menggiring masyarakat hanya
memburu mimpi dan budaya konsumtif.

Di hadapan massa yang mabuk seperti itu, pesan-pesan TV yang rendah
(serakah, dengki, licik, dusta) merasuki alam bawah sadar mereka dan
mengakar kokoh di simpul-simpul kejiwaannya. Apalagi jika para produser,
wartawan dan pembawa beritanya punya interest idiologis dan kebencian
dengan kelompok lain. Klop!.

Walhasil, televisi yang jadi cermin masyarakat, tapi masyarakat yang jadi
cermin televisi. Apapun yang "dilakukan" televisi pasti diikuti masyarakat.
Ini karena televisi telah menciptakan ketidaksadaran massal. Meski, di situ
ada indoktrinasi yang sadis dan nilai-nilai sesat.

Leonard Irwin, dosen psikologi dari Universitas Illionis, AS, bersama
timnya mengadakan penelitian mengenai hal ini. Mereka menemukan bahwa
anak-anak yang pada usia delapan tahun telah menyaksikan tayangan negatif,
ketika dewasa akan cenderung melakukan perbuatan jahat dan tidak punya
belas kasihan.

Sunday Times pernah menulis, "Meskipun AS memiliki 440 ribu polisi federal,
setiap jam terjadi dua kali pembunuhan, 194 kali perampokan bersenjata, 10
kali pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak, dan 600 kali pencurian di
rumah-rumah. "

Bodohnya, televisi di negeri kita telah menjadi teman setia dalam keluarga.
Seolah hidup kurang lengkap tanpa kehadiran televisi .

Dajjalisme Informasi

Menutup tulisan ini, mungkin Anda semua ada yang menganggap saya pecinta
"kekerasan" kan? atau saya anggota FPI? Tidak. Seumur-umur saya tak kenal
Habib Rizieq, apalagi ikut aksinya. Saya hanya bicara bagaimana efek
dramatis siaran sebuah TV dan keadilan menyampaikan kebenaran.

FPI pasti punya salah dan semua kelompok juga punya salah. Hanya saja,
media kita sering menutup mata banyak peristiwa, apalagi menyangkut umat
Islam. Contoh kecil; adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan berbagai
pemikirannya banyak melawan otoritas ulama sedunia dan yang telah
disepakati dalam Islam. Mereka hanya kelompok kecil, tidak sampai ratusan.
Tetapi oleh media dan TV, semua pikirannya "dipaksakan" agar diterima 200
juta penduduk negeri ini. Adilkah? jelas tidak. Sementara FPI--di luar aksi
keras-nya-- ia pasti mewakili harapan mayoritas umat Islam (ada MUI, NU,
Muhammadiyah, Al Irysad, Al Wasliyah, Al Khairat, Persis, BKMT, HTI, PKS,
Wahdah, ICMI, Hidayatullah dan masih banyak lagi), yang jelas sepakat
memberangus kemaksiatan, peredaran minuman keras, pelacuran dll.

Itulah yang sering tak dipahami media. Sehingga banyak orang (khususnya
umat Islam), media dan TV lebih memilih minoritas yang tak pernah mewakili
ratusan juta umat ini. Jika nilai keadilan ini tak pernah dipahami media,
percayalah, satu FPI Anda tutup, kelak bisa saja akan lahir ribuaan FPI di
berbagai daerah. Media harus peka sosial di mana ia tinggal. Kita tinggal
di negeri dengan penduduk Muslim terbesar, kenapa kepekaan sosial seperti
ini sering diabaikan?

Pernah mendengar cerita tentang Dajjal, makhluk besar bermata satu yang
muncul menjelang hari kiamat? Makhluk kutukan ini bisa dengan mudah
menjadikan manusia berbondong-bondong ingkar kepada Allah. Inilah yang
dirasakan masyarakat terhadap berbagai tayangan-tayangan "menyesatkan"
media dan TV kita saat ini.

Lantas apa yang harus kita lakukan, sebagai bagian dari umat ini? Memang
tidak mudah. Jika 'dajjalisme informasi' ini terus melahirkan standar moral
rendahan dan ketidak-adilan, lambat-laun, aksinya akan mengurung dan
mengerdilkan entitas ruh dan imajinasi umat Islam. Bukan tak mungkin,
seperti tugas Dajjal, di mana tujuan utamanya adalah "memurtadkan" umat
Islam dari ajaran agamanya. Sebelum kita memiliki pilihan yang layak,
sebaiknya, "Singkirkan 'kotak setan' itu dari rumah kita sekarang juga!".
Wallahu a'lam bi shawab.*

Penulis adalah mantan Kabid. Litbang HMI Cabang Jogja Periode 1987–1988

http://www.hidayatullah.com/read/21186/16/02/2012/fpi,-televisi-dan-dajjalisme-informasi.html

--
::
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
Now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
Im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können::
>> al-Ra'd [13]: 28


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: