Islam
Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia
"Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi."
(Al-Ma`idah: 32)
Sesungguhnya Islam
adalah syariat yang sangat indah. Keindahannya jauh lebih tinggi dari apa yang
mampu diibaratkan oleh para sastrawan ahli olah lisan. Namun keindahan ini
hanya dapat dirasakan dan disibak (diungkap) oleh orang yang mencermati
berbagai untaian hukum Islam dengan cara yang benar. Jauh dari berbagai
penghalang, kerancuan, dan godaan setan.
Para ahli fiqih
(fuqaha) menyimpulkan bahwa hukum-hukum dalam syariat Islam semuanya berkisar
pada penjagaan lima perkara besar yang sangat vital bagi kehidupan manusia,
yaitu:
1. Menjaga agama
2. Menjaga jiwa
(nyawa)
3. Menjaga harta
4. Menjaga kehormatan
(harga diri)
5. Menjaga akal
Penjelasan Mufradat
Ayat
"Oleh sebab itu."
dalam bahasa Arab
termasuk ism isyarah (kata tunjuk). Kata tunjuk ini kembali kepada pembahasan
yang ada pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu kisah pembunuhan yang terjadi pada
anak Nabi Adam.
Al-Imam Asy-Syaukani
menyatakan: "Dan artinya bahwa berita tentang dua anak Adam itulah yang
menyebabkan kewajiban[1] yang telah disebut terhadap Bani Israil." (Fathul
Qadir, 2/40, cet. Darul Khair)
Dari potongan ayat
ini, kita dapat memetik faedah bahwa kita harus menjauhkan diri dari perbuatan
yang jelek. Jangan sampai kita menjadi teladan dalam kejelekan. Rasulullah
bersabda dalam hadits Ibnu Mas'ud:
"Tidak ada jiwa yang
terbunuh dengan cara yang zalim (tidak dibenarkan syariat) kecuali atas anak
Adam yang pertama (mendapatkan) bagian tanggungan (dosa) dari darah orang yang
terbunuh tersebut. Karena dia (anak Adam) adalah orang yang pertama kali
mencontohkan pembunuhan (dengan cara yang tidak benar)." (HR. Al-Bukhari,
Kitabul Anbiya` 1, Kitab Ad-Diyat 2, Kitabul I'tisham 15; Muslim, Kitabul
Qasamah 27; At-Tirmidzi, Kitabul 'Ilm 14; An-Nasa`i, Bab At-Tahrim 1; Ibnu
Majah, Kitab Ad-Diyat, 1; Ahmad bin Hanbal, juz 1 hal. 383, 430, 433)
"Kami tetapkan."
Ibnu Katsir
mengatakan: "Artinya, Kami syariatkan dan Kami beritahukan kepada mereka."
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/45, cet. Maktabah Al-'Ulum wal Hikam)
"Bani Israil."
Mereka adalah anak
keturunan Nabi Ya'qub. Al-Imam Asy-Syaukani mengatakan: "Para ahli tafsir
sepakat bahwa Israil adalah Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim, dan artinya adalah
hamba Allah. Karena Isra dalam bahasa mereka artinya hamba, sedangkan Il adalah
Allah."
Dari penjelasan ini,
kita harus berhati-hati, meskipun kita membenci orang Yahudi dan kebencian ini
adalah suatu hal yang diperintahkan agama, tetapi jangan sampai salah ucap.
Sehingga kita mencela Israel dengan mengatakan "Israel biadab..." dst, karena
Israel atau Israil yang lebih tepat adalah Nabi Ya'qub. Na'udzu billah (Kita
berlindung kepada Allah) bila kita sampai terjatuh dalam perbuatan mencela
seorang nabi. Ini adalah suatu kekafiran. Sehingga, bila kita mau mengungkapkan
kekesalan terhadap mereka, langsung saja kita sebut 'Yahudi'. Ini lebih
menyelamatkan kita, Insya Allah.[2]
Para ahli tafsir juga
menyebutkan mengapa disebut Bani Israil pada ayat ini secara khusus. Al-Imam
Asy-Syaukani mengatakan: "Dan disebutkan Bani Israil secara khusus karena topik
pembahasan ayat-ayat ini dalam rangka menyebutkan kejahatan-kejahatan mereka,
dan mereka adalah umat pertama yang mendapat ancaman dari pembunuhan jiwa. Dan
dikeraskan hukum tersebut bagi mereka karena mereka banyak menumpahkan darah
dan membunuh para nabi." (Fathul Qadir, 2/40, cet. Darul Khair)
Perlu dipahami,
meskipun ayat ini berkenaan dengan mereka, orang Yahudi, namun juga berlaku
bagi umat Islam ini. Al-Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya menyebutkan riwayat
dari Sulaiman bin 'Ali: "Aku bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri: 'Wahai Abu
Sa'id, apakah ayat ini juga bagi kita, sebagaimana dahulu bagi Bani Israil?'
Beliau menjawab: 'Ya, demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali
dia. Darah Bani Israil tidak lebih mulia daripada darah kita (kaum muslimin,
pent.)'." (Tafsir Al-Baghawi, 2/25, cet. Maktabah Ahmad Al-Baz, Makkah)
"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia."
Para ahli ushul fiqih
telah menegaskan bahwa adalah lafadz yang menunjukkan umum. Demikian pula kata
adalah nakirah fi siyaq asy-syarth, yaitu kalimat nakirah (bebas, tidak
tertentu) dalam susunan kalimat syarat, yang bermakna umum. Perincian masalah
ini bisa dirujuk dalam pembahasan masalah fiqih.
Yang ingin kita
tonjolkan di sini adalah bahwa hukum Islam adalah hukum yang adil. Tidak
membedakan ras, bangsa, martabat atau status sosial. Siapa yang melanggar maka
ia akan ditindak tegas. Maka siapa yang membunuh dengan cara yang tidak benar,
ia akan mendapatkan hukuman. Dan siapa yang dizalimi, dia akan dibela. Allah
menyatakan:
"Dan tidak layak bagi
seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja)." (An-Nisa`: 92)
Dalam hadits 'Aisyah
disebutkan:
Bahwa orang-orang
Quraisy terkacaukan dengan masalah wanita[3] yang mencuri pada zaman Nabi pada
perang Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Maka mereka bertanya-tanya: "Siapa
yang akan melobi Rasulullah berkaitan dengan masalah wanita ini?" Maka mereka
mengatakan: "Tidak ada yang berani melobi Rasulullah tentangnya, kecuali Usamah
bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah." Lalu dihadirkanlah wanita tersebut,
maka Usamah melobi Rasulullah. Lalu berubahlah raut muka Rasulullah yang mulia
dan beliau berkata: "Apakah engkau akan memberikan pertolongan pada hukuman had
yang telah ditentukan oleh Allah?" Usamah kemudian menjawab: "Mohonkanlah
ampunan bagiku, wahai Rasulullah." Sore harinya, Rasulullah berdiri dan mulai
berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan pujian yang pantas untuknya, seraya
mengatakan: "Amma ba'du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum
kalian adalah apabila ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri,
mereka tinggalkan (tidak dihukum). Namun bila ada orang yang lemah di antara
mereka yang mencuri maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Dzat yang diriku
berada di Tangan-Nya, kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya
akan aku potong tangannya." Kemudian beliau memerintahkan agar tangan wanita
itu dipotong.
(HR. Al-Bukhari,
Kitab Fadha`il Ashhabin Nabi 18, Kitabul Anbiya` 54, Kitabul Hudud 12; Muslim,
Kitabul Hudud 8, 9; Abu Dawud, Kitabul Hudud 4; At-Tirmidzi, Kitabul Hudud 6;
An-Nasa`i, Kitab As-Sariq 5, 6; Ibnu Majah, Kitabul Hudud, 6; Ad-Darimi,
Kitabul Hudud, 6; Ahmad bin Hanbal, juz 3/286,295; 5/409; 6/329)
"Tanpa jiwa."
Maksudnya, menurut
Ibnu 'Athiyyah dalam tafsirnya, "Dia tidak membunuh orang lain sehingga berhak
dibunuh. Dan Allah telah haramkan jiwa seorang mukmin kecuali dengan satu di
antara tiga hal yaitu: kafir setelah beriman (murtad, pent.), berzina setelah
menikah, membunuh jiwa orang lain dengan zalim dan melampaui batas."
(Al-Muharrar Al-Wajiz, 2/182, cet. Darul Kutub Al-Ilmiah)
Diriwayatkan dari Abdullah
bin Mas'ud, Rasulullah menyatakan:
"Tidaklah halal darah
seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali
Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan satu di antara tiga
perkara: orang yang sudah menikah berzina, orang yang membunuh orang lain maka
dibunuh (qishash), dan orang yang meninggalkan agama dan memisahkan diri dari
jamaah (murtad)." (HR. Al-Bukhari, Kitabud Diyat 6; Muslim, Kitabul Qasamah,
25; Abu Dawud, Kitabul Hudud 1; At-Tirmidzi, Kitabul Hudud 15; An-Nasa`i, Bab
At-Tahrim 5, 11, 14; Ad-Darimi, Kitab As-Siyar 11; Ahmad bin Hanbal
1/61,63,65,70, 163,382,428,444,465; 6/181, 214)
"Atau kerusakan di bumi."
Al-Imam Asy-Syaukani
berkata tentang tafsir kalimat ini: "Telah diperselisihkan tentang apa maksud
kerusakan yang disebutkan dalam ayat ini. Ada yang mengatakan kesyirikan, dan
ada yang mengatakan merampok di perjalanan. Dan lahiriah susunan kalimat
Al-Qur`an menunjukkan bahwa semua yang bisa dikatakan sebagai kerusakan di muka
bumi maka itulah maksudnya. Kesyirikan merupakan kerusakan di muka bumi.
Merampok di perjalanan juga kerusakan di muka bumi. Menumpahkan darah,
menginjak-injak, melecehkan kehormatan, dan mencuri harta adalah kerusakan di
muka bumi. Menghancurkan bangunan, merusak tanaman, dan mengeringkan sungai
adalah merusak di muka bumi. Dengan ini diketahui bahwa semua ini merupakan
kerusakan di muka bumi." (Fathul Qadir, 2/40)
Jadi, orang ini
membunuh dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama, maka perbuatan jelek ini
sangat dicela dalam agama Islam dan diancam dengan ancaman yang keras. Allah
berfirman:
"Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal
ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan
azab yang besar baginya." (An-Nisa`: 93)
Nabi menjelaskan:
"Apabila dua orang
muslim bertemu (berkelahi) dengan pedang mereka berdua, lalu salah satunya
membunuh yang lain, maka yang membunuh dan yang dibunuh di neraka." (HR.
An-Nasa`i, Bab Tahrimul Qatl 29; Ibnu Majah, Kitabul Fitan 11, dari sahabat Abu
Bakrah)
Beliau juga bersabda:
"Siapa yang membunuh
orang kafir mu'ahad (yang memiliki perjanjian damai) pada selain waktu yang
diperbolehkan membunuhnya (yaitu ketika di luar perjanjian), Allah haramkan
surga baginya (pembunuh tersebut)." (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, juz 5/36,
38,50,51,52; Ibnu Majah, Kitabud Diyat 32, dari Abu Bakrah)
Maka ayat ini
mengisyaratkan bahwa pembunuhan hanya diperbolehkan ketika ada sebab yang
mengharuskannya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di mengatakan: "Dan ayat ini
menunjukkan bahwa pembunuhan itu diperbolehkan dengan salah satu di antara dua
sebab, yaitu membunuh jiwa dengan sengaja dengan cara yang tidak dibenarkan
agama, maka orang tersebut boleh dibunuh apabila dia mukallaf (baligh dan
berakal) dan setingkat, serta bukan ayah dari yang terbunuh. Yang kedua, dia
membuat kerusakan di bumi dengan merusak agama atau jiwa atau harta manusia,
seperti orang-orang kafir yang murtad dan menyerang, serta para penyeru bid'ah
yang tidak bisa ditangkal kejelekannya kecuali dengan dibunuh. Demikian juga
para perampok di jalan dan sejenis mereka, dari orang-orang yang mengacaukan
manusia dengan membunuh atau mengambil harta mereka." (Tafsir As-Sa'di, hal.
252, cet. Darus Salam)
"Maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia."
Para ahli tafsir
berbeda pendapat tentang makna penyerupaan dalam ayat ini. Ibnul Jauzi
menyimpulkan pendapat mereka dengan menyatakan: "Dan pada firman Allah ada lima
pendapat:
1. Bahwa dia mendapat
dosa orang yang membunuh semua manusia. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri
dan Az-Zajjaj.
2. Dia masuk neraka
dengan sebab membunuh seorang muslim, sama seandainya dia membunuh seluruh
manusia. Ini dikatakan oleh Mujahid dan 'Atha`. Al-Imam Ibnu Qutaibah
mengatakan: 'Ia disiksa sebagaimana orang yang membunuh seluruh manusia.'
3. Bahwasanya wajib
(ditegakkan) atasnya qishash seperti bila ia membunuh manusia seluruhnya. Ini
dikatakan oleh Ibnu Zaid.
4. Dianjurkan bagi
seluruh manusia untuk membantu keluarga korban sehingga mereka mampu membalas,
sebagaimana bila orang tersebut membunuh keluarga mereka. Ini disebutkan oleh
Abu Ya'la.
5. Barangsiapa
membunuh nabi atau pemimpin yang adil maka seolah-olah ia membunuh seluruh
manusia. Ini diriwayatkan 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas." (Zadul Masir fi 'Ilmit
Tafsir, 2/202, cet. Maktabah Darul Baz, Makkah)
Pendapat-pendapat ini
semuanya bisa diambil karena tidak saling bertentangan dan bisa dicakup oleh
ayat. Demikian menurut Ibnul Jauzi dan Al-Imam Asy-Syaukani. Walhasil, ini
menunjukkan betapa jelek perbuatan membunuh dalam pandangan Islam, sehingga
Islam memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya.
"Dan siapa yang menghidupkannya."
Tentang kalimat ini
juga ada lima pendapat:
1. Menyelamatkan dari
kebinasaan. Ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Mujahid.
2. Meninggalkan
pembunuhan yang dilarang. Ini riwayat Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu 'Abbas, dan
satu riwayat dari Mujahid.
3. Keluarga korban
memaafkan pembunuh dari qishash. Ini dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu
Zaid, dan Ibnu Qutaibah.
4. Melarang dan
mencegah dari pembunuhan.
5. Membantu keluarga
korban untuk terwujudnya qishash. Kedua pendapat ini disebutkan oleh Abu Ya'la.
"Maka dia seolah-olah menghidupkan seluruh manusia."
Al-Hasan Al-Bashri
dan Ibnu Qutaibah mengatakan: "Maka ia mendapatkan pahala orang yang
menghidupkan seluruh manusia." Sedangkan Al-Mawardi mengatakan: "Maknanya, maka
seluruh manusia mesti berterima kasih kepadanya sebagaimana bila dia
menghidupkan mereka." (Zadul Masir, 2/203)
Penutup
Demikianlah salah
satu paparan yang menunjukkan bahwa Islam menjunjung tinggi hak manusia untuk
hidup. Bebas menghirup udara di dunia ini, sebagaimana yang digariskan oleh
Sang Pencipta. Namun manakala dia melanggar aturan Penciptanya, maka dengan
hukum dan ketentuan-Nya pula orang tersebut dienyahkan dari muka bumi demi
kemaslahatan orang banyak. Allah menyatakan:
"Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 179)
Wallahu a'lam.
Footnote:
[1] Yaitu kewajiban
qishash dan yang berkaitan dengannya.
[2] Bahkan ini adalah
fatwa dari Asy-Syaikh Al-Luhaidan. (ed)
[3] Dalam satu
riwayat disebutkan bahwa wanita ini dari Bani Makhzum, suku yang berkedudukan
tinggi. –pent.
Sumber:
www.asysyariah.com
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar