Selasa, 28 Februari 2012

[daarut-tauhiid] Petunjuk bagi Orang-orang yang Bingung Terhadap Buku Ahlul Kitab

 

Petunjuk bagi Orang-orang yang Bingung Terhadap Buku Ahlul Kitab

Shahabat yang mulia bernama Jabir
bin Abdillah radhiallahu 'anhu menuturkan:

"Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul
kitab. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun membacanya lalu beliau marah
seraya bersabda: "Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul
Khaththab[1]? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah
datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian
menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan
al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau
mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa 'alaihissalam masih
hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku."

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi
dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi 'Ashim
Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam
ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no.
1589.

Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:

'Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: "Ya
Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat." Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam diam, lalu mulailah 'Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada
'Umar: "Betapa ibumu kehilangan kamu, tidakkah engkau melihat perubahan pada
wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam[2] ?" Umar melihat wajah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan ia menangkap perubahan tersebut),
maka ia berkata: "Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan
RasulNya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan
Muhammad sebagai Nabi kami." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa
'alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan
meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya
Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku."

Sikap Seorang Muslim terhadap
Berita-berita Ahlul Kitab

Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak
ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya
kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedustaannya kemudian kita pun
mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta
atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita
dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa menjatuhkan
kita ke dalam dosa.

Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu mengabarkan:

Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka
menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian membenarkan ahlul
kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: "Kami beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami…." (HR. Al-Bukhari dalam
Shahih-nya no. 4485)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata ketika menjelaskan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

(Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya):
"Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal
(kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya
benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta namun kalian
membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan
mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan
tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati
syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi`i." (Fathul Bari 8/214)

Bersamaan dengan itu kita dilarang bertanya tentang perkara agama kepada ahlul
kitab. Karena itulah Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata:

Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab
kalian yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan
murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan)
kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah
kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang
sendiri) kemudian mereka mengatakan: "Ini (apa yang mereka tulis itu)
diturunkan dari sisi Allah." Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah
kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat
seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan
kepada kalian. (HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I'tisham bil Kitab was
Sunnah, bab Qaulin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : La Tas`alu Ahlal Kitab
'an Syai`in)

Dari ucapan beliau radhiallahu 'anhuma: "Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat
seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan
kepada kalian", seakan-akan Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma hendak menyatakan:

"Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian,
sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/ perubahan)
di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian
benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?" (Fathul
Bari 13/621).

Abdurrazzaq Ash-Shan'ani rahimahullahu meriwayatkan dalam Mushannafnya[3] (no.
19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: "Abdullah (yakni Ibnu
Mas'ud) berkata rahimahullahu:

"Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena
sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian.
Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada
mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan)
kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil."

Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan
bertentangan dengan perintah Allah 'Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

"Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu." (Yunus:
94)

Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut
dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada
ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits
hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. (Fathul
Bari 13/408)

Peringatan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab

Di dalam Al-Qur`an, Allah 'Azza wa Jalla mengabarkan bahwa ahlul kitab telah
mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan
dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani
bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu
sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak
lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan
kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang
batil.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri,
dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan[4]."
(Al-Baqarah: 79)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata:
"Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani
Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah
kitab berdasarkan penakwilan/ penafsiran menyimpang yang mereka buat,
menyelisihi dengan apa yang Allah 'Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi Musa
'alaihissalam. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka
itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut,
tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan
kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah.
Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia
yang rendah." (Jami'ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu
khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu
daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan
bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti
bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka
lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat
tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang
tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir
kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis,
sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir
itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Akibatnya
mereka pun mendustakannya. (Ma'alimut Tanzil, 1/54-55)

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya."
(An-Nisa: 46)

Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan
mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami'ul Bayan fi
Ta`wil Ayil Qur`an 4/121)

Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau
keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di
atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181)

Diriwayatkan bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab
radhiallahu 'anhu, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan
membawa sebuah mushaf, ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini
tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?"

Umar menjawab: "Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa 'alaihissalam pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan
jika tidak, maka jangan membacanya." (Syarhus Sunnah 1/271)

Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Umar radhiallahu 'anhu yang memegang
Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan kepada Umar:

"Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan
membawa agama yang putih bersih."

Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak
lagi membutuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak
lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , masih hidup dan menemui masa kenabian
beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk
pada syariat yang beliau bawa. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata kepada 'Umar radhiallahu 'anhu:

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya Musa 'alaihissalam masih
hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku."

Kitab Suci Yahudi dan Nasrani Tidak Lagi
Asli

Allah 'Azza wa Jalla tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang
termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang
diberikan-Nya kepada Al-Qur`an:

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur`an) dan sungguh
Kamilah yang akan menjaganya." (Al-Hijr: 9)

Karena penjagaan ini maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan
sampai kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia
(dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya
seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan sehingga wajar bila
kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab telah dipalsukan para rahib
dan pendeta mereka dari aslinya. Ini berdasarkan pengabaran Allah 'Azza wa
Jalla sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam , dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan
keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.

Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullahu
menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa
'alaihissalam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah
diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa 'alaihissalam, Bani Israil
dipimpin Yusya' bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan
agama. Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul 'Azar bin Harun selama 25 tahun,
juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya Fainuhas, seluruh Bani
Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan.
Dan sejak itu mereka dipimpin penguasa-penguasa kafir, meski terkadang
diselingi kepemimpinan penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan
dikuasai penguasa kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan
terhadap berhala[5].

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata:
"Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa
'alaihissalam sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali
mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala." Beliau
rahimahullahu juga berkata: "Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal
bersama dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa
yang panjang[6] di sebuah negeri yang kecil. Sementara tidak ada seorang pun di
muka bumi ketika itu yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab
mereka selain mereka sendiri." (Al-Fishal 1/215)

Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat.
Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Ini Adam,
ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan
kejelekan…." Ibnu Hazm menyatakan dengan ucapan ini menunjukkan mereka
meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih dari satu dan Adam termasuk ilaah
tersebut[7].

Disebutkan pula dalam Taurat: "Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi
dan lahir putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri
Adam yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari
mereka." Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa
ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di mana Allah
dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti
Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari kedustaan ini[8].

Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth
'alaihissalam digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah
renta dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari
hasil hubungan dengan ayahnya. Na'udzubillah dari tuduhan keji mereka yang
membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui hak-hak para
nabi[9].

Ibnul Qayyim rahimahullahu mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa
lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di
belahan bumi timur maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: "Ini adalah kedustaan
yang nyata, karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani
menyelisihi/ berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi,
dan juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya.
Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling
bertentangan."

Ibnul Qayyim melanjutkan:
"Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di dalamnya terdapat tambahan,
perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang
mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu
tidak terdapat dalam Taurat yang Allah turunkan kepada Musa 'alaihissalam.
Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya
terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang tidak bisa
disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan mereka yakin secara
pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang Allah 'Azza wa Jalla
turunkan kepada Al-Masih `Isa 'alaihissalam." (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil
Yahudi wan Nashara, hal. 101)

Al-'Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindi
rahimahullahu menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada
sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan
Nabi 'Isa 'alaihimassalam. Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah
berkenaan dengan Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya
sebelum zaman raja Yusya' bin Amun yang berkuasa pada tahun 638 SM. Sedangkan
nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia
berkuasa, tidak bisa dijadikan sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh
Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah
itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM.
Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar
menguasai Palestina niscaya ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh kitab
Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi berdalih
bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun
yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri
Palestina.

Ketika Suraya berkuasa antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama
Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia
pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40 hingga 80 juta
pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah
Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan
api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu
tentara untuk mengepung Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu
ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka merampas
Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta
membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun para wanita dan anak-anak.
Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung
atau bersembunyi dalam gua-gua." (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21)

Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis
setelah diangkatnya Nabi 'Isa 'alaihissalam, baik itu Injil yang konon katanya
ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil
Lukas maupun Injil Matius. Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang
masing-masing isinya terdapat pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan
Injil tersebut. Dan Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan
kepada Nabi 'Isa 'alaihissalam.

Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi berkata:
"Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab
yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan
sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang
disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan
dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut merupakan
karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau beberapa kelompok mengaku-aku
penyandaran tersebut.

Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada
Musa, Uzra, Isy'aya`, Irmiya dan Sulaiman 'alaihimussalam, tidaklah tsabit
(benar) dengan satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada
mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut. Dan
juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari Perjanjian Baru yang lebih
dari 70 (buah) disandarkan kepada 'Isa, Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka.
Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang
ketidakshahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Bahkan
kitab-kitab itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang
wajib diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut
orang-orang Yahudi dan penganut Protestan…." (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq,
hal.19)

Dengan demikian semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab
yang dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan
dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita terimanya. Namun
kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai
berikut:

1. Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh Al-Qur`anul
Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita benarkan tanpa rasa
berat.
2. Namun bila didustakan
Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan.
3. Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan
maka kita pun mendiamkannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula
mendustakan.

Al-Qur`anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an
menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendukungnya,
serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan
menolaknya.

Bantahan ulama Islam atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta
perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang
diturunkan Allah kepada Musa dan 'Isa 'alaihimassalam. Namun yang mereka bantah
adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan
Nasrani mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah
turunkan kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada 'Isa hanya
satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga Taurat yang
berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda?[10]" (Mukhtashar Kitab Izh-harul
Haq, hal. 35-37). Wallahul musta'an.
 
Hadits
Yang Terkait Yahudi Menutupi Kebenaran

Demikian pula yang diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin 'Umar bahwa beberapa orang Yahudi
datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa seorang lelaki
dari mereka dan seorang wanita yang keduanya telah berbuat zina. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: "Apa yang
kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?" Mereka menjawab:
"Kami melumuri wajahnya dengan arang[a] dan memukulnya." Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata: "Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam
Taurat?" Mereka menjawab: "Kami tidak mendapati sedikitpun (tentang rajam)."
Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka: "Kalian telah berdusta, datangkanlah
Taurat jika kalian jujur." Salah seorang guru mereka yang mengajari mereka
meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (dengan maksud menutupinya,
red.). Lalu diapun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, dan tidak
membaca ayat rajam. (Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam
dan bertanya: "(Ayat) apa ini?" Tatkala mereka melihat itu merekapun menjawab:
"Itu ayat rajam." Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
agar keduanya dirajam[b]. Maka keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah
yang ada di dekat masjid. Ibnu 'Umar berkata: "Aku melihat (yang dirajam
tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang
dilemparkan kepadanya hingga ia tewas)." (HR. Al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no.
1699)
[a] Ada pula yang menafsirkannya: Kami menyiramnya dengan air panas. Dalam
riwayat lain: Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk.
[b] Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat."

Wallahu a'lam bish-shawab.

Footnote:
[1] Ibnu 'Aun berkata: "Aku bertanya kepada Al-Hasan: 'Apa yang dimaksud dengan مُتَهَوِّكُوْنَ ?'. Al-Hasan menjawab: 'Orang-orang yang bingung'. Demikian
disebutkan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam
Al-Irwa` (6/38). Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan makna sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut: 'Yakni apakah kalian bingung
dalam berIslam, kalian tidak mengetahui agama kalian hingga kalian harus
mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani?" (Syarhus Sunnah 1/271)
[2] ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ
yakni betapa ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada
seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya
perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut dengan maksud
menyatakan: "Bila engkau berbuat/ berucap demikian, maka kematian lebih baik
bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan lagi." Atau bisa pula ucapan ini
termasuk lafadz-lafadz yang biasa beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan
sebagai doa seperti ucapan mereka:
تَرِبَتْ يَدَاكَ dan قَاتَلَكَ اللهُ. (An-Nihayah, hal. 123)
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam FathulBari 13/408
[4] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang
sebelumnya ada peringatan dari melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan
dalam syariat. Maka semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan
perkara baru (bid'ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari
agama dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam
ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. (Al-Jami' li Ahkamil Qur`an
1/9)
[5] Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215
[6] Lebih dari 114 tahun
[7] Al-Fishal 1/146.
[8] Al-Fishal 1/147
[9] Al-Fishal 1/161
[10] Karena terbatasnya lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak
dapat memaparkan semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih
jauh, silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan
Nihal Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih Al-Imam
Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara Al-Imam Ibnul
Qayyim, Izh-harul Haq Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi atau Mukhtasharnya.

Sumber: ringkasan artikel dari www.asysyariah.com,
judul: Petunjuk bagi Orang-orang yang
Bingung (Terhadap Buku Ahlul Kitab dan Buku-Buku Sesat)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: