Jumat, 17 Februari 2012

[daarut-tauhiid] Soal Cerai dan Rujuk: Perlukan Saksi

 

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya beberapa hal tentang rumah tangga. Semoga Ustadz
berkenan memberikan jawaban secara ilmiah/syar'i. Saya harap, hal ini
akan bermanfaat bagi saya dan siapa saja yang mungkin suatu saat akan
mengalaminya.

Bagaimana perceraian yang dilakukan tanpa ada saksi? Hukumnya sah atau
tidak? Bagaimana pula ketika akan rujuk? Apakah perlu adanya saksi
agar sah atau tidak? Kemudian, ketika talak satu sudah habis masa
iddah-nya dan tidak ada rujuk, bagaimana status perkawinannya?
Demikian Ustadz pertanyaan saya, semoga Ustadz berkenan untuk
menjawabnya.

Jawaban:

Tidak ada seorang muslim pun yang ingin kehidupan rumah tangganya
pecah. Segala cara dan kiat dicari untuk mempertahankan bahtera rumah
tangga. Apabila tidak mungkin berbaikan kecuali dengan berpisah, maka
apa boleh buat, langkah yang sulit dan getir itu pun harus diambil.
Islam memberikan aturan yang indah dalam kasus ini dengan
mensyariatkan talak (perceraian), rujuk (damai kembali bersatu), dan
masa iddah menjadi tiga: dua dengan rujuk, yaitu talak satu dan dua
serta satu tanpa rujuk, yaitu talak tiga atau talak ba'in, sebagaimana
firman Allah,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

"Talak (yang dapat dirujuk) itu sebanyak dua kali. Setelah itu, boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik." (QS. Al-Baqarah:229)

Para ulama sepakat bahwa keberadaan saksi tidak disyariatkannya dalam
perceraian, sebagaimana dijelaskan Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nail
Al-Authar, 6:267. Namun, para ulama masih berselisih tentang kewajiban
adanya saksi dalam rujuk. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah
yang berpendapat bahwa saksi tidak wajib ada, namun bila ada saksi
maka itu yang lebih baik.

Para ulama, yang tidak mewajibkan saksi dalam rujuk, berselisih
pendapat dalam cara rujuk yang diakui syariat. Ada yang menyatakan
bahwa cukup dengan berhubungan suami-istri, ada yang menyatakan bahwa
harus dengan niat rujuk, dan ada yang menyatakan bahwa harus dengan
ucapan. Pendapat yang rajih adalah bahwa rujuk dikatakan sah dengan
adanya perbuatan atau perkataan yang menunjukan rujuknya kedua pasutri
tersebut, baik dengan hubungan suami-istri atau perkataan. Hal
tersebut menyelishi opini sebagian kaum muslimin bahwa rujuk
memerlukan prosedur yang berbelit-belit, sehingga orang yang
berkeinginan rujuk malah tidak jadi melakukan rujuk hanya karena
prosedur tersebut.

Islam mensyariatkan iddah (masa menunggu) agar sang suami dapat
meralat kembali talaknya, setelah hilang rasa marah dan tidak sukanya
lalu muncul perasaan ingin memperbaiki bahteranya. Oleh karena itu,
sang suami dilarang mengusir istrinya dari rumah, dan istri yang
dicerai dengan talak satu atau dua tersebut juga tidak boleh pergi
untuk tinggal di luar rumahnya. Hal ini jelas ditegaskan Allah dalam
firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا
تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ
يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً

"Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar), hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah, Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar, kecuali kalau mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah batasan-batasan dari Allah. Barang
siapa yang melanggar batasan-batasan Allah, sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui bahwa
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru." (QS.
Ath-Thalaq:1)

Apabila Allah berikan rasa ingin rujuk pada hati sang suami dalam masa
iddah tersebut maka sang istri wajib menerimanya walaupun ia tidak
suka. Namun, bila tidak ada rujuk sampai habis masa iddah-nya maka
sang wanita menjadi bebas dan tidak ada keterikatan dengan suaminya
terdahulu itu.

Jika keduanya sepakat untuk kembali bersatu setelah itu maka
pernikahan yang baru wajib untuk dilakukan . Hal ini merupakan
kesepakatan para ulama, sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari, "Para ulama telah bersepakat bahwa bila lelaki yang merdeka
mencerai wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik
talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk
kepadanya walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai
selesai masa iddahnya maka sang wanita menjadi orang asing
(ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali melalui pernikahan
baru."

Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan bermanfaat.

Sumber: Majalah Nikah, Vol. 3, No. 12, Maret, 2005.
Dengan penyuntingan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
--
Abu Afina Pracoyo

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: