Selasa, 01 Mei 2012

[daarut-tauhiid] Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku

 

Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku

Oleh Mutiara

==================

"Mbak, silahkan duduk! Capek nanti kalau berdiri terus.
Maaf, tempatnya seadanya," kata Bapak tukang tambal ban itu
mempersilahkan aku duduk.

"Iya Pak, ma kasih," jawabku sambil tersenyum.

Aku agak ragu untuk duduk di tempat yang hanya digelar tikar plastik. Apalagi malamnya habis hujan deras, jalanan becek termasuk tempat
tambal ban Bapak ini. Bukan apa-apa sih, aku hanya khawatir sama bawahan (rok) yang aku kenakan pagi ini untuk ke kantor. Warnanya putih.
Tapi... tak apalah untuk menghormati Bapak tukang tambal ban itu. Sebut
saja namanya Pak Karim.

Akhirnya aku duduk sambil menunggu ban sepeda motorku ditambal. Ya…
terpaksa deh aku nungguin di pinggir jalan kayak orang ilang hehehe

"Makanya, cepetan nikah biar ada yang merawat sepedanya, tuh!"

Aku jadi tersenyum sendiri kalau ingat kata-kata temanku. Aku percaya temanku hanya ingin menghiburku saja. Tapi kalau memang benar seperti
itu, alangkah sengsaranya jadi seorang suami. Sepeda motor bocor saja
harus minta bantuannya. Apa salahnya kalau kita sebagai istri bisa
mandiri? Kan itu lebih baik? Jadi, apa-apa nggak harus minta bantuan
suami, kecuali kalau memang harus ditemani suami hehe....

Di saat aku sibuk dengan pikiranku, datanglah seorang laki-laki yang
tengah menuntun sepeda onthelnya. Kelihatannya ban sepedanya juga lagi
bermasalah.

"Kenapa Mas? Mau tambah angin atau nambal ban?" tanya Pak Karim sambil membetulkan tempat duduknya.

"Mau nambal ban, Pak! Tadi sempat meletus," jawab laki-laki itu pelan.

"Wah, kalau seperti itu saya gak bisa nambal Mas. Apalagi ban luarnya sudah kelihatan tipis, ditambal pun gak ada gunanya. Lebih baik diganti aja, Mas. Ban luar

harganya sekitar tiga puluh enam ribu dan ban
dalamnya sekitar dua puluh lima ribu. Tapi saya sendiri gak ada
persediaan. Mas beli aja di toko!" pinta Pak Karim.

Laki-laki itu tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia masih menunggu sambil memegangi sepeda onthelnya. Laki-laki itu kelihatannya
masih berharap, kalau-kalau

Pak Karim berubah pikiran dan mau melihat
kondisi ban sepedanya, apakah memang benar-benar sudah tidak bisa
diselamatkan lagi?

Dan akhirnya, benar juga dugaannya.

"Meletusnya gimana sih, Mas? Bunyi 'duooor' atau bagaimana?" tegas Pak Karim.

Laki-laki itu menjawab,"Tadi saya sempat dengar bunyi 'buuss', gitu Pak!"

"Oh… ya sudah, kalau begitu saya periksa dulu saja, sambil menunggu punyae Mbake ini," jawab Pak Karim.

Tak seberapa lama setelah diperiksa, Pak Karim pun berkata, "Oke Mas, ternyata masih bisa ditambal. Tapi hanya untuk sementara. Habis ini
segera diganti bannya, karena ban luar dan dalamnya sudah waktunya
ganti."

Laki-laki itu mulai agak tenang dengan jawaban Pak Karim.

"Kalau begitu, saya pulang dulu, Pak!"

Laki-laki itu kemudian pamitan pulang. Pak Karim pun mengangguk, tanda mengiyakan. Sepedanya ditinggal begitu saja.

Aku sendiri terheran-heran.

"Lho, Pak! Kenapa orangnya malah tambah pulang? Sepedanya kan udah bisa ditambal?" selidikku.

"Ya... biasalah, Mbak! Ambil uang dulu," jawab Pak Karim dengan santainya.

"Emang ongkosnya berapa sih Pak, kok sampai dia pulang untuk ambil uang?" tanyaku.

"Empat ribu rupiah, Mbak..," jawab Pak Karim.

Hah? Aku sempat kaget juga. Masak uang empat ribu rupiah saja harus pulang ke rumah? Apa memang gak bawa uang sama sekali?

"Rumahnya dekat ya Pak dari sini?" tanyaku kemudian.

"Dekat kok Mbak. Situ lho Mbak, kos-kosan rumah tangga, paling-paling 300 meteran dari sini," jawabnya.

"Ya begitulah Mbak, namanya orang rumah tangga itu lain-lain. Kalau
Masnya tadi, uang biasa dibawa istrinya. Jadi setelah gajian, semua
dikasihkan istrinya."

"Masak sih, Pak?" sambungku.

Tapi kalau memang benar seperti itu, sebagai istri kan mestinya
sebagian dikasihkan suaminya? Paling tidak… cukup buat uang saku kalau
nanti di jalan ada apa-apa. Ya seperti laki-laki ini tadi. Untung
rumahnya masih dekat. Coba kalau jauh kan kasihan, mana orangnya mau
kerja lagi. Ah…, pagi-pagi sudah ngomongin orang.

Astaghfirullah!

Belum hilang rasa heranku, Pak Karim malah menambahkan.

"Saya saja cerai Mbak sama istri saya."

Aku seperti disambar petir di pagi hari. Aku tidak menyangka kalau Pak Karim seperti itu. Astaghfirullah!

"Gimana mau gak cerai, Mbak. Istri saya itu orangnya cerewet, suka
ngatur. Saya mendapat uang banyak atau sedikit diomelin. Kalau masalah
keuangan, istri saya yang mengatur. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua penghasilan diminta sama istri. Ya sudah Mbak, saya cerai
aja. Buat apa istri kayak gitu? Bikin saya tambah pusing. Saya pulangkan saja ke rumah orang tuanya. Saya bilangin ya, Mbak. Laki-laki itu gak
suka diatur-atur, lama-kelamaan dia gak betah di rumah."

Pak Karim menghentikan ceritanya. Dia menerawang jauh, sepertinya ada beban berat yang sedang menimpanya.

"Saya sekarang sudah menikah lagi, Mbak. Masalah keuangan, gantian
saya yang mengatur. Yang penting kebutuhan istri saya sudah tercukupi.
Tapi saya juga pesan sama mantan istri saya, kalau suatu saat pengin
balikan lagi sama saya, saya mau menerima dia kembali."

Pak Karim akhirnya curhat tentang keluarganya. Aku tidak banyak
berkomentar, khawatir nantinya malah merembet kemana-mana. Aku sendiri
juga tidak tahu yang sebenarnya dengan keluarganya Pak Karim. Aku hanya
tersenyum mendengar pengakuan Pak Karim. Begitu mudahnya dia menceraikan istrinya dan begitu gampangnya pula dia menerimanya kembali. Ya sudah,
aku dengarkan saja keluhannya.

Aku hanya sempat bilang bahwa cerai itu walaupun diperbolehkan tapi
sebenarnya perbuatan yang sangat-sangat dibenci oleh Allah. Pak Karim
mengerti hal itu. Tapi dia melakukannya karena terpaksa, sudah tidak
tahan dengan perlakuan istrinya dan menurut dia jalan yang terbaik
adalah dengan menceraikannya.

Aku jadi teringat dengan prinsip temanku dulu. Dia seorang wanita
karir. Sebelum menikah, buat dia "Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku".
Setelah menikah pun ternyata prinsipnya itu tidak berubah, masih tetap
sama "Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku". Kebetulan suaminya juga
pekerja kantoran, jadi mereka sama-sama bekerja.

Bukan apa-apa sih dengan prinsip itu, tapi menurutku apakah gak
terlalu egois? Walaupun menurut agama, wanita berhak atas uang
pribadinya. Sebelum menikah misalnya, seluruh penghasilan adalah milik
kita pribadi. Kita berhak untuk mengaturnya sendiri, memberi orang tua
atau tidak, belanja baju baru atau tidak, mau beli sepeda motor atau
tidak. Tapi, kalau sudah dalam ikatan pernikahan apakah prinsip itu
masih berlaku? Apakah kita akan membiarkan suami kita dalam kesulitan?
Apakah kita akan diam saja sementara saudara dekat kita membutuhkan
pertolongan?

Pernah suatu hari, suami temanku itu minta uang untuk membeli pulsa.
Untuk membeli pulsa saja, dia harus minta ke istrinya, karena semua
penghasilan diberikan kepadanya. Baik itu tabungan, ATM, kartu kredit,
semua dipegang oleh istrinya. Sampai-sampai beli pulsa saja dicek sama
istrinya, apakah benar-benar dibelikan pulsa atau tidak. Ternyata pulsa
di HP suaminya tidak bertambah. Akhirnya, istrinya marah karena merasa
dibohongi oleh suaminya. Selidik punya selidik, ternyata uang itu sama
suaminya dibelikan makanan kesukaannya karena suaminya merasa bosan
dengan masakan di rumah.
****

Memiliki uang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
sebuah rumah tangga. Bukan berarti tidak memiliki uang, sebuah rumah
tangga bisa dikatakan tidak bahagia. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

Memiliki uang tetapi tanpa memiliki kemampuan untuk mengelolanya
secara baik, maka uang pun tak punya arti apa-apa. Salah melakukannya
bukan tidak mungkin kelanggengan sebuah rumah tangga akan menjadi
taruhannya.

Sebelum menikah misalnya, kita biasa untuk mengelola uang kita dengan cara kita sendiri. Tetapi setelah memasuki jenjang pernikahan, maka hal ini tentulah berubah.

Bagaimana kita harus berbagi dengan pasangan.
Berbagi di sini bukan hanya uang suami yang kita gunakan, tapi bisa jadi uang kita sendiri. Di sinilah perlu empati dan toleransi yang tinggi
dari pasangan kita. Kita harus pandai-pandai mengkomunikasikan masalah
keuangan dengan pasangan kita.

Sebagai istri juga jangan terlalu egois, walaupun dalam agama, wanita berhak atas uang pribadinya tapi jangan lantas kita sebagai istri
semaunya sendiri. Semua kita kuasai,

baik tabungan, ATM, kartu kredit
atau apalah yang lainnya.

Lain lagi, kalau memang suami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada
istri karena ia merasa tidak pandai mengatur uang keluarga. Ya, kita
sebagai istri semestinya menjalankan amanah yang diberikan suami dengan
sebaik-baiknya. Kita juga harus tahu apa saja kebutuhan dan keinginan
suami. Beri keleluasaan kepada pasangan kita untuk membelanjakan uang
pribadinya. Apabila suami atau istri terlalu boros atau senang
berfoya-foya, maka kita berhak untuk saling menegur, saling
mengingatkan, dan saling mengkomunikasikan. Dan ini sangatlah diperlukan dalam sebuah rumah tangga. Apalagi kalau istri sudah tidak bekerja
lagi. Otomatis keuangan keluarga akan berkurang.

Jujur, saling percaya, dan saling terbuka di antara pasangan, itulah
yang terpenting. Masak beli pulsa saja harus dicek, mau beli makanan
kesukaannya saja harus berbohong? Apabila suami istri sudah tidak lagi
saling jujur, saling percaya dan terbuka, maka apalah jadinya sebuah
rumah tangga. Dengan kejujuran di antara pasangan akan mendatangkan
kepercayaan dan menghilangkan rasa curiga.

"Mbak…, Mbaaak..! Mbak ngelamun, ya?!"

"Eh.. gak kok Pak… cuma bengong aja, hehe… Apa bedanya, ya, Pak?!" jawabku sekenanya.

"Ini Mbak, sepedanya sudah selesai," kata Pak Karim.

"Berapa, Pak, ongkosnya?"

"Lima ribu rupiah, Mbak!" jawab Pak Karim.

"Ma kasih banyak, Pak!"

"Iya, sama-sama, Mbak!"

"Sudah jam berapa ya? Semoga saja tidak terlambat," batinku pun berharap.

Ya Allah, pagi ini Engkau telah menyapaku, memberikan banyak
pelajaran buatku lewat orang-orang yang aku temui di jalan. Terima
kasih, Ya Robbi.

Mulai sekarang, marilah kita tanamkan dalam diri kita bahwa "Uangku, Uangmu, Ya Uang Kita Bersama".

Wallahu a'lam.

==============sumber :eramusli.com

**SURYATI**
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE)
Gd. Pascasarjana FEUI Lt. 2
Kampus UI Depok

Telp : 78849152-53
Fax : 78849154
Hp : 0857-11771749
Email : y4t12002@yahoo.com, suryati06@ui.ac.id

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: