Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku
  
  Oleh Mutiara
  
  ==================
  
  "Mbak, silahkan duduk! Capek nanti kalau berdiri terus. 
  Maaf, tempatnya seadanya," kata Bapak tukang tambal ban itu 
  mempersilahkan aku duduk.
  
  "Iya Pak, ma kasih," jawabku sambil tersenyum.
  
  Aku agak ragu untuk duduk di tempat yang hanya digelar tikar plastik. Apalagi malamnya habis hujan deras, jalanan becek termasuk tempat 
  tambal ban Bapak ini. Bukan apa-apa sih, aku hanya khawatir sama bawahan (rok) yang aku kenakan pagi ini untuk ke kantor. Warnanya putih. 
  Tapi... tak apalah untuk menghormati Bapak tukang tambal ban itu. Sebut 
  saja namanya Pak Karim.
  
  Akhirnya aku duduk sambil menunggu ban sepeda motorku ditambal. Ya… 
  terpaksa deh aku nungguin di pinggir jalan kayak orang ilang hehehe
  
  "Makanya, cepetan nikah biar ada yang merawat sepedanya, tuh!"
  
  Aku jadi tersenyum sendiri kalau ingat kata-kata temanku. Aku percaya temanku hanya ingin menghiburku saja. Tapi kalau memang benar seperti 
  itu, alangkah sengsaranya jadi seorang suami. Sepeda motor bocor saja 
  harus minta bantuannya. Apa salahnya kalau kita sebagai istri bisa 
  mandiri? Kan itu lebih baik? Jadi, apa-apa nggak harus minta bantuan 
  suami, kecuali kalau memang harus ditemani suami hehe....
  
  Di saat aku sibuk dengan pikiranku, datanglah seorang laki-laki yang 
  tengah menuntun sepeda onthelnya. Kelihatannya ban sepedanya juga lagi 
  bermasalah.
  
  "Kenapa Mas? Mau tambah angin atau nambal ban?" tanya Pak Karim sambil membetulkan tempat duduknya.
  
  "Mau nambal ban, Pak! Tadi sempat meletus," jawab laki-laki itu pelan.
  
  "Wah, kalau seperti itu saya gak bisa nambal Mas. Apalagi ban luarnya sudah kelihatan tipis, ditambal pun gak ada gunanya. Lebih baik diganti aja, Mas. Ban luar 
  
  harganya sekitar tiga puluh enam ribu dan ban 
  dalamnya sekitar dua puluh lima ribu. Tapi saya sendiri gak ada 
  persediaan. Mas beli aja di toko!" pinta Pak Karim.
  
  Laki-laki itu tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia masih menunggu sambil memegangi sepeda onthelnya. Laki-laki itu kelihatannya 
  masih berharap, kalau-kalau 
  
  Pak Karim berubah pikiran dan mau melihat 
  kondisi ban sepedanya, apakah memang benar-benar sudah tidak bisa 
  diselamatkan lagi?
  
  Dan akhirnya, benar juga dugaannya.
  
  "Meletusnya gimana sih, Mas? Bunyi 'duooor' atau bagaimana?" tegas Pak Karim.
  
  Laki-laki itu menjawab,"Tadi saya sempat dengar bunyi 'buuss', gitu Pak!"
  
  "Oh… ya sudah, kalau begitu saya periksa dulu saja, sambil menunggu punyae Mbake ini," jawab Pak Karim.
  
  Tak seberapa lama setelah diperiksa, Pak Karim pun berkata, "Oke Mas, ternyata masih bisa ditambal. Tapi hanya untuk sementara. Habis ini 
  segera diganti bannya, karena ban luar dan dalamnya sudah waktunya 
  ganti."
  
  Laki-laki itu mulai agak tenang dengan jawaban Pak Karim.
  
  "Kalau begitu, saya pulang dulu, Pak!"
  
  Laki-laki itu kemudian pamitan pulang. Pak Karim pun mengangguk, tanda mengiyakan. Sepedanya ditinggal begitu saja.
  
  Aku sendiri terheran-heran.
  
  "Lho, Pak! Kenapa orangnya malah tambah pulang? Sepedanya kan udah bisa ditambal?" selidikku.
  
  "Ya... biasalah, Mbak! Ambil uang dulu," jawab Pak Karim dengan santainya.
  
  "Emang ongkosnya berapa sih Pak, kok sampai dia pulang untuk ambil uang?" tanyaku.
  
  "Empat ribu rupiah, Mbak..," jawab Pak Karim.
  
  Hah? Aku sempat kaget juga. Masak uang empat ribu rupiah saja harus pulang ke rumah? Apa memang gak bawa uang sama sekali?
  
  "Rumahnya dekat ya Pak dari sini?" tanyaku kemudian.
  
  "Dekat kok Mbak. Situ lho Mbak, kos-kosan rumah tangga, paling-paling 300 meteran dari sini," jawabnya.
  
  "Ya begitulah Mbak, namanya orang rumah tangga itu lain-lain. Kalau 
  Masnya tadi, uang biasa dibawa istrinya. Jadi setelah gajian, semua 
  dikasihkan istrinya."
  
  "Masak sih, Pak?" sambungku.
  
  Tapi kalau memang benar seperti itu, sebagai istri kan mestinya 
  sebagian dikasihkan suaminya? Paling tidak… cukup buat uang saku kalau 
  nanti di jalan ada apa-apa. Ya seperti laki-laki ini tadi. Untung 
  rumahnya masih dekat. Coba kalau jauh kan kasihan, mana orangnya mau 
  kerja lagi. Ah…, pagi-pagi sudah ngomongin orang. 
  
  Astaghfirullah!
  
  Belum hilang rasa heranku, Pak Karim malah menambahkan.
  
  "Saya saja cerai Mbak sama istri saya."
  
  Aku seperti disambar petir di pagi hari. Aku tidak menyangka kalau Pak Karim seperti itu. Astaghfirullah!
  
  "Gimana mau gak cerai, Mbak. Istri saya itu orangnya cerewet, suka 
  ngatur. Saya mendapat uang banyak atau sedikit diomelin. Kalau masalah 
  keuangan, istri saya yang mengatur. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua penghasilan diminta sama istri. Ya sudah Mbak, saya cerai 
  aja. Buat apa istri kayak gitu? Bikin saya tambah pusing. Saya pulangkan saja ke rumah orang tuanya. Saya bilangin ya, Mbak. Laki-laki itu gak 
  suka diatur-atur, lama-kelamaan dia gak betah di rumah."
  
  Pak Karim menghentikan ceritanya. Dia menerawang jauh, sepertinya ada beban berat yang sedang menimpanya.
  
  "Saya sekarang sudah menikah lagi, Mbak. Masalah keuangan, gantian 
  saya yang mengatur. Yang penting kebutuhan istri saya sudah tercukupi. 
  Tapi saya juga pesan sama mantan istri saya, kalau suatu saat pengin 
  balikan lagi sama saya, saya mau menerima dia kembali."
  
  Pak Karim akhirnya curhat tentang keluarganya. Aku tidak banyak 
  berkomentar, khawatir nantinya malah merembet kemana-mana. Aku sendiri 
  juga tidak tahu yang sebenarnya dengan keluarganya Pak Karim. Aku hanya 
  tersenyum mendengar pengakuan Pak Karim. Begitu mudahnya dia menceraikan istrinya dan begitu gampangnya pula dia menerimanya kembali. Ya sudah, 
  aku dengarkan saja keluhannya.
  
  Aku hanya sempat bilang bahwa cerai itu walaupun diperbolehkan tapi 
  sebenarnya perbuatan yang sangat-sangat dibenci oleh Allah. Pak Karim 
  mengerti hal itu. Tapi dia melakukannya karena terpaksa, sudah tidak 
  tahan dengan perlakuan istrinya dan menurut dia jalan yang terbaik 
  adalah dengan menceraikannya.
  
  Aku jadi teringat dengan prinsip temanku dulu. Dia seorang wanita 
  karir. Sebelum menikah, buat dia "Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku". 
  Setelah menikah pun ternyata prinsipnya itu tidak berubah, masih tetap 
  sama "Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku". Kebetulan suaminya juga 
  pekerja kantoran, jadi mereka sama-sama bekerja.
  
  Bukan apa-apa sih dengan prinsip itu, tapi menurutku apakah gak 
  terlalu egois? Walaupun menurut agama, wanita berhak atas uang 
  pribadinya. Sebelum menikah misalnya, seluruh penghasilan adalah milik 
  kita pribadi. Kita berhak untuk mengaturnya sendiri, memberi orang tua 
  atau tidak, belanja baju baru atau tidak, mau beli sepeda motor atau 
  tidak. Tapi, kalau sudah dalam ikatan pernikahan apakah prinsip itu 
  masih berlaku? Apakah kita akan membiarkan suami kita dalam kesulitan? 
  Apakah kita akan diam saja sementara saudara dekat kita membutuhkan 
  pertolongan?
  
  Pernah suatu hari, suami temanku itu minta uang untuk membeli pulsa. 
  Untuk membeli pulsa saja, dia harus minta ke istrinya, karena semua 
  penghasilan diberikan kepadanya. Baik itu tabungan, ATM, kartu kredit, 
  semua dipegang oleh istrinya. Sampai-sampai beli pulsa saja dicek sama 
  istrinya, apakah benar-benar dibelikan pulsa atau tidak. Ternyata pulsa 
  di HP suaminya tidak bertambah. Akhirnya, istrinya marah karena merasa 
  dibohongi oleh suaminya. Selidik punya selidik, ternyata uang itu sama 
  suaminya dibelikan makanan kesukaannya karena suaminya merasa bosan 
  dengan masakan di rumah.
  ****
  
  Memiliki uang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan 
  sebuah rumah tangga. Bukan berarti tidak memiliki uang, sebuah rumah 
  tangga bisa dikatakan tidak bahagia. Banyak faktor yang mempengaruhinya.
  
  Memiliki uang tetapi tanpa memiliki kemampuan untuk mengelolanya 
  secara baik, maka uang pun tak punya arti apa-apa. Salah melakukannya 
  bukan tidak mungkin kelanggengan sebuah rumah tangga akan menjadi 
  taruhannya.
  
  Sebelum menikah misalnya, kita biasa untuk mengelola uang kita dengan cara kita sendiri. Tetapi setelah memasuki jenjang pernikahan, maka hal ini tentulah berubah. 
  
  Bagaimana kita harus berbagi dengan pasangan. 
  Berbagi di sini bukan hanya uang suami yang kita gunakan, tapi bisa jadi uang kita sendiri. Di sinilah perlu empati dan toleransi yang tinggi 
  dari pasangan kita. Kita harus pandai-pandai mengkomunikasikan masalah 
  keuangan dengan pasangan kita.
  
  Sebagai istri juga jangan terlalu egois, walaupun dalam agama, wanita berhak atas uang pribadinya tapi jangan lantas kita sebagai istri 
  semaunya sendiri. Semua kita kuasai, 
  
  baik tabungan, ATM, kartu kredit 
  atau apalah yang lainnya.
  
  Lain lagi, kalau memang suami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada 
  istri karena ia merasa tidak pandai mengatur uang keluarga. Ya, kita 
  sebagai istri semestinya menjalankan amanah yang diberikan suami dengan 
  sebaik-baiknya. Kita juga harus tahu apa saja kebutuhan dan keinginan 
  suami. Beri keleluasaan kepada pasangan kita untuk membelanjakan uang 
  pribadinya. Apabila suami atau istri terlalu boros atau senang 
  berfoya-foya, maka kita berhak untuk saling menegur, saling 
  mengingatkan, dan saling mengkomunikasikan. Dan ini sangatlah diperlukan dalam sebuah rumah tangga. Apalagi kalau istri sudah tidak bekerja 
  lagi. Otomatis keuangan keluarga akan berkurang.
  
  Jujur, saling percaya, dan saling terbuka di antara pasangan, itulah 
  yang terpenting. Masak beli pulsa saja harus dicek, mau beli makanan 
  kesukaannya saja harus berbohong? Apabila suami istri sudah tidak lagi 
  saling jujur, saling percaya dan terbuka, maka apalah jadinya sebuah 
  rumah tangga. Dengan kejujuran di antara pasangan akan mendatangkan 
  kepercayaan dan menghilangkan rasa curiga.
  
  "Mbak…, Mbaaak..! Mbak ngelamun, ya?!"
  
  "Eh.. gak kok Pak… cuma bengong aja, hehe… Apa bedanya, ya, Pak?!" jawabku sekenanya.
  
  "Ini Mbak, sepedanya sudah selesai," kata Pak Karim.
  
  "Berapa, Pak, ongkosnya?"
  
  "Lima ribu rupiah, Mbak!" jawab Pak Karim.
  
  "Ma kasih banyak, Pak!"
  
  "Iya, sama-sama, Mbak!"
  
  "Sudah jam berapa ya? Semoga saja tidak terlambat," batinku pun berharap.
  
  Ya Allah, pagi ini Engkau telah menyapaku, memberikan banyak 
  pelajaran buatku lewat orang-orang yang aku temui di jalan. Terima 
  kasih, Ya Robbi.
  
  Mulai sekarang, marilah kita tanamkan dalam diri kita bahwa "Uangku, Uangmu, Ya Uang Kita Bersama".
  
  Wallahu a'lam.
  
  ==============sumber :eramusli.com
  
  **SURYATI**
  Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE)
  Gd. Pascasarjana FEUI Lt. 2 
  Kampus UI Depok
  
  Telp : 78849152-53
  Fax : 78849154
  Hp : 0857-11771749
  Email : y4t12002@yahoo.com, suryati06@ui.ac.id 
  
  [Non-text portions of this message have been removed]
  
  
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar