Minggu, 27 Mei 2012

[daarut-tauhiid] WAKTU (2/2)

 

WAKTU (2/2)

Dr. M. Quraish Shihab, M.A

Kembali kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa Al-Quran
menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada
Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan
untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi
dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung
(QS Al-Jum'ah [62]: 10). Dari sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara
tegas orang-orang yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan
tertentu seperti kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting
seperti sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti
sementara wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan
tujuan berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah
permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara
kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan baca
Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) . Kerja atau amal dalam bahasa
Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk
ini oleh pakar-pakar bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman,
sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja.
Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 195. Aku
(Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki
maupun perempuan. Al-Quran tidak hanya memerintahkan orang-orang Muslim
untuk bekerja, tetapi juga kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am ayat 135
dinyatakan, Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan
(dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan
mengetahui siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia/akhirat. Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja,
tetapi bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran tidak memberi
peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja
sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr
dan dua ayat terakhir dari surat Alam Nasyrah menguraikan secara gamblang
mengenai tuntunan di atas. Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu
ditanaman optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan, ... karena.
sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6). Maksudnya, sesungguhnya bersama satu
kesulitan yang sama terdapat dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini
dipahami dari bentuk redaksi ayat di atas. Terlihat bahwa kata al-ushr
terulang dua kali dan keduanya dalam bentuk definitif (ma'rufah) yakni
menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata yusra juga terulang dua kali
tetapi dalam bentuk indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam.
Dalam kaidah kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan
terdapat dua kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya
bermakna sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia
berbeda. Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk
kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu
pekerjaan walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan
menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt. Maka apabila
kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain (QS 94: 7). Kata faraghta terambil dan kata faragha yang
ditemukan dalam Al-Quran sebanyak enam kali dengan berbagai bentuk
derivasinya. Dari segi bahasa, kata tersebut berarti kosong setelah
sebelumnya penuh, baik secara material maupun imaterial. Seperti gelas yang
tadinya dipenuhi, oleh air, kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas itu
menjadi kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan dan
kesedihan, kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata ini. Perlu
digarisbawahi bahwa kata faragh tidak digunakan selain pada kokosongan yang
didahului oleh kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya
sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi
waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut,
maka jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan
selanjutnya dinamai faragh. Jika Anda berada dalam keluangan (faragh)
sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka
itulah yang dimaksud dengan fan-shab. Kata fan-shab antara lain berarti
berat, atau letih. Kata ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sampai
nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah Swt. berfirman, Apakah
mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan, dan kepada langit bagaimana
ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata
(QS 88: 17-19). Kalimat terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh
Al-Quran dengan kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam
kalimat Wa ilal jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata
nashib atau "nasib" yang biasa dipahami sebagai "bagian tertentu yang
diperoleh dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata,
jelas, dan sulit dielakkan". Kini --setelah arti kosakata diuraikan--
dapatlah kita melihat beberapa kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari
surat Alam Nasyrah di atas. Apabila engkau telah berada dalam keluangan
(setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai
engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi
nyata. Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang
kepada Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu Anda
selesai dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan kesibukan lain yang
meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib Anda. Nabi
Saw. menganjurkan umatnya agar meneladani Allah dalam sifat dan sikap-Nya
sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah satu yang perlu
dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan. AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
Jika Anda bertanya, "Apakah akibat yang akan terjadi kalau menyia-nyiakan
waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat pertama dan
kedua surat Al-'Ashr. Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal
'ashr (Demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang
mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai
masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan
keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau
buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral.
Demikian Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini. Allah
bersumpah dengan 'ashr, yang arti harfiahnya adalah "memeras sesuatu
sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya," untuk menyatakan
bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya,
sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia
beriman dan beramal saleh" (dan seterusnya sebagaimana diutarakan pada
ayat-ayat selanjutnya). Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya
masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu 'ashr
kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankah 'ashr adalah waktu ketika
matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah
mengaitkan kerugian manusia dengan kata 'ashr untuk menunjuk "waktu secara
umum", sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu
datang kemudian. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr
(kerugian). Kata khusr mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat,
celaka, lemah, dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna
negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas
berbentuk indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga
dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin. Bentuk
indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti "keragaman
dan kebesaran", sehingga kata khusr harus dipahami sebagai kerugian,
kesesatan, atau kecelakaan besar. Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di
dalam bahasa indonesia. Jika misalnya Anda berkata, "Baju di lemari atau
uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa baju berada di
dalam lemari dan uang berada di dalam saku. Yang tercerap dalam benak
ketika itu adalah bahwa baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan
bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di
dalam saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar. Itulah juga yang
dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam kerugian". Kerugian
adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah tersebut. Keberadaannya
dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total,
tidak ada satu sisi pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian,
dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk
menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi
masa", dan mencari kaitannya dengan ayat kedua, "Sesungguhnya manusia
berada didalam kerugian". Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak
diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu
begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda, "Rezeki yang tidak
diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari
esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok." Jika
demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan
sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif,
manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara
ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi
Saw. yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya
sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw Dua nikmat yang sering
dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan
oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) . BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU? Tidak
pelak lagi bahwa waktu harus diisi dengan berbagai aktivitas positif. Dalam
surat Al-'Ashr disebutkan empat hal yang dapat menyelamatkan manusia dari
kerugian dan kecelakaan besar dan beraneka ragam. Yaitu, (a) yang beriman,
(b) yang beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan (d)
yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya keempat hal ini telah
dicakup oleh kata "amal", namun dirinci sedemikian rupa untuk memperjelas
dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau
oleh kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) . Iman --dari
segi bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian pakar yang
mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal yang didengar oleh
telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup --kata mereka-- karena yang
penting adalah pembenaran hati. Peringkat iman dan kekuatannya berbeda-beda
antara seseorang dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu saat
dengan saat lainnya pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman
itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya. Nah, upaya untuk
mempertahankan dan meningkatkan iman merupakan hal yang amat ditekankan.
Iman inilah yang amat berpengaruh pada hal diterima atau tidaknya suatu
amal oleh Allah Swt. Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan, Kami
menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu
kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu yang beterbangan. Ini
disebahkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman.
Demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan "undang-undang Ilahi" Di atas
dikatakan bahwa tiga butir yang disebut dalam surat ini pada hakikatnya
merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya disebut secara
eksplisit untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan tersebut antara
lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah
Swt. Dapat juga dinyatakan ada dua macam ajaran agama, yaitu pengetahuan
dan pengamalan. Iman (akidah) merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat
merupakan sisi pengamalan. Atas dasar inilah ulama memahami makna alladzina
amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini sebagai "orang-orang yang
memiliki pengetahuan tentang kebenaran". Puncak kebenaran adalah
pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari-Nya.
Jika demikian, sifat pertama yang dapat menyelamathan seseorang dari
kerugian adalah iman atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus
diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat dirinya,
padahal ada empat hal yang disebutkan surat Al-'Ashr yang menghindarkan
manusia dari kerugian total. MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA Hal
kedua yang disebutkan dalam surat Al-'Ashr adalah 'amilush-shalihat (yang
melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal (pekerjaan) digunakan oleh Al-Quran
untuk menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin. Kiranya
menarik untuk mengemukakan pendapat beberapa pakar bahasa yang menyatakan
bahwa kata 'amal dalam Al-Quran tidak semuanya mengandung arti berwujudnya
suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik
--kata mereka-- juga dinamai 'amal. Rasul Saw. menilai bahwa niat baik
seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud surat
Al-Zalzalah ayat 7: Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun
sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya. Amal manusia
yang beraneka ragam itu bersumber dan empat daya yang dimilikinya: 1. Daya
tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki antara lain kemampuan dan
keterampilan teknis. 2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki
kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan
sunnatullah 3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
moral, estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan
kebesaran ilahi. 4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi
tantangan. Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan
menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh". Kata shalih terambil dari
akar kata shaluha yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Quran dijelaskan
maknanya sebagai antonim (lawan) kata fasid (rusak). Dengan demikian kata
"saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan. Shalih juga
diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah pekerjaan yang
apabila dilakukan tidak menyebabkan dan mengakibatkan madharrat
(kerusakan), atau bila pekerjaan tersebut dilakukan akan diperoleh manfaat
dan kesesuaian. Secara keseluruhan kata shaluha dalam berbagai bentuknya
terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum dapat dikatakan
bahwa kata tersebut ada yang dibentuk sehingga membutuhkan objek
(transitif), dan ada pula yang tidak membutuhkan objek (intransitif).
Bentuk pertama menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita. Bentuk
ini memberi kesan bahwa objek tersebut mengandung kerusakan dan
ketidaksesuaian sehingga pekerjaan yang dilakukan akan menjadikan objek
tadi sesuai atau tidak rusak. Sedangkan bentuk kedua menunjukkan
terpenuhinya nilai manfaat dan kesesuaian pekerjaan yang dilakukan. Usaha
menghindarkan ketidaksesuaian pada sesuatu maupun menyingkirkan madharrat
yang ada padanya dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian
serta manfaat yang terdapat pada sesuatu dinamai shalah. Apakah tolok ukur
pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan ketidakrusakan itu? Al-Quran
tidak menjelaskan, dan para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Muhammad
'Abduh, misalnya, mendefinisikan amal saleh sebagai, "segala perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh yang disertai iman, ia
telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk membebaskan
dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus diingat, bahwa
menghiasi diri dengan kedua hal di atas baru membebaskan manusia dari
setengah kerugian karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar
benar-benar selamat, beruntung, serta terjauh dari segala kerugian. Yang
ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr (saling
mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya bukan di sini tempatnya
kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat dikemukakan hanyalah
bahwa al-haq diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui pencarian
ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta
kemampuan menahan rayuan nafsu demi mencapai yang terbaik. Surat Al-'Ashr
secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman
saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum
cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu
saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang
merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan
dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu
selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan
meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya. Demikian terlihat bahwa amal
atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan
makan, minum, atau rekreasi, tetapi kerja beraneka ragam sesuai dengan
keragaman daya manusia. Dalam hal ini Rasulullah Saw. mengingatkan: Yang
berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban
mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat
(berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian
ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang
dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan
minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar
Al-Ghifari). Demikian surat Al-'Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta
sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh
tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini: Kalaulah manusia memikirkan
kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi
kehidupan mereka).[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Waktu1.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: