Minggu, 27 Mei 2012

[daarut-tauhiid] WAKTU (1/2)

 

WAKTU (1/2)

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Berbicara mengenai "waktu" mengingatkan penulis kepada
ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah
(Syarat-syarat Kebangkitan) [*] saat ia memulai uraiannya
dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama
sebagai hadis Nabi Saw.:

Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru.
"Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang
menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak
akan kembali lagi sampai hari kiamat."

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:

Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru
sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa,
membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia
diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak
menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya,
walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan
mampu melepaskan diri darinya.

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt.
berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang
menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi
Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan
lain-lain.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?

Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat
arti kata "waktu": (1) seluruh rangkaian saat, yang telah
berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu
untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau
peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.

Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan
makna-makna di atas, seperti:

a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti
berakhirnya usia manusia atau masyarakat.

Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS
Yunus [10]: 49)

Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi
Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:

Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu.
Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku
sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas
diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita
ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).

b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam
raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya
sampai punahnya alam sementara ini.

Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia
satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada
di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).

Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita
berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak
ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr
(perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS
Al-Jatsiyah [45]: 24).

c. Waqt digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau
peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu,
sering kali Al-Quran menggunakannya dalam konteks kadar
tertentu dari satu masa.

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada
orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS
Al-Nisa' [4]: 103) .

d. 'Ashr, kata ini biasa diartikan "waktu menjelang
terbenammya matahari", tetapi juga dapat diartikan sebagai
"masa" secara mutlak. Makna terakhir ini diambil berdasarkan
asumsi bahwa 'ashr merupakan hal yang terpenting dalam
kehidupan manusia. Kata 'ashr sendiri bermakna "perasan",
seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras
pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan
saja sepanjang masa.

Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang
pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian
bahasa indonesia), yaitu:

a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada
batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang
langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.

b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah
tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat
oleh waktu (dahr).

c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda,
dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan
untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari
waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan
adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami
(seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,
dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk
menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan
bukannya membiarkannya berlalu hampa.

d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang
dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras
keringat dan pikiran.

Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar
serta penggunaan kata yang berarti "waktu" dalam berbagai
makna.

RELATIVITAS WAKTU

Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat.
Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan
manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan
lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubungan dengan
bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat
terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa
sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari,
atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.

Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama.
Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan
dan diakui oleh Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua
belas bulan pada surat At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga
memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkaitan
dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.

Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang
dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi
kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.

Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:

Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah
lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami
tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun
lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama
sehari atau kurang,

Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau
setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).

Ini karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah,
sehingga walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan
dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan
beberapa saat saja.

Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam
Al-Quran ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past
tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai
masa depan. Allah Swt. berfirman:

Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka
janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ...
(QS Al-Nahl [16]: 1).

Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca
mengenai makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat
belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang
seperti bunyi ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang
meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah
akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi
waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan
datang sama saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain
sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.

Ketika Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh
malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran
menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama
dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun
(QS Al-Ma'arij [70]: 4).

Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh
oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah
seribu tahun menurut perhitungan manusia:

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS
Al-Sajdah [32]: 5).

Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh
satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya
masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai
sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan
kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan
waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. Sesuatu itu
adalah Allah Swt.

Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti
kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).

"Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam
pengertian dimensi manusia, karena Allah berada di luar
dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka
terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)

Ini pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah
membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan
Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas
hanya ingin menyebutkan bahwa Allah Swt. berada di luar
dimensi ruang dan waktu.

Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami
secara mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. "Allah
menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus dipahami
sebagai enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata
"tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari --walaupun kata
yaum dalam Al-Quran yang berarti hari hanya terulang 365
kali-- karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah
hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan
perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat
manusia mengenal pula perhitungan yang lain. Sebagian ulama
menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh
a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29:
14), tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah
atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan
tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur, dan semi)
sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran
perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan
musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi
Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230
tahun.

Al-Quran mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan
Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua
(Ashhabul-Kahfi) tertidur.

Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama
tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS
Al-Kahf [18]: 25).

Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah,
sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan
perhitungan Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih
sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah
dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar
300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.

TUJUAN KEHADIRAN WAKTU

Ketika beberapa orang sahabat Nabi Saw. mengamati keadaan
bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama,
kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka
bertanya kepada Nabi, "Mengapa demikian?" Al-Quran pun
menjawab,

Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan
untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]:
189).

Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari
dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci (seperti
perjalanan dari bulan sabit ke purnama), harus dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas
(lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas).
Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah,
yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena
ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.

Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa
keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti
bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak
di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit,
dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur
bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai
akhirnya hilang dari pentas bumi ini.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:

Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti
untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yartg
ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang
ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).

Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut
introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah
terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan
perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi
agama, adalah "menggunakan segala potensi yang dianugerahkan
Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya," dan ini
menuntut upaya dan kerja keras.

Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan
pernyataan. "Maka ambillah pelajaran dan peristiwa itu."
Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk
menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang
telah dipersiapkannya demi masa depan.

Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]:
18).

Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan
perintah bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini
mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak
untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil
akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.

Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas
pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan
termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang
kita alami. Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan
dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga
di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok
duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik
yang dekat maupun yang jauh.

MENGISI WAKTU

Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu
semaksimal mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk
mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan
mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan
lebih jauh tentang hal ini, perlu digarisbawahi bahwa
sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi
dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk
kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang
menyatakan, dan memahaminya dalam arti

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka beribadah kepada-Ku.

Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena
memahami lam (li) pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam
bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian, melainkan
juga dapat berarti kesudahannya atau akibatnya. Perhatikan
firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang menguraikan
dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang
akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya
adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]:
8).

Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan "agar", maka ayat
tersebut akan berarti, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh
keiuarga Fir'aun 'agar' ia menjadi musuh dan kesedihan bagi
mereka." Kalimat ini jelas tidak logis, tetapi jika lam
dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan di
atas akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga
Fir'aun, dan kesudahannya adalah ia menjadi musuh bagi
mereka."

---------------- (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Waktu1.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: