Sabtu, 09 Juni 2012

[daarut-tauhiid] NOVEL BARU : Untold History of Pangeran Diponegoro

 





Pangeran Diponegoro

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,

 CATATAN PENULIS

Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta
keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah
Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram
itu, bergembira.

Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah
untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah
Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi
sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang
sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah
makam leluhur.

 Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran
Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun
kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah
sama. Persis sama... []

Dengan penuh hormat dan kebanggaan,

kupersembahkan kepada anak keturunan

dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau

menginspirasi hidup kita semua...

PROLOG

Plered, Jawa Tengah, 1647

APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri
sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu,
kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal.
Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa
panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu
diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini
tidak berani bertanya macam-macam.

Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua
prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian
selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri.
Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut
kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap.
Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan
panci panas itu.

Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah
Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri
dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang
duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik
kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang
seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.

Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo
memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di
depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling
lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh
lelaki itu dari leher ke bawah.

Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua
matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu
tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.

Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu
menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan
panci itu ke kepala sang pesakitan.

"Allahu Akbar!!!"

Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat
menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan.
'Topi besi panas' itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik
terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit
ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat.
Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai
hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak
ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu
ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa
pekan lalu.

Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi
sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari
masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai
tergelincir ke barat.

Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras
membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung
dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan
dirinya.

"Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!"

Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.

Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

"Cepat keluar! Atau kami dobrak!"

Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di
bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu
bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan
pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan
tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira—adik
satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun—sudah berada di antara
pasukan itu dengan pengawalan ketat.

"Siapa lagi yang ada di dalam!" hardik salah seorang prajurit. Tangan
kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

"Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian...," jawab Dyah pelan. Ketakutan
segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak
percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat
kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.

"Dia benar. Tak ada lagi orang..."

Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai  kepala regu
memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta
adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor
kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh
dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di
lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan
Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja
Amangkurat I sudah menempatinya.

Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto,
lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang
memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.

Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru
ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata
dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu
setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak
dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga
pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah
pulau di kelilingi daratan luas.

Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan
istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat
prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model
istana-benteng raja-raja Eropa.

Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.

Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira,
dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton.
Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang
dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran.
Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri
dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

"Ada apa gerangan, Nduk?" bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, "Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak."

"Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa."

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa
membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti
akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas
perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini
semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia
amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga
dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)

http://eramuslim.com/berita-novel-baru--untold-history-of-pangeran-diponegoro.html
http://eramuslim.com/berita-novel-baru--untold-history-of-pangeran-diponegoro.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: