Kamis, 29 Juli 2010

[daarut-tauhiid] Keluarga Sakinah Dalam Masalah

http://www.dakwatuna.com

Keluarga Sakinah Dalam Masalah

Oleh: Mochamad Bugi <http://www.dakwatuna.com/author/bugi/>
------------------------------

<http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2009/04/keluarga2.jpg>*
dakwatuna.com – *Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai
sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada
kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita.
Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium
ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal
sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan
kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang
terjadi.

Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda
terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim
keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat
yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam kondisi sosial
keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi
mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur'an memuat
ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi
antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam
masyarakat.

Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga
yang menyerah atas "derita" yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di
antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual
tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan
yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya
kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan
alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu,
menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun
keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata
kunci itu adalah sakinah.

*Makna Sakinah*

Istilah "sakinah" digunakan Al-Qur'an untuk menggambarkan kenyamanan
keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan "sakanun" yang
berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu
digunakan Al-Qur'an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota
keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur
untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama
anggotanya.

Di Al-Qur'an ada ayat yang memuat kata "sakinah". Pertama, surah Al-Baqarah
ayat 248.
æóÞóÇáó áóåõãú äóÈöíõøåõãú Åöäóø ÂóíóÉó ãõáúßöåö Ãóäú íóÃúÊöíóßõãõ
ÇáÊóøÇÈõæÊõ Ýöíåö ÓóßöíäóÉñ ãöäú ÑóÈöøßõãú æóÈóÞöíóøÉñ ãöãóøÇ ÊóÑóßó Âóáõ
ãõæÓóì æóÂóáõ åóÇÑõæäó ÊóÍúãöáõåõ ÇáúãóáóÇÆößóÉõ Åöäóø Ýöí Ðóáößó áóÂóíóÉð
áóßõãú Åöäú ßõäúÊõãú ãõÄúãöäöí

*Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: **"**Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga
Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.**"*

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi
mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan
–yang dalam bahasa Al-Qur'an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah
adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu,
termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
åõæó ÇáóøÐöí ÃóäúÒóáó ÇáÓóøßöíäóÉó Ýöí ÞõáõæÈö ÇáúãõÄúãöäöíäó áöíóÒúÏóÇÏõæÇ
ÅöíãóÇäðÇ ãóÚó ÅöíãóÇäöåöãú æóáöáóøåö ÌõäõæÏõ ÇáÓóøãóÇæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖö
æóßóÇäó Çááóøåõ ÚóáöíãðÇ Í

*Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumidan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.*

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja
Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan
suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu
melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan
sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi
orang lain.

Jadi, kata "sakinah" yang digunakan untuk menyifati kata "keluarga"
merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam
membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus
memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi
tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat
kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan
penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam
masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang
banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah
sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi
menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan,
anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka,
sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang
dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak
jauh di bawah standar nyaman.

*Membangun Kenyamanan Keluarga*

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak
bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota
keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan
itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya,
keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran
secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua
belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih
ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah
tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga.
Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka
tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar
melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun.
Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman
orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali
menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang
tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat
suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga.
Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan.
Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi
suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang
tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya
menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang
derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan.
Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada
waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu
membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun
berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan
pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar
menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah
rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih
yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral
kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di
tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik
bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga.
Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua,
demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab,
yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi
pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan
melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia
hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah
kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya.
Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap
merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya.
Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli
akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang
datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak
punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan
raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan
berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

*Lunturnya Semangat Sakinah*

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan
proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal
yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat
menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras
mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, "Suami saya
akhir-akhir ini jarang pulang", tidak sulit kita cerna maksud utama
kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan
persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat
tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan
istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: "tidak
tahan menghadapi godaan". Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga
menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat
seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa
saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin
menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh
karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di mana
seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak yang
tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat
dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga
dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak
kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan
posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang
semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran
nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup
bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah
orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka
anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan
berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini?
Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman
yang kadang membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari.
Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi.
Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam
telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi
bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan
pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah
membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita.
Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan
kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan
budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi "masyarakat
baru" dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (*married by accident*)
telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu.
Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak
ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian
kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali
etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar
menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya
sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus
mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan
sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan
daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang
berbeda-beda, maka bangunan "baiti jannati", rumahku adalah surgaku, akan
semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit
terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada
hanyalah "neraka" yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak
adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk
menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal
sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia
akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi
lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu
memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai
yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir
selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat
di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan,
terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali
menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal,
guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa
depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan
proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu
berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang
justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa
berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja
berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi
binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari
pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi
kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab
berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga
merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi.
Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat
pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja
mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang
terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat
lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.

http://www.dakwatuna.com/2007/keluarga-sakinah-dalam-masalah/#comments


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: