Kamis, 29 Juli 2010

[daarut-tauhiid] OOT: Open Your Mind (Penting untuk Para Pendidik!)

---------- Forwarded message ----------
From: resonansi_2002 <resonansi_2002@yahoo.co.uk>


Open Your Mind
Oleh: Rhenald Kasali *

SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang
kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat
(AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan
seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain
mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya.
Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia
menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda
(multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak
terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi,
khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan.
Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang
konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah
tangga menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya
jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan
atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku
konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya
semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah
dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks
jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama
delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya
mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja.
Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang
cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan
diri sendiri agar berhasil dalam hidup.

Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya.
"Jawaban ini salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya
mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya
menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah
saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk
mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Yadua tahun.Ini jawaban saya
benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya
sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu
biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil
hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah
karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan
martabat, plinplan. "Jadilah guru yang teguh." Kalimat itu terus
mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten,
tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini
justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada
mahasiswa tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis
begitu.Saya tahu." "Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi.
"Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun
sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di
sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya
khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap
menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang
seawet itu.

Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang,
lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material
yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan
produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak
apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar
menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat
saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu
tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita
berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis
seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka
ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar
saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir,
urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia
kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak
ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum.
"Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah
tahu arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and
indeed he was wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka
cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku,
tetapi argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor
itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu.
Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa
memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya
beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya
menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas,
teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif
saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut
yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan
sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima
dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus
yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun
memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar
menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan
bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia
yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia
dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita
diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa
menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.

Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak
kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya
pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah
potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile.
Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena
setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu
disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka
sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar
telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan
membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat
dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun
minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide.
Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia
menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku dan bahan
ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini
bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak
punya acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti
perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar
itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun
tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang
mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa
yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus
tergantung siapa yang mengatakannya." Mereka terbelah. Ibu guru pun
menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru saja keluar dari cara
berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan
membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film
Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching
assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa
yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu
itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik
manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilakuperilaku
buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang
sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan
mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak
yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita
bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau
dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada
anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang
yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen.
Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak
peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara
dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut
dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak
terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda
tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah
berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di
antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman,
memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya
berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh
ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan,
melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)

*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: