Jumat, 21 September 2012

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3642

1 New Message

Digest #3642
1
OOT -- ijin sharing untuk selingan akhir pekan by "siti nurasiah" asia_bidakara

Message

Fri Sep 21, 2012 12:45 am (PDT) . Posted by:

"siti nurasiah" asia_bidakara

Selamat siang rekan semuanya,

Maafkan baru bisa menyapa rekan
semuanya. Dalam kesempatan ini, ijinkan saya untuk berbagi "joke",
semoga bisa menjadi selingan di sela-sela menjelang berkahir pekan.

Joke itu berupa, sebuah pagi yang agak gaduh di pintu stasiun kereta api Kebayoran
Lama. Seorang petugas keamanan berteriak-teriak pada para penumpang yang
baru turun dari kereta.

"Tolong tiket, tolong tiket!" kata petugas itu sambil memungut tiket dari tangan para penumpang.

"Memangnya tiketnya kenapa pak? Kok ditolongin?" gumam sekolompok ABG yang berjalan agak santai.

Hm… hal ini mengingatkan saya pada sebuah sesi di kelas yang saya selenggarakan, sesi bersama Sitok Srengenge.

Kegelisahan Sitok tentang kesalahkaprahan bahasa kembali terngiang.
Seperti yang ia sampaikan malam itu, bagaimana kekacauan berbahasa, bisa
menimbulkan kekacauan fisik, juga kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tapi, sebagai murid yang juga diajarkan bersikap skeptic, saya
mencoba membiarkan pertanyaan yang bersemi di hati: "Ah, masak sih?
Memangnya seberapa ngefek sih kekacauan itu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara? Toh yang penting kita sudah sama-sama mengerti arahnya,
atau mengerti maksudnya—seperti soal tiket itu, dimana penumpang
akhirnya memberikan sepotong kertas pada petugas?"

 "Kita terbiasa menggampangkan kesalahkaprahan, karena yang penting
satu sama lain mengerti tujuannya. Tapi tujuan itu telah menjauhkan kita
dari makna. Makna yang pada akhirnya merugikan kita sebagai individu,
sebagai kelompok, bahkan warga negara," kata Sitok memulai diskusinya.

Perlu dibedakan antara yang struktulan dan fungsional—bahasa
lisani/percakapan sehari-hari, berbeda ketika kita menggunakan kosa kata
atau diksi ketika menulis. Juga, dalam berbangsa dan bernegara (maaf
kalau kesannya kejauhan…hehe).

Tapi kegelisahan itu segera bisa saya pahami, paling tidak ketika
Sitok memberi contoh kritik pada penggunaan kata aparat Negara yang pada
mulanya adalah pelayan rakyat atau abdi rakyat. Tak sampai di sini,
kita juga seakan telah sepakat menyebut pemerintah sebagai penguasa.

Sebutan di atas itu kemudian diamini oleh masyarakat, dan karenanya
pemerintah memang kerjanya memerintah rakyat—tidak lagi melayani, bahkan
menguasai, menyalahgunakan amanah, dan sebagai penguasa mereka merasa
berhak atas kekayaan negeri yang harusnya untuk hajat hidup orang banyak
yaitu rakyat.

Sebelum senjata, yang membunuh pada awalnya adalah kata.

Kembali kepada kata, lebih jauh Sitok mengulas.
Bahwa senjata sesungguhnya tidak bisa bergerak tanpa digerakkan tangan,
dan tangan bergerak karena kata-kata. Ia bisa berupa perintah, omongan,
yang terkadang kesalahpahaman dimulai dari sana karena kekacauan bahasa
tadi. Sebagai contoh, prajurit menyerbu ketika Panglima menyerukan kata
serbu. Prajurit menembak, ketika pPanglima menyerukan kata tembak. Massa
mengamuk karena seruan atau pernyataan seseorang yang dianggap
pemimpin. Dalam arti luas, pemimpin ini bisa diebut tokoh – tokoh apapun
di tengah masyarakat kita, yang pernyataannya sering jadi rujukan.

Maka, di sinilah terbukti penting bahwa kata dan makna tak bisa
dianggap sederhana. Kata tak bisa dibuat sekedarnya, karena ia
mengandung nilai-nilai, baik secara agama, budaya, juga termasuk nilai
yang disepakati secara universal, tapi kadang sering dilegitimasi oleh
suatu kelompok atau individual.

Penulis, harus bisa mengedukasi melalu pengenalan kata yang benar –
membedakan bahasa lisani dan tulisan; menggunakan kosa kata, istilah dan
diksi; memiliki standar penilaian terhadap penggunaan gelar atau
kepakaran yang menjadi label di masyarakat. Karena label itu sering
menjadi legitimasi yang digunakan oleh kekuasaan untuk mengomando,
menggerakkan, dsb.

Label itu, bisa berupa gelar seperti habib, pendeta, pejabat, dan seterusnya.

Di kursus Pantau diajarkan untuk tidak serta merta mengutip kata-kata
pejabat atau pakar, melainkan kutiplah orang yang menjadi saksi mata
(sumber yang berada di lingkaran pertama). Dan Sitok mengingatkan,
janganlah kita ikut melegitimasi gelar-gelar tersebut untuk kemudian
menjadi legitimasi public, pernyataan-pernyatan yang bisa menyulut amuk
dan gerakan massa serta menciptakan kekacauan yang lebih besar, hanya
karena pernyataan tersebut keluar dari orang yang punya gelar--gelar
yang masih perlu dipertanyakan.

Maka, penulis harus bisa membedakan mana yang habib atau "habib", pendeta atau "pendeta", dst.

Karena ia hanya seorang dari sekian ribu, sekian juta, yang masing-masing tidak bisa bisa disamakan atau diidentikkan.

Ini salah satu sesi di kursus narasi yang diadakan Pantau pada November mendatang. Siapa tertarik?

Informasi hubungi:

Siti Nurrofiqoh

Program Officer

P a n t a u

Jl. Raya Kebayoran Lama

No 18 CD Jakarta Selatan 12220

Telp/Fax. 021 722-1031/021- 7221055

Website. www.pantau.or.id

Mobile. 0813 82 460 455

http://sitinurrofiqoh.blogspot.com

Tidak ada komentar: