Senin, 10 September 2012

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3638

1 New Message

Digest #3638

Message

Sun Sep 9, 2012 11:12 pm (PDT) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Undangan Diskusi Institut Peradaban

Pada Rabu tanggal 19 September 2012 pukul 13.00

bertempat di Lantai III Gedung I BPPT, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat

Insitut Peradaban akan mengadakan diskusi dengan tema

Faktor Jawa dalam Politik Indonesia

Pembicara dalam diskusi tsb:

Romo Prof. Dr. Frans Von Magnis Suseno,

Brigjen TNI (Purn) Dr Saafroedin Bahar,

Harry Tjan Silalahi (CSIS).

Institut Peradaban sangat mengharapkan kedatangan dan partisipasi Anda
pada diskusi tersebut.

Atas nama Institut Peradaban:

Prof. Dr. Jimly Asshidiqie,SH

Prof Dr. Salim Said,MA MAIA.

Mengingat terbatasnya ruangan, kami berharap Anda mengkonfirmasi rencana
kedatangan Anda kepada Email

Admin@institutperadaban.org atau HP: 0821 2314 7969 (Yons Achmad/Publicist)

=======================

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, dua tokoh utama perjuangan
nasional, Sukarno dan Mohammad Hatta, dipilih menduduki kursi kepemimpinan
negara. Sukarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai wakil. Kepemimpinan
Dwitunggal yang berasal dari Jawa (Sukarno) dan Sumatra (Hatta) waktu itu
dan untuk waktu lama dipandang oleh banyak orang sebagai sekali gus
mewakili Jawa (Sukarno) dan luar Jawa (Hatta).

Keretakan Dwitunggal yang diikuti dengan pengunduran diri Hatta dari
jabatan Wakil Presiden 1956 kebetulan diikuti dengan pemberontakan daerah
(PRRi) pada tahun 1958. Waktu itu dan mungkin hingga kini banyak yang
menafsirakn perkembangan tragis demikian sebagai salah satu akibat dari
sudah tidak diwakilinya suara-suara luar Jawa dalam pusat kekuasaan
Republik Indonesia. Pemerintah di Jakarta dianggap memusatkan perhatian
dalam membangun pulau Jawa dan menterlantarkan daerah luar Jawa yang
merupakan penghasil devisa utama Indonesia.

Setelah Gestapu, Sukarno digantikan oleh Soeharto. Kalau Presiden pertama
Indonesia mendapatkan pendidikan tinggi dan mengembangkan pikiran
berdasarkan pemikiran dan konsep politik Barat, Soeharto berlatar
pendidikan domestik seadanya. Maka tidaklah mengherankan jika referensi
Soeharto terbatas dan bersumber hanya pada ajaran-ajaran etika dan dan
politik Jawa yang diperolehnya dalam perjalanan hidupnya selama tumbuh di
Jawa Tengah. Maka masa kepemimpinan Soeharto yang otoriter adalah juga
masa ketika secara budaya Indonesia mengalami "Jawanisasi." Klau pada masa
Sukarno kosa kata wacana politik Indonesia banyak berasal dari literature
Barat yang menjadi acuan Sukarno dan generasinya, maka pada masa Soeharto
politik Indonesia dipenuhi dengan jargon-jargon yang bersumber padai
khasanah pemikiran dan gagasan kekuasaan Jawa. Fenomona terakhir inilah
barangkali yang mendorong Ben Anderson dari Cornell University untuk
menulis esei yang berjudul *The idea of Power in Javanese Culture.*

*
*

Pada masa pasca Orde Baru, dalam pemilihan Presiden secara langsung, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden dengan Mohammad Jusuf
Kalla (JK) sebagai wakilnya. Pada masa itu orang teringat pada Dwitunggal
Sukarno- Hatta yang masing-masing mewakili dua bagian Indonesia, Jawa dan
Luar Jawa. Tapi pada periode kedua kepemimpinan SBY beliau memilih Dr.
Budiono sebagai wakilnya. Karena soliditas Indonesia sudah jauh lebih maju
dibanding kondisi pertengahan tahun limapuluhan, maka tidak terjadi hal
yang dramatis sebagai akibat tampilnya dua orang dari etnis Jawa sebagai
pemimpin tertinggi Indonesia.

Menarik untuk diingat bahwa di masa kepresidenan Sukarno tidak pernah ada
wacana mengenai Presiden Indonesia berikutnya adalah orang Jawa. Ini
berbeda denga masa Soeharto. Pada masa Orde Baru , meski tidak secara
terbuka, komunitas politik Indonesia berbicara mengenai Presiden Indonesia
berikutnya adalah orang Jawa, seorang Jenderal dan Islam Jawa (Maksudnya
Abangan). Adalah JK sebagai Wakil Presiden yang kemudian secara terbuka
menyebut Presiden Indonesia haruslah orang Jawa, dan orang luar Jawa hanya
akan jadi Wakil Presiden. Dan wacana politik Indonesia sejak itu seperti
telah dipatok oleh pernyataan JK tersebut.

*Pertanyaan menarik yang timbul dari fenomena ini adalah*:

Selain faktor jumlah (etnis Jawa adalah penduduk mayoritas Indonesia)
apakah budaya Jawa memang merupakan satu-satunya budaya di antara berbagai
budaya lokal Indonesia yang sempat mengembangkan konsep kekuasaan dan tata
pengelolaan pemerintahan sehingga mereka yang berlatarkan etnis dan budaya
Jawa secara konsepsional dan tradisional memang lebih siap memimpin
Indonesia?

Setelah kemerdekaan Indonesia hampir mencapai usia 70 tahun, apakah memang
soal pasangan Jawa dan non Jawa sebagai pemimpin Indonesia sudah tidak
menjadi soal lagi dan karena itu tidak relevan lagi dibicarakan?

Apakah orang Jawa yang mayoritas sudah siap secara budaya menerima Presiden
yang berasal dari etnis luar Jawa? Jika belum siap, apa kira-kira penyebab
ketidaksiapan tersebut?

Selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh Soeharto yang menguasai Indonesia
terutama berdasarkan konsep kekuasan Jawa. Pelajaran apa yang kita dapatkan
dari pengalaman tersebut? Karkono Kamajaya, seorang Javanolog dari Jakarta,
dalam sebuah ceramahnya di Taman Ismail Marzuki lebih 10 tahun silam,
mengatakan demokrasi tidak dikenal dalam budaya politik Jawa.
Konsekuensinya tidak usah heran kalau Soeharto memimpin Indonesia layaknya
seorang Raja Jawa.

Bagaimana orang di luar Jawa melihat konsep kekuasaan Jawa serta
pengelolaan politik Indonesia yang sangat dipengaruhi budaya politik dan
kekuasaan Jawa tersebut?

Tidak ada komentar: