Jumat, 23 November 2012

[daarut-tauhiid] Demokrasi Dan Otoritarianisme Kapital

Demokrasi Dan Otoritarianisme Kapital
By Pizaro on November 22, 2012

<http://islampos.com/2012/demokrasi-dan-otoritarianisme-kapital/its-capitalism-stupid/>

*Oleh, Zaim Saidi*
*Direktur Wakala Induk Nusantara *

TEKNIK dari kapitalisme adalah konstruksi negara fiskal. Dalam sistem ini
negara memberikan hak monopoli kepada para bankir untuk mencetak uang
kertas. Untuk keperluan itu mereka diberi izin untuk membentuk Bank
Sentral. Sebagai imbalan mereka menyediakan kredit (utang) untuk keperluan
'pembiayaan negara' (tepatnya: proyek-proyek). Kita semua, tiap-tiap
individu warga negara, kemudian dipaksakan menjadi jaminan atas
pengembalian utang-ribawi tersebut, melalui pemajakan.

Pajak itu sendiri, sebagaimana akan dibahas lagi di bawah nanti, terdiri
atas dua jenis yaitu pajak langsung yang ditarik secara tunai dari harta
warga negara dan pajak tidak langsung (inflasi dan *seignorage*) yang
secara riel dirasakan sebagai terus-menerus turunnya nilai tukar mata uang
kertas. Ini berarti naiknya harga-harga komoditas dari waktu ke waktu.

Tiap-tiap tahun birokrasi negara-artinya orang-orang yang Anda pilih
melalui Pemilu – menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
untuk pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan
sebagainya), dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada 'kekuatan
penyandang dana'. Negara menjamin kepada para bankir atas (pengembalian)
utang ini dari pembebanan pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu
saja, dengan sangat mudah memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun
nilainya, dengan cara mencetak kredit *ex nihilo*: mencetak angka-angka
dalam buku atau sebagai byte dalam layar komputer. Dari sinilah kita
disodori suatu trick yang dikenal sebagai 'Utang Negara' (Public Debt).
Kalau bukan Bank Sentral negara nasional besangkutan sendiri maka jaringan
perbankan internasional akan mengambilalih perannya sebagai financier
tersebut.

Utang negara memberikan legitimasi bagi pemerintah yang berkuasa untuk
memajaki rakyat. Mekanisme ini merupakan modus yang inherent di dalam
negara konstitusional, demokrasi ataupun bukan. Fungsi utama konstitusi
adalah memastikan tiap-tiap individu warga negara ini sebagai pembayar
pajak. Dengan kata lain, lewat konstitusi inilah, warga negara dijaminkan
dalam utang-piutang yang dilakukan oleh para pengelola negara, kepada pihak
perbankan. Di sanalah bercokol kepentingan-kepentingan oligarki bankir yang
mengendalikan keberlangsungan sistem ini. Negara fiskal dunia mencerminkan
kapitalisme lanjut dan nihilisme, yakni terceraikannya otoritas dan lokasi,
yang berimplikasi pada irelevannya negara bangsa dan kedaulatan nasional.
APBN semata-mata menjadi wadah bagi penyaluran investasi para bankir ini.

Dalam konstruksi struktural (konstitusionalisme) semacam itu kapitalisme
telah menjadi ortodoksi dalam kehidupan semua umat manusia saat ini,
termasuk di kalangan Muslimin. Kapitalisme, di tengah ideologi 'kebebasan
dan persamaan agama-agama', sesungguhnya telah menggantikan agama-agama
tersebut. Kapitalisme telah menjadi agama itu sendiri, dan menunjukkan
dirinya sebagai agama yang paling dogmatis, intoleran, dan otoriter.
Agama-agama yang sebenarnya justru dipandang sebagai penghambat utama
kapitalisme. Mereka harus ditundukkan demi kapitalisme. Di kalangan Islam
tujuan ini hendak dicapai melalui gerakan pembaruan Islam.

Dalam konteks ini ada slogan eufemistik yang acap disebut oleh para
pengamat sebagai 'fundamentalisme pasar'. Ini menggambarkan watak
ortodoksinya di satu sisi, tapi juga sebuah abstraksi yang samar-samar di
lain sisi. Siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan 'pasar' yang
fundamentalistik tersebut? Kita tentu memerlukan jawaban yang jelas
mengenai sosok ini.

*Fundamentalisme Kekuatan Uang*
Jean-Christophe Rufin menyebut suatu kekuatan baru ini sebagai *invisible
political hand* (tangan-tangan politik tersembunyi). Rufin, seorang dokter
aktivis Perancis, mantan Direktur LSM Medecins sans Frontiers
(Dokter-tanpa-Batas), mengatakan hal ini dalam bukunya *La Dictature
Liberal (Diktator Liberal)*. Kekuatan tersembunyi tersebut, dalam kultur
liberal yang kini dominan, telah berhasil memastikan terceraikannya
masyarakat dari sistem. Rufin menjelaskan bahwa sistem tersebut, dengan
mekanisme politik dan ekonominya, dibuat sesedikit mungkin menganggu
aktivitas manusia dan setiap peristiwa sosial. Sementara
aktivitas-aktivitas tersebut, di lain sisi, seberapa pun bebasnya, harus
tidak boleh mengancam perangkat yang memungkinkan sistem tersebut untuk
dapat terus bekerja. Selanjutnya Rufin, sebagaimana dikutip oleh Rieger
(2005), mengatakan bahwa sistem ini dicirikan oleh ketidakpeduliannya yang
dingin atas umat manusia. Ia mengatakan:

Pada pengertian tertentu budaya demokrasi dibangun atas ketidakacuhan
ganda. Yang pertama adalah ketidakacuhan sistem liberal ini atas umat
manusia di dalamnya. Sistem ini, terutama aspek ekonominya, menjadi semakin
meng-internasional dan supra-nasional, dan karenanya semakin sulit
dikontrol. Manusianya, sebaliknya, hanya dapat mengekspresikan pilihan
politiknya pada tingkat nasional atau lokal-yaitu, tanpa dapat menyentuh
sumber kekuatan sebenarnya dari sistem ini.

Pemisahan antara realitas nasional-yang, suka atau tidak, adalah ranah
tempat kontrol secara demokratis dapat dilakukan-dan realitas
supra-nasional tempat keputusan-keputusan penting sebenarnya dibuat, adalah
pilar utama otonomi kultur liberal. Hal ini memberikan beberapa keuntungan.
Misalnya, hal ini membuat sistem ekonomi bebas dari kontrol demokratis. Ini
juga memungkinkan protes politik dapat terus dikekang, dengan dibatasinya
hanya pada wilayah nasional.

Lepasnya kekuatan ekonomi (baca: kapitalisme) dari kemungkinan pengontrolan
oleh kekuatan politik ini, paralel dengan terminologi nihilisme dari Carl
Schmitt, seorang pemikir hukum dari Jerman. Nihilisme ia beri makna
'pemisahan pemerintahan dari lokasi' (*separation of order from location*).
Wujud dari nihilisme ini adalah 'Negara Dunia', yang tak lain adalah sistem
Kapitalisme Global. Oleh filosof lain dari Italia, Antonio Negri, negara
dunia didefinisikan sebagai 'kekaisaran dengan pusat yang tak dapat
dikenali'. Selanjutnya Negri dan Hardt (2003) juga mengatakan bahwa
'kekaisaran global' ini berwatak monarkis dan aristokratik: ada di tangan
segelintir elit, yakni '*the invisible political hand'* dalam istilah Rufin
di atas.

Walapun harus diberi catatan di sini istilah 'monarkis dan airtokratis' ini
berbeda dari pengertian klasiknya, yang bermakna kelas aristokrat berbasis
aset (tanah). Sebab justru kelas bangsawan inilah yang semula memegang
kekuasaan politik yang kemudian digusur oleh kelas politik baru, yang oleh
Helairie Beloc, sejarahwan Inggris, disebut sebagai *'Money-Power'
*(Kekuatan-Uang)
itu. *Money Power* adalah istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan
kekuatan tersembunyi ini, sebagai sebuah Oligarki (oligos = sedikit, archy
= kekuasaan).

Pertanyaan yang masih harus dijawab adalah: siapakah sang 'oligark' pemilik
'tangan-tangan politik tersembunyi' ini? Tidak satu pun buku teks ilmu
politik maupun para profesor yang mengajarkannya di
universitas-universitas, termasuk Negri, serta Rufin, yang memberikan titik
terang tentang hal ini. Tapi di tangan ulama asal Skotlandia, Syekh
Abdalqadir As-Sufi, pertanyaan tersebut dijawab dengan gamblang. Dalam
bukunya *Technique of the Coup de Banque* ia mengatakan dengan gamblang
bahwa dunia saat ini berada di bawah kendali '*the invisible hand'* yang
terbentuk dalam sejarah panjang Eropa, yakni para para pemakan riba:
Oligarki Bankir.

Bukti awal dari konstatasi tersebut adalah bahwa dalam konstruksi negara
fiskal Bank Sentral dipisahkan dari (kewenangan) politik pemerintah.
'Independensi Otoritas Moneter' adalah mantra yang digunakan untuk hal ini.
Di Indonesia, misalnya, atas tekanan IMF, telah diterbitkan Undang-undang
Bank Sentral baru pada Mei 1999, yang mengatur bahwa Gubernur BI tidak lagi
menjadi bagian dari pemerintah dan tidak duduk dalam Kabinet. Maka,
terpetiklah berita-berita dengan kepala berita semacam ini, Pemerintah
Ikuti Aturan Perbankan, yang membuktikan bahwa kapital telah mengendalikan
politik, dan bukan sebaliknya.

Hal ini persis seperti yang diindikasikan oleh Rufin di atas, bahwa
keputusan penting yang sebenarnya-yang terjadi pada tingkat supra-nasional
– tidak lagi dapat dikontrol pada tingkat nasional oleh pemerintah.
Demokrasi, di sini, memperlihatkan karakteristiknya sebagai 'politik tanpa
otoritas'. Gambaran skematis mesin kekuasaan negara fiskal dapat dilihat
pada Diagram di bawah.

Kita lihat institusi paling penting dalam negara fiskal, Bank Sentral, ini
secara lebih jauh. Bila dibedah lebih dalam, di sejumlah negara utama,
seperti AS (*Federal Reserve of America*) atau Inggris (*Bank of England*),
dan berbagai negara lainnya, kita akan mengetahui bahwa bank-bank sentral
bahkan sejak awal berdirinya sepenuhnya dimiliki oleh pribadi-pribadi
(perusahaan swasta)! Kebanyakan warga negara AS atau Inggris sendiri bahkan
tidak memahami fakta ini.

Politik demokratis dalam zaman modern ini telah diredusir dari suatu
pemerintahan (*governance*) menjadi semata-mata front politik para bankir.
Demokrasi menjadi sistem politik tanpa kekuasaan. Pemerintahan demokratis,
seperti halnya Raja Louis XIV dan penerusnya, sebagaimana akan
diperlihatkan di bagian lain [buku Ilusi Demorkasi] nanti, tak lebih dari
sekadar 'pemerintahan boneka'. Dalam versi dan konteks yang berbeda, kita
dapat mengambil contoh keputusan Federal Reserve AS atas tingkat suku bunga
di negeri tersebut, selalu membrikan pengaruh sangat besar bukan saja pada
situasi ekonomi dunia, tapi juga kebijakan nasional suatu negara.

Penting untuk dipahami bahwa yang menjadi persoalan di sini bukan pada
orang, atau kelompok orang, baik yang telah disebutkan nama-namanya di sini
maupun yang belum, tetapi sistem yang beroperasi ini sendiri. Kapitalisme,
dalam perspektif Islam maupun dari nilai-nilai kemanusiaan, adalah suatu
Kriminalitas (dengan K besar). Yang kita nilai di sini adalah inti
persoalannya ini, yakni prosedur dan metodologi sistem ini, yang
menghasilkan penderitaan bagi sebagian besar umat manusia di dunia.

Pada jantung sistem ini kita temukan riba yang didukung oleh sistem pajak
yang dipaksakan kepada rakyat oleh negara. Kritik Islam terhadapnya adalah:
keduanya, riba dan pajak, dilarang oleh hukum syariah. Siapa pun yang
berada di dalam puncak piramida sistem ini-kaum Yahudikah, Kristen, atau
bahkan Muslim sekalipun-tidak relevan. Faktanya adalah Kejahatan ini terus
dilestarikan, maka Kejahatan inilah dan bukan penjahatnya, yang menjadi
perhatian kita. Kejahatan itu sistemik dan struktural, yang berwujud dalam
negara fiskal, yakni integrasi kapitalisme dan demokrasi yang didasarkan
kepada konstitusionalisme.

Syekh Abdalqadir (2000:81) mengungkapkan esensi fungsi negara modern ini,
sebagai berikut:

Di bawah hegemoni kekuatan finansial baru ini dapat dikenali fungsi Negara
Nasional, dan dokumen-penentu kewarganegaraan, Konstitusi, yang sebenarnya.
Kewarganegaraan dalam negara demokrasi menjamin, sebagaimana ditunjukkan
oleh Anatole France lebih dari seratus tahun lalu dalam novelnya '*Penguin
Island'*, bahwa demi kehormatan [status kewarganegaraan] ini Anda masuk
daftar Sensus Nasional.

Tujuan Sensus adalah untuk memastikan ketaatan Anda dalam sistem pajak
Negara. Ini merupakan catatan tentang kerja keras Anda sebagai jatah untuk
menanggung beban Utang Nasional Negara. Dalam tiap tahap kehidupan Anda
membawa di atas pundak Anda bukan saja beban utang yang Anda punyai, dalam
keadaan baik atau buruk, yang Anda ambil sendiri, tetapi juga menanggung
beban sejumlah besar utang hasil kesepakatan, belanja, program, dan bahkan
perang, yang tak satupun Anda ikut menyetujuinya.

Dari sejak sangat awal, ketika pertama kali dimulai, terutama menjelang dan
beberapa saat setelah Revolusi Perancis, sampai detik ini utang negara atau
utang nasional menjadi sumber hilangnya kebebasan individu warga negara.
Pada saat yang sama, bagi para kapitalis, ia merupakan instrumen pemupuk
kekayaan yang tiada terbatas.

*) Dinukil dari buku *Ilusi Demokrasi* (Republika, 2007), dapat diperoleh
di kios WIN atau DinarShop.com.

http://islampos.com/2012/demokrasi-dan-otoritarianisme-kapital/


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: