Memetik Makna Dari Majlis Nikah
========
Hidup laksana sekolah alam tanpa batas. Manusia menemukan sumber
belajar apapun di dalamnya dalam skala yang tak terukur. Sebagian
manusia menjadi cerdas otak dan qalbunya, lalu mampu menghadirkan
manfaat karena kecerdasannya itu sebagai hasil belajarnya. Sosoknya
melejit menjadi manusia soleh. Soleh secara personal dan sosial secara
bersamaan. Sebagian yang lain menjadi cerdas otaknya saja, sementara
qalbunya tetap kering dari pintar. Manusia seperti ini sering terjebak
pada nilai materialistik dan individualistik. Kesadarannya tentang
manfaat hanya sebatas menghadirkan perangkat keras kehidupan yang
habis-pakai. Ia sama sekali tercerabut dari essensi yang paling dasar,
yaitu spiritualitas.
Kebalikan dari itu, adalah keberadaan manusia yang cerdas qalbunya
tanpa diimbangi kecerdasan otaknya. Mereka adalah manusia-manusia yang
begitu kental spiritualitasnya di satu sisi. Tapi pada sisi yang lain
tidak pernah "ngeh" dari aktualita dunia. Bahkan tidak disadari, mereka
kadang keliru dalam memahami semangat spiritualitasnya itu dengan
tindakan yang justru bertolak belakang dari nilai-nilai dasar
religiusitas. Manusia kedua dan ketiga mengalami kesenjangan antara
aspek lahir dan aspek batin. Keduanya asik dengan "dunianya"
sendiri-sendiri. Yang terakhir adalah manusia yang sama sekali tidak
bisa cerdas otak dan qalbunya dalam arti "mati rasa nalar fikir dan
hatinya". Bahasa wahyu "kal an'aam bal hum adhaluu" barangkali
tidak sepenuhnya tepat untuk sebutan atas mereka, tetapi paling tidak
sedikit memberikan gambaran atas keberadaannya.
Manusia ideal (kaamil) adalah manusia yang
memahami hidup untuk apa, apa yang harus dikerjakan dan kemana akhir
hayatnya. Ia tahu betul akan makna hidup dan selalu berusaha
memperbaiki makna hidupnya dari waktu ke waktu sampai masa hidupnya
berakhir di bungkusan kain kafan. Demikianlah manusia yang cerdas akal
dan ruhaninya.
Manusia yang bermakna.
Manusia memang tidak pernah sempurna, tetapi di
balik keterbatasannya itu ia memiliki peluang untuk menjadi manusia
bermakna dalam segala ruang dan waktu. Manusia dapat menjadi suami atau
isteri bermakna. Menjadi ayah atau ibu yang bermakna. Atau menjadi
apapun yang membawa manfaat dan kebermaknaan bagi kiri-kanannya.
Dari televisi kita tahu, dari internet, dari
majalah dan koran, dari berbagai media kita tahu. Kita banyak
kehilangan makna hidup, satu di antaranya makna hidup rumah tangga.
Pernikahan bagai permainan. Hubungan suami-isteri bak sandiwara.
Kekerasan rumah tangga seperti kebiasaan oleh publikasi. Banyak di
sekitar kita telah gagal belajar dan menjadi cerdas lahir batin dalam
institusi rumah tangga. Kita banyak kehilangan makna dari konsep
sakinah, mawaddah dan rahmah.
Wejangan supaya menjadi suami-isteri bermakna
terhitung jarang diulas secara lugas dan cerdas, meskipun dalam sebuah
majlis pernikahan. Biasanya nasehat pernikahan bernuansa datar-datar
saja kalau tidak dikatakan sangat standar. Pernikahan dikhutbahkan
selalu dalam wacana bahwa ia merupakan sunnah. Bahwa biasanya wanita
dinikahi karena alasan hartanya, nasabnya, kecantikannya, lalu
konsideran akhirnya adalah anjuran untuk memilih wanita karena alasan
agamanya. Hadits yang juga hampir tidak pernah luput disinggung dalam
majlis itu adalah anjuran segera menikah bagi laki-laki yang telah
mapan atau sebaiknya berpuasa sebagai konpensasinya.
Namun di nalar dai yang kreatif, dalil-dalil di
atas mampu dihadirkan lebih hidup, menyentuh, nyambung dengan realita,
segar dan lebih bermakna. Saya teringat dengan sebuah majlis pernikahan
seorang sahabat, di mana hadirin disuguhkan pesan-pesan seperti
kriteria yang tadi saya sebut, tentu menurut perspektif saya.
"Kepada pasangan yang baru menikah, semoga dapat
menjadi suami dan isteri yang bermakna. Kepada para pengantin yang
telah lama menikah, semoga menjadi pasangan yang lebih bermakna",
begitu kira-kira awal mula kata "bermakna" itu diulasnya nyentrik.
Menjadi suami atau isteri bermakna amatlah mulia.
Keduanya bukanlah sekedar pasangan yang telah mengikat janji perkawinan
sebagai suami isteri dari sebuah institusi pernikahan.
Mereka tidak
sekedar pemilik sah buku nikah, tetapi taat pada nilai-nilai luhur
kesetiaan pada pasangan, saling menjaga kehormatan, memenuhi segala hak
dan kewajiban serta teladan bagi anak-anaknya. Peran keduanya amatlah
luhur, terutama dalam mewarnai (shibghah) ke arah mana haluan
generasinya akan dibawa. Apakah menuju generasi rabbani yang cerdas otak dan qalbunya atau sepenuhnya berlawanan arah dengan predikat mulia tersebut.
Kebalikan dari suami atau isteri bermakna amatlah
rendah. Kedua mereka sama sekali tidak memahami makna luhur status
masing-masing. Bahkan dalam konteks kesemerawutan tata nilai zaman ini,
tidak jarang mereka malah menjadi bermakna "suami" atau bermakna
"isteri" bagi laki-laki atau wanita asing. Status suami atau isteri
hanyalah sebutan saat mereka bersamaan hadir di rumah tinggal dan
sewaktu berinteraksi di wilayah privat room saja. Selebihnya tidak lain
sebagai suami yang liar, haus, petualang dari satu dekapan ke dekapan
wanita lain dan sama sekali tidak memperdulikan resiko bagi dirinya
serta masa depan perkawinan dan anak-anaknya. Selebihnya pula, hanya
sebagai isteri yang binal dan tanpa kehormatan karena telah dihisap
siapa saja di luaran.
Meeting dengan bos, bertemu klien, rapat dengan
jajaran direksi, seringkali dijadikan alasan lumrah dan kamuflase
untuk sebuah "rapat" yang bukan agenda rapat sesungguhnya.
"Jangan dikira setelah Anda menikah, godaan yang
menyangkut pola hubungan lawan jenis akan surut seiring diucapkannya
ijab qabul. Status baru sebagai seorang suami atau isteri, bukan
berarti otomatis akan menutup pintu godaan selingkuh di antara
pasangan. Justeru pertaruhannya lebih besar. Maka menjadilah pasangan
yang memberi makna amanah atas cinta yang dibina dan dilanggengkan
dengan ikrar sehidup dalam rumah tangga ".
Saya pikir sulit dibantah kebenaran ungkapan bijak
ini. Betapa banyak sudah drama rumah tangga berakhir tidak dengan happy
ending. Tapi meninggalkan bekas traumatik yang dalam bagi salah satu
pasangan atau anak-anak mereka. Mahligai perkawinan yang mahal dan
sakral itu, dihabisi oleh percintaan terlarang dan pengkhianatan yang
bukan saja murahan, tapi jorok dan sumber penyakit.
"Di sinilah fungsinya memelihara dan menyimpan
makna kemesraan. Jangan habiskan kemesraan saat bulan madu. Sisakan
untuk saat-saat sulit, di mana kita hampir tidak dapat keluar dari rasa
bosan. Apalagi, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau dan segar,
dari pada rumput di pekarangan sendiri".
Pada bagian ini lebih seru diulas. Dasar pijakan
tentang kemesraan disampaikan dengan contoh hidup Kanjeng Rasul. Luar
biasa, saya percaya kemampuan mengulas akan sangat berpengaruh meskipun
topik yang sama pernah kita dengar dari sumber berbeda.
Beberapa contoh
kemudian mengalir dihadirkan. Cerita tentang teladan Rasulullah dalam
merawat cinta kasih dan kemesraan dalam rumah tangga Beliau.
Kisah ini dimulai dari Atha' bin Yasar yang
mengisahkan Rasulullah tidur dalam satu selimut bersama Aisyah ra.
Aisyah kerap pula meminyaki bagian dari tubuh Rasulullah dengan nurah;
sejenis bubuk pewangi dengan sentuhan tangan kemesraannya. Aisyah
memang sangat kaya dengan khazanah kemesraan rumah tangga Nabi. Bahkan
barangkali pula, beliau adalah sumber yang paling otentik untuk
menggali informasi seputar rumah tangga Beliau. Putri Abu Bakar Siddiq
itu tanpa ragu mengungkapkan bahwa dirinya pernah mandi dalam satu
bejana bersama Rasulullah, menyisiri rambutnya, minum bergantian pada
gelas yang sama, menciumnya, atau diceritakannya Nabi tiduran di
pangkuannya dengan manja sampai bagaimana Nabi memanggilnya dengan
sebutan "Humaira" sebagai ekspresi rasa cinta dan kemesraan padanya.
Begitu pula ketika Aisyah bercerita dengan sangat manusiawi, bahwa
kerap kali mereka berdua bercanda sambil balapan lari. Mesra sekali.
"Jikalau kemesraan yang dicontohkan rumah tangga
Nabi ini dapat dihadirkan di setiap rumah tangga kita, masihkah berlaku
ungkapan " rumput tetangga kelihatan lebih hijau dan segar daripada
rumput di pekarangan sendiri"?. Hmmm, mestinya gugurlah makna ungkapan
itu. Sebaliknya akan tumbuh pengakuan, bahwa tidak ada rumput yang
lebih hijau dan lebih segar selain rumput yang tumbuh di pekarangan
rumahku sendiri.
Saya berpikir, majlis pernikahan adalah majlis
yang berkwalitas. Akan menambah bobot kwalitasnya jika diringi dengan
khutbah atau nasehat pekawinan yang berkwalitas pula.
Siapa tahu dengan
nasehat-nasehat yang berkwalitas dapat menekan animo sebagian kecil
orang berangkat ke Pengadilaan Agama untuk bercerai. Memang benar,
kelanggengan atau perceraian masih berhimpitan dengan persoalan jodoh.
Tetapi keputusan memilih jodoh dan bercerai pun tidak semata-mata
mutlak masalah takdir dan kehendak Tuhan. Manusia diberi sedikit kuasa
untuk memilih dari kedua hal tersebut.
Pada akhirnya, semua akan kembali kepada kadar
keimanan setiap orang. Kecerdasan otak adalah dimensi materialistik,
sedangkan kecerdasan qalbu adalah aspek kedalaman memaknai iman yang
immaterialistik. Rumah tangga yang diisi oleh suami-isteri yang cerdas
otak dan ruhaninya, sepertinya lebih siap belajar dari semesta dan siap
menjadi keluarga bermakna. Rumah tangga bermakna bukan semata lelaki
dewasanya pantas disebut ayah, wanita matangnya dipanggil ibu lalu
mereka menurunkan cucu sebagai generasi berikutnya. Bahkan keturunan
mereka tidak sekedar mendapat pengakuan secara genetis. Tapi, nilai sakiinah, mawaddah dan rahmah benar-benar hadir menjadi atap, dinding, lantai, jendela dan daun pintu bangunan fisik rumah tangga mereka.
Sahabat, semoga kalian adalah pasangan yang cerdas lahir batin dan bermakna satu sama lain. Amiin.
Ciputat, Agustus 2009
abdul_mutaqin@
............
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar