Selasa, 12 Oktober 2010

[daarut-tauhiid] Melakukan Suatu Perbuatan Karena Mengharap Keuntungan Dunia?

*Melakukan Suatu Perbuatan Karena Mengharap Keuntungan Dunia?*

*Alhamdulillahi nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu, wa naudzu billahi
min syururi anfusina wa min sayyiati a'malina, man yahdillahu fala
mudhillalahu, wa man yudhlilhu fala hadiya lahu. *

* *

*Asyhadu an laa ilaha illallahu, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa
rasuluhu. *

* *

*Ya ayyuha alladziina amanuu ittaquullaha haqqa tuqatihi wala tamuutunna
illa waantum muslimuuna *

* *

*Ya ayyuhannasu ittaqu rabbakum **al-ladzi **khalaqakum min nafsin wahidatin
wa khalaqa minha zaujaha, wa batsta minhuma rijalan katsiran wa nisa'an,
wattaqullaha al-ladzi tasa'aluna bihi wal arham innallaha kana 'alaikum
raqiban. *

* *

*Ya ayyuhalladzina amanu ittaqullaha wa qulu qaulan sadidan yashluh lakum
a'malakum wa yaghfir lakum dzunubakum wa man yuthi'illaha wa rasulahu faqad
faza fauzan'adziman.*

* *

*Amma ba'du:*

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu
hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada
Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia
menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu".

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."

Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka
berkata: Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu.

Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh
menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu
sembunyikan.

Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayit itu dengan sebahagian anggota sapi
betina itu!" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah
mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 67-74)

Mungkin bagi kita yang muslim, menyembelih sapi adalah hal yang biasa.
Setidaknya tiap Idul Qurban kita biasa melihatnya. Namun tidak bagi Yahudi!
Bagi mereka perintah ini ialah sama saja menghilangkan rasa penghormatan
mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah. Atau dengan kata lain sama
artinya bagi kita merobek-robek bendera merah putih atau menginjak-injak
kitab suci.

Imam Asy-Sya'rawi dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut di atas berkata, "Di
sini, Allah *Subhanahu wa Ta'ala* menggunakan lafazh "Wa Idz" yang artinya,
ingatlah!

"Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina..."

Ketika Nabi Musa berkata demikian, ia tidak menjelaskan alasan kenapa
menyuruh mereka untuk menyembelih sapi tersebut.

Kita harus membaca ayat-ayat ini hingga akhir, agar dapat memahami firman
Allah *Subhanahu wa Ta'ala* berikut,

"Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh
menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu
sembunyikan." "Lalu kami berfirman, "Pukullah mayat itu dengan sebahagian
anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang
yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaannya agar
kamu mengerti." (QS. Al-Baqarah : 73)

Seharusnya dalam setiap perintah, yang terlebih dahulu harus dijelaskan
adalah alasan kenapa perintah itu dikeluarkan...

Namun, di sinilah letak bedanya.. !

Karena pertanyaan tentang sebab suatu perintah, itu menandakan bahwa
perintah berasal dari orang yang sederajat dengan Anda.

Apabila seseorang berkata kepada Anda, "Lakukan ini!" Anda pasti akan
bertanya kepadanya tentang alasan kenapa ia memerintahkan hal itu, agar Anda
mau mengikuti dan melaksanakan perintahnya.

Kesimpulannya, perintah yang berasal dari orang yang sederajat adalah
perintah yang boleh dipertanyakan apa alasannya. Sebaliknya, perintah dari
orang yang tidak sederajat, seperti perintah dari orangtua kepada anaknya,
dokter kepada pasiennya atau komandan kepada pasukannya... perintah semacam
ini tidak seharusnya dipertanyakan apa alasannya sebelum dilaksanakan...
Karena, orang yang mengeluarkan hukum adalah darinya perintah bersumber.
Atau perintah Rasul pada umatnya…

Perhatikan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah *shallallahu 'alaihi
wa sallam*: Imam Ahmad meriwayatkan;

"Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama
Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak
mengangkatnya. Kemudian akan ada masa *Khilâfatun 'alâ minhâj
an-nubuwwah *(khilafah
yang mengikuti jalan kenabian), selama beberapa masa hingga waktu yang
ditentukan Allah, lalu Allah mengangkatnya, setelah itu datang masa *Mulkan
'aadh-dhon* selama beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, lalu
Allah mengangkatnya, setelah itu datang masa *Mulkan Jabriyyan* dalam
beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, setelah itu akan terulang
kembali *Khilâfatun 'alâ minhâj an-nubuwwah*. Kemudian beliau terdiam."
(Hadits hasan riwayat Imam Ahmad)

Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam*. juga menetapkan, para khalifah
adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya
setelah Beliau wafat:

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi.
Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada
nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari
dan Muslim).

Saudara – saudariku sekalian,

Jelaslah sudah bahwa apa yang harus dilakukan sepeninggal beliau kelak.
Umatnya telah beliau perintahkan agar mengangkat khalifah. Bukan untuk
mengangkat raja, PM, presiden, anggota parlemen atau yang lain. Bukan juga
kaum muslim mengangkat khilafah untuk manusia di bumi berdecak kagum akan
peradabannya atau fasilitas serba gratis (pendidikan & kesehatan) yang akan
diterima oleh masyarakat bila terwujud. Bukan itu tujuannya.

*Seandainya setiap **mukallaf** **mempertanyakan alasan di balik setiap
perintah Allah sebelum melaksanakannya, maka bisa jadi ia akan **melakukannya
hanya karena alasan tersebut*... Jika demikian, akan hilanglah makna
'keimanan'. *Sehingga, manusia beriman dan tidak beriman pun tidak ada
bedanya lagi*... di samping ia tidak akan mendatangkan pahala dari Allah
meskipun perintah-Nya telah dilaksanakan. Terlebih bagi orang yang mau
melakukan sesuatu kalau dianggap "untung". Mengamalkan sesuatu hanya kalau
dianggap menguntungkan secara duniawi. Inilah bedanya *salafus
sholeh*dengan orang-orang zaman sekarang yang mengaku dirinya
"ustadz". Yaitu
"ustadz" yang mengatakan laksanakanlah sabda Rasul agar mendapat keuntungan
secara materi di dunia. Sebagimana mereka mengatakan dirikanlah khilafah,
bukan karena ia adalah perintah dari Rasul-Nya tetapi karena hal itu akan
menguntungkan secara duniawi.

Dalilnya (niat untuk duniawi) adalah :

…Dan siapa yang niat hijrahnya untuk dunia (kekayaan) yang akan didapat
(dikejar), atau wanita yang akan dikawin, maka hijrah itu terhenti pada niat
hijrah yang ia tuju". (Bukhari, Muslim)

Bacalah kisah para nabi, mereka merupakan manusia terbesar di zamannya.
Mereka bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka,
dan bukan juga orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui
bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan
kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina.
Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan
kemampuan akal untuk mengubah kehidupan di sekitarnya.

Keimananlah yang menjadikan seorang mukmin menerima dan menaati perintah
Allah ... baik ia mengetahui alasannya maupun tidak. Dia menjalankan
perintah-Nya semata-mata karena ia yakin perintah itu berasal dari Allah.
Atas dasar ini, setiap pelaksanaan perintah Allah yang didasari keimanan
akan bersifat sempurna. Karena, perintah itu sendiri bersumber dari Allah
dan setiap taklif atau pemberian tugas dari Allah akan terlaksana, jika yang
menjadi alasan pelaksanaannya adalah keimanan kepada Allah.

Dua hal yang membedakan antara muslim dan kafir adalah pengetahuan dan
tindakan. Ini berarti bahwa pertama – tama kita harus mengetahui siapa Tuhan
kita, apa perintah – perintah-Nya, bagaimana mengikuti apa yang
dikehendaki-Nya, perbuatan apa yang diridhai-Nya dan apa yang tidak. Jika
semua ini diketahui, maka hal kedua adalah berupaya menjadi hamba yang benar
di hadapan Tuhan dengan memisahkan keinginan – keinginan kita sendiri dari
apa yang menjadi kehendak Allah.

Jika kita hendak melakukan suatu perbuatan tertentu dan itu berlawanan
dengan tuntunan-Nya, yang harus kita lakukan adalah yang diperintahkan
Tuhan. Jika kita menilai suatu hal adalah baik, padahal menurut Tuhan justru
sebaliknya, kita harus yakin bahwa itu memang buruk. Demikian juga
sebaliknya, mungkin kita menilai sesuatu adalah buruk, padahal itu baik
menurut Tuhan, kita harus menganggapnya sebagai hal yang baik. Jika kita
menganggap melakukan tindakan – tindakan tertentu berbahaya, padahal Tuhan
mewajibkannya, kita harus melakukannya sekalipun mungkin hal itu akan
memembawa pada kematian atau kemiskinan pada diri kita. Demikian juga, jika
kita mengharapkan keuntungan dari perbuatan yang kita lakukan, padahal Tuhan
melarangnya, kita harus menjauhinya sekalipun itu mungkin menjadikan kita
kaya – raya.

Kita diperintahkan dakwah dan jihad, tetapi ini berat. Maka sebagian ustadz
menggantinya dengan dakwah dan demokrasi. Kita dilarang menyelingkuhi /
menduakan Allah (menyekutukan Allah), tetapi ada sebagian orang yang
meremehkan dengan menjadikan dirinya sebagai *arbab *(tuhan-tuhan penguasa)
sekaligus mengangkat dirinya sebagai sekutu Allah dalam hal membuat syariat
(hukum).

Di sinilah kenapa Allah sering memulai setiap *taklif* atau perintah-Nya
dengan berkata, "Wahai orang-orang yang beriman ... !" Maksudnya, "Siapa
saja yang beriman dan mempercayai Allah sebagai *Rabb* (Penguasa alam
semesta), *Ilah* (Yang berhak disembah) dan *Khaliq* (Sang Pencipta) ...
dengarkanlah perintah-Nya dan laksanakanlah, jika engkau benar-benar telah
beriman kepada Allah yang memberimu perintah."

Demikianlah, Allah *Subhanahu wa Ta'ala* bermaksud menjelaskan tentang
pentingnya 'iman' dalam menyikapi setiap perintah-Nya! Pertama-tama, Allah
memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih sapi betina... sementara alasan
perintah-Nya disebutkan pada ayat-ayat berikutnya.

Ketika Anda beribadah kepada Allah, maka setiap ibadah yang Anda kerjakan
itu harus merupakan manifestasi dari ketaatan kepada Allah *Subhanahu wa
Ta'ala*, baik diketahui alasannya maupun tidak. Jika Anda melaksanakan
shalat, maka itu adalah semata-mata karena Allah *Tabaraka wa Ta'ala*
memerintahkan
Anda untuk shalat. Seandainya Anda melaksanakan shalat karena menganggap
shalat sebagai olahraga atau sebagai pengingat agar Anda dapat bangun pagi
atau sebagai gerakan untuk melemaskan otot-otot Anda, maka shalat Anda tidak
akan mendatangkan pahala dan balasan.

Juga, jika Anda ingin berolahraga, semestinya Anda datang ke klub­-klub
olahraga sehingga Anda mendapatkan pelatih yang sesuai agar olahraga. Anda
dapat dijalankan dengan baik. Jika Anda ingin melemaskan otot-otot Anda, ada
banyak cara untuk itu! Jika Anda benar-benar ingin beribadah kepada Allah
sebagaimana diperintahkan, maka laksanakanlah shalat semata-mata karena.
Allah. Demikian juga ibadah-ibadah yang lain.

Puasa, bukanlah cara agar kita dapat turut merasakan perasaan yang lapar
atau sebagai cara kita untuk menurunkan berat badan. Akan tetapi, puasa
adalah ibadah! Jika Anda melakukan puasa bukan semata-mata karena
menjalankan perintah Allah, maka puasa Anda tidak akan berpahala. Jika Anda
berpuasa karena sebab lain selain ibadah, maka puasa yang Anda lakukan tidak
layak untuk diterima Allah.

Allah *Subhanahu wa Ta'ala* sama sekali tidak ingin diduakan / tidak
menginginkan sekutu bagi diri-Nya! Karena itu, Anda tidak boleh
menyekutukan-Nya. Jika Anda melakukan puasa karena alasan lain, itu berarti
Anda telah menyekutukanNya. Allah akan mengabaikan perbuatan Anda dan
menyerahkannya kepada sekutu Anda. Demikian juga pada semua ibadah.

Sama halnya bila anda ingin banyak-banyak beramal dengan niat bukan mencari
*ridha* Allah *Subhanahu wa Ta'ala, *atau karena Rasulullah memerintahkan
demikian, namun niatnya adalah mengharap *ridha* manusia. Yaitu banyak
beramal (meskipun mengorbankan aqidah untuk kemudian dipamer-pamerkan kepada
kelompok lain yang berhati-hati untuk menjaga kemurnian aqidah)

Inilah makna dalam kisah sapi betina Bani Israil yang Allah inginkan agar
kita memperhatikannya dengan baik. Allah tidak menyebutkan sebab dan alasan
perintah-Nya kepada Bani Israil untuk menyembelih sapi betina pada awal
ayat, akan tetapi Dia menceritakan terlebih dahulu perintah-Nya, baru
kemudian menyebutkan alasannya pada akhir cerita.

Firman Allah *Subhanahu wa Ta'ala*, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina."

Dalam ayat ini, pertama-tama, Allah menyampaikan perintah-Nya untuk menguji
sejauh mana kekuatan iman Bani Israil dan ketaatan mereka dalam melaksanakan
perintah-Nya tanpa harus bertanya-tanya terlebih dahulu atau memperlambatnya
... Namun faktanya, alih-alih segera melaksanakannya, mereka justru
mempertanyakannya dan memper­lambat pelaksanaannya.

Senada dengan Firman Allah : "Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun
perempuan mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan
dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat." (Q.S. Al Ahzab:
36) dan selanjutnya Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam*. juga
menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur
dan mengurusi umatnya setelah Beliau wafat:

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi.
Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada
nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari
dan Muslim).

Firman Allah *Subhanahu wa Ta'ala*, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu."

* *

*Al-Amru* atau perintah adalah permintaan untuk melakukan sesuatu. Jika
permintaan itu datang dari orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada
orang yang diperintah maka ia dinamakan *Amrun*. Jika datang dari orang yang
berkedudukan sama, dinamakan *iltimas*. Jika datang dari orang yang
berkedudukan lebih rendah dinamakan *Raja'u *(harapan) dan doa. Contohnya
adalah doa Nabi Zakariya yang diceritakan dalam Al­Qur'an. Allah *Subhanahu
wa Ta'ala* berfirman,

"Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata, "Ya Tuhanku,
berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau
Maha Pendengar doa." (Ali Imran: 38)

Apakah ini perintah dari Zakariya? Tentu tidak. Karena itu adalah doa, dan
doa adalah harapan dari orang yang berkedudukan lebih rendah kepada yang
lebih tinggi.

Firman Allah *Subhanahu wa Ta'ala*, "*Sesungguhnya Allah menyuruh kamu*."

Apabila seseorang yang berakal diperintahkan untuk menyembelih sapi betina
... apakah perintah tersebut masih perlu diperjelas? Seandainya saja Bani
Israil mau langsung menyembelih sapi betina seperti yang diperintahkan, maka
perintah tersebut sudah terlaksana dan mereka, tidak harus mengeluarkan
tenaga lebih, yakni menyampaikan pertanyaan-­pertanyaan.

Akan tetapi, lihatlah kebodohan mereka, termasuk pertanyaan yang mereka
ajukan. Mereka bermaksud melakukan apa saja untuk menggagalkan perintah
tersebut. Mereka berkata kepada Nabi Musa *Alaihissalam* bahwa dengan
memerintahkan hal tersebut, itu sama artinya Nabi Musa telah menghina
mereka.

Perkataan mereka ini menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka memang menolak
perintah Allah untuk menyembelih sapi betina. Dan untuk itu, mereka berani
menuduh Nabi Musa telah memperolok-olok mereka. Mereka melihat betapa
besar masalah
yang telah ditimbulkan sehingga merasa bahwa sangat sulit bagi Allah untuk
mengampuni mereka dan tidak mungkin masalah tersebut diselesaikan hanya
dengan menyembelih sapi betina.

Ketika Nabi Musa *Alaihissalam* mendengar perkataan mereka seperti itu, ia
pun kecewa. Apakah ada Nabi yang bermain-main dengan taklif dari Allah
*Tabaraka
wa Ta'ala* atau menyampaikan perintah-Nya dengan maksud menghina?

Saat itu, Musa pun mengetahui bahwa orang-orang Yahudi ini bodoh. Mereka
tidak mengenal Tuhan, Rasul dan hari akhirat. Mereka berusaha untuk menilai
segala sesuatu dengan standar mereka bukan dengan standar Allah. Atau dengan
kata lain menggunakan standar hawa nafsu manusia, bukan dengan standar
Allah.

Firman Allah *Subhanahu wa Ta'ala*,

"Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia
menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab,
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu."

Lihatlah bagaimana pertanyaan mereka menunjukkan kurangnya keimanan dalam
diri mereka. Mereka tidak mengatakan, "Mohonkanlah kepada Tuhan kami..." akan
tetapi mengatakan, "Mohonkanlah kepada *Tuhanmu* untuk kami, seolah-olah Allah
adalah Tuhannya Musa saja. Ucapan seperti ini telah berulang kali dikatakan
oleh Bani Israil. Bahkan, mereka pernah berkata lebih gila lagi sebagaimana
diceritakan dalam Al­Qur'an,

"Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya
kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. Al-Maa'idah: 24)

Bukankah saat ini kebanyakan manusia seperti Yahudi di atas? Cuma mau
enaknya saja tanpa harus bersusah payah. Bahkan pada kelompok tertentu yang
menyeru dirinya kelompok dakwah justru berusaha menyembunyikan kebusukan
demokrasi? Karena mereka tentu saja cari aman saja. Kalau mayoritas
mendukung syariat, mereka katakan ini berkat mereka, kalau mayoritas tidak
menghendaki syariat, maka mereka katakan memang begitulah sistemnya / aturan
mainnya. Berbeda dengan jama'ah yang terang-terangan *ber'amar ma'ruf nahi
munkar* apalagi yang mengikuti *Millah Ibrahim*. Tokohnya dipenjara
sebagaimana nasib Habib Rizieq dari FPI, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dari JAT
(dulu di MMI), Ustadz Sulaiman Aman Abdurrahman dll. Beda dengan yang
berdemokrasi-ria, yang akan selalu aman-aman karena tidak pernah
menyebut-nyebut ayat Allah ketika ingin memberantas kemungkaran.

Dialog dan tanya jawab antara Nabi Musa dan Bani Israil berlangsung lama.
Mereka terus saja mengajukan pertanyaan kepada Nabi Musa bahkan mereka
memintanya agar Musa memintakan jawabannya kepada Allah.

Lihatlah, alih-alih mereka melaksanakan perintah Allah sehingga masalah
mereka selesai, justru mereka mengajukan pertanyaan-­pertanyaan lain. Setiap
jawaban diberikan oleh Nabi Musa, mereka mengajukan pertanyaan lain yang
sebenarnya tidak tepat untuk dipertanyakan. Sehingga, Allah pun menghentikan
mereka dengan memberikan gambaran tentang sapi betina yang mempunyai
ciri-ciri tertentu dan sapi tersebut tidak ada kecuali satu, sehingga mereka
pun kesulitan mencarinya. Demikianlah mereka mempersulit diri mereka
sendiri, sehingga Allah pun mempersulit mereka.

Sekarang, mari kita bahas secara lebih terperinci tentang
pertanyaan­-pertanyaan Bani Israil:

Allah *Subhanahu wa Ta'ala* berfirman, "Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu
?"

Pertanyaan yang diajukan ini sesungguhnya tidak perlu dan tidak pada
tempatnya, karena Allah *Tabaraka wa Ta'ala* secara jelas telah
memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina, bukan hewan lain,
sehingga mereka sebenarnya tidak perlu mempertanyakannya lagi. Untuk
menjawab pertanyaan mereka, Allah *Tabaraka wa Ta'ala* menjawab, "Sapi
betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan
antara itu...

Lafazh "Faaridh" dalam bahasa Arab artinya yang luas. Sementara yang
dimaksud di sini adalah sapi betina yang tidak tua. Pertanyaannya, apa
hubungan antara usia sapi dengan keluasannya? Sapi betina bila saatnya tiba,
ia akan sering hamil, baik untuk menghasilkan susu maupun untuk melahirkan
anak. Ketika ia hamil, ketika itu puting susunya pun semakin membesar dan
meluas begitu juga perutnya karena mengandung anak sapi yang akan
dilahirkan. Ketika sapi betina perutnya telah membesar dan menjadi luas itu
pertanda ia telah cukup tua dan siap melahirkan, sehingga ia pun disebut *
Faaridh*.

Sementara itu, lafazh *Bikrun* memiliki arti yang banyak, di antaranya belum
dikawini atau pernah melahirkan sekali atau sering melahirkan namun tidak
tampak karena usianya masih muda.

Firman Allah *Subhanahu wa Ta'ala*, "..pertengahan antara itu..." maksudnya
sapi betina yang dimaksud adalah yang memiliki ciri-ciri tidak terlalu tua
juga tidak terlalu muda, sebagaimana dijelaskan.

Setelah menjelaskan ciri-ciri sapi tersebut, untuk menghentikan kemungkinan
ada pertanyaan lain dari mereka, Allah *Subhanahu wa Ta'ala* langsung
mengatakan, "Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.." *Maksudnya,
cukuplah pertanyaan kalian. Jangan membantah*. Namun, apa yang mereka
lakukan? Mereka belum berhenti bertanya!

"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa
warnanya?" Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya."

Lihatlah, bagaimana mereka mencoba mencari pertanyaan lain dengan maksud
untuk menunda-nunda pelaksanaan perintah Allah. Setelah sebelumnya bertanya
tentang gambaran sapi betina, mereka mengajukan pertanyaan yang sebenarnya
sepele, yaitu apa warna sapi tersebut? Ketika Allah menjawab pertanyaan
mereka dengan menyebutkan umur sapi tersebut, mereka seolah-olah mendapatkan
'angin segar' untuk mengajukan pertanyaan lain, yaitu tentang warnanya,
padahal Allah sendiri telah menutup pintu pertanyaan dengan
firman-Nya, "Kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu.."

Faktanya, mereka tidak langsung melaksanakan perintah Allah *Subhanahu wa
Ta'ala*, bahkan mereka mengajukan pertanyaan lain, apa wama sapi betina itu?
Untuk menjawabnya, Allah *Subhanahu wa Ta'ala* berfirman, ."..sapi betina
itu adalah sapi betina yang kuning.." lalu lanjut-Nya, ".. yang kuning tua
warnanya.." kemudian berfirman,. "Juga menyenangkan orang-orang yang
memandangnya." Maksudnya, setiap orang yang melihat sapi tersebut, akan
merasa senang karena warnanya yang terang, bersih, enak dipandang dan gagah.

Allah *Subhanahu wa Ta'ala* pertama-tama menggambarkan warna sapi itu adalah
kuning. Itu adalah warna yang mudah dikenali. Namun dalam dunia warna, suatu
warna tidak dapat dikenali kecuali setelah melihatnya. Karena itu, sebelum
menyebutkan warna suatu benda, kita harus mengetahui benda tersebut.

Firman *Allah **Subhanahu wa Ta'ala*,

"Dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu," membuktikan bahwa
mereka berusaha untuk memperlambat pelaksaan perintah Allah.

Ucapan mereka ini menunjukkan apa yang disampaikan Nabi Musa sebelumnya
adalah jauh dari kebenaran. Akhirnya, mereka pun menyembelih sapi betina
dimaksud, itu pun dengan perasaan terpaksa, karena mereka sebenarnya tidak
ingin menyembelihnya dan tidak ingin menjalankan perintah Allah *Subhanahu
wa Ta'ala*.

Padahal, Allah telah menegaskan bahwa salah satu ciri orang yang beriman
kepada-Nya adalah bersegera melaksanakan perintah-Nya.Allah berfirman,

"*Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa*." (Ali Imran: 133)

Kesegeraan kaum mukminin untuk melaksanakan semua perintah Allah *Subhanahu
wa Ta'ala* menunjukkan bahwa mereka selalu menunggu­-nunggu tugas dari-Nya.
Dan biasanya, Anda akan cepat untuk melaksanakan apa yang telah diminta oleh
orang yang Anda cintai.

Jadi mari kita intropeksi diri kita, kita melakukan suatu perbuatan untuk
membuat dunia berdecak kagum kepada kita, kepada kelompok atau bahkan
peradaban kita, atau kita beramal dengan mengharap untung dunia bagi kita,
atau beramal karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan demikian? Dengan kata
lain kita beramal karena mencari ridha Allah?

Ataukah kita yang termasuk dalam firman-Nya?

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 74)

*Wallahu a'lam.*


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/