Rabu, 25 Juli 2012

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3627

7 New Messages

Digest #3627
1
Leaderism#5: Mengatasi Bawahan Yang Buruk by "Dadang Kadarusman" dkadarusman
3
Leaderism#6: Mengatasi Atasan Yang Buruk by "Dadang Kadarusman" dkadarusman
4
Personalism#4: Mengatasi Kolega Yang Buruk by "Dadang Kadarusman" dkadarusman
5
[OOT] DINGIN -- MENYAMBUT RAMADHAN by "Siti Nurrofiqoh" fiqohpantau
6
Personalism#5: Galaunya Orang Dewasa by "Dadang Kadarusman" dkadarusman
7
Leaderism#6: Menjual Anak Buah by "Dadang Kadarusman" dkadarusman

Messages

Tue Jul 24, 2012 8:30 pm (PDT) . Posted by:

"Dadang Kadarusman" dkadarusman

Leaderism#5: Mengatasi Bawahan Yang Buruk
 
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
 
Piala Eropa 2012 baru saja berakhir. Seperti kompetisi sepakbola bergengsi lainnya, perhelatan itu melambungkan nama-nama beken yang harganya semakin membumbung tinggi. Uniknya, diantara nama yang mewangi itu ada orang-orang yang bukan pemain di lapangan hijau. Anda tentu mengetahuinya dengan pasti. Betul. Mereka adalah para pelatihnya. Jelas sekali jika gengsi pelatih melampaui para pemain bintang. Faktanya, pelatihlah yang paling menentukan siapa yang bermain dan siapa yang duduk dibangku cadangan. Tanpa pelatih, sekumpulan pemain hebat jarang bisa menghasilkan kemenangan team.
 
Seperti di ruang-ruang kantor kita. Mungkin disana bertaburan para karyawan cemerlang. Tetapi tanpa 'pelatih', mereka hanya bisa menjadi individual contributor yang bagus dikala bermain sendirian namun lemah ketika harus bekerjasama dengan para karyawan berkilauan lainnya. Yang saya maksudkan 'pelatih' disini bukanlah semacam trainer atau pembicara seminar. Saya merujuk kepada seseorang yang sehari-hari bisa berada ditengah-tengah para karyawan hebat itu. Mengasah  keterampilan mereka. Membagi tugas dan peran serta fungsi masing-masing. Memberikan pengarahan yang diperlukan. Dan kalau perlu, 'berteriak-teriak' di pinggir arena untuk memberikan pengarahan ad hoc disaat-saat kritis ketika pekerjaan sedang berjalan. Siapa lagi orang yang punya otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan seperti itu jika bukan seorang atasan?
 
Benar. Atasan di kantor itu seperti pelatih sepakbola. Mereka sama-sama memiliki otoritas untuk memimpin. Tidak mungkin suatu kesebelasan menghasilkan kemenangan yang bermutu tanpa pelatih yang tangguh. Tidak mungkin juga sebuah team kerja menghasilkan performa tinggi tanpa atasan yang handal. Masalahnya, atasan di kantor tidak selalu memiliki keleluasaan yang sama seperti para pelatih sepakbola. Khususnya dalam hal 'menentukan' siapa saja yang pantas berada didalam team kerjanya. Pelatih sepakbola, boleh mendepak pemain lama tanpa resiko bermakna. Akhiri saja kontraknya. Atau tempatkan saja di bangku cadangan. Selesai. Atasan di kantor? Tidak bisa demikian.
 
Idealnya, memang seorang atasan bisa membentuk team kerjanya sendiri dari orang-orang pilihannya. Namun, hal itu tidak selalu bisa dilakukan. Faktanya, kebanyakan atasan bertanggungjawab untuk menghasilkan kinerja baik perusahaan dengan 'bagaimanapun' keadaan dan kualitas karyawan yang ada didalamnya. Bukankah sangat jarang sekali atasan yang diangkat dengan misi 'menyingkirkan' orang? Ada, tapi sangat jarang sekali.
 
Pertanyaannya adalah; bagaimana seandainya orang-orang di team kerja itu bukanlah karyawan-karyawan yang mampu bekerja dengan baik?  Jika keterampilan kerja yang menjadi faktor penghambatnya, maka solusinya adalah melatih mereka untuk bekerja dengan lebih baik. Seperti para pelatih sepak bola melatih dan mengajarkan teknik-teknik bermain cantik. Namun, jika masalah utamanya adalah sikap dan perilaku, bagaimana?
 
Orang bilang; mudah untuk membenahi soal-soal teknis. Namun untuk soal non teknis seperti perilaku, itu bukan soal yang gampang. Bahkan karyawan yang paling jago melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis pun bisa sangat menyulitkan kalau sikap dan perilakunya buruk. Disinilah kualitas seorang atasan diuji. Dan, sudah banyak orang yang gagal melewati batu ujian ini. Dalam pengamatan saya, kebanyakan yang gagal itu bukan karena kurangnya sarana atau sumber daya untuk mengubah perilaku bawahan. Melainkan karena sang atasan keliru sejak detik pertama interaksi mereka. Ketika berhadapan dengan karyawan yang sikap dan perilakunya kurang baik, atasan itu langsung menilai karyawan itu sebagai bawahan yang buruk. Dengan penilaian awal yang buruk itu, maka tak seorang pun tertarik untuk mengupayakan hal terbaik dalam usaha memperbaikinya.
 
Boleh jadi, karyawan berperilaku buruk justru disebabkan oleh perlakukan atau cara memimpin yang keliru dari atasannya. Bukan sifat dasar mereka yang buruk. Meskipun masih banyak atasan yang suka semena-mena kepada bawahannya, namun saya tidak bermaksud mengatakan atasan sebelumnya buruk. Banyak juga kok atasan yang baik namun tidak dapat melakukan pendekatan yang tepat sehingga tidak berhasil menjadikan bawahannya baik. Terlepas dari kondisi atasan sebelumnya, sekarang orang-orang itu sudah menjadi bawahan kita. Oleh karenanya; cara kita memimpin mereka akan sangat menentukan kualitas kerja mereka sejak saat ini.
 
Mari perhatikan sekali lagi. Sudut pandang pertama kita tadi menempatkan bawahan yang sikap dan perilakunya buruk sebagai satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas keburukan itu. Sedangkan sudut pandang kedua, menempatkan mereka sebagai produk perlakuan keliru dari pemimpinnya. Dengan cara berpikir yang kedua itu, sebagai pemimpin kita meletakkan tanggungjawab 'perbaikan' bawahan itu pada pundak kita sendiri. Bukan menunjuk hidung mereka untuk memperbaikinya dengan perintah kita. Dengan cara berpikir seperti itu kita juga membangun jembatan kepercayaan dengan mereka. Kita percaya, bahwa mereka bisa berubah dengan teknik dan pola kepemimpinan yang lebih baik bersama kita.
 
Banyak indikasi yang menunjukkan jika karyawan itu kesal kepada atasannya. Makanya mereka bertindak sekenanya saja. Kabar baiknya adalah; dalam kebanyakan kasus kekesalan mereka kepada atasan itu tidak disebabkan oleh kebencian kepada pribadi atasannya, melainkan sering karena cara atasannya memimpin yang keliru. Jika atasannya arogan, sok kuasa, tukang perintah, atau tidak menghargai anak buah; mengapa para bawahan harus respek kepadanya? Sebaliknya, jika atasan memimpin dengan cara yang tepat, sanggup berjalan di garis paling depan perjuangan mereka, selalu ada setiap kali mereka membutuhkan, selalu bersedia menerima telepon meskipun pada masa liburan, berkenan mendengar aspirasi dan pendapat, memahami dan menghargai perasaan bawahan. Oh…, bagaimana mungkin bawahan membenci atasan seperti itu?
 
Jadi, jika ada bawahan yang bersikap dan berperilaku buruk. Hindarilah untuk buru-buru menilai mereka sebagai pribadi yang buruk. Justru inilah saatnya untuk melatih dan mempraktekkan keterampilan memimpinyang kita miliki selama ini. Mulailah dengan kesadaran bahwa memang sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai atasan untuk membantunya memperbaiki diri. Melalui niat baik, cara-cara memimpin yang baik, dan keteladan yang kita tunjukkan; kemungkinan besar, kita akan bisa membalikkan keadaan. Jika kita berhasil melakukannya, maka kepuasannya akan menjadi milik kita. Sehingga ketika kelak kita ditanya; "Apa yang sudah kamu lakukan kepada orang-orang yang dahulu kamu pimpin?"  Semoga kita bisa menjawab;"Sudah saya membawa dan mencontohkan kepada mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, ya Tuhanku…." Siapa tahu Tuhan berkenan menempatkan para pemimpin seperti itu di samping tempat peristirahatan para Nabi suci. Duh… ingin sekali.
Insya Allah.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/ – 5 Juli 2012

Tue Jul 24, 2012 8:31 pm (PDT) . Posted by:

"laillina mardhiati" ladhies_sm

link nya gak ada..

________________________________
From: Yons <senjakarta@gmail.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Thursday, 5 July 2012, 22:28
Subject: [sekolah-kehidupan] Lomba Menulis: Masa Depan Media Online Bernafaskan Islam


 
Sejarah perjalanan media online bernafas Islam pasang surut. Ada yang muncul, tumbuh berkembang, namun banyak juga yang mundur teratur dan akhirnya almarhum.

Inilah saatnya berbagi pemikiran demi kemajuan media online bernafaskan Islam di tanah air. Dengan menulis tentunya, dan berhadiah pula Keterangan selengkapnya:
Cekidot link berikut : bit.ly/RiH9Lo

salam
yons achmad

Tue Jul 24, 2012 10:14 pm (PDT) . Posted by:

"Dadang Kadarusman" dkadarusman

Leaderism#6: Mengatasi Atasan Yang Buruk
 
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
 
Tantangan dalam kepemimpinan itu bukanlah sekedar bagaimana mengatasai berbagai macam tipe bawahan. Melainkan juga bagaimana caranya mengatasi atasan. Makanya, dalam managemement kita mengenal istilah 'managing upward' atau mengelola atasan. Sekalipun hal ini sangat jarang dibahas dalam forum-forum keilmuan. Namun, keterampilan untuk mengelola atasan ini wajib dimiliki oleh setiap karyawan yang ingin karirnya berkembang. Mengapa? Karena semua karyawan mempunyai atasan, bukan?
 
Seperti halnya bawahan, tidak semua atasan mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Ada juga yang justru berperilaku sangat buruk sehingga kehadirannya sering menimbulkan masalah bagi bawahannya. Dan jika bawahannya itu memiliki bawahan lagi, maka dampak dari sikap buruknya akan menjadi lebih luas lagi. Bagaimana pun juga, mengatasi atasan yang buruk tidaklah sesederhana menghadapi bawahan yang buruk sebagaimana pernah kita bahas dalam artikel sebelumnya. Menghadapi atasan yang buruk membutuhkan tenaga ekstra bahkan untuk sekedar menetralisir 'dampak negatif' yang  timbul dari sikap buruknya itu kepada lingkungan kerja yang kita pimpin.
 
Sekalipun demikian, atasan yang buruk biasanya adalah orang yang sangat sensitif. Mudah tersinggung dan gampang sakit hati. Jika sudah sakit hati kepada bawahan, tidak sedikit atasan yang tega memblacklist bawahannya itu lalu menempatkannya dalam daftar bawahan 'yang tidak bisa dikembangkan'. Oleh karenanya, maka ada dua aspek yang perlu kita pahami ketika berusaha untuk mengelola atasan yang buruk. Aspek pertama adalah pemenuhan tugas-tugas profesional kita, dan aspek kedua adalah menjaga sikap mental kita.  Sudahkah Anda memiliki keduanya?
 
Kita bisa mengelola atasan yang buruk itu dengan memastikan bahwa pencapaian kinerja profesional kita tetap baik. Hal ini tidak hanya akan bisa 'membangun reputasi' dan menjamin 'bonus' kita belaka. Tetapi juga menjadi semacam 'premi asuransi' bagi keselamatan dan keamanan karir kita. Tidak sedikit atasan yang buruk yang gemar mencari-cari kesalahan anak buahnya. Tujuannya bisa macam-macam. Ada yang sekedar mencari pembenaran bagi keburukan sikapnya sendiri. Ada juga yang memang ingin menyingkirkan anak buah yang 'tidak sejalan' dengan keburukan yang dimilikinya. Namun apapun tujuan yang ada dibalik sikap atasan yang buruk itu, jika tugas-tugas profesional kita bisa ditunaikan dengan sebaik-baiknya; maka kita akan aman-aman saja dalam posisi dan karir kita.
 
Pencapaian profesional yang baik sering juga tidak memadai untuk menjalani hari-hari pekerjaan bersama atasan yang buruk. Memang kinerja kita bagus sehingga atasan yang buruk tidak punya alasan untuk menjatuhkan kita. Namun pekerjaan bukanlah sekedar menyelesaikan penugasan dengan sebaik-baiknya belaka, melainkan juga soal ketenangan dan ketentraman batin. Jika kita bisa bekerja dengan baik tapi batin kita tidak tenteram, maka pasti kita pun akan tersiksa berada dalam lingkungan kerja seperti itu. Berada dibawah kepemimpinan seorang atasan yang buruk, bisa menjadi sebuah 'siksaan' yang menimbulkan 'penderitaan' tak terelakkan.
 
Disinilah pentingnya aspek yang kedua yaitu;  menjaga sikap mental kita. Kebanyakan orang yang punya atasan yang buruk cenderung melawannya dengan sikap mental yang juga buruk. Efek kasat matanya bisa berupa perilaku yang tidak kalah buruknya. Sedangkan efek tidak kasat matanya bisa berupa tekanan batin atau stress selama menjalani hari-hari kerjanya. Oleh karena itu,  selain tetap fokus pada penyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya itu, kita butuh belajar mengelola sikap mental kita sendiri agar tetap positif dalam menghadapi atasan yang buruk.
 
Dalam lingkungan kerja yang dipimpin oleh atasan yang buruk, kebanyakan orang memilih untuk menggunjingkan dan mengomentari keburukan atasannya itu. "Atasan gue aja kelakuannya begitu. Mengapa gue mesti kerja bagus?"  Dengan pilihannya itu akhirnya kinerjanya sebagai bawahan menjadi buruk sambil terus mengomel dan mengeluhkan keburukan-keburukan atasannya. Mungkin memang benar jika atasannya itu buruk. Namun fakta bahwa kinerja dan sikap kita juga buruk menunjukkan bahwa kita pun sama buruknya dengan atasan yang kita anggap buruk itu. Siapa yang rugi jika begitu? Kita, jika termasuk orang-orang seperti itu.
 
Ada juga orang-orang yang tetap bertahan dengan memberikan kinerja terbaiknya. Semua tugas dan tanggungjawab profesionalnya dapat diselesaikan dengan sangat baik. Tetapi, mereka tidak berhasil menjaga sikap mentalnya dari perlakuan buruk atasannya. Misalnya, gampang sakit hati atau mudah tersinggung oleh kata-kata atasannya yang buruk. Mereka tertekan secara mental sehingga hatinya tidak mendapatkan ketentraman dan kenyamanan. Walhasil, hari-hari kerjanya menjadi sangat melelahkan baik secara fisik maupun mental. Siapa yang rugi? Kita juga, jika kita pun masih begitu.
 
Guru kehidupan saya mengisahkan tentang keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Setiap kali melintasi jalan kecil menuju ke pasar, beliau selalu dilempari oleh seseorang. Tak pernah sekalipun beliau membalas lemparan itu. Suatu ketika, beliau melintas dijalan itu namun tidak ada lagi yang melempar. Beliau mencari tahu, kemana orang yang suka melempar itu? Lalu tahulah beliau jika orang yang gemar mengganggunya itu sedang sakit. Ketika setiap orang menghindar darinya, Sang Nabi merawatnya hingga sembuh. Setelah sembuh, orang itu baru menyadari jika yang merawatnya selama sakit adalah orang yang sering disakitinya olehnya.  Bahkan kepada orang yang berbuat buruk pun beliau tetap memperlakukannya dengan baik.  
 
Perilaku mulia itu tercermin pada sikap yang diambil oleh 'sedikit' orang yang dipimpin oleh atasan yang buruk. Yaitu mereka yang tetap fokus untuk menyelesaikan tugas-tugas profesionalnya dengan sebaik-baiknya. Sekaligus menjaga sikap mentalnya agar tidak terpengaruh oleh keburukan perlakuan atasannya. Setiap kali atasannya memperlakukan mereka buruk, mereka selalu selalu ingat teladan sang Nabi. Sehingga mereka tetap terjaga dari godaan untuk membalas keburukannya bahkan hanya sekedar dengan gunjingan. Kepada orang-orang seperti ini, atasan yang paling buruk pun tidak punya kemampuan untuk menjadikannya pribadi yang buruk. Mereka tetap saja baik, meskipun mendapatkan perlakuan yang buruk.
 
"Too good to be true!" mungkin Anda berpendapat demikian. Bagi saya pribadi, ini sungguh sebuah realitas yang bisa kita jadikan sebagai teladan. Saya memiliki seorang sahabat yang tetap menjadi pribadi dengan kinerja baik dan sikap mental yang baik saat dipimpin oleh atasannya yang buruk. Setelah sembuh, orang yang suka melempari Rasul itu berubah menjadi orang yang baik. Begitu pula halnya dengan atasan sahabat saya itu. Dengan kebaikan yang ditujukkannya melalui kinerja yang tetap baik dan sikap mental yang tetap positif itu, dia mendapati atasannya yang buruk itu perlahan-lahan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Sabahat saya itu telah menunjukkan   keterampilan memimpintingkat tinggi. Yaitu, memimpin atasannya. Bisakah kita meneladaninya? Yuk, kita sama-sama belajar untuk melakukannya.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/ –  9 Juli 2012

Tue Jul 24, 2012 10:19 pm (PDT) . Posted by:

"Dadang Kadarusman" dkadarusman

Personalism#4: Mengatasi Kolega Yang Buruk
 
Hore!
Hari
Baru, Teman-teman.
 
Keberadaan
teman di kantor bisa menjadi penyemangat sekaligus tempat berbagi perasaan.
Namun, manfaat seperti itu tidak akan didapatkan jika kita tidak berhasil
membangun hubungan yang baik dengan kolega kita. Mungkin memang sangat jarang
sekali ada sesama karyawan yang bertengkar di kantor. Namun, soal 'perang
dingin' boleh jadi masih banyak yang mengalaminya di zaman perdamaian ini.
 
Ada begitu banyak alasan untuk
berselisih dengan teman di kantor. Iri terhadap jabatan penting. Kesal soal
pekerjaan yang dianggap tidak sama bobotnya. Cemburu pada kedekatan dengan
atasan. Dan masih banyak hal lain yang bisa digunakan sebagai alasan untuk saling
berseberangan. Bahkan, di lingkungan kita dikenal pula istilah 'ilmu katak',
yaitu perilaku buruk seseorang yang gemar menginjak kebawah, menyikut kesamping
dan menjilat keatas. Bagaimana seandainya Anda mempunyai teman seperti itu? Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengatasi kolega yang buruk, saya
ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut
ini:  
 
1.      Bangun reputasi pribadi yang tinggi. Salah satu ciri kolega
yang buruk adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang orang lain.
Makanya jangan heran jika kolega buruk Anda mengatakan keburukan Anda kepada
orang lain. Namun, Anda tidak perlu khawatir hal itu akan berdampak buruk jika
Anda sudah berhasil membangun reputasi yang baik. Orang-orang tidak akan dengan
mudahnya percaya kepada ocehan seseorang yang mendiskreditkan Anda. Jika Anda dikenal
sebagai orang yang berdisiplin dan tepat waktu – misalnya – maka orang sekantor
tidak akan mudah percaya ketika ada seseorang yang menyebutkan jika Anda itu
adalah orang yang tidak berdisiplin dan tidak tepat waktu. Bangunlah reputasi
yang baik, maka nama baik Anda akan tetap terpelihara.
 
2.      Persembahkanlah kinerja yang tinggi. Tidak ada hal lain yang diharapkan oleh
perusahaan dari para karyawannya melampaui kinerja tinggi yang bisa mereka berikan.
Jika berkinerja tinggi, maka kita menjadi aset yang sangat berharga bagi
perusahaan. Jarang ada yang mau ambil pusing dengan kehidupan pribadi seseorang
selama dia bisa menunjukkan kinerja tinggi itu. Ketika ada orang yang
mendiskreditkan pun, pengaruhnya masih bisa diabaikan. Bahkan sekalipun benar
ada kekurangan yang dimiliki oleh orang itu, biasanya lebih mudah memakluminya.
Beda sekali dengan orang yang berkinerja rendah. Ada berita miring sedikit saja
sudah bisa menjadi besar dan boleh jadi hal itu digunakan untuk
menyingkirkannya dengan mudah. Persembahkanlah kinerja yang tinggi, maka kolega
buruk Anda tidak bisa mendiskreditkan Anda.
 
3.      Bangun hubungan yang baik dengan
atasan. Kualitas hubungan dengan atasan sangat berpengaruh kepada karir
seseorang. Terlebih lagi ketika sedang berurusan dengan kolega yang buruk.
Atasan yang punya hubungan baik dengan kita biasanya lebih percaya kepada kita,
sehingga beliau tidak mudah dipengaruhi oleh berita atau informasi negatif tentang
kita. Bahkan, bisa saja beliaulah yang akan melindungi kita dari keusilan
kolega yang buruk. Kolega yang buruk itu pun tahu persis jika hasutannya tidak
akan berhasil. Kepada orang yang punya hubungan yang baik dengan atasannya,
biasanya mereka tidak berani 'macam-macam'. Bangunlah hubungan yang baik dengan
atasan, maka Anda akan aman.
 
4.      Jadilah teman yang baik baginya. Kebanyakan orang menghindari orang-orang yang dianggap sebagai kolega yang
buruk. Jika Anda mempunyai kolega yang buruk di kantor, justru saya menyarankan
agar Anda menjadi teman yang baik baginya. Manfaatnya banyak. Minimal Anda bisa
lebih memahami mereka, sehingga Anda tahu cara berpikir, tindak-tanduk, maupun
muslihat mereka. Bahkan boleh jadi Anda bisa membantu mereka untuk membangun
sikap yang positif dan belajar bersaing secara lebih sportif. "Rangkullah
musuh-musuhmu," begitu kan nasihat para ahli strategi perang? Rupanya strategi
itu juga sangat ampuh untuk menghadapi kolega yang buruk di kantor. Selama
tetap waspada, maka pertemanan yang Anda bangun dengan kolega yang buruk tidak
akan bisa merugikan Anda.  
 
5.      Mawas diri. Sebentar dulu. Sebenarnya siapa sih yang menjadi kolega
yang buruk itu? Teman kita? Atau justru kitalah yang menjadi kolega buruk bagi dia?
Sifat merasa benar sendiri bisa menjadi pertanda jika kita juga bukanlah kolega
yang baik bagi orang lain. Padahal, kebutuhan kita terhadap teman yang baik di
kantor mesti diimbangi oleh kesediaan kita untuk juga menjadi teman yang baik pula
bagi mereka. Jika tidak, maka hubungan itu akan berat sebelah. Dan jika kita
yang menjadi penyebabnya, maka kitalah kolega yang buruk itu. Maka sebelum menunjuk
hidung orang lain, bagusnya kita memeriksa hidung kita sendiri. Sebelum menuntut
orang lain untuk menjadi kolega yang baik bagi kita, sebaiknya dipastikan
terlebih dahulu bahwa kita sudah menjadi kolega yang baik buat mereka.
 
Mempunyai
kolega yang buruk itu memang sangat menyebalkan, bagi orang yang mudah
terpengaruh oleh keadaan itu. Tapi bagi yang mampu mengelolanya, keberadaan
teman yang buruk sama sekali tidak merugikan. Sebaliknya malah bisa menjadi
sarana untuk semakin mengasah keterampilan mengelola orang lain. Mempertinggi
reputasi. Dan menguatkan hubungan dengan atasan. Jadi  – mulai sekarang – ubahlah sudut pandang
terhadap kolega yang buruk di kantor. Karena boleh jadi, Tuhan sengaja mengirim
orang itu agar kita bisa semakin memperindah kualitas kepribadian kita.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA – Dadang
Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/ – 10 Juli 2012

Tue Jul 24, 2012 10:22 pm (PDT) . Posted by:

"Siti Nurrofiqoh" fiqohpantau

Sore. Jalan sempit bersemen kasar penuh tanah basah yang terbawa sendal.
Bau amis bercampur busuk dari limbah ikan dan sayuran, milik para
pedagang yang tak terjual.

Kala itu, salah satu pedagang selesai
memasukkan dua gelundug benda ke dalam plastik. Dan Dia datang dengan
tatapan lekat pada benda di dalam kresek transparan itu. Aku mulai
gundah.

"Tidak bisakah sedikit membebaskanku?" gumamku ragu.

"Tidak bisakah sedikit membebaskannya?" jawabnya bagai tak punya kosa kata lain.

"Membebaskan siapa? Siapa yang kurampas kemerdekaannya?"

"Dia. Pedagang itu."

"Apa maksudmu? Aku membeli. Tak lebih dari itu! Apa aku sal..?"

Ah. Dia sudah menghilang tanpa memberiku kesempatan menyelesaikan kalimat. Dasar sok seperti malaikat.

***
Kalau mau silahkan beranjak ke:
http://sitinurrofiqoh.blogspot.com

Tue Jul 24, 2012 10:55 pm (PDT) . Posted by:

"Dadang Kadarusman" dkadarusman

Personalism#5: Galaunya Orang Dewasa
 
Hore!
Hari
Baru, Teman-teman.
 
Kalau
soal galau, orang-orang yang sudah dewasa seperti kita tidak kalah hebohnya dari
para remaja. Jika para remaja kebanyakan galau dalam pencarian identintas
dirinya, maka orang dewasa pada umumnya galau dengan identitas mata
pencahariannya. Kegalauan seperti ini sepertinya sedang mewabah dikalangan orang-orang
yang berstatus sebagai karyawan atau profesional di lingkungan kita. Khususnya
ditengah euphoria hiruk pikuk pidato tentang entrepreneurship yang seru dan
menggebu-gebu. Pengen sih jadi pengusaha….tapi....... Makin gelisah deh.  
 
Kegalauan itu sebenarnya sangat
manusiawi. Karena hal itu menunjukkan adanya keinginan untuk membuat suatu
peningkatan atau menciptakan keadaan yang lebih baik. Sekalipun begitu, tetap
perlu berhati-hati agar kegalauan itu tidak sampai membawa kita kepada langkah
yang tidak semestinya. Kalaupun akhirnya memutuskan untuk banting stir dari
karyawan menjadi pengusaha, itu tidak semata-mata karena pengaruh dari orang lain
belaka. Dengan begitu, keputusan apapun yang kita ambil benar-benar cocok
dengan kebutuhan kita sendiri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya
belajar mengatasi kegalauan ini, saya ajak memulainya dengan memahami dan
menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut
ini: 
 
1.      Tidak semua orang harus jadi pengusaha kok. Inilah hal yang pertama
kali mesti kita pahami. Berhentilah mempercayai kalimat-kalimat motivasi
bombastis yang menyatakan jika menjadi pengusaha itu lebih baik daripada
menjadi karyawan. Mulai sekarang, yakinilah bahwa kalimat itu tidak berlaku
bagi setiap orang. Bayangkan jika semua orang menjadi pengusaha. Siapa yang
bakal menjadi karyawannya? Jika panggilan hati Anda menjadi pekerja, sudahlah
gigih saja dalam pilihan itu. Lalu fokus untuk mendapatkan 'perolehan' yang
bermakna. Jika memang disana jiwa Anda, tidak perlu memaksakan diri menjadi
pengusaha. Tidak perlu galau lagi. Karena kenyataannya, tidak semua orang harus
menjadi pengusaha kok.  
 
2.      Memahami kisah yang jarang terungkap. Kebanyakan pengusaha terekspos pada saat
mereka sudah sukses. Kisah yang sampai pada kita pun, tentu kisah suksesnya. Jarang
sekali yang mengungkapkan kisah perih dan pedihnya. Jatuh dan bangunnya. Memahami
kisah hancur-hancuran seorang pengusaha sebelum sukses bisa membantu kita untuk
memahami resikonya. Sedangkan memahami resiko itu membuat kita waspada agar
bisa melakukan tindakan-tindakan dan persiapan untuk memperkecil peluang
terjadinya resiko itu. Tanpa pemahaman itu, kita bisa terjebak dalam sikap
menggampangkan sehingga kita lengah. Begitu kesulitan muncul, kita merengek;
"Lho, kok nggak seperti yang saya kira sih…?" Oh. Terlambat. Makanya, pahami
kisah yang jarang terungkap dari perjalanan perjuangan mereka. Agar kita
waspada.
 
3.      Matre itu juga bisa positif kok. "Bisnis itu soal melakukan sesuatu yang kita sukai. Kita cintai. Kita gandrungi.
Bukan soal uang." Begitulah yang sering digembar-gemborkan. Itu hanya benar
bagi mereka yang sudah memiliki kecukupan untuk menjalani sisa hidupnya. Bagi
kebanyakan orang, bisnis itu adalah soal mendapatkan uang untuk menjalani hidup
dengan layak. Mengapa mesti banting stir dari pegawai menjadi pengusaha jika
hanya melakukan pekerjaan yang 'kita cintai itu'? Lha, duite endhi? Duitnya
mana? Tidak usah takut disebut 'cowok atau cewek matre' deh. Biar pun kita suka
sekali melakukannya, jika tidak menghasilkan uang; itu bukan entrepreneur
namanya. Bahkan pengusaha hebat pun berani menutup bisnisnya yang tidak
menghasilkan. Lha, kita? Kok malah melakukan sesuatu yang asal kita senangi,
meski tidak menghasilkan.
 
4.      Bersegera, bukan tergesa-gesa. Baiklah.Sekarang Anda sudah
bulat hati untuk banting stir menjadi pengusaha. Sudah mengetahui kisah tak
terungkap hingga siap mengantisipasi resikonya. Dan  sudah tidak malu disebut cowok matre. "Apa
lagi? Mulai saja!" Hey, waspadalah terhadap ketergesaan. Segala sesuatu juga
akan indah pada saatnya. Kita memang tidak boleh menunggu terlalu lama. Nanti
malah nggak jadi. Kita mesti bersegera. Tetapi tidak berarti tergesa-gesa. Kenapa?
Karena orang yang tergesa-gesa sering ceroboh baik dalam perencanaan, persiapan,
maupun pelaksanaan. Tapi kan orang bilang kesempatan tidak datang dua kali?
Mending kehilangan kesempatan yang satu itu daripada hancur berantakan ditengah
jalan. Kenyataannya, dunia tidak pernah lelah memberi beragam kesempatan bagi
siapa saja yang selalu siaga pada saat yang tepat. So, bergegaslah. Tapi tidak
tergesa-gesa.
 
5.      Mendorong, bukan menjerumuskan. Kalau sudah menjadi pengusaha sukses kelak, Anda mungkin akan diminta menjadi
narasumber untuk memotivasi calon-calon entrepreneur lainnya. Ketika saat itu tiba,
maka bantulah para calon entrepreneur yang sedang Anda motivasi itu untuk
memahami bukan sekedar enaknya saja. Dan bukan pula
melihat suksesnya belaka. Tetapi juga kisah bagaimana di sepanjang perjalanan
itu Anda menghadapi hujan badai dan ombak ganas yang membuat sekujur tubuh Anda
menggigil lahir dan batin. Dengan begitu, mereka bisa mempersiapkan pelampung
dan pelindung untuk berjaga-jaga jika harus menghadapi badai yang sama atau
mungkin lebih ganas dari itu. Semoga, akan lebih banyak lagi pengusaha pemula
yang berhasil mengarungi samudera kewirausahaan itu daripada yang tenggelam karena
tidak menyadari resikonya.
 
Saya
percaya bahwa setiap orang terlahir dengan cetak biru kehidupannya
masing-masing. Ada yang memang tepat untuk menjadi entrepreneur, dan ada pula
yang lebih optimal hidupnya jika menjadi karyawan profesional. Toh pengusaha
sukses pun membutuhkan karyawan yang handal. Begitu pula sebaliknya. Fakta ini
semakin menguatkan kenyataan bahwa kita semua, ada untuk saling melengkapi satu
sama lain. So, nggak perlu galau lagi deh. Jika kita berhasil menemukan dan
menjalani cetak biru kehidupan kita dengan sebaik-baiknya, maka semuanya akan
baik-baik saja. Insya Allah.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA – Dadang
Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/ – 13 Juli 2012

Tue Jul 24, 2012 11:59 pm (PDT) . Posted by:

"Dadang Kadarusman" dkadarusman

Leaderism#6: Menjual Anak Buah
 
Hore!
Hari
Baru, Teman-teman.
 
Menjual buah apel, buah jambu, atau
buah pisang. Itu hal lumrah. Kalau menjual 'anak buah'? Apakah tidak terdengar
agak – maaf – bodoh ya?  Bukankah enak jika
punya anak buah yang sudah bisa mandiri dan mengerjakan setiap penugasan dengan
sangat baik? Kepada mereka kita bisa mendelegasikan tugas-tugas sulit. Jadinya,
tanggungjawab kepemimpinan kita semakin terasa ringan. Kalau anak buah kita
sudah bagus seperti itu, kenapa malah 'dijual' ke departemen lain?
 
Salah satu ukuran kehandalan seorang pemimpin adalah;
kemampuannya dalam melahirkan pemimpin-pemimpin lainnya. Dengan kata lain,
pemimpin handal itu harus mampu mengembangkan anak buahnya hingga mencapai
kualifikasi tinggi, lalu membantunya menapaki jejang karir yang lebih tinggi. Boleh
jadi, hal itu berarti juga merelakannya untuk pergi ke tempat lain yang lebih
sesuai untuknya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar melahirkan
pemimpin-pemimpin lainnya, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan
5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut
ini: 
 
1.      Memahami bahwa anak buah bukan 'milik' kita. Frase 'anak buah
saya' itu berbeda sekali dengan – misalnya – 'baju putih saya'. Baju putih itu
milik saya dalam arti yang sebenarnya. Tetapi anak buah kita, sama sekali bukan
milik kita. Mereka adalah milik diri mereka sendiri sehingga mereka merdeka
untuk menentukan masa depan karirnya. Menyadari jika anak buah kita itu
bukanlah milik kita bisa membantu kita untuk memposisikan diri sebagai
pendorong dan pembimbing dalam perjalanan mereka membangun karir yang lebih
tinggi. Sebagai atasan, kita bertugas untuk memfasilitasi keseluruhan
prosesnya.
 
2.      Terbuka dengan aspirasi mereka. Belum tentu anak buah kita sudah pas dengan
posisinya dalam team yang kita pimpin. Belum tentu juga mereka telah berhasil
mencapai apa yang mereka inginkan. Oleh karenanya, seorang pemimpin perlu
belajar untuk mendengar aspirasi anak buahnya. Dengan pemahaman terhadap
aspirasi mereka itu, seorang pemimpin menjadi tahu tindakan apa yang perlu
dilakukannya untuk membantu mewujudkan aspirasi mereka. Di sisi lain, anak buah
yang menyadari atasannya mempunyai kepedulian terhadap aspirasi karir mereka
juga terdorong untuk menjadi lebih kooperatif dan bertindak lebih positif.
Karenanya, mereka juga bersedia untuk membantu memudahkan tugas-tugas atasannya.
 
3.      Kembangkan anak buah melampaui
job desc-nya. Dengan memahami aspirasi anak buah, atasan bisa
mengetahui aspek-aspek apa saja yang harus mereka miliki agar bisa mencapai
aspirasinya. Kita tahu bahwa tidak ada aspirasi tinggi yang bisa diraih dengan
hanya menjadi pribadi biasa-biasa saja. Oleh karenanya, maka ada kebutuhan
untuk membangun kualitas diri mereka melampui tuntutan job desc sehari-hari. Pada
tahap ini, dibutuhkan kesediaan sang pemimpin untuk mengembangkan anak buahnya
melampaui tuntutan-tuntutan standar itu. Ketika tuntutan itu terlampaui, maka
terbuka lebar pintu gerbang menuju karir yang lebih baik.
 
4.      Bangun hubungan yang baik dengan
pemimpin lain.  Peluang di
team sendiri tidak selalu ada sepanjang waktu. Sedangkan peluang di lingkungan
internal tidak selalu mudah dideteksi. Oleh karenanya, atasan harus bisa membangun
hubungan yang baik dengan pemimpin lain sehingga memungkinkannya untuk mengetahui
lebih dulu sebelum informasi itu jadi terbuka.  Jangan sampai menunggu peluang itu masuk ke
koran atau media lainnya.  Biasanya, kolega
dari departemen lain justru senang jika Anda bersedia 'mengekspor' orang
terbaik di team Anda untuk bekerja bersama mereka.  Sebaliknya, anggota team Anda juga akan senang
untuk menunjukkan kalau mereka layak juga mendapatkan kesempatan itu.
 
5.      Teruslah merekrut bibit baru
yang bagus. Ketika bisa 'menjual' anak buah yang sudah handal, tentu
kita akan membutuhkan bibit-bibit baru untuk menggantikannya.  Lalu kita
mengembangkan mereka lagi. Kemudian 'menjualnya' lagi. Lalu merekrut bibit baru
lagi, mengembangkannya lagi, dan menjualnya lagi. Dengan demikian, maka siklus
itu akan terus berputar sehingga ketermpilan kita sendiri dalam mengembangkan
orang lain pun akan menjadi semakin terasah. Faktanya, mengembangkan
atau mempromosikan orang dari dalam itu jauh lebih banyak positifnya daripada
merekrut orang dari luar. Dengan membiasakan diri mengikuti siklus pengembangan
anak buah itu, maka kita pun bisa menjadi pemimpin yang lebih handal.
 
Sebagai
atasan, sesungguhnya kitalah yang menjadi pelayan bagi anak buah. Bukan
sebaliknya. Persis seperti nasihat Rasulullah yang mengingatkan para pemimpin
melalui ajaran mulianya bahwa; Salah satu jenis manusia yang dipermudah Allah
di hari pernghisaban adalah pemimpin yang adil dalam melayani orang-orang yang
dipimpinnya. Kita tahu bahwa anak buah kita mempunyai aspirasi untuk karirnya
yang lebih tinggi. Jika kita bersedia melayani mereka dengan setulus hati untuk
menggapai cita-cita itu, maka kita akan dimudahkan Allah saat kelak mendapat
giliran untuk menghadap kepadaNya. Insya Allah.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA – Dadang
Kadarusman – 16 Juli 2012
Author, Trainer, &
Public Speaker of Natural Intelligence

Tidak ada komentar: