Sabtu, 21 Juli 2012

[daarut-tauhiid] Cerita Rukyat Cakung (Hikayat Anak Bulan di Kaki Langit bagian 1)

Cerita Rukyat Cakung (Hikayat Anak Bulan di Kaki Langit bagian 1)

Marufin Sudibyo


Telah dilaporkan bahwa empat orang anggota tim Cakung (Jakarta Timur)
berhasil melihat hilaal dengan ketinggian 3,5 derajat sejak pukul
17:53 WIB hingga 5 menit kemudian tanpa terputus. Pelapor telah
disumpah, namun hasil laporannya ternyata tidak diterima dalam sidang
isbat. Mengapa?

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kami kepada kepada
rekan-rekan tim Cakung, laporan tersebut memang meragukan. Ada
beberapa alasan mendasarinya. Pertama, perhitungan ijtima' (konjungsi
Bulan-Matahari). Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan)
Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak
mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab
berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima' misalnya, jika sistem
hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan
akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima' terjadi
pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu.

Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian
Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925
silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima' hisab
Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari,
karena puncak Gerhana Matahari selalu bertepatan dengan ijtima'. Jika
hasil perhitungan berbeda dengan kejadian Gerhana Matahari, maka
dilakukan koreksi dengan mengacu Gerhana Matahari. Namun, sependek
pengetahuan kami, tim Cakung tidak pernah membandingkan hasil
perhitungannya dengan Gerhana Matahari, katakanlah seperti peristiwa
Gerhana Matahari 2009 dan 2010. Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat
Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk
meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab
berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab
Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.

Kedua, terminologi "tinggi hilaal" dalam hisab Mansyuriyah berbeda
dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. "Tinggi
hilaal" menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak
sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas
Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012
ini), akibatnya "tinggi hilaal" menurut hisab Mansyuriyah menjadi
miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam
ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegaklurus terhadap horizon.
Silap antara tegaklurus dan miring menghasilkan kekeliruan elementer.

Ketiga, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2
derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku
untuk sistem hisab kontemporer. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria
imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat
berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8
jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat
(tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika
dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi
hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25
derajat. Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur
telah menggarisbawahi kalau "tinggi hilaal" yang bisa diterima sebagai
parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Sehingga jika
perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya
menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada
kesilapan elementer.

Keempat, kesaksian terlihatnya hilaal amat meragukan, sebab Cakung
bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian
amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya
pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang
bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan
sebagainya. Seorang perukyat yang berkualifikasi harus mengeliminasi
terlebih dahulu kemungkinan-kemungkinan sumber cahaya pengganggu di
kaki langit barat, baik berupa cahaya latar depan (seperti lampu
menara, lampu pesawat, lampu kapal, pantulan cahaya Matahari di awan
tertentu, balon udara dlsb) maupun cahaya latar belakang (Venus, Mars,
Jupiter dan bintang Sirius). Jadi tidak sekedar asal ada titik cahaya
di kaki langit barat pada arah yang diprediksi lantas diproklamirkan
sebagai hilaal.

Dan yang kelima, kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat
yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Kita bisa memperhitungkan
bahwa di Cakung, baik tanpa ataupun dengan menggunakan alat bantu
optik sekalipun, terjadi situasi dimana intensitas cahaya Bulan yang
diterima di permukaan Bumi (setelah melintasi atmosfer) telah lebih
besar dibanding intensitas cahaya senja (yang adalah cahaya Matahari
yang dibiaskan dan dihamburkan di atmosfer). Namun nilai kontras
Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi
terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata.
Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan
tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga
masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga
mata takkan bisa membedakannya.

Kasus Cakung mendemonstrasikan betapa kita membutuhkan hisab
(perhitungan) yang berkualitas dan diimbangi juga dengan rukyat
(observasi) yang berkualitas pula. Rukyat yang tidak berkualitas sulit
untuk ditakar kesahihannya karena faktor-faktor di atas yang saling
berkait berkelindan. Kasus Cakung sebenarnya bukan hal yang baru bagi
Indonesia dan Dunia Islam pada umumnya. Data dari Saudi Arabia
berkata, selama periode 1961-1964 ada 87 % hasil rukyat yang
dipertanyakan kesahihannya. Data dari Yordania lebih mengejutkan lagi,
karena selama periode 1957-2004 ada 92 % hasil rukyat yang sulit
dipercaya kesahihannya. Demikian pula dari Indonesia selama periode
1962-1997, terdapat 70 % hasil rukyat yang dikategorikan tidak sahih.
Hal-hal semacam ini tentu tidak perlu terjadi lagi di masa depan.

Keterangan gambar = Atas : posisi Bulan dan Matahari untuk Cakung pada
Kamis 19 Juli 2012 saat terbenam berdasarkan hisab sistem kontemporer
yang berakurasi tinggi. Nampak Bulan masih berada di bawah batas garis
tinggi 2 derajat. Garis tebal penghubung Bulan dan Matahari adalah
elongasi. Bawah kiri : hasil perhitungan intensitas cahaya Bulan yang
diterima di permukaan Bumi untuk lokasi Cakung dan intensitas cahaya
senja, dinyatakan dalam kurva semi-logaritmik. Nampak sejak Matahari
terbenam hingga saat Bulan terbenam, intensitas cahaya Bulan sudah
lebih besar dibanding cahaya senja. Bawah kanan : nilai kontras Bulan
(rasio intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi
terhadap cahaya senja) dibandingkan dengan ambang batas kontras mata
(Cth) sebagai fungsi batas resolusi mata manusia. Nampak sejak
Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, kontras Bulan tidak pernah
melebihi nilai ambang batas kontras mata.


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: