Sabtu, 28 Juli 2012

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3629

1 New Message

Digest #3629

Message

Fri Jul 27, 2012 2:37 am (PDT) . Posted by:

"Yan Widjaja"



JAKARTA, suaramerdeka.com
-
Bagi pengamat film dan penggubah cerita silat Yan Widjaya (60), kepergian Raden
Ahmad Kosasih meninggalkan kedukaan yang mendalam. Betapa tidak, menurut dia,
bapak komik Indonesia kelahiran Bogor, 4 April 1919 itu tidak tergantikan. Yan
yang telah menggubah cerita silat seperti Kaki
Tiga Menjangan trilogi 9 jilid, Makam
Bunga Mawar dwilogi, Golok
Maut dan menulis antologi
karya Chin Yung mengaku mengasup karya R.A Kosasih, "Sejak
kelas tiga SD," katanya.

Yan
masih ingat benar ketika karya perdana R.A Kosasih, yang meninggal Selasa
(24/7) dini hari di kediamannya di Jl. Cempaka Putih III, No.2, Rempoa,
Ciputat, Tangsel dalam usia 93, yang berjudul Sri Asih diterbitkan oleh penerbit Melodie,
Bandung, "Saya langsung membacanya hingga habis," kenangnya.

Bahkan
ketika komik silat itu diangkat ke layar lebar oleh sutradara film, Turino
Djunaedi, dengan pemeran utama Mimi Mariani pada tahun '54, "Saya juga
menonton versi filmnya." Yan masih ingat benar, bagaimana tokoh perempuan
dalam lakon itu hanya mengucapkan mantra, "Dewi Asih!", maka seketika
dia malihrupa menjadi tokoh superhero perempuan layaknya Wonder Woman bernama Sri
Asih.

Tercatat
setelah suksesnya komik Sri Asih,
lakon kepahlawanan perempuan lainnya lahir dari kejenialan R.A Kosasih seperti Putri Bintang, Garuda Putih, Cempaka Gadis
Rimba, dan Siti Gahara, misalnya.
Setelah itu, sederet kisah tokoh Indonesia yang diceritakan dalam bahasa komik yang
merakyat seperti Damar Wulan, Lutung
Kasarung, Sangkuriang, Munding Laya di Kusuma, Panji Semirang, dan masih
banyak lagi, lahir kemudian.

Apa
yang istimewa dan luar biasa dari R.A Kosasih, lulusan Hollandsch Inlands Shool
(HIS) Pasundan itu? Sehingga dia menjadi tonggak komik Indonesia? Masih menurut
Yan, karena Kosasih dia nilai menjadi acuan utama perjalanan komik di
Indonesia. Dibandingkan dengan sejumlah penerusnya seperti  Oerip, S. Ardisoma,
Teguh Santosa hingga Jan Mintaraga, nama R.A Kosasih masih terlalu tinggi untuk
dijangkau mereka semua. Bahkan dalam banyak kasus R.A Kosasih disejajarkannya
dengan nama Jerry Seigel atau Joe Shuster. Dua sekawan yang berada dibalik
sukses cerita Superman.

Bahkan
sebelum tahun 50-an, dari data Yan, maestro komik yang telah dimakamkan di TPU
Tanah Kusir blok AA2 blad 141, Jaksel itu, telah melahirkan sejumlah komik
seperti Burisrawa Merindukan
Bulan, yang masih diterbitkan penerbit Melodie. Jauh-jauh hari
sebelum dia mencatatkan sukses dengan karya monumentalnya seperi Ramayana dan Mahabharata.

Sepengakuan
Yan yang mendapatkan cerita langsung dari R.A Kosasih pada perayaan ultah ke-92
di restoran Sate House Senayan di Pakubuwono, Jaksel, Mahabharata ditulis dalam
waktu tiga tahun, dan  edisi pertamanya
terdiri dari 40 jilid, "Jadi Mahabharata diterbitkan sebulan sekali,"
kata Yan yang sempat didapuk menjadi MC dalam ultah mendiang R.A Kosasih yang
disponsori pemilik restoran Sate House Senayan, karena pemiliknya sangat
mengidolakan semua karya R.A Kosasih.

Bukan
semata gambar komik wayangnya, yang membuat R.A Kosasih menurut Yan sangat luar
biasa. Ceritanya pun mengalir dengan lancar, linear dan mampu membumikan
persoalan-persoalan mendasar tentang kemanusian dengan bahasa Indonesia yang
sangat indah dan sederhana. "Bahkan beliulah yang kali pertama menemukan
format satu halaman empat kotak, dalam setiap halaman komiknya, setelah itu
baru ada pengembangan lain," katanya. Oleh karenanya, banyak penulis komik
di bawah R.A Kosasih yang terpengaruh gaya menggambar juga menceritakan tema
senada, dengan berbagai pengayaan.

 

Kejelian

Contoh konkritnya adalah R.A Kosasih mampu dengan lihai menghadirkan gambar
yang  aneka rupa, tapi penuh detil tentang mahkota yang dimiliki Nakula,
Sadewa, Bima, Samiaji hingga Bhatara Kresna dan berbagai lakon pewayangan
lainnya. Detil dalam menggambar yang kemudian banyak dijadikan acuan penulis
komik Indonesia itulah, yang menurut dia, "Sulit digantikan!"

Bukan
semata ketelatenan dalam menggambar yang menentukan hasil sebuah gambar komik,
tapi kesabaran dan kejelian bersiteguh pada sifat para lakon yang diceritakan
itulah, yang sulit ditemukan oleh komikus di belakang R.A Kosasih.

Di
luar sikap R.A Kosasih yang rendah hati dan nrimo, "Sejatinya nafas
penciptaannya panjang," katanya. Nafas penciptaan yang panjang itulah yang
jarang dimiliki komikus muda Indonesia saat ini. Karena menurut dia, banyak
komikus muda Indonesia muda saat ini yang menyeberang ke aliran Manga, atau
komik Jepang. Sebuah wilayah yang menurut dia berjarak dengan pembaca komik era
awal seperti dirinya. Yang mendambakan cerita yang sangat Indonesia dengan
warna yang Indonesia sekali, yang sampai saat ini menurut dia, dicitrakan
dengan komik wayang dan komik karya R. A Kosasih.

Bagaimana
Arswendo Atmowiloto (63) menimbang R.A Kosasih? Menurut penulis karya laris Senopati Pamungkas (1986/2003)
itu, secara riwayat jika kita berbicara tentang komik Indonesia teristimewa
komik wayang, maka nama R.A Kosasih menjadi sangat penting. Meski pada masa Sri Asih keluar dan bebarengan
dengan sejumlah komik lainnya seperti Nina,
Kapten Kilat, dan Garuda Putih, sejumlah komik
itu dinilai kurang mendidik. "Karena dinilai ngayal dan
macem-macemlah," ujar Arswendo kepada suaramerdeka.com,
Rabu (25/7).

Dia
menambahkan, pada era itu, atau 1953 hingga 1955, sebelum komik wayang keluar
pada tahun '56, yang melakukan pelarangan atas peredaran sejumlah komik itu
adalah Kepolisian Daerah setempat. Alasan pelarangannya pun lucu-lucu. Bahkan
sejujurnya menurut Wendo - panggilan Arswendo - jika komik Sri Asih keluar sekarang, pasti
dikenai pasal pornografi, "La wong lakonnya pake kemben dan keliatan
seksi," katanya.

Untung
saja, karya Sri Asih,
waktu itu mampu mensejajari sejumlah nama mentereng lainnya seperti karya John
Lo. Meski secara gambar menurut Wendo, gambar "Sri Asih" malah masih
kalah dengan gambar milik S. Ardisoma, misalnya. Tapi, karena R.A Kosasih
mengangkat cerita yang sangat Indonesia, dan mengindonesiakan cerita wayang
India, membuat dirinya menjadi jembatan yang sangat baik bagi kaum non Jawa.
Sehingga orang non-Jawa menjadi tahu dan paham tentang kisah wayang itu.

Sehingga
keberadaan komik wayang, menurut Wendo, lebih mengakar dan sangat bercita rasa
Indonesia, karena banyak mengangkat legenda-legenda yang terdapat di Indonesia.
Sebelum akhirnya pada tahun '67 muncul juga komik perjuangan, baru menyusul
kemudian di tahun yang sama komik percintaannya Yan Mintaraga.

 

Kelucuan yang orisinil

Lalu apa yang membuat R.A
Kosasih sedemikian mendobraknya dalam dunia perkomikan Indonesia? Menurut
Wendo, meski sekali lagi, secara gambar biasa, "Tapi kontinuitas R.A
Kosasih dalam berkarya sangat tinggi dan intens sekali." Selain itu, imbuh
dia, "Orientasi nasionalismenya sangat menonjol."

Contohnya
via karya monumentalnya Sri Asih,
yang menurut penerbitnya waktu itu, terjual hingga 30 ribu eksemplar untuk satu
jilid. Meski isyu ceritanya, nyaris sama dengan Superman, yaitu lakonnya
sama-sama bisa terbang, tapi dalam beberapa hal, "Sri Asih" sangat
orisinal.

Wendo
menyajikan fakta, di Sri Asih, tokoh lakonnya dalam beberapa cerita mampu
meninggi tubuhnya mengungguli tinggi badan tokoh lain, tapi mempunyai mantra
lucu, "Mosok ngomongnya 'Dewi Sri', kemudian malihnya jadi Sri Asih
hiihihihiih". Tapi justru kelucuan itu menimbulkan orisinalitas. Bahkan
sang lakon juga mampu melakukan telepati kepada siapa saja yang diamuinya,
serta mampu berubah wujud menjadi 1000, "Bahkan suatu saat dia bertemu
Superman, berkelahi dengannya, dan Superman kalah, tapi yang dikalahkan
ternyata Superman hantu!" Bukan itu saja, Sri Asih juga mampu bertelepati
dengan kawannya di New York hingga Surabaya.

Suatu
saat, atau sekitar 33 tahun lalu, ketika Wendo berkesempatan mendatangi R.A
Kosasih yang waktu itu masih tinggal di Bogor, dan bertujuan menulis tentang
sejumlah nama tokoh komik Indonesia, dan menanyakan sejumlah kesaktian Sri Asih,
seperti mampu bertiwikromo, maka dengan rendah hati R.A Kosasih menjawab,
"Saya belum tahu jawabannya, nanti kalau sudah tahu jawabannya dikasih
tahu ya," katanya.

Demikianlah
R.A Kosasih, di mata Wendo adalah pribadi yang lembah manah, santun, malu-malu
dan paling tidak suka mendiskripsikan pendapatnya. Hal yang paling menyedihkan
Wendo hingga saat ini adalah, sejak penyelenggaraan Kongres Kebudayaan V (KK-V)
di Bukittinggi, Sumbar, dari 20-22 Oktober 2003, dirinya bersama beberapa
seniman dan budayawan lainnya telah mengajukan usulan ke pemerintah untuk
memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh pelopor kesenian, termasuk pelopor
komik seperti R.A Kosasih, "Tapi hingga kini tidak ada tanggapan sama
sekali dari pemerintah," katanya masygul. Meski saat itu, Wendo telah
membuat resolusi.

Padahal,
komik adalah hasil kebudayaan yang paling demokratis. Dan di Prancis sekalipun
ada badan Negara yang khusus mengurusi komik dan pelakunya. "Nanti kalau
komik R.A Kosasih diambil Malaysia, baru ribut semua," katanya bercanda.

Satu
hal yang seharusnya bisa dipetik dari kepergian maestro sekelas R.A Kosasih
adalah kesinambungannya membawa cerita komik ke media lain, atau layar lebar.
Sebuah kewajaran yang terjadi di AS dan Eropa, di mana cerita Superman dan
Batman juga Tin Tin di Eropa, yang mampu mewujud ke dunia layar lebar, dan
sukses besar, "Tapi sayangnya di Indonesia yang sukses sampai saat ini
masih Si Buta dari Gua Hantu.

Dan
yang paling miris, ketika Wendo turut mengantar R.A Kosasih ke peristirahatan
terakhirnya, "Tidak ada sambutan, juga pembacaan riwayat jika yang diantar
ke peristirahatan terakhir adalah orang sepenting R.A Kosasih". Apalagi
sekadar belasungkawa dari negara, "Pemerintahnya bego," ujar Wendo. (Benny
Benke/CN15)

 

Tidak ada komentar: