Minggu, 15 Juli 2012

[daarut-tauhiid] Untold History of Pangeran Diponegoro (3)

 

















oleh Rizki Ridyasmara

Untold History of Pangeran Diponegoro (3)

Redaksi |
Jumat, 08 Juni 2012 - 05:12:35 WIB
| dibaca: 6819 pembaca






Pangeran DiponegoroEramuslim.com | Media Islam Rujukan, "Habisi !!!" teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar.
 
          Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan
pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia
tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan
pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada di
dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan
anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi
angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang sanggup
menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.           
 
          Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang
menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam
ribuan ulama, santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya
mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal
melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa
ribuan orang yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari
muka bumi. Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa
berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.
Dalam
waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah
dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi
lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling
alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu
masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan.
Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa
kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi
bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!Tiba-tiba
terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan
regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di
dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat
peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian
prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar  satu
lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan
mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya
gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala
dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit
yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang
semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali Opak.
Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta maut,
hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.
Tanpa
diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah
Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh
mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang
sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan
kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.
Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian
yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya
dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya
basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba
Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke
dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja
menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa
bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan
nyawanya.
Bocah
kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh
sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam
berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan
gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan
kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke
dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah
dipenuhi mayat.
Walau
pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya
disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian
yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang
mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut kemana air membawanya.
Pekatnya
malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih
sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian
malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung
Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun.
Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak,
beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered. Entah
sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman,
matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati
dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir
kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di beberapa
tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut.
Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh
tubuhnya sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu
berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia tergeletak di atas
rerumputan, satu meter dari air kali. 
Entah
kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan
rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.
Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu
nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih.
Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu
akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas
rerumputan, dinaungi pohon beringin besar yang ada didekatnya.
Tak
lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala
ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati.
Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki
tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang
sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya
dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke
arah barat... []
http://www.eramuslim.com/berita-untold-history-of-pangeran-diponegoro-3.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: