Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu
yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu,
siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang
tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.
Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau
pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau
bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap
manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang
menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam
secara global, ataupun hidayah *tafshil* (yang rinci), berupa menjalankan
berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.
* *
*Adat, Hambatan Paling Berat*
Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta
disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang
pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam
tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.
Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya,
meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat
bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi *shalallahu alaihi wassalam*, selain beban
untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi
Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, "Apakah engkau hendak
meninggalkan agama Abdul Muthallib?" Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam
keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh alBaihaqi, sebelum
meninggal, dia mengulangulang sya'irnya,
*Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia*
*Kalau saja bukan karena agama nenek moyang yang dicela*
*Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela*
Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan
untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini
dikisahkan dalam firman-Nya,
"Apabila dikatakan kepada mereka:"Marilah mengikuti apa yang diturunkan
Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab:"Cukuplah untuk kami apa yang
kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". (QS. Al Maidah:104)
Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan
kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, "cukup bagi kami
mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami."
Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier.
Seakan al-Qur'an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat
populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur'an maupun
as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang
mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan
kebiasaan yang telah berjalan.
*"Jangan merubah adat ... ! *
*Ini sudah tradisi para leluhur .. ! *
*Biasanya memang begini ... !" *
dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat
diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan
orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia
rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam
sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih
mereka utamakan.
Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang temyata
bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek
moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era* *jahiliyah
Arab*.*
* *
*Kesesatan yang Dilestarikan*
Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya
sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu
'wajib' berupa hewan sembelihan, maupun yang berupa kemenyan, buah-buahan
dan 'tetek bengek' lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada
sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang
diyakini keberadaannya.
Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti
peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau
jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti
mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang
mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit
modifikasi dan dikemas dengan simbolsimbol Islam.
Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji
bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, "*itu
sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu*."
Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut
animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat
jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini
terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk
selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.
Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam
melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi *shalallahu alaihi wassalam*,
"Tidak boleh ada 'aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam." (HR. Abu Dawud)
Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka
menyembelih sapi atau kambing di kuburan.
Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan
istilah bedah bumi ('meminta ijin' untuk menggali liang kuburan), atau
sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.
Padahal secara tegas Nabi *shalallahu alaihi wassalam* bersabda,
"Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah." (HR. Muslim)
Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang
musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang
sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat).Maka
beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah, "Dan sebagian besar
dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (QS.
Yusuf: 106)
Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah,
di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang
dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat.
Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk
membersihkan dan menghilangkannya.
Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun
temurun.
* *
*Meninggalkan Adat Demi Syariat*
Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa
adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi
*shalallahu
alaihi wassalam* oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk
meninggalkan adat nenek moyang.
Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pemah bertanya kepada Abu
Sufyan saat masih musyrik, "Apa yang Muhammad *shalallahu alaihi
wassalam*serukan atas kalian?" Abu Sufyan menjawab,
"Dia (Muhammad mengatakan, "Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah
saia, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian
meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat,
berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Menyelisihi kebiasaan nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga
membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa
siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para
pengikutnya di dunia.
Di dalam hadits Bukhari, Nabi *shalallahu alaihi wassalam* juga bersabda,
"Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid)
Ibrahim Para sahabat bertanya, "Siapakah dia wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab, "Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka'ab. Aku melihatnya dia
menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu
oleh bau busuknya." (HR. Bukhari)
Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang
tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim Apakah kita
tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru
bin Luhay?
Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi'in, Syuraih al-Qadhi ketika
beliau ditanya, "Dari kaum manakah Anda?" Beliau menjawab, "Dari kaum yang
Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah."
Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, ketimbang membanggakan
sukunya.
Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau
hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu
menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam
keadaan hina. Simaklah kabar Nabi *shalallahu alaihi wassalam*, tentang
mereka,
Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya;
sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka
akan menjadi lebih hina dari ji'lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran
dengan hidungnya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan
barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu meningalkannya,
demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar Abdillah)
Sumber : *ar-risalah* No. 112/Vol. X/ 04 Syawal – Dzulqa'dah 1431 H
[Non-text portions of this message have been removed]
------------------------------------
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar