Derita Bocah di Jalur Gaza
Korban serangan udara, laut, dan darat ke Jalur Gaza terus bertambah. Gempuran selama hampir dua pekan di Jalur Gaza jelas menyisakan kepedihan mendalam. Selain itu, juga ketakutan, kecemasan, dan trauma pada warga setempat, terutama anak-anak. "Gaza ini wilayah kecil. Jadi, pada saat bom-bom Israel dijatuhkan, kami merasa bom itu seperti jatuh di rumah kami," kata Shawa, warga setempat yang memiliki tiga anak.
"Aku takut sekali..., seolah-olah kematian terus membayangiku,
Jangankan siang hari, malam di sejumlah kawasan di Gaza pun tak membuat nyaman warga setempat. Pasukan Israel kerap melancarkan serangan pada malam hari. "Serangan pada malam hari membuat suasana di sini seperti di neraka," ujar Sarah Radi, seorang guru berusia 26 tahun. Setiap malam, warga dikejutkan oleh setidaknya 200 ledakan bom tiap jam selama serangan.
Apa yang tengah berlangsung di Gaza, menurut Sarah, adalah pemusnahan warga sipil. "Mereka bilang mau menghancurkan Hamas. Kenyataannya, mereka mau menghabisi warga dan anak-anak Palestina. Apa yang telah dilakukan perempuan dan anak-anak sehingga pasukan Israel memusnahkan rumah mereka?" tanya dia.
Faktanya memang seperti diungkapkan Shawa. Jalur Gaza yang terentang sepanjang sekitar 40 kilometer dan lebar sekitar 10 kilometer itu dihuni kurang lebih 1,5 juta warga. Tingkat kepadatan penduduknya sangat tinggi, mencapai hampir 4.000 orang per kilometer persegi. Hampir separuh penduduknya adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Para ahli kejiwaan pun mengarahkan perhatian mereka pada anak-anak dan remaja ini. Menurut perkiraan Samir Zaqut, serbuan mutakhir Israel ke Gaza itu akan jadi bayang-bayang mengerikan dan tak terlupakan bagi anak-anak. "Jelas, serangan bom dan peluru kendali Israel itu bisa menyebabkan tekanan pasca-traumatis pada mereka, seperti depresi, insomnia, bahkan kemungkinan besar skizofrenia,
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang khusus anak-anak, Unicef, menegaskan bahwa Gaza sekarang menjadi tempat paling berbahaya bagi anak-anak. Sebanyak 53% anak-anak tidak percaya lagi bahwa orangtua mereka bisa melindungi mereka dari kekerasan itu. Malah 93% merasa tidak aman di mana pun mereka berada.
Perang memang membuat anak-anak trauma. Hidup dalam ketakutan, seakan bom berikutnya mengenai rumah mereka. Banyak sekali di antara mereka kini enggan makan. Mereka kehilangan nafsu bermain, jarang bicara, dan memeluk erat orangtua mereka setiap saat. "Mereka dibayangi ketakutan, terutama pada malam hari karena gelap tanpa penerangan listrik," ujar Sajy Elmaghinni, petugas Unicef di Gaza, seperti dikutip harian Hurriyet.
Belum lagi bila dihitung dampak agresi Israel itu terhadap anak-anak yang mengalami cacat tubuh. Hingga saat ini, belum ada catatan resmi tentang jumlah anak yang anggota tubuhnya harus diamputasi. Di Rumah Sakit Shifa di kota Gaza, terkabar, setiap dokter rata-rata mengamputasi lima hingga 10 pasien setiap hari. "Saya tidak tahu senjata macam apa yang digunakan pasukan Israel. Banyak sekali operasi amputasi dilakukan di sini," kata Ziad Abdul Jawad.
Erwin Y. Salim
[Laporan Utama, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 8 Januari 2009]
http://gatra.
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar