Sabtu, 31 Januari 2009

[daarut-tauhiid] Sedihnya Menjadi Perokok PASIF


Sedihnya Menjadi Perokok PASIF
Oleh Kompas Cyber Media
BENDA kecil berbahan utama tembakau ini menyenangkan bagi sebagian orang,
tetapi menyebalkan bagi sebagian lainnya. Benda yang disebut rokok itu bisa
membuat orang yang mengisapnya merasa tenang dan percaya diri-begitulah
pengakuan sebagian perokok-namun sebaliknya bagi mereka yang terpaksa
mengisap asapnya, meskipun bukan perokok.
Kelompok terakhir itu disebut sebagai perokok pasif. Artinya, mereka tidak
merokok tetapi harus turut merasakan akibat buruk dari rokok yang dibakar.
Para perokok pasif ini bisa dikatakan tak punya pilihan, selain harus turut
"menelan" asap rokok yang dinikmati para perokok.
Mimi (40-an) seorang karyawan swasta di bilangan Jakarta Pusat mengatakan,
dia berhasil mengusahakan agar rumahnya bebas dari rokok, namun di kantor
ia merasa tak berdaya karena sebagian teman kerjanya yang merokok malah
marah bila ditegur.
Apalagi bagi Anda yang kerap menggunakan jasa angkutan umum, asap rokok
nyaris tak terhindarkan karena justru orang yang mengeluh pada asap rokok
dianggap "aneh". Sebagian penumpang maupun pengemudinya dengan tenang akan
merokok, betapa pun mata Anda sudah melotot, bahkan memberi teguran lisan
sekalipun. Mereka akan tetap merokok.
Padahal, menurut Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga
Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), asap rokok yang
terpaksa diisap perokok pasif kandungan bahan kimianya lebih tinggi
dibandingkan dengan asap rokok utama. Hal ini disebabkan tembakau terbakar
pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang diisap. Ini membuat
pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan banyak bahan kimia.
"Asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia, 43 di antaranya
jelas-jelas bersifat karsinogen. Pengaruh asap rokok pada perokok pasif itu
tiga kali lebih buruk daripada debu batu bara," kata Tjandra Yoga Aditama
seperti ditulisnya pada buletin Rokok & Masalahnya.
WHO, badan kesehatan PBB, katanya, bahkan memperkirakan hampir sekitar 700
juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini terpaksa
mengisap udara yang terpolusi asap rokok. Ironisnya, hal itu justru terjadi
lebih banyak di dalam rumah mereka sendiri.
Di Indonesia, perokok relatif bebas mengisap rokok di mana saja. Kawasan
bebas rokok di negeri ini masih amat minim, itu pun sangat mungkin
dilanggar karena sanksinya bisa dikatakan tidak ada. Padahal, kalau
seseorang merokok, itu berarti dia hanya mengisap asap rokoknya sekitar 15
persen saja, sementara yang 85 persen lainnya dilepaskannya untuk diisap
para perokok pasif.
"Ada beberapa penyakit yang bisa timbul �hanya� karena mereka
menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan
pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru," ujar Tjandra
yang juga Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.

SEBAGIAN perokok tak bisa memahami-apalagi diharapkan untuk
bertoleransi-pada ketidaknyamanan perokok pasif yang terpaksa mengisap asap
rokok. Perokok pasif harus mencium bau bakaran tembakau sampai merasa sesak
napas. Bahkan, pada sebagian perokok pasif yang sensitif akan langsung
terbatuk-batuk saat itu juga.
Menurut Tjandra Yoga Aditama, penelitian yang pernah dilakukan di Amerika
Serikat (AS) menunjukkan kematian akibat asap rokok pada perokok pasif
lebih tinggi dibandingkan dengan kematian sebab polusi udara lainnya.
Risiko terjadinya kanker paru di kalangan perokok pasif yang tinggal
serumah atau sekantor dengan perokok lebih tinggi daripada mereka yang
tinggal bersama non-perokok.
"Kemungkinan terjadinya kanker paru pada perempuan yang suaminya perokok
sekitar 20 sampai 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
pasangannya tidak merokok," dia menambahkan.
Di China bahkan disebutkan bahwa penyakit jantung koroner pada perempuan
yang suaminya perokok sekitar 24 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
yang suaminya tidak merokok. Angka ini meningkat sampai 85 persen bila
perempuan itu juga menjadi perokok pasif di tempat kerjanya.
Wawan (44, bukan nama sebenarnya), perokok sejak masih duduk di bangku SMA,
mengaku sangat mengerti bahaya merokok bagi istri dan anaknya. Dia pun
mengaku sudah berusaha keras untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu,
namun setiap kali mencoba sesering itu pula dia merasa gagal (baca pula:
Berhenti Merokok dengan Kekuatan Otak, halaman 34).
"Setiap kali istri saya melotot, saya merasa tidak enak. Saya berada di
posisi yang serba tidak menyenangkan. Saya tahu keberatan mereka karena
memang saya salah. Namun, saya tidak bisa melepaskan diri dari rokok. Jadi,
sebenarnya saya merasa dipojokkan dari dua sisi, rasa bersalah diri sendiri
dan kemarahan istri saya," kata Wawan berusaha mengungkapkan apa yang
dirasakannya sebagai perokok.
Dina (34, bukan nama sebenarnya), karyawan di sebuah perusahaan minyak di
kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, yang merokok sejak SMA, malah merasa
bersalah dan telah menipu ketiga anaknya sendiri. Dia tak pernah merokok di
depan anak-anaknya hingga mereka tak tahu bahwa ibu kandungnya adalah
perokok.
"Pernah anak perempuan saya melihat adegan perempuan merokok di sinetron.
Dia bilang, ih kok perempuan merokok sih, itu kan tidak baik, tidak sehat.
Langsung saya bilang, makanya kamu jangan merokok. Memang jelek kalau
perempuan itu merokok," tutur Dina yang biasa menghabiskan satu bungkus
rokok untuk dua hari itu.
KETERTARIKAN awal orang untuk merokok umumnya muncul saat usia remaja,
15-19 tahun atau sewaktu duduk di bangku SMA. Sebagian perokok tahu bahwa
merokok tidak baik untuk kesehatan dan lingkungannya, namun mereka
memerlukan rokok dengan berbagai alasan, dari soal diterima oleh lingkungan
pergaulannya sampai merasa tidak "gagah dan modern" tanpa rokok.
Dina bahkan merokok karena sahabatnya adalah perokok. Setiap kali dia
melihat sahabatnya merokok, maka dia pun ingin mencobanya. "Kayaknya asyik
sekali melihat dia merokok dan mengisapnya dalam-dalam. Semula saya mencoba
menasihati dia supaya berhenti merokok. Eh enggak tahunya malah saya yang
tergoda untuk merokok," ceritanya.
Dia tahu merokok tidak baik, oleh karena itulah Dina tidak merokok di depan
orangtuanya. Dia hanya merokok di kamar, dan segera membuka jendela dan
menghalau bau asap rokok agar tak diketahui orang lain di rumahnya.
"Waktu saya kuliah, ibu saya sudah memperingatkan bahaya rokok buat
perempuan, apalagi kalau hamil. Saya masih ingat betul peringatannya itu,"
kata Dina yang berhenti merokok setiap kali hamil dan baru mulai merokok
lagi bila anaknya sudah tak lagi menyusui.
Mengapa kembali merokok setelah tak lagi menyusui bayi? Dina mengakui hal
itu terutama sebab tak cukup kuat niatnya untuk berhenti.
"Kalau sedang hamil kan jelas, saya tidak ingin anak saya kenapa-kenapa
karena saya merokok. Ada alasan nyata di depan mata. Jadi, ada keinginan
kuat berhenti merokok demi kesehatan bayi saya. Tetapi begitu anak selesai
menyusui, rasanya bau rokok itu mengundang lagi dan saya tak punya alasan
kuat untuk menolaknya," ujar perempuan yang suaminya juga perokok ini.
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, sekitar 75 persen perokok yang mencoba
berhenti ternyata gagal mewujudkan keinginannya itu. "Mereka biasanya mampu
berhenti merokok untuk beberapa waktu, namun toh akhirnya kembali lagi
menjadi perokok," cetusnya.
Dalam buletin Rokok & Masalahnya disebutkan, perokok yang berhenti merokok
selama dua jam, maka nikotin mulai meninggalkan tubuhnya. Ketika dia
berhenti merokok selama enam jam, itu berarti menurunkan denyut nadi dan
tekanan darah yang berangsur menuju pada keadaan ekuilibrium. Ketika orang
itu berhenti merokok selama 12 jam, maka CO (karbon monoksida) mulai
meninggalkan tubuhnya.
"Bila dia berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk
mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12
minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga
sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang,"
kata Tjandra.
Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena
penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok
kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. "Angka-angka
itu hanya gambaran umum, karena hal ini juga amat tergantung pada lama dan
banyaknya rokok yang diisap masing-masing orang," lanjutnya.
KEBANYAKAN orang merokok karena pengaruh lingkungan, entah teman atau
keluarganya sendiri. Dina merokok karena sahabatnya adalah perokok, sedang
Wawan mulai merokok karena hampir semua pria di lingkungan tempat
tinggalnya adalah perokok.
Meski perokok, namun mereka umumnya tak ingin anak atau kerabatnya juga
menjadi perokok. Seorang ayah berusia 60-an tahun yang lima tahun terakhir
ini sudah berhenti merokok, merasa menyesal melihat ketiga anak lelakinya
kini menjadi perokok seperti dirinya dulu. "Saya tidak bisa melarang
mereka, karena mereka tahu saya dulu juga merokok," ucapnya.
Inilah mungkin yang dikatakan sebagai sesal kemudian tidak berguna. Dina
pun tak ingin anak-anaknya tahu dia merokok, sebab dia tak ingin anaknya
meniru perbuatan buruknya itu. Agar anak-anak tak tahu kalau ibunya
perokok, dia membatasi diri hanya merokok di kamar mandi.
"Di kamar mandi saya ada wewangian untuk menetralisir bau asap rokok. Jadi,
setelah merokok, wewangian itu langsung saya pasang. Saya juga langsung
cuci tangan bersih-bersih, sikat gigi dan pakai obat kumur. Memang lebih
repot, tetapi harus saya lakukan agar anak-anak tak tercemar rokok," kata
Dina.
Sementara Wawan berusaha menjauhkan keluarganya dari asap rokok dengan
tidak merokok di dalam rumah. Dia juga mengatakan kepada mereka agar tidak
merokok seperti dia, karena hal itu sama sekali tidak menguntungkan. "Oleh
karena saya tidak bisa berhenti merokok, ya saya bilang saja ke mereka
jangan mengikuti hal buruk dari orangtuamu," ujarnya.
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, kemungkinan menjadi perokok pada
anak-anak akan lebih tinggi pada orangtua yang satu atau keduanya perokok.
"Di Amerika, remaja perokok lima kali lebih banyak pada mereka yang
orangtuanya perokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak merokok."
Rokok & Masalahnya juga menyebutkan beberapa efek rokok terhadap tubuh yang
jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh hingga
mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat
keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih
mudah terkena osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan bentuk sperma,
serta lebih berkemungkinan terkena kanker.
Merokok tak hanya membuat penikmatnya tidak sehat, tetapi juga merugikan
keluarga dan kerabat sendiri. Kalau sudah begini, masihkah rokok pantas
untuk dipertahankan? (ARN/CP)

----------------------------------------------------------
Send big files for free. Simple steps. No registration.
Visit now http://www.nawelny.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Ads on Yahoo!

Learn more now.

Reach customers

searching for you.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

All-Bran

10 Day Challenge

Join the club and

feel the benefits.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: