Minggu, 11 Januari 2009

[daarut-tauhiid] katahati azizah membesarkan 3 anaknya yang tunarungu

Menarik sekali untuk direnungkan. Kisah di bawah ini saya ambil dari halaman katahati blog www.achmadefendi.wordpress.com
 
Hati orangtua mana yang tidak bersedih menghadapi kenyataan anak-anaknya lahir menderita tunarungu. Dibutuhkan mental yang kuat dan perhatian yang khusus untuk mengasuh mereka. Sebagai orangtua saya merasakan pengalaman luar biasa sekali dalam membesarkan ketiga anak-anak saya yang tunarungu, Fathi, Fadhly dan Salwa. Sementara anak kedua saya Fajri yang normal ikut membimbing kakak dan adik-adiknya.
Awalnya kami merasa bahagia sekali ketika kelahiran anak pertama, Ahmad Fathi Khalidi pada 25 Agustus 1998. Fathi, demikian biasa kami sapa pada awalnya lahir dalam kondisi normal dengan pertumbuhan motorik yang baik. Terlihat pada usia 11 bulan Fathi bisa berlari seperti balita pada umumnya. Namun beranjak 1 tahun 2 bulan saya sedikit curiga karena Fathi belum bisa berbicara. Ketika kami memanggilnya dengan cara mengetuk pintu Fathi tidak bereaksi sama sekali.
Diliputi rasa penasaran dan kuatir, saya memberanikan diri untuk membawa Fathi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk melakukan tes telinga. Saya pun menjadi lemas tatkala dokter syaraf dan anak tanpa tendeng aling-aling memberi tahu bahwa Fathi positif tuli. Duh, tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan, apalagi suami saya pada waktu itu tengah menunaikan ibadah haji.
Berhari-hari pekerjaan saya hanya menangis di kamar merenungi nasib. Seolah tahu apa yang saya pikirkan, Fathi membawa kain gendongan langsung mengusap air mata saya dengan senyuman manisnya yang membuat hati saya menjadi luluh. Langsung saya mengucapkan istighfar, memohon ampun kepada Allah. Betapa malunya saya pada diri sendiri, sebagai orang normal seharusnya saya bisa membantu buah hati saya yang tunarungu. Rupanya Allah menegurnya melalui tangan anak saya Fathi.
Esoknya saya mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk mencari tahu kemana harus membawa Fathi berobat. Pada akhirnya saya membawa Fathi ke Santi Rama di Cibubur untuk observasi. Setelah dinyatakan positif, saya disarankan untuk menyekolahkan Fathi ke sekolah luar biasa (SLB).
Namun, saya bersikeras untuk melakukan terapi bagi anak saya terlebih dahulu. Sebagai seorang ibu saya berkeyakinan bahwa Fathi masih bisa disembuhkan dari penyakitnya. Dengan penuh kelembutan saya mengatakan kepada Fathi untuk berobat demi kesembuhan dirinya. Nanti setelah Fathi berusia dua tahun bisa bersekolah seperti anak-anak lainya. Saya merasa terharu sekali tatkala menatap bening matanya seakan mengerti apa yang saya katakan.
Tatkala suami saya pulang dari tanah suci, saya pun menceritakan kondisi Fathi. Suami hanya bisa berdiam diri tanpa kuasa mengucapkan kata-kata. Rupanya diamnya itu karena tidak sanggup menahan kepedihan hatinya, dibandingkan saya yang berusaha tegar menghadapi cobaan ini. Padahal, bila saya akui betapa hati saya terasa hancur menghadapi cobaan yang sangat berat sekali. Dihadapannya saya ingin sekali menjadi seorang ibu yang memberikan kekuatan bathin pada suami saya.
Akhirnya, sebagaimana janji saya kepada Fathi untuk menyekolahkan ketika usianya sudah mencapai 2 tahun, maka saya berusaha mencari sekolah TK yang mau menerima murid tunarungu. Sayangnya, hampir semua TK yang saya datangi menolak Fathi. Saya tidak habis berpikir, kenapa mereka membeda-bedakan anak-anak yang normal dan tidak normal untuk menempuh pendidikan. Anak tunarungu pun berhak menikmati pendidikan layaknya anak-anak yang normal. Rasanya ingin marah saya saat itu atas penolakan tersebut.
Ternyata, saya masih bisa bersyukur ketika ada sekolah bilingual di Cibubur yang mau menerima Fathi belajar. Namun sebelumnya, saya meyakinkan tidak menuntut banyak. Saya hanya ingin anak saya Fathi bisa bersosialisasi dengan anak-anak normal lainnya. Lebih bersyukur lagi ketika gurunya mengatakan ternyata Fathi adalah termasuk anak yang cerdas. Ia mampu mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan nilainya pun tertinggi.
Sambil tetap bersekolah, saya berusaha membawa Fathi terapi di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun setelah empat bulan berjalan ternyata tidak ada perkembangan sama sekali bagi Fathi. Saya pun meminta izin untuk bisa melihat langsung bagaimana cara mereka mengajar anak tunarungu.
Setelah menyaksikan saya mengambil kesimpulan bahwa cara itu tidak begitu efektif bagi perkembangan Fathi. Lebih baik saya sendiri saja memberikan terapi kepada anak saya seperti mereka lakukan secara intens. Karena untuk perkembangan Fathi kedepan lebih mudah dilakukan bila saya sendiri yang melakukannya.
Duka hati kami sedikit terobati ketika lahir Achmad Fajri Mujaddidi pada 18 Januari 2000. Anak saya yang kedua ini Alhamdulillah fisiknya begitu normal. Setiap hari sambil menggendong Fajri, saya mengantar Fathi sekolah di SLB Pangudi Luhur, Cipete, Jakarta Selatan. Dari rumah saya di Cibubur, kami berangkat mulai pukul 04.30 sampai pukul 18.00 baru kembali pulang.
Setelah berjalan selama tiga tahun, Fathi mengeluh karena merasa lelah. Bukan karena tidak mampu mengikuti pelajaran tetapi fisiknya yang tidak memungkinkan. Bayangkan, dari pagi sampai sore ia belajar. Sampai ke rumah sudah malam hari, sehingga ia langsung tidur dengan masih berpakaian sekolah. Paada pukul 04.00 ia bangun untuk belajar. Kemudian pukul 04.30 langsung berangkat ke sekolah. Akhirnya saya memindahkan Fathi ke SLB Santi Rama karena jaraknya lebih dekat dari rumah.
****
Memasuki SD, Fathi mulai terlihat bakatnya sebagai pelukis. Bahkan guru menggambarnya mengatakan bahwa Fathi memiliki talenta. Lalu saya memasukkan Fathi ke Global Drawing untuk belajar teknik melukis. Saya benar-benar merasa bersyukur karena dibalik kekurangannya itu Allah melebihkan Fathi dengan yang lain, yaitu bakat melukis.
Saya pun merasa bahagia sekali pada saat diterima menjadi PNS pada 2001 lalu  Setelah ditempatkan di Pengadilan Tinggi Agama, Jakarta  kesibukan saya semakin padat antara mengurusi anak-anak dan tanggung jawab sebagai PNS.. Makanya disela-sela kesibukan kantor, saya sempatkan untuk menggunting gambar-gambar menarik untuk dijadikan bahan pelajaran bagi Fathi. Alhamdulillah, ternyata cara seperti ini lebih efektif karena Fathi lebih mudah menyerap pelajaran.
Namun, bagi saya yang terpenting dalam mendidik Fathi menerapkan pelajaran etika. Salah satunya memberikan salam kepada orang lain. Penekanan terhadap etika karena tunarungu memang lebih agresif sekali. Mungkin karena tidak bisa mengungkapkan isi hati, anak tunarungu selalu memukul dada atau membenturkan kepala ke tembok. Makanya setiap kali Fathi ingin memukul dirinya, saya langsung memeluknya agar bisa tenang.
Pernah suatu ketika Fathi ingin bermain ke rumah temannya. Ia melarang saya untuk mengikutinya. Namun sebagai seorang ibu karena merasa kuatir lalu membuntutinya. Ternyata di luar dugaan Fathi ketika akan masuk ke rumah temannya terlebih dulu melepaskan sandalnya lalu mengetok pintu. Ini merupakan etika. Setiap kali ada perubahan sedikit saja pada Fathi, saya selalu mengucapkan Alhamdulillah, karena saya merasa Allah begitu menyayangi kami.
Saya merasakan motivasi Fathi untuk belajar selama di SD begitu tinggi. Sebelumna untuk membaca satu kata saja membutuhkan satu bulan. Harus dengan cara visualisasi gambar atau benda. Sampai suatu ketika, ia mau belajar membaca tapi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Hanya jarinya saja yang menunjuk-nunjuk benda yang ingin diucapkan.
Lantas saya menutup pintu rumah dan membiarkan Fathi di luar. Walaupun ia menangis sambil berucap kata "aa" saja, saya mencoba bertahan. Sampai akhirnya karena tidak tega saya lalu membukakan pintu. Terdengarlah ucapan mama dari mulutnya. Duh, betapa senangnya saya mendengarnya. Akhirnya, mulai sejak itulah Fathi memiliki kepercayaan diri untuk terus belajar, untuk bisa berbicara.
Yang paling mengharukan bagi saya ketika Fathi berkeinginan menjadi pelukis ternyata mampu melakukannya. Layaknya pelukis terkenal tangannya dengan lincahnya mencorat-coret kertas gambar menjadi sebuah lukisan. Begitupun ketika belajar matematika sulit, lalu mencoba mengikuti kumon. Ternyata bisa juga mengikutinya bahkan lebih baik dari anak yang normal. Padahal sebelumnya guru kumonnya meragukan karena belum pernah mengajarkan anak-anak tunarungu.
***
Cobaan kembali saya hadapi ketika melahirkan anak ketiga, Muhammad Fadhly Robbani pada 2 Januari 2003. Seperti juga kakaknya ia juga menderita tunarungu. Begitu pula dengan anak keempat saya, Siti Salwa Dewi Tanara yang lahir pada 29 April 2004. Dengan kondisi seperti itu, saya harus melakukan tugas sebagai isteri, ibu, guru, dan pegawai pemerintah.
Sebelum berangkat ke kantor saya mengantarkan Fathi ke sekolah, setelah itu membawa Fadhly dan Salwa terapi ke daerah Melawai. Disini rupanya menarik perhatian dokter ahli saraf setelah melihat saya yang memiliki tiga anak yang tunarungu. Sehingga dokter pun tidak mau dibayar, bahkan mengatakan sungguh luar biasa dengan sikap saya yang begitu tabah menghadapi cobaan berat ini. Dokter pun mengaku, bila dirinya menerima tanggung jawab seperti saya tentu tidak sanggup memikulnya.
Mendengar ucapan dokter tersebut, saya hanya bisa merenung dan berucap dalam hati. Bila Allah memberikan kepercayaan pada diri saya dengana ketiga anak tunarungu ini, saya menerimanya dengan ikhlas. Saya belajar dari anak-anak saya yang benar-benar ikhlas menerima kenyataan sebagai tunarungu.
Terlebih lagi nasehat orang tua saya, KH. Ma'ruf Amin yang berpesan, bila diri saya menerima amanah dari pimpinan apakah akah dilakukan? Begitu pula bila Allah memberikan amanah kepada saya untuk mengasuh anak-anak yang cacat. Tentu suatu kehormatan yang layak diterima. Bila berhasil mendidik anak-anak seperti ini, nilainya lebih daripada mengurusi anak-anak yang normal.Rasanya hati saya menjadi tentram mendengar nasehatnya.
Saya mengambil hikmah dari semua ini agar tidak berlaku sombong. Allah mengajarkan pada diri saya untuk lebih bersabar, lebih menerima, lebih peka terhadap kesusahan orang lain. Berkaca kepada anak-anak saya yang berusaha hidup layaknya anak normal lainnya, saya merasa termovitasi untuk terus memberikan yang terbaik buat anak-anak saya.
Apa yang saya lakukan selama ini bukan mengejar karir tetapi agar bisa bermanfaat bagi keluarga, memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anak saya tercinta. Terutama Fathi yang selalu bertanya apakah aku bisa seperti mamanya bisa mendapatkan gelar sarjana. Terlebih keinginan sederhana Fathi agar lukisannya bisa dimuat di media-media cetak atau tampil di televisi.  Rasanya membuat saya ingin menangis mendengarnya.
 
Salam
 
Hj. Siti Nur Azizah, SH, M.Hum
 
 
 
 
 


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: