Rabu, 23 November 2011

[daarut-tauhiid] Elegi 'Pasangan Cahaya'

 

Oleh Mukti Amini

Mimpi malam tadi, sungguh mengusik hatiku.

Mimpi tentang seorang anak kecil sedang menyetorkan hafalan surat Al-Hadid pada seorang Ustadzah. Aku ikut mendengarkan di sampingnya, sambil mengulang hafalanku untuk surat tersebut. Lalu, saat dia agak tersendat di akhir ayat, aku yang merasa seharusnya hafal dan bisa membetulkan, justru tergagap. Macet, tak bisa bicara. Ustadzah bertanya padaku, "Ibu bukannya sudah hafal?"

Kujawab dengan malu, "Iya, tapi kalau mbenerin di tengah surat begini, kagok. Beda dengan setor sendiri dari awal, Bisa lancar." (hufht, selalu! Jawaban yang sangat mencari-cari alasan pembenaran!)

"Sekarang Ibu sedang menghafal surat apa?" tanya beliau lagi.

Lalu kutatap lembaran Quranku yang terbuka. Kini aku giliran yang kaget, malu bukan kepalang. Ternyata aku baru mengulang lagi hafalan surat Al-Balad, juz 30! Hafalan sekelas anak-anak SD!

"Berarti Ibu justru turun nih kinerja nya. Dulu sudah hafal Al-Hadid, kok sekarang juz 30," kata ustazah, singkat tapi tegas.

Deg, perkataan yang benar-benar langsung menembus jantungku. Sungguh, mimpi itu mengusik hatiku.

Rabbi, lalu sudah berapa banyak alasan pembenaran yang kubuat, agar aku tidak lagi mengulang hafalanku? Membiarkannya berterbangan tertiup angin?

Ingatanku melayang pada tiga belas tahun silam. Dua pekan pasca menikah, aku menangis tersedu. Bukan karena suami akan pergi jauh dinas berhari-hari, atau aku mendapat kezaliman dari beliau. Bukan! Tapi aku menangisi ibadah yaumiyah-ku yang rasanya jadi sangat 'berantakan' sejak menikah itu. Dan itu karena ketidakmampuanku mengatur waktu antara urusan rumah tangga, jadwal kuliah pascasarjana yang padat, dan charge ruhiyah yang seharusnya tetap kuprioritaskan. Tapi ternyata, di antara tiga hal itu, justru charge ruhiyah itulah yang kukesampingkan, sementara kuliah dan urusan rumah tetap kubela-belain untuk tertunaikan. Menyadari itu, aku makin tergugu.

Beginikah potret Istri sholehah?

Lalu, beliau, Suamiku, melihatku. Bingung dengan Istrinya yang tiba-tiba menangis pilu, khawatir seandainya dia telah melukai hati Istri yang baru dinikahinya itu.

Pelan dia bertanya. Lalu kuceritakan masalahku, dengan berfokus pada kekhilafanku tidak mampu mengatur waktu. Tapi rupanya, beliau Suami yang sangat peka hati, merasa kesedihanku adalah bagian dari kekhilafannya, hingga dia berkata, "Maafkan Mas ya, belum bisa menjadi qawwam yang baik untukmu. Harusnya, untuk hal-hal seperti ini, Mas mengingatkanmu, Jeng."

Tidak, ini bukan urusan qawwam, Mas. Ini masalah istiqomah pribadi masing-masing. Bagaimana pun, seseorang harus mampu menolong dirinya sendiri, karena pada akhirnya tiap manusia juga dibangkitkan dan dihisab sendiri-sendiri. Tak peduli Suaminya seorang ustadz sekali pun, tak ada jaminan bahwa istri akan selalu mendapatkan cukup banyak waktu untuk dibimbing, apalagi jaminan untuk mendapatkan surga-Nya.

Lalu, setelahnya, kami sama menangis tersedu. Kemudian mulai membuat target-target ibadah sebagai pasutri. Salah satunya adalah taklim, dimana pada malam tertentu yang disepakati, Suami membacakan kitab tertentu dan membahasnya untukku. Kegiatan yang kadang kuikuti dengan mata terkantuk-kantuk, tapi tetap Suami 'memaksaku' dan memaksakan dirinya untuk membacakan hingga akhir topik.

Lalu, bagaimana kini? Duuh, sungguh, aku rindu suasana ruhy seperti dulu. Kegiatan teknis rumah tangga dan pekerjaan harian benar-benar menenggelamkan kami pada kesibukan tiada henti. Seolah diri ini bukan lagi manusia, tapi robot-robot yang tak lagi punya hati.

Ah, sungguh aku miris dengan diriku sendiri. Beginikah potret rumah tangga sakinah? Bukankah kami ingin menjadi pasangan cahaya, yang kekal selamanya tidak hanya di dunia, tapi juga di Surga? Tapi, kalau rumah tangga berjalan apa adanya seperti ini, apakah layak menjadi pasangan cahaya? Apakah layak menjadi sepasang cahaya yang menyinari lilin-llin kecil, hingga mereka suatu saat nanti dapat berpijar sendiri?

Sungguh, aku ingin seperti Nabi Ibrahim as, yang di saat menjelang ajalnya, bertanya pada anak keturunannya, "Maa ta'buduuna min ba'dii?" (Siapa yang akan kalian sembah sepeninggalku?)

Karena itulah hal utama yang mampu menjadi kunci cahaya pembuka Surga.

Tidak, aku tidak khawatir dan tak akan bertanya, "Maa ta'kuluuna min ba'dii?" (apa yang akan kalian makan sepeninggalku?), karena aku percaya dengan pendidikan dan fisik yang sempurna, rezki Allah terhampar begitu luasnya. Tapi aku sangat khawatir menjadi pasangan yang gagal, yang tidak bisa memberikan jaminan apa-apa tentang aqidah dan ibadah anak keturunannya, sepeninggal orang tua. Astaghfirullah...

Rabbbi, berikanlah lagi semangat itu, pada kami. Semangat pengantin baru yang meniatkan pernikahannya untuk ibadah dan dakwah. Karena aku masih ingin menjadi pasangan cahaya, seperti niat kami dahulu.

Semoga, turun naiknya perjalanan iman yang kami lalui tiga belas tahun ini, kekhilafan-kekhilafan kami yang begitu banyak selama ini, mampu kami perbaiki.

Semoga belum terlambat bagi kami untuk kembali pada niatan semula yang suci.

Mudahkanlah langkah kami ya Rabb...

#pamulang, 22 Nov 2011
retropeksi sepekan ultah nikah ke 13

Muktia Farid     >>>>    http://www.eramuslim.com/oase-iman/mukti-amini-elegi-pasangan-cahaya.htm

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: