Minggu, 20 November 2011

[daarut-tauhiid] Menuju Totalitas Penyucian Diri [2]

Menuju Totalitas Penyucian Diri [2]


Sabtu, 19 November 2011


Oleh: Shalih Hasyim

Ketiga: Tazkiyatul Mal (penyucian harta)

Karunia harta yang terbaik adalah ketika berada di tangan laki-laki
yang shalih. Ia berpandangan, sekalipun hartanya habis di jalan Allah
SWT bukanlah dikategorikan mubadzir. Sedangkan, sedikit saja yang di
belanjakan di luar jalan-Nya termasuk mubadzir. Dan sikap mubadzir
adalah sekutunya syetan.

Orang beriman memandang bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT dan
khalifah-Nya di muka bumi ini. Ia bukan hamba jabatan, hamba prestise,
hamba mayoritas, hamba minoritas, hamba sain dan teknologi, hamba
berhala yang abstrak dan kongkrit, hamba hawa nafsu perut, di bawah
perut, hamba dinar dan dirham. Karena semua itu hanya makhluk
(ciptaan) belaka.

Bahkan dunia dan seisinya diciptakan sebagai wasilah (sarana) untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT. Bukan ghoyah (tujuan akhir). Jika
ia dititipi kekuasaan digunakan untuk membela yang zhalim, bukan
membela si zhalim. Berani membela kebenaran, bukan membela yang
membayar (suap). Jika diamanahi ilmu digunakan untuk mencerahkan yang
bodoh, bukan membodohinya. Jika dititipi harta dimaksimalkan untuk
memberi makan yang sedang kelaparan (muth'imul ji'an).

Justru, harta yang menjadi milik kita adalah modal untuk menuju
ridha-Nya. Maka harta yang kita miliki kita sedekahkan. Yang tersisa
itu yang kita makan dan kita warislkan. Sedikit sekali. Yang menjadi
milik kita yang kita berikan kepada Allah SWT. Karena kita yakin harta
yang kita infakkan akan tumbuh dan berkembang dalam kebaikan
(barakah). Seorang mukmin lebih sabar dalam kondisi kekurangan,
kelaparan daripada menahan jilatan api neraka. Maka, ia berhati-hati
dalam mengelola amanah harta. Harta hanya sebagai hak guna, bukan hak
milik. Ia menjaga diri dari harta yang syubhat apalagi yang haram. Ia
menjauhi segala bentuk praktek riba klasik ataupun riba kontemporer.

Karakter orang yang sumber kehidupannya berasal dari riba, selalu
susah sekalipun bunganya bertambah. Dia tidak merasakan kenikmatan di
dalam jiwa karena pijakan kehidupannya menghisap darah orang lain.
Tertawa di tengah-tengah penderitaan sesama. Ia bagaikan orang yang
resah karena ditampar syetan. Jika yang berhutang tidak lancar
pembayarannya, ia ingin merampas harta bendanya sebagai jaminan.
Bertambah kasar budi pekertinya. Sekalipun ia menampakkan muka yang
berseri-seri agar mudah dibayar, tetapi hakikatnya untuk menindas
orang lain dengan mengeruk keuntungan yang berlipat-ganda.

Sebaliknya, Allah SWT menyuburkan sedekah. Dia ingin mempertautkan
kasih-sayang antara yang memberi dan menerima. Ia yakin dengan memberi
akan memperoleh balasan yang berlipat di luar teori dan
prinsip-prinsip ekonomi. Bertolak dari sini, terbentuklah masyarakat
yang saling berkasih-sayang, saling berwasiat dalam menetapi kebenaran
dan kesabaran, bahu-membahu, doa-mendoakan. Orang kaya menjadi
dermawan, orang miskin pandai menjaga kehormatan dirinya ('iffah).

"Barangsiapa yang bersedekah senilai sebutir kurma dari usaha yang
halal, dan Allah hanya menerima yang baik-baik, maka Allah akan
menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian mengembangkannya bagi
pelakunya, sebagaimana salah seorang di antara kamu memelihara anak
kuda, hingga sebutir kurma itu menjadi sebesar gunung." (HR. Bukhari).

Keempat: Tazkiyatus Sulthan (penyucian kekuasaan, posisi dan jabatan)

Islam tidak mempersoalkan kekuasaan yang kita genggam, kekayaan yang
melimpah dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Tetapi, Islam menggedor
pikiran dan kalbu kita benarkah yang menjadi hak kepemilikan kita
menambah kebaikan dalam kehidupan kita (barakah) ?. Yang dilarang
adalah mencemari kekuasaan, harta, ilmu untuk membangun egoism
(ananiyah), hubbusy syahawat.

Menyucikan kekuasaan berarti mendahulukan kepentingan orang banyak
diatas kepentingan diri sendiri. Menyucikan harta berarti
menghilangkan kelaparan, kehausan, tidur tidak nyeyak, dan menghindari
terbukanya aurat (karena tidak memiliki pakaian) yang dialami sesama.
Harta dibelanjakan untuk membuat kaum dhu'afa dan mustadh'afin
tersenyum. Menyucikan ilmu berarti menjadikannya sarana untuk
memberantas kebodohan.

Ali bin Abi Thalib, ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia membagikan
harta Baitul Mal hanya kepada yang berhak. Pernah, Aqil saudaranya
memohon lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata
Ali, Datanglah nanti malam, engkau akan aku beri sesuatu.

Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata, Hanya ini saja untukmu. Aqil
menjulurkan tangannya untuk menerima pembelian Ali. Tiba-tiba ia
menjerit, meraung seperti sapi yang dibantai. Rupanya ia memegang besi
yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, itu besi yang dibakar di
dunia. Bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka.

Umar bin Abdul Aziz yang dikenal oleh sejarah sebagai khalifah yang
kelima, juga memilih pola kehidupan seperti para pendahulunya. Negara
yang dikelolanya benar-benar surplus, sampai utang-utang pribadi dan
biaya pernikahan ditanggung oleh negara. Indikator kemakmuran yang
tidak akan pernah terulang kembali. Para amil zakat berkeliling ke
perkampungan Afrika, tetapi tidak menemukan seorangpun yang menerima
zakat. Ketika cucu Umar bin Khatahab itu dilantik menjadi khalifah
atas desakan rakyat, beliau menangis di rumahnya dan mengatakan kepada
semua anggota keluarganya bahwa kita akan mendapatkan musibah besar.
"Jika Anda mendukung kami masuk surga, maka mulai saat ini kita harus
siap lapar." Dalam sejarah dicatat, beliau hanya dua kali mandi junub
selama dua tahun masa kepemimpinannya. Beliau juga menolak untuk
tinggal di istana. Bertolak dari kesederhanaan pola hidup,
mengantarkannya berhasil mengadakan transformasi social secara total
di negara. Sekalipun beliau adalah merupakan bagian dari masa
kebobrokan Bani Umaiyah.

Inilah tazkiyatus sultan – penyucian kekuasaan dari pencemaran
kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan. Dan
Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa memilih hidup sangat sederhana
daripada memanfaatkan kekuasaan untuk membangun satus qua dan
memperkaya diri.*

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah


Red: Cholis Akbar


sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/19850/19/11/2011/menuju-totalitas-penyucian-diri-[2].html


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: