Selasa, 23 Desember 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2433

Messages In This Digest (1 Message)

1.
(Inspirasi) Jatah From: Jenny Jusuf

Message

1.

(Inspirasi) Jatah

Posted by: "Jenny Jusuf" j3nnyjusuf@yahoo.com   j3nnyjusuf

Tue Dec 23, 2008 4:07 am (PST)

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya
di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak
meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana
pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun
meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan
murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk
membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan
membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya.
Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan
dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih
berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.
Selama
berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata
itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih,
bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal,
semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat
saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan
mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang
ujung-ujungnya 'mengharuskan' saya untuk berpihak. 'Memilih' salah
satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya
kenal.
Setelah
beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak
terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih
mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu
hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba
yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena
saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut
melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering
muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu
mulai jarang disebut-sebut lagi.
Dan
saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya
mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai
persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa
tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan
dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi
tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.
Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya,
tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian
dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda
bernama otak ini.
Sungguh,
sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara
'meladeni-teman-curhat', dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering
kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau
pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.
Itu baru satu.
Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya,
sebagai 'jatah' yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras
mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala
ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita
genggam erat.
Saya,
termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya
sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan
dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian
tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi
menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang
'memang sudah jatah saya', atau bahasa religiusnya: takdir.
Saya
tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk
tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha
menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas
dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin
terganggu dengan kerikil-kerikil itu.
Persoalan selesai? Boro-boro.
Yang
ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi
timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan
gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha
menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, "Mungkin memang
sudah jatah saya" – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena
masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu
banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak
sedikit untuk memulihkannya.
Ikhlas.
Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah
memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan
mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah.
Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan
yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk
membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.
Jatah.
Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya.
Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap
kelimpungan dan bergulat untuk sekadar 'lari' darinya. Berusaha
mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada
hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik
pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.
Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya 'membuka isi perut' di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?
Alasan
pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan
isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri
sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.
Meski
terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih
penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal
yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih
untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih
fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.
Alasan
kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang
–seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya
mengerti apa yang ia maksud dengan 'jatah'. Kini saya paham. Dan
kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus
terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.
Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.
Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterima kasih.
:-)

ROCK Your Life! - Jenny Jusuf - http://jennyjusuf.blogspot.com

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Special K Challenge

Join others who

are losing pounds.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: