Senin, 29 Desember 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2443

Messages In This Digest (2 Messages)

Messages

1.

(CERPEN) MALAM INI, AKU MENUNGGU KEMATIAN

Posted by: "Divin Nahb" divin_nahb_dn@yahoo.com   divin_nahb_dn

Mon Dec 29, 2008 3:12 am (PST)

MALAM INI, AKU MENUNGGU KEMATIAN
by; Divin Nahb

Aku merebahkan tubuh di atas genting rumah sambil menatap lurus ke atas langit yang hitam. Angin-angin memanjakan bulu roma. Aku bersidekap, menyembunyikan rasa dingin di balik jaket merah yang kupakai. Jariku mulai bergerak. Aku hitung jumlah kematian yang menghampiri orang-orang sekelilingku lalu mengandaikan tiap bintang yang menempel di langit sana adalah mereka.
Kakekku mengawali rambahan sunyi dalam ruang hati. Lalu sahabat kecilku. Berikutnya nenek yang belum lama mengecup tanah kubur. Aku usap dada membiarkan udara menyusup ke dalamnya. Mengenang mereka adalah sesuatu yang kerap aku lakukan tiap malam. Betapapun sakit ditinggal mereka, namun aku mencoba untuk memaknai kematian bukan hanya dengan air mata saja. Padahal aku paham, jika ayah atau ibu yang dipanggil Tuhan pasti air mataku akan terus mengalir. Dua orang itulah, orang tuakulah yang paling sulit untuk aku lepaskan dalam hidup ini.
Tuhan… apa yang harus kukatakan untuk meminta kepada-Mu agar mengambil nyawaku terlebih dahulu dari pada mereka. Bagaimana mungkin aku sanggup tegar dalam hidup ini tanpa mereka.
Tak terasa malam inipun aku menggulirkan air mata kembali. Menerobos kehampaan seorang diri saat siluet kematian ayah dan ibu mendatangi pelupuk mata. Aku seka air mata di pipi, yang berikutnya kembali aku dihadapkan dengan bayangan kematian kakek, sahabat kecil, dan nenekku.
"Kakek selalu memanggil namamu di detik-detik terakhirnya," suara ibu terngiang di telinga.
"Tubuhnya wangi sekali," suara kembali terngiang di hari kematian sahabat kecilku.
"Kematian nenek begitu mudah. Lihatkan?! Wajah nenek yang tersenyum?" saat itu, ayah memandang wajah adikku yang sembab melihat mayat nenek yang tergeletak di atas kasur.
Aku membayangkan pertemuan-pertemuan indah dengan mereka yang masih terekam dalam ingatan. Bagaimana kakek memanjakanku dengan semua pemberiannya. Bagaimana sahabat kecilku bercerita dengan serunya saat aku bersamanya. Lalu bagaimana nenek menemani tiap malam tidurku ketika hidup. Bayangan-bayangan tersebut berubah menjadi hari-hari kematian mereka.
Tubuhku semakin kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak mungkin hilang karena kehilangan mereka. Hari-hari di mana aku harus melihat mereka terbujur kaku di bawah kain batik tanpa napas. Begitu mudahnya Tuhan memutuskan kehidupan dan memanggil mereka. Dalam telinga, aku masih dapat mendengar tawa mereka satu persatu. Aku masih dapat melihat senyum mereka walau hanya membayang di langit hitam.
Hidup ternyata hanya sebuah sandiwara belaka. Semua orang memainkan peran sesuai aturan naskah hidup. Tuhan yang mengatur segalanya, saat Dia menyuruh orang-orang balik ke belakang panggung saat itulah peranannya dalam kehidupan di bumi berakhir. Lalu Tuhan pula yang menentukan peran-peran baru. Merekalah anak-anak yang baru dilahirkan ke dunia ini. Dan suatu saat itu pula mereka akan kembali ke belakang panggung.
Tak lebihnya seperti aku yang menunggu kematian malam ini. Karenanya, tiap malam aku selalu menunggu malaikat pencabut nyawa di atas genting. Dan itu hanya dikarenakan aku ingin tahu siapa lagi yang akan menghadap Tuhan. Mungkin saja aku. Toh jika itu terjadi aku bisa meminta pada malaikat untuk menjaga orang-orang yang kusayangi, terutama ayah dan ibuku.
"Wulan! Wulan! Di mana kau nak?!"
Hah… itu suara ibu. Ada apa ibu memanggilku? Segera saja aku bangun dari rebah dan perlahan berjalan ke jendela. Aku tidak ingin mati konyol jatuh dari genting ini. Bisa-bisa malaikat pencabut nyawa menertawakan diriku begitu tahu aku meninggal terjengkang jatuh dari genting. Ah… sudahlah, yang jelas tubuhku sudah berada di tepi jendela melihat ibu yang mengernyit keras ke arahku.
"Kau sedang apa di luar sana Wulan?" ibu mendekatiku dan membantu memasukkan tubuhku ke kamar.
"Menunggu kematian," jawabku sambil menyibakkan rambutku yang panjang dan aku gulung-gulung membuat konde dengan menyematkan kayu seperti sumpit mie.
"Apa yang kau bicarakan nak?"
"Bu… kematian itu bukan sesuatu yang perlu kita takuti kan? Makanya aku menunggu malaikat di atas genting. Mungkin aneh kedengarannya, tapi meninggal di malam hari itu lebih memiliki seni tersendiri loh."
Jawabanku semakin membuat ibu mengernyit lebih dalam. Tentu saja, tidak ada kematian yang memiliki seni. Kematian adalah perintah Tuhan! Kapanpun ya terserah Tuhan, manusia hanya wajib mengiyakan saja. Kalaupun manusia tidak mau meninggal saat itu, namun Tuhan menginginkan kematian kita, maka yang tetap akan terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia hanya sebutir yang tiada daya di mata Tuhan.
"Oya, ada apa ibu memanggilku?"
"Kita menjumpai kematian."
"Apa?"
"Malam ini kamu akan bertemu dengan kematian."
"Kematian? Bagaimana ibu tahu aku akan bertemu kematian?" aku semakin bingung dengan ucapan ibu.
Aku ditarik ibu untuk duduk di tepi ranjang. Berikutnya ibu mulai bercerita, bahwa memang malam ini ada kematian yang mendekatiku. Namun tentu saja bukan kematianku sendiri. Dalam bahasa sendunya, ibu memberitahukan bahwa teman akrab ayah—yang selalu kusebut om ganteng si baik hati, telah meninggal dunia sewaktu dinas ke luar kota.
Saat itu pula air mataku menetes. Betapapun aku memahami akan kematian sebagai jalan abadi menuju jalan pertemuan manusia dengan Tuhan. Namun rasanya kematian memang membuat kesedihan terdalam. Bagaimana kita akan bahagia jika kita kehilangan satu orang yang ada di sekeliling kita. Seperti tersulut api dari sebatang korek, aku benar-benar merasakan sakitnya api menjilati dada—entah di jantung atau di tempat yang lainnya. Namun aku sungguh merasakan sakit.
Laki-laki yang sering kusebut om ganteng adalah om Bagus. Baru tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya dan berbincang mengenai kesediaannya menjadi donatur utama untuk menyokong kegiatan sosial yang aku lakukan bersama dengan kawan-kawan di LSM. Saat itu keadaannya segar bugar, wajahnya tidak menampakkan bahwa dia sakit. Dia sehat-sehat saja. Tapi nyatanya itu tidak membuat takdir kematiannya dimundurkan oleh Tuhan.
"Kita ke sana sekarang bu?" tanyaku yang telah menyeka air mata.
"Ya. Ayah langsung ke sana dari kantor."
"Sungguh takjub kematian itu ya bu. Aku baru saja bertemu om Bagus tiga hari yang lalu."
"Ya. Dan ayahmu dengan om Bagus baru saja pergi bersama kemarin sore. Lalu malam ini om Bagus sudah tidak ada." Ibu menghela napas sejenak. "Tapi seperti inilah kehidupan. Kita hanya sebentar ada di dunia ini."
Ibu bangun dari tepi tempat tidur sambil sekali lagi mengingatkan bahwa aku ditunggunya di bawah.
Aku menyematkan tubuh dengan balutan pakaian hitam kembali. Mengingatkan pada kejadian-kejadian yang telah lalu, tentang kematian mereka yang namanya baru saja aku letakkan bersama bintang di alam bebas malam ini.
***
"Subhanallah. Om Bagus meninggal dengan cara khusnul khatimah. Saat ingin menunaikan shalat. InsyaAllah dialah ahli surga," ayah merangkulku sambil melihat tubuh om Bagus yang terbaring di atas ranjang dalam rumahnya.
Senandung Al-Qur'an menggema tiada henti di sekeliling rumah itu. Kawan-kawan om Bagus tiada henti berdatangan, dari orang-orang yang terlibat satu organisasi—baik organisasi yang sifatnya keagamaan sampai ke politik. Atau teman kantor dan para tetangga, yang jelas kerumunan orang tiada henti berdatangan!! Om Bagus sudah seperti selebritis yang dikenal banyak kalangan. Bagaimana tidak demikian? Jika sifat om Bagus sendiri sangat aku kagumi sebagai sosok yang ramah dan bersahaja.
Sementara kepiluan merasuki sisi rumah itu, di luar sana tampak hujan merintik dengan angin yang berhembus kencang. Aku merapatkan jaket karena suasana dingin menyatu dengan kepiluan di rumah itu.
Tante Bagus beserta ketiga anaknya yang semuanya adalah perempuan tampak begitu sedih. Wajah mereka memerah melihat orang yang dicintainya terbujur kaku di bawah kain batik berwarna coklat. Tatapan mata mereka seakan kosong.
Seperti itukah jika aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai di dunia ini? Sama seperti yang dirasakan tante Bagus dan ketiga putrinya? Tatapanku kualihkan pada paras wajah ayah yang masih berada di sebelahku, lalu melengos ke arah ibu yang sedang bersama ibu-ibu lainnya. Kedua orang itulah yang tidak akan pernah bisa digantikan siapapun.
Tuhan aku menyayangi mereka.
Kupeluk pinggang ayah dan meletakkan kepalaku pada dadanya. Sekujur tubuhku terasa hangat. Cukup malam ini, aku dipertemukan dengan kematian om Bagus. Aku memohon pada Tuhan untuk tidak mengetukkan palu kematian yang lain di malam ini. Karena sebenarnya aku tidak cukup sanggup untuk memaknainya. Aku begitu cengeng!
Saat malam terus beranjak, tubuhku yang kini telah terbaring di atas tempat tidur kembali membayangkan wajah om Bagus yang tersenyum dalam kepucatannya. Satu bintang kembali berkilau dan aku memejamkan mata perlahan.
***
Kesunyian mendenting pilu di malam berikutnya. Aku yang telah tenang dan mampu menerima kenyataan bahwa om Bagus telah tiada kembali menerobos keluar jendela untuk memandang langit. Aku merebahkan tubuh di atas genting lagi menunggu tanda-tanda kematianku sendiri. Walau kemarin Tuhan tidak berkehendak menjemputku, bukan berarti hari ini aku bisa lepas dari kuasa-Nya.
Katakanlah jika aku membuang waktu tiap malamku. Namun paling tidak aku sudah memasrahkan diri pada kehendak-Nya untuk dibawa ke alam yang lebih abadi dari pada di bumi ini. Walau aku pun sering merasakan tidak memiliki kekuatan jika aku harus menghadapi beberapa kematian pada satu hari.
Dingin malam ini mulai menusuk tulangku. Aku rapatkan jaket berwarna biru muda dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di langit hitam.
Tuhan… jika kemarin adalah kematian om Bagus. Maka kematian siapa lagi yang akan kau ambil malam ini? Kematian bagi-Mu memang kapan saja, karena itu adalah kehendak-Mu. Namun aku begitu pasrah terhadap kematian pada tiap malam saja. Entahlah, namun rasanya malam itu bagai suasana yang hening untuk bertemu Kau. Dan aku serasa siap untuk Kau jemput. Tuhan berikanlah aku petanda, apakah ada kematian hari ini? Dan lagi-lagi aku mohon, jangan biarkan ayah dan ibu untuk mendahuluiku.
Malam semakin beranjak. Suasana semakin hening dan hiruk pikuk tidak terdengar lagi. Ibu yang telah mengetahui keberadaanku tiap malam menyuruhku untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Wulan, ini sudah larut!"
"Iya. Sepertinya kematian di sekeliling kita tidak datang malam ini."
Ibu mengecup keningku dan menutup pintu kamar. Aku letakkan seluruh tubuhku ke atas kasur. Namun ketika baru saja ingin memejamkan mata, terdengar suara samar dari luar pintu.
"Kita semua harus ke sana sekarang. Gaos meninggal karena tabrakan. Ibu bangunkan Wulan ya." Aku tahu itu adalah suara ayah.
Sekujur tubuhku bergetar. Malam ini Tuhan menentukan om Gaos untuk meninggalkan kami. Orang-orang di sekelilingku telah menghadap-Nya, lalu kapankah giliranku Tuhan?

Tangerang, 23 Februari 2008

2a.

Re: [Catatan Kaki] Single Parent

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Dec 29, 2008 3:37 am (PST)

Terkait persoalan tentang single parent, pertengahan Agustus lalu saya menuliskan sebuah cerita tentang perjuangan single parent dengan versi yang lain, silakan sahabat baca kisah tersebut di sini:

http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/message/22048

Terimakasih

Dani Ardiansyah
PT. Multidata Rancana Prima
Raudha Building 2nd Jl. HR. Rasuna Said
No. 21 Jakarta 12710
HP: 085694771764

Recent Activity
Visit Your Group
Sell Online

Start selling with

our award-winning

e-commerce tools.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Learn how others

are losing pounds.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: