Selasa, 30 Desember 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2444

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1a.
Re: [Ruang Keluarga] Single Parent: Karena Mety Hanya Tersenyum From: rose firdauzi
1b.
Re: [Ruang Keluarga] Single Parent: Karena Mety Hanya Tersenyum From: fil_ardy
2.
[Catatan Kaki] Antara Saya dan Spongebob From: Kang Dani
3.
[Rampai][Catcil] Beri Saya Kata From: Nia Robie'
4.
(motivasi) Mental blocking From: caliyan
5a.
(bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey From: Bu CaturCatriks
5b.
Re: (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey From: novi ellnine
5c.
Re: (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey From: Bu CaturCatriks
6.
[Kelana} Cerita Gokil Novi Sapporo: TAJ MAHAL vs WESTERN From: novi ellnine
7a.
(catcil) masakan pertama saya From: Bu CaturCatriks
7b.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: Ain Nisa
7c.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: Bu CaturCatriks
7d.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: Siwi LH
7e.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: Bu CaturCatriks
7f.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: fil_ardy
7g.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: Bu CaturCatriks
7h.
Re: (catcil) masakan pertama saya From: inga_fety
8.
[Catcil] MANUSIA-MANUSIA LAPAR From: Suminta Nur Farhan
9a.
Re: [Ruang Musik} Mother, How are You today? (plus balesan tulisan m From: asma_h_1999
10a.
Re: [Catatan Kaki] Single Parent From: Agung Argopo
11a.
(catcil) flying fox From: asma_h_1999
11b.
(catcil) flying fox From: asma_h_1999
12a.
Re: (CERPEN) MALAM INI, AKU MENUNGGU KEMATIAN From: asma_h_1999
13.
[Ruang Baca] Jangan Jadi Perempuan Cengeng From: Rini Agus Hadiyono
14.
Re: [catcil]  masakan pertama saya From: yudhi mulianto

Messages

1a.

Re: [Ruang Keluarga] Single Parent: Karena Mety Hanya Tersenyum

Posted by: "rose firdauzi" roses_fn@yahoo.com   roses_fn

Mon Dec 29, 2008 5:24 am (PST)


Terimakasih Mas Dani, tulisan dan cerita yang bagus dari penulis keren.
Kalau demikian, saya bukanlah apa-apa dibanding Sutisna. Semakin sadar
jadinya. Laah baru juga ditinggal kerja :) -Habis suka bt hidup di
negeri orang, koq sendirian, hiks-

Walau terlambat membaca "Mety", tapi untung mas Dani mau berbagi link
lagi :) thx again.

Masih sesak haru, dada ini...

-Rose di Yukuhashi-
.........................

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Kang Dani <fil_ardy@...>
wrote:
>
>
>
> Single Parent: Karena Mety Hanya Tersenyum: Dani Ardiansyah
>
>
> Pada umumnya, sebuah keluarga mempunyai
> dua sosok penanggung jawab dalam segala hal yang berkaitan dengan
> keberlangsungan rumah tangga. Dua sosok yang selalu dapat menjadi
representasi
> sebuah keluarga ideal. Sosok ayah sebagai seorang kepala keluarga
adalah kamus
> baku dalam strata sosiologi. Dan, kehadiran ibu sebagai pendamping,
sebagai
> pelaksana dari segala delegasi yang ditinggalkan oleh kepala keluarga.
Tentu
> bukanlah sebuah pilihan, ketika tatanan ideal itu kemudian tidak dapat
berjalan
> dengan baik dalam sebuah keluarga.
>
>  
>
>  
>
> Single parent menjadi contoh ketidakidealan sebuah tatanan rumah
> tangga. Sebuah pilihan berat, yang mau tidak mau, suka tidak suka
harus
> disandang oleh sebagian keluarga. Bercerai atau pasangan hidupnya
meninggal,
> menjadi alasan yang paling sering kita temukan dalam keseharian kita.
Hal
> tersebut akan berubah lebih buruk ketika penerima status sebagai
Single Parent tadi adalah perempuan.
> Terlebih jika mereka sudah mempunyai keturunan. Maka, beban hidup yang
> seharusnya ditanggung berdua dengan pasangan selayaknya sebuah
keluarga ideal,
> mau tidak mau harus diatasi sendirian.
>
>  
>
>  
>
> Sebut saja Sutisna, seorang laki-laki
> dengan kisaran usia menginjak kepala 4. Dia bekerja di sebuah instansi
> pemerintahan yang bergerak dalam bidang pelayanan transportasi dan
jalan raya.
> Anaknya 2 orang, yang pertama laki-laki bernama Wildan, usianya
sekitar 6
> tahun, dan yang kedua perempuan, bernama Desty, yang masih berusia 3
tahun. Dan
> istrinya bernama Mety. Usia pernikahan mereka telah memasuki kurun ke
9. Bukan
> sebuah umur yang belia bagi sebuah ikatan pernikahan. Secara fisik,
Wildan dan
> Desty, tidak pernah merasa kehilangan salah satu dari orang tua
mereka. Ayah
> dan Ibunya masih selalu berada di sekitarnya.
>
>  
>
>  
>
> Setiap pagi Sutisna mengurusi keperluan
> anak-anak. Mulai bangun tidur, membereskan kamar, merapikan rumah,
menyapu
> halaman, mencuci baju, mandi, sarapan, hingga Wildan berangkat
sekolah, dan dia
> sendiri berangkat ke pekerjaannya. Sebelum itu, Sutisna juga tidak
lupa untuk menyiapkan
> makan siang terlebih dahulu. Ini adalah rutinitas yang selalu dijalani
oleh
> Sutisna. Mungkin bukan hal yang mudah untuk menjalani hal tersebut
bagi seorang
> laki-laki. Bertindak sebagai seorang ibu, terutama dalam kaitannya
dengan
> segala urusan rumah tangga. Mungkin dalam hal ini, setiap laki-laki
atau suami,
> sampai pada sebuah kesimpulan bahwa "No
> Man Perfect in parenthoodE Ya, tangan seorang Ayah tentu tidak
> selembut tangan ibu, diartikan secara harfiah ataupun maknawi.
>
>  
>
>  
>
> Ketidaksempurnaan itu sangat dirasakan
> oleh anak-anak mereka, dan tentunya berakibat tidak baik. Sutisna dan
> keluarganya tetap bertahan menjalani hidup, meski ada ketidaklengkapan
sentuhan
> seorang Ibu. Lagi-lagi bukan dalam arti fisik. Sang Istri, selalu
berada
> ditengah-tengah mereka setiap saat. Menyaksikan bagaimana suaminya
dengan susah
> payah menggantikan tugas sebagai seorang Ibu bagi anak-anak. Memenuhi
segala
> kebutuhan rumah tangga, menyaksikan bagaimana Suaminya setiap pagi
selalu
> berangkat kerja, sambil menyempatkan menatapnya lekat-lekat.
Berpamitan meski
> tanpa kata-kata. Mendengar kedua anak-anaknya merengek manja, atau
bahkan
> mendengar kekesalan Wildan ketika ia sama sekali tak menerima respon,
atas
> semua keluh kesah padanya.
>
>  
>
>  
>
> Ya, Mety selalu ada di dalam keluarga
> tersebut setiap saat. Hanya saja, Mety tak punya kesadaran yang utuh
untuk
> dapat hadir secara sempurna sebagai seorang Ibu Rumah Tangga. Hal itu
berawal
> sejak 3 tahun yang lalu. Sejak kelahiran Desty, pikirannya terganggu,
stres.
> Entah karena apa. Dia menjadi seorang perempuan gila. Ia menjadi
hilang
> ingatan. Sama sekali ia tak menyadari kehadiran keluarga, suami,
bahkan
> anak-anaknya. Ia tak lagi peduli pada lingkungan sekitar. Ia bahkan
sudah
> pernah berkeliaran di sekitar perumahan warga tanpa sehelai benang pun
menutupi
> tubuhnya. Dan, sejak itu Mety benar-benar kehilangan fungsinya sebagai
seorang
> Ibu.
>
>  
>
>  
>
> Bagi Sutisna, istrinya mungkin telah
> menjadi sejenis artefak bernyawa, yang lebih selalu merepotkan
daripada
> berguna. Tapi Sutisna sadar, bahwa Mety adalah istri sahnya. Seorang
wanita
> yang pernah dinikahinya beberapa tahun yang lalu dalam keadaan
> sesadar-sadarnya. Beban psikis sebagai orang tua tunggal harus ia
tanggung.
> Belum lagi beban moral menghadapi kenyataan, bahwa istri yang sangat
> dicintainya menderita gangguan jiwa. Beban moral yang juga harus
ditanggung
> oleh anak-anak mereka. Kerap kali ejekan dan cemoohan harus dihadapi
oleh
> Wildan. Terlebih jika berkaitan dengan hal-hal yang dilakukan Ibunya,
dan
> disaksikan banyak orang. Wildan merasa sangat malu dan terpukul.
Untung saja
> Desty masih kecil untuk dapat mengerti apa yang terjadi.
>
>  
>
>  
>
> Sutisna mengahadapi hal ini sebagai ujian
> dalam kehidupan rumah tangganya. Dan puncak dari segala ujian itu,
terjadi
> belum begitu lama. Mety hilang, kabur lebih tepatnya. Padahal, ia
sudah
> ditempatkan di sebuah ruang khusus dalam rumah dan dikunci dengan
aman. Saat
> itu, Sutisna tengah bekerja, sedangkan Desty yang baru berusia tiga
tahun
> dititipkan di rumah Neneknya seperti biasa. Entah bagaimana, rupanya
Desty merasakan
> kerinduan pada sang Ibu, yang telah lama tak pernah memberikan kasih
sayang
> padanya. Desty pulang kerumah sendirian, sementara Wildan masih ada di
sekolah.
> Desty tahu di mana Ibunya berada, dan berhasil membuka kunci kamar
tersebut.
> Dari situlah, awal hilangnya Mety. Desty yang tak berdosa terkurung
dalam kamar
> yang sebelumnya ditempati Mety, hingga Wildan pulang dari sekolah dan
mendapati
> adik tersayangnya menangis di dalam kamar.
>
>  
>
>  
>
> Mungkin saja Sutisna sudah pasrah, dan
> menerima segala konsekuensi menjadi orang tua tunggal, tanpa
benar-benar
> kehilangan istrinya. Dan setiap pagi, menjelang ia berangkat bekerja,
Sutisna
> selalu menyempatkan diri untuk menengok ke ruangan tempat dimana Mety
dulu
> selalu tersenyum sepanjang hari. Hidup harus terus berjalan, begitu
juga dengan
> Wildan dan Desty, yang terkadang masih selalu menanyakan keberadaan
Ibunya.
>
>  
>
>  
>
> Dari sisi psikologis, seorang yang
> ditinggalkan oleh pasangannya mungkin akan lebih tegar, meskipun pada
awalnya
> terasa sangat rapuh. Seiring berjalannya waktu, mereka tersadar bahwa
hidup
> haruslah terus berjalan. Lain halnya dengan anak-anak yang
ditinggalkan. Bagi
> Anak-anak yang belum siap kehilangan salah satu orang tuanya, tentu
mereka akan
> merasa terpukul, bahkan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada
yang
> menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, suka
menyendiri, dan
> sebagainya.
>
>  
>
>  
>
> Kesendirian yang dialami Sutisna sejak
> lama, tentunya menjadi pola hidup tersendiri bagi dia. Kebiasaan yang
terbentuk
> dari sebuah kondisi dimana kehadiaran seorang Istri, sama sekali tidak
> memberikan kontribusi bagi keberlangsungan keluarga. Sementara itu,
banyak
> sekali hal-hal yang memang sudah selayaknya dilakukan, atau setidaknya
dibagi
> bersama seorang Istri. Dan itu adalah sebuah perjuangan tersendiri
yang harus
> dihadapi oleh Sutisna.
>
>  
>
>  
>
> Sutisna sadar, bahwa hadir atau tidaknya
> Mety dalam rumah tangganya memang tidak begitu berpengaruh setelah ia
hilang
> ingatan. Satu hal yang selalu membuatnya bertahan, adalah keyakinan
bahwa Mety
> akan pulih kembali jika diberikan perawatan khusus, kasih sayang, dan
doa yang
> terus menerus. Itulah alasan Sutisna, untuk selalu menyapa, mengajak
Metty
> berkomunikasi setiap kali ia akan berangkat kerja. Mungkin, Sutisna
ingin
> selalu menjaga atmosfir rumah tangga yang ideal, meski sebenarnya
tidak
> demikian.
>
>  
>
>  
>
> Berbagai usaha untuk mencari Mety sudah
> dilakukan oleh Sutisna, tapi hingga kisah ini ditulis, Mety belum juga
berhasil
> ditemukan.
>
> Jakarta, Agustus 2008
>
>  
>
> www.catatankecil.multiply.com
>
>
>
> Dani Ardiansyah
>
> I-Moov Mobile Solution
>
> Jl. Radio Dalam Raya No. 5H Lt. 4
>
> HP: 085694771764
>

1b.

Re: [Ruang Keluarga] Single Parent: Karena Mety Hanya Tersenyum

Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Dec 29, 2008 5:33 am (PST)

Terimakasih kembali, Mbak Rose
waduh, rasanya yang keren itu cerittanya deh
bukan penulisnya. Heuheuheu.

tentu saja masing-masing dari kita mempunyai
peran, sekecil apapun. Saya yakin kisah perjuangan
Mbak Rose di negeri orang tentu sarat dengan hikmah.
Dan saya tunggu hikmahnya jika Mbak Rose berkenan berbagi
di sekolah ini.

Salam

DANI

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "rose firdauzi" <roses_fn@...>
wrote:
>
>
> Terimakasih Mas Dani, tulisan dan cerita yang bagus dari penulis keren.
> Kalau demikian, saya bukanlah apa-apa dibanding Sutisna. Semakin sadar
> jadinya. Laah baru juga ditinggal kerja :) -Habis suka bt hidup di
> negeri orang, koq sendirian, hiks-
>
> Walau terlambat membaca "Mety", tapi untung mas Dani mau berbagi link
> lagi :) thx again.
>
> Masih sesak haru, dada ini...
>
> -Rose di Yukuhashi-
> .........................

2.

[Catatan Kaki] Antara Saya dan Spongebob

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Dec 29, 2008 5:45 am (PST)

Antara Saya Dan Spongbob
~DA~

Who lives in pineapple under the sea…Sponge Bob Square pants

Absorbent and yellow and porous is he… Sponge Bob Square pants

If nautical nonsenses. Be something you wish …Sponge Bob Square pants

Then drop on the deck. A flop like a fish … Sponge Bob Square pants…

Sahabat, pernah mendengar lagu itu dinyanyikan pada permulaan pagi dan
menjelang sore? lagu itu diputar di salah satu stasiun Televisi di
Indonesia dan mungkin di seluruh dunia..

Lantas, apa yang saya dapatkan dari lagu tersebut? Lagu yang menjadi
jingle sebuah film kartun yang setahun lalu masih sering saya tonton.
Namunn setahun belakangan saya memutuskan untuk berhenti menontonnya,
bukan karena saya mulai merasakan psicology effect dari tayangan
tersebut, tapi lebih karena setelah menikah, saya belum memiliki sebuah
televisi baru.

Well, apa yang sudah saya dapatkan dari tokoh utama dalam film
tersebut, Sponge Bob? Sebuah busa pencuci piring berwarna kuning.
Sebuah representasi dari alat pembersih, pelayan, dan pengabdian. Tapi
juga miniatur sosok pemimpin, yang tekun, teguh, dan pantang menyerah.
Sebuah sponge berwarna kuning.

Sponge Bob yang konyol, sedikit banyak membuat saya bercermin. Spong
Bob yang ceria, jail, nakal, baik hati, egois dan hal-hal unik lainnya
membuat saya terkadang malu. Saya teringat episode dimana Mr, Krab
(kepiting) yang menjadi atasan Soponge Bob, berencana untuk membuka
sebuah cabang baru dari restoran miliknya --The Krusty Crab Restauran--
tak jauh dari restauran yang ada.

Sponge Bob yang dengan pede-nya merasa akan diangkat menjadi menejer di
KCR, karena tau rivalnya dalah Squidward yang digambarkan self moving
nya sebagai mahkluk yang lamban, egois, tidak peduli pada ingkungan,
dan moody. Sponge Bob sangat bersemangat mengikuti acara pembukaan itu
bahkan kawannya Patrick Star telah menyiapkan acara khusus untuk
merayakan pengangkatan Sponge Bob menjadi manajer.

Itulah yang terjadi pada saya. Saya yang terkadang over PD, dan sedikit
konyol, sedikit jail, sedikit nakal, sedikit egois, sedikit baik hati,
dan sedikit menabung. Dengan percaya diri menerima amanah yang
dititipkan oleh Sahabat. Mimpi yang dihimpun dengan banyak ekspektasi
dan orientasi itu saya terima dalam lelap tidur saya.

Bahwa saya harus terjaga untuk kemudian menguraikan mimpi-mimpi itu
menjadi kenyataan adalah sebuah keniscayaan. Saya tak dapat lagi
menolak. Mimpi sudah dihimpun, maka saya harus segera terjaga dan
mengurai mimpi itu. Alhamdulillah, nasib saya masih lebih baik daripada
Sponge Bob yang hanya punya satu sahabat karib, Patrick Star sebuah
bintang laut, tetangga Sponge Bob sekaligus kawan dalam suka dan duka
Sponge Bob, juga sebagai lakon "pelengkap penderita" dalam kisah ini
tetapi dengan kehadirannya, life is more colorful.

Ya, saya lebih beruntung dari itu, karena ada begitu banyak Sahabat
yang siap membangunkan saya dari mimpi, sahabat yang akan menemani
ketika saya merasa sepi, sahabat yang akan mengingatkan bila saya
sedikit mis orientasi. Dan sahabat yang akan mengingatkan saya untuk
mengucap syukur ketika datang nikmat, mengingatkan untuk istighfar
ketika datang khilaf, dan sahabat yang akan membantu saya mewujudkan
mimpi.

Dani Ardiansyah
PT. Multidata Rancana Prima
Raudha Building 2nd Jl. HR. Rasuna Said
No. 21 Jakarta 12710
HP: 085694771764

3.

[Rampai][Catcil] Beri Saya Kata

Posted by: "Nia Robie'" musimbunga@gmail.com

Mon Dec 29, 2008 6:24 am (PST)

Kusampirkan cintaku di jemuran

karena luka dan airmata

dan bila ada angin

kubiarkan terbang entah ke mana

karena cintaku usang dan berlubang

bila ada mentari

makin jelas koyak cintaku

dan kubiarkan begitu

bila hujan tak pergi

berarti damai

karena luka dan airmataku basah

bila kau kedinginan di malam hujan

kubiarkan cintaku kaudekap

hanya kehangatan yang kuberi

karena cintaku robek dan tak mengkilat

* ("Kusampirkan cintaku di jemuran" - Asep Samboja)*

* *

*Hoho...* saya sedang tidak membicarakan tentang elegi patah hati disini,
tapi yang saya bicarakan adalah kemiskinan kata. '*Kusampirkan cintaku di
jemuran*' punya arti sendiri dalam sejarah perpuisian saya. Buku puisi buah
karya Asep Samboja itu diberikan sebagai tanda penghargaan dan ucapan
selamat setelah lepas dari bangku perkuliahaan. Buku itu diberikan oleh
seorang sahabat SMA yang namanya sama dengan saya 'Nia'.

Lucunya ada satu syarat yang harus saya ucapkan dan tepati saat itu "Mieh,
nih buku buat lu.. tapi ada satu syaratnya, janji ya.. lu gak pernah berenti
bikin puisi!". Buku yang di tulis oleh salah satu dosen UI yang kebetulan
dosen Nia juga, sudah menunggu jawaban sebuah kepastian. Butuh waktu
beberapa menit bagi saya untuk mengiyakan, karena pada saat itu saya entah
kebetulan atau tidak sedang merasa miskin kata dalam berpuisi bahkan niat
berhenti berpuisi, walaupun saya sudah mencintai puisi dan terjun berpuisi
semenjak kelas 3 SMP.

Berusaha menepati janji dan saya yakin bahwa kejadian di atas sebagai
teguran untuk tidak berhenti berkarya telah berhasil menghasilkan seorang
Nia Robie' yang punya obsesi gila jadi pujanggawati. Hoho makasih prent..

Tapi apa yang terjadi kini? Adalah saya yang dari beberapa minggu lalu masih
berdiam diri akan tawaran membuat 25 puisi. Miskin kata, miskin inspirasi..
dan saya berharap saya tidak miskin semangat!

Beri saya kata sahabat.. karena sahabat selalu ada untuk sebuah semangat!

* *

*"Saya berpendapat, jika orang pandai membuat puisi, berarti suka membaca.
Berarti nuraninya peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Berarti orang itu
mempunyai kepedulian terhadap sesama. Berarti dia tidak akan egois. Berarti
dia tidak akan meletakkan materi di urutan pertama. Berarti dia jujur.
Berarti dia demokratis." (kutipan tulisan Gola Gong dalam 'Kisah Kasih dari
Negeri Pengantin')*

nb: terima kasih buat banyak orang yang sering mengsms atau berdiskusi
langsung maupun via dunia maya tetang perpuisian dan selalu mengingatkan
seorang Nia akan obsesi gilanya... menjadi pujanggawati.. kikikik... luv u
all.. ho ho...

-Nia Robie'-

www.musimbunga.multiply.com
4.

(motivasi) Mental blocking

Posted by: "caliyan" yayan_unj@yahoo.com   c_al_iyan

Mon Dec 29, 2008 2:06 pm (PST)


"aku merasa tidak ada apa-apanya -
apakah karena aku apa adanya!"

kawan, kata-kata diatas masuk dalam kategori 100% mental blocking.
Mental blocking kira-kira berarti penghalang dari kata-kata positif
yang di impikan setiap manusia untuk memotivasi dirinya sendiri.
Mental blocking bergemuruh menjadi mayoritas melarutkan mental
motivasi positif.

Lalu apa yang harus dilakukan? Setidaknya mengurangi munculnya mental
blocking itu. Sebenarnya banyak konsep pelatihan untuk mengurangi
mental blocking yang akan diganti dengan mental motivasi. Tetapi
cukuplah satu tips saja. Begini kawan. Tahukah apa yang mendasari
tokoh-tokoh besar mampu berdiri di singgasana puncak? Karena mereka
tidak pernah berpikir, aku tidak ada apa-apanya lalu terlarut disana
di bawah bayang-bayang mental blocking. Para tokoh mendobraknya dengan
satu kata positif, "aku harus bermanfaat lebih banyak lagi" dan
kata-kata positif itu mengundang kata positif lainnya.

Lalu bagaimana dengan kita semua, masihkah di bayangi mental blocking?

:dalam perenungan 205 syahid di gaza palestina. YA Allah hancurkan
segera Zionis Israel dari dunia. Berikan tanda kepada zionis bahwa
mereka akan hancur lebur secepat mungkin.

http://ya2nya2n.multiply.com
http://bsmipusat.net
ym. yayan_unj

5a.

(bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 3:28 pm (PST)

Hari-hari Nn. Grey
oleh Retnadi Nur'aini

Nn. Grey adalah seorang juru ketik yang tinggal di Kota Pelangi.
Setiap pagi, gadis muda berwajah biasa-biasa saja ini akan
menggelung rambut hitamnya menjadi sebuah sanggul kecil. Kemudian
mengenakan setelan abu-abu yang sewarna dengan matanya. Dengan
sepasang kaki mungilnya terbungkus sepatu hitam yang disemir
mengkilap, Nn. Grey akan berjalan kaki ke kantor tempatnya telah
bekerja selama sepuluh tahun lamanya.

Setibanya di tempat kerja, ia akan memasang selembar kertas polos di
mesin ketiknya. Dan mulai bekerja selama berjam-jam. Sampai tiba
waktunya makan siang. Itulah saat sejumlah pria dan wanita dari
kantor sebelah akan memasuki pintu kantornya. Mereka datang untuk
mengajak makan siang.

Tapi tidak untuk mengajak Nn. Grey.

Mereka datang untuk mengajak Nn. Reed, Nn. Gold, Nn. Blake, atau
bahkan Nn. Brown yang pemalu. Hanya sesekali saja para pria dan
wanita dari kantor sebelah ini menyapa Nn. Grey. Itu adalah saat Nn.
Reed, Nn. Gold, Nn. Blake atau Nn. Brown sedang ke kamar mandi, atau
tengah merapikan mejanya untuk bersiap-siap. Sambil menunggu mereka,
para pria dan wanita dari kantor sebelah ini akan menyapukan
pandangan ke seluruh kantor. Dan berhenti pada Nn. Grey.
"Oh halo Nn. Grey! Sampai hampir lupa kamu ada. Apa kabar?" tanya
mereka berbasa-basi.

Dan Nn. Grey akan tersenyum. "Baik, terima kasih sudah bertanya,"
jawabnya. Sementara si penanya hanya akan mengangguk acuh tak acuh
sambil menatap jam tangannya dengan tak sabar.

Lalu usai Nn. Reed, Nn. Gold, Nn. Blake atau Nn. Brown bersiap-siap,
mereka akan pergi beramai-ramai. Riuh mengobrol dan tertawa,
meninggalkan pintu kantor di belakang mereka tertutup di depan
hidung Nn. Grey.

Tapi tidak apa-apa. Karena Nn. Grey selalu punya bekalnya. Dua
potong sandwich tuna yang disiapkannya saat sarapan. Lalu ia akan
menyeduh secangkir teh dengan air hangat. Dan duduk diam-diam di
kursinya, menyantap bekal makan siangnya. Sendirian.
***

Sepulang kerja, Nn. Grey akan mampir ke sebuah toko serba ada. Ia
akan membeli beberapa bungkus mi instant, atau sekaleng sup ayam.
Setelah menambahi belanjaannya yang sangat sedikit dengan sekantung
kecil permen pedas, Nn. Grey akan mengantri di kasir. Tapi saat tiba
gilirannya membayar, seorang ibu bertubuh gemuk dengan rambut dicat
pirang platina akan menyerobotnya.

"Sori, saya buru-buru nih," ujar si ibu yang sibuk mencari kartu
kredit di dompetnya, tanpa merasa perlu untuk memandang wajah Nn.
Grey.

Tapi tidak apa-apa. Nn. Grey akan menunggu.

Setelah membayar belanjaannya yang sangat sedikit itu, Nn. Grey akan
pulang ke rumahnya. Sebuah apartemen kecil yang terletak di lantai
lima. Begitu kecilnya, sampai-sampai dalam dua puluh delapan langkah
saja ia akan usai mengitari seisinya.

Lalu setelah mengunci pintunya, Nn. Grey akan memanaskan sup di atas
sebuah kompor kecil. Sambil menunggu sup, ia akan mencuci wajahnya,
lalu mengganti stelan kerjanya dengan sebuah piyama berwarna abu-abu
pudar. Piyama sama yang membungkus tubuhnya, saat ia kemudian makan
malam sendirian di sebuah meja kecil, dengan ditemani suara dari
sebuah radio tua. Satu-satunya barang berharga miliknya, yang kini
tengah menyiarkan ramalan cuaca.

Usai siaran berita ramalan cuaca, Nn. Grey akan pergi tidur. Ia akan
mencoba membaca beberapa lembar harian Kota Pelangi, yang tak sempat
dibacanya tadi pagi. Nn. Grey akan mengecek kolom baris "Kepada Yang
Tercinta", siapa tahu ada yang mengirim salam untuknya.

Untuk kemudian menutup koran itu, saat tak menemukannya. Lalu ia
akan mematikan lampu baca di sisi tempat tidurnya, dan bergelung
dalam piyama tuanya.

Pada malam-malam yang tak tertahankan, Nn. Grey akan menyurukkan
wajahnya pada sepotong bantal. Sambil terisak ia akan berbisik pada
dirinya, "Tidak apa-apa, Tidak apa-apa, Tidak apa-apa."
Sampai ia merasa lelah, kemudian terlelap karenanya.
***

5b.

Re: (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey

Posted by: "novi ellnine" noviellnine@yahoo.com   noviellnine

Mon Dec 29, 2008 4:57 pm (PST)

Dear Bu Retnadi Nur'aini

Tulisan ini apik, rapih dan mengalir dengan baik. Gambaran kehidupan Nn.Grey mungkin mewakili, atau mungkin pasti ada yang merasa 'itu seperti kehidupan diriku', at least mirip. Sayangnya Nn.Grey bukan wanita optimis...

Nuansa tulisan ini seperti sebuah gambaran dalam novel-novel western, bukan Indonesia minded. Soalnya ada sandwich tuna dan apartemen.
Kalau tulisan ibu dilanjutkan dengan perubahan Nn.Grey yang kelabu--seperti namanya, menjadi wanita optimis, akan membuat hati pembaca bersemangat dalam menjalankan hidup mereka. 'Semangat' dalam sebuah tulisan dapat memacu semangat pembacanya. Kalau membaca gaya hidup Nn.Grey ini bikin lemes hari baru indah di penghujung Desember.

Ditunggu tulisan berikutnya ya Bu.

Salam, Novi de Sapporo

--- On Tue, 12/30/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> wrote:

From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Tuesday, December 30, 2008, 8:28 AM

Hari-hari Nn. Grey
oleh Retnadi Nur'aini

Nn. Grey adalah seorang juru ketik yang tinggal di Kota Pelangi.
Setiap pagi, gadis muda berwajah biasa-biasa saja ini akan
menggelung rambut hitamnya menjadi sebuah sanggul kecil. Kemudian
mengenakan setelan abu-abu yang sewarna dengan matanya. Dengan
sepasang kaki mungilnya terbungkus sepatu hitam yang disemir
mengkilap, Nn. Grey akan berjalan kaki ke kantor tempatnya telah
bekerja selama sepuluh tahun lamanya.

Setibanya di tempat kerja, ia akan memasang selembar kertas polos di
mesin ketiknya. Dan mulai bekerja selama berjam-jam. Sampai tiba
waktunya makan siang. Itulah saat sejumlah pria dan wanita dari
kantor sebelah akan memasuki pintu kantornya. Mereka datang untuk
mengajak makan siang.

5c.

Re: (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 5:10 pm (PST)

dear mbak novi yg baik,

gyaaa! terima kasih utk komennya.
sipsip, utk masukannya. aku masih belajar nulis, nih, mbak novi. dan
mungkin nn.grey ditulis pas aku lagi pesimis, hehehe, jadi kebawa.
sekali lagi, thanks lho, utk komen dan masukannya.
bersemangat!

salam kenal,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, novi ellnine
<noviellnine@...> wrote:
>
> Dear Bu Retnadi Nur'aini
>
> Tulisan ini apik, rapih dan mengalir dengan baik. Gambaran
kehidupan Nn.Grey mungkin mewakili, atau mungkin pasti ada yang
merasa 'itu seperti kehidupan diriku', at least mirip. Sayangnya
Nn.Grey bukan wanita optimis...
>
> Nuansa tulisan ini seperti sebuah gambaran dalam novel-novel
western, bukan Indonesia minded. Soalnya ada sandwich tuna dan
apartemen.
> Kalau tulisan ibu dilanjutkan dengan perubahan Nn.Grey yang kelabu-
-seperti namanya, menjadi wanita optimis, akan membuat hati pembaca
bersemangat dalam menjalankan hidup mereka. 'Semangat' dalam sebuah
tulisan dapat memacu semangat pembacanya. Kalau membaca gaya hidup
Nn.Grey ini bikin lemes hari baru indah di penghujung Desember.
>
> Ditunggu tulisan berikutnya ya Bu.
>
> Salam, Novi de Sapporo
>
> --- On Tue, 12/30/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@...> wrote:
>
> From: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> Subject: [sekolah-kehidupan] (bahasa-cerpen) hari-hari nn.grey
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Date: Tuesday, December 30, 2008, 8:28 AM
>
> Hari-hari Nn. Grey
> oleh Retnadi Nur'aini
>
> Nn. Grey adalah seorang juru ketik yang tinggal di Kota Pelangi.
> Setiap pagi, gadis muda berwajah biasa-biasa saja ini akan
> menggelung rambut hitamnya menjadi sebuah sanggul kecil. Kemudian
> mengenakan setelan abu-abu yang sewarna dengan matanya. Dengan
> sepasang kaki mungilnya terbungkus sepatu hitam yang disemir
> mengkilap, Nn. Grey akan berjalan kaki ke kantor tempatnya telah
> bekerja selama sepuluh tahun lamanya.
>
> Setibanya di tempat kerja, ia akan memasang selembar kertas polos
di
> mesin ketiknya. Dan mulai bekerja selama berjam-jam. Sampai tiba
> waktunya makan siang. Itulah saat sejumlah pria dan wanita dari
> kantor sebelah akan memasuki pintu kantornya. Mereka datang untuk
> mengajak makan siang.
>

6.

[Kelana} Cerita Gokil Novi Sapporo: TAJ MAHAL vs WESTERN

Posted by: "novi ellnine" noviellnine@yahoo.com   noviellnine

Mon Dec 29, 2008 4:59 pm (PST)

TAJ MAHAL vs WESTERN
Oleh: Ellnovianty Nine
http://novianty.multiply.com

Bulan Desember adalah bulan yang istimewa bagi kami sekeluarga. Di bulan ini banyak sekali memori indah yang wajib disyukuri. Misalnya tahun 2006 awal bulan ini telah terjadi peristiwa bersejarah, yakni kelahiran putri pertama, yang kami juluki 'The Winter Girl'. Setahun sebelumnya- tahun 2005, akhir bulan ini adalah hari bersejarah kami berdua mengikat janji sehidup semati.

Speak-speak about akhir bulan Desember, ada lagi hal lain yang istimewa buat aku dan anak-anak. Yakni, masa berleha-leha bersama suami. Pada setiap akhir Desember hingga awal tahun baru, kurang lebih seminggu, suamiku yang bekerja di Jepang mendapat liburan kerja. Waktunya family service nih! Begitu istilahnya.

Nah, pada suatu hari di bulan Desember 2008, suami mengajak pergi ke sebuah shopping mall besar bernama SAPPORO FACTORY (SAFO). Aku langsung setuju, karena di sana ada restoran India 'TAJ MAHAL' yang telah menjadi incaranku sejak menikah dengannya. Selain karena belum pernah makan masakan India, juga menurut 'kabar-kabari' ala warga Indonesia di kota Sapporo ini bahwa masakan di resto itu halal. Hmmm...jarang-jarang bisa makan enak di luar nih! Perutku sengaja dikosongkan demi bertemu 'si tun jahe jahe'.

Tibalah kami di SAFO Mall. Ternyata Mall itu keren abis! Selain luas, lengkap dengan berbagai macam toko dan resto, juga terdapat taman indah di tengah Mall. Taman itu ditata sedemikian rupa, di desain dengan tangga-tangga menarik dan air mancur. Anak-anak kecil keliatan berlari ke sana ke mari, naik turun tangga. Sedangkan para orang dewasa dan anak muda tampak duduk-duduk di beberapa teras cafe. Yang spesial adalah pohon natal tinggi, life-music , layar monitor tv ukuran jumbo, dan permainan lampu kerlap-kerlip-illumination.

Perutku yang sudah keroncongan akhirnya menjadi jinak setelah munculnya menu pesanan. Sea-food kare, lengkap dengan roti nan panjang, nasi kuning ala India yang lezat tiada tara dan salada manis berisi irisan timun dan wortel.

Rasa kare di restoran ini dibagi dalam beberapa kelas pedas. Mulai dari 'heavy mild' hingga 'super spichy'. Menurut kalimat yang tertera di menu itu, bahwa rasa pedas heavy mild bisa dinikmati oleh anak-anak. Kami berdua sepakat memilih dua jenis menu yang pedasnya paling rendah, agar anak kami yang masih berusia dua tahun pun bisa coba menikmatinya. Selain itu karena suamiku asli Sunda, sehingga tak ada sejarah lidahnya senang masakan pedas. Berbeda dengan diriku yang sejak dalam kandungan sudah merasakan pedasnya sambal orang Padang.

Urusan makan kelar dengan aman, tentram dan kesepakatan bahwa masakan India memang te-o-pe deeh. Tapi si sulung kami hanya memakan roti nan dan nasi kuning, karena menurut penilaiannya masakan India itu kotor! Aku dan suami hanya nyengar-nyengir mendengar penilaian itu. Karena, bentuk kare India kan full warna. Sedangkan si sulung keseringan makan masakan rumah yang warnanya bening-bening saja.

Beres menenangkan cacing-cacing piaraan di perut, kami memilih beristirahat di sebuah tempat yang menyediakan sarana bermain anak-anak. Di sana ada sebuah tempat incaran yang aman dari lalu lalang manusia, rencananya di pakai ntuk sholat. Nah, di dekat sudut untuk sholat itu ada sebuah mesin minuman atau istilah kerennya vending mechine. Terlintas di kepalaku untuk membeli jus botol ukuran seratus mili, sekedar jaga-jaga kalau si sulung kehausan.

Merasa sudah tidak asing dengan mesin itu, jari-jariku beraksi memasukkan koin uang seharga seratus dua puluh yen. Lalu memencet angka dua belas, yakni nomor jus tadi. Tapi, baru saja menekan angka '1', anehnya yang keluar dari mesin itu adalah kopi susu dalam kaleng kecil. Aku kaget dan bergumam, "loh? kok ini yang keluar!" Suamiku menoleh dan berkata, "salah pencet nggak?" Aku menggeleng kebingungan.

Lalu aku coba sekali lagi dengan urutan yang sama. Pencet angka '1' lalu '2'. Tapi sekali lagi, belum juga memencet angka '2', si kaleng kopi bergulir keluar. Laaah! Mosok aku harus minum kopi susu dua kaleng. Event aku pernah menggemari kopi, ampe merasa jadi wanita modern karena 'tiada hari tanpa kopi', tapi itu kan kehidupan enam tahun yang lalu.

Melihat aku yang gulang-geleng kepala, suamiku akhirnya bangkit dari kursinya. Berdiri hanya semenit lalu berkata, "milih nomor berapa?" Aku menunjuk angka satu dulu baru ke angka dua. Suamiku senyam-senyum. "Nomor dua belas kan ada di sini jeng! Kalau milih angka satu, ya si kopi lagi yang muncul" Ups! Muka ini rasanya pengen dilepas dan disimpan dulu deh. Soalnya mataku yang mengikuti gerak tangan suami akhirnya sadar kalau nomor-nomor yang tertera di kaca mesin itu, dimulai dari angka satu hingga dua puluh. Ampuuunn...kampungan banget deh aku.

Berhubung merasa bersalah dengan tindakan sendiri, aku berjanji untuk meminum kedua kopi tadi. Selain karena malu hati, juga karena suami anti-kopi. Plus, kami sedang gencar-gencarnya menerapkan prinsip keuangan rumah tangga yang 'say yes to: hemat and say no to: mubazir!

Beres urusan perkopian yang memalukan itu, suamiku mengajak berkeliling shopping mall yang luasnya tak terkira. Kaki ampe jangar hilir mudik ke satu gedung ke gedung yang lain. Kebetulan ada hajat yang harus dibereskan, yakni membeli souvenir khas Jepang. Anak-anak kami yang masih batita, adem tentram loh jinawi di masing-masing baby-car mereka.

Kelar semua urusan, kami memilih menikmati dinner ringan di salah satu teras cafe dekat taman bunga tadi. Di luar langit sudah gelap, salju menari turun dari langit, tapi di tengah Mall hangat oleh sistem pemanas yang canggih, juga terang benderang oleh kerlap-kerlip lampu illumination.

Permainan lampu sangat indah membuat mulutku mangap terkesima. Untung nggak ada lalat yang lewat. Kalau tidak, sudah jadi makanan penutup kali .

Sebagai pelengkap kebahagiaan hari itu, suamiku menraktir pizza gulung plus ice cream. Aku sebenarnya dah kenyang, tapi berhubung my hubby bilang perutnya dah keroncongan (lagih??), akhirnya tanpa sungkan dan tanpa malu aku trima tantangannya.

Jadi kesimpulannya, cacing-cacing di perut kami berpesta pora dengan beragam bumbu Taj Mahal dan nyemplung di lumpur pizza dan ice-cream. Gileee...tuh cacing-cacing bisa berubah jadi naga kali yeee...

Tengah malam setelah sekian jam melepas lelah, aku terbangun. Ada rasa yang aneh di kepalanya yang pusing nggak keruan. Belum lagi rasa 'enek di lambung. Duuh apaan nih?

Ketika akan menuju toilet, suamiku sedang asyik berada di depan komputer. Meneruskan tugas-tugasnya. Kami hanya bertukar pandang, melempar senyum, lalu kembali ke tujuan masing-masing. Haiyaa...nggak romantis amat sih. Bagaimana tidak? Perutku nggak keruan...harus ngabur cepat-cepat.

Tapi sekian lama nyepi di toilet, ternyata tidak terjadi apa-apa. Malah aku merasa seperti berhalusinasi aneh. Bahwa dari bawah toilet akan muncul ular ANA CONDA yang akan mematuk. Buru-buru aku keluar dari toilet. Terus mengambil wudhu dan memulai ritual Sholat Isya. Anehnya kepalaku jadi puyeng, mabuk nggak kepalang. Asli! Weleh...piye toh iki. Minum whisky aja nggak pernah kok ya bisa mabuk.

Beres sembahyang aku buru-buru ngabur ke pulau kapur. Kubungkus tubuh dengan selimut hangat dan berusaha tidur. Tapi kepala terus aja muter-muter...emang jet-cooster. Suamiku yang menyusul ke peraduan dan mengelus-elus tanganku mesra, eit kena cuekan beibeh dong. Wong pusing, mual, berasa mau melahirkan je!

Walhasil hingga keesokan harinya lambungku terasa panas dan jadi langganan toilet pulang pergi. Emang naik omprengan mbak!

Nih pasti sedang terjadi peperangan antara TAJ MAHAL versus WESTERN di lambungku. Ampuuunn....nggak lagi deh!

*Lucu nggak seeh?

7a.

(catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 5:01 pm (PST)

Masakan Pertama Saya
Oleh Retnadi Nur'aini

Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.

Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang
terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan masak,
emang bukan bakat gua."

Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
aja yang nggak mau!"

Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.

Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan menawari
saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar ini
adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!").

Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus akunya
tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.

Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1 sodet,
1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
***

Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan kehadiran
ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis, wortel,
seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara mengupas
kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan kupasan
yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena saya
kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.

Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
berbonus tangan saya tak kapalan.

Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng-nya dengan mentega.
Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah itu,
baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang), baru
dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.

Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu untuk
menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.

Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk sate
di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
terasi.

Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama 2
jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari manis
dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya hiraukan
lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
perkakas makan.

Ah, semuanya lunas.
***

Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah bisa
masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
menggoreng nasi.

Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu sama
Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"

Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama kamu.
Kamu hebat!"

Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
***
Ps:
• Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar, jadilah
sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
• Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi saya
masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak berada
di bawah tekanan atau ancaman-red). Gyaaa!

7b.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Ain Nisa" jurnalcahaya@yahoo.com   jurnalcahaya

Mon Dec 29, 2008 5:14 pm (PST)

tuh...bisa kan, bisa kan? sebentar lagi pasti udah jago
hayo dipraktekin resepnya!

--- On Mon, 12/29/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> wrote:

From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] (catcil) masakan pertama saya
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, December 29, 2008, 5:01 PM

Masakan Pertama Saya

Oleh Retnadi Nur'aini

Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.

Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang

terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat

masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini

juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar

yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).

Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah

udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan masak,

emang bukan bakat gua."

Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya

aja yang nggak mau!"

Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu

merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,

dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa

untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya

tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan

ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.

Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk

menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan menawari

saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah

buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai

sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua

dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo

rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"

ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar ini

adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!") .

Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,

akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak

ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat

masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,

serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan

psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus akunya

tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.

Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1 sodet,

1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari

Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.

***

Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,

tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan kehadiran

ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai

dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis, wortel,

seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara mengupas

kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—

sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik

Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan kupasan

yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena saya

kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta

merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya

tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya

mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA

MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.

Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.

Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk

kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang

paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan

waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati

memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—

sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang

berbonus tangan saya tak kapalan.

Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng- nya dengan mentega.

Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah itu,

baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,

kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang), baru

dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.

Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu

antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu untuk

menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling

saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat

minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu

pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu

secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati

saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.

Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk sate

di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari

menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13

potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal

terasi.

Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.

Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,

sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama 2

jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari manis

dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya hiraukan

lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya

hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci

perkakas makan.

Ah, semuanya lunas.

***

Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah bisa

masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan

sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail

keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak

nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya

ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk

menggoreng nasi.

Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada

suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu sama

Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu

makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"

Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama kamu.

Kamu hebat!"

Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?

***

Ps:

• Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi

karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar, jadilah

sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.

• Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi saya

masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau

mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di

Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak berada

di bawah tekanan atau ancaman-red) . Gyaaa!











7c.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 5:23 pm (PST)

iyaaaa, nggak nyangka deh!
ternyata bisaaa!gyaaaa! thanks ya neng! loveuloveuloveu!
i'm so excited!

ps: tadi mahisa juga nyicipin nasi gorengnya. awalnya emang dia
emang sempat pura2 tersedak dan keracunan, tapi setelah diancem
dipentung pake dispenser, dia pun akhirnya bilang "iya, enak, no" :)
gyaaaa!

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Ain Nisa
<jurnalcahaya@...> wrote:
>
> tuh...bisa kan, bisa kan? sebentar lagi pasti udah jago
> hayo dipraktekin resepnya!
>
> --- On Mon, 12/29/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@...> wrote:
>
> From: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> Subject: [sekolah-kehidupan] (catcil) masakan pertama saya
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Date: Monday, December 29, 2008, 5:01 PM
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Masakan Pertama Saya
>
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
>
>
> Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.
>
>
>
> Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau
yang
>
> terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
>
> masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
>
> juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
>
> yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
>
> Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
>
> udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan
masak,
>
> emang bukan bakat gua."
>
>
>
> Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
>
> aja yang nggak mau!"
>
>
>
> Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
>
> merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
>
> dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
>
> untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
>
> tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
>
> ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.
>
>
>
> Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
>
> menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan
menawari
>
> saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
>
> buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
>
> sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
>
> dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
>
> rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
>
> ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar
ini
>
> adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!") .
>
>
>
> Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
>
> akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
>
> ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
>
> masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
>
> serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
>
> psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus
akunya
>
> tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.
>
>
>
> Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1
sodet,
>
> 1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
>
> Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
>
> ***
>
>
>
> Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
>
> tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan
kehadiran
>
> ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
>
> dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis,
wortel,
>
> seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara
mengupas
>
> kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
>
> sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
>
> Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan
kupasan
>
> yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena
saya
>
> kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
>
> merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
>
> tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
>
> mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
>
> MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.
>
>
>
> Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
>
> Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
>
> kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
>
> paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
>
> waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
>
> memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
>
> sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
>
> berbonus tangan saya tak kapalan.
>
>
>
> Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng- nya dengan mentega.
>
> Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah
itu,
>
> baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
>
> kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang),
baru
>
> dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.
>
>
>
> Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
>
> antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu
untuk
>
> menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
>
> saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
>
> minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
>
> pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
>
> secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
>
> saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.
>
>
>
> Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk
sate
>
> di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
>
> menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
>
> potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
>
> terasi.
>
>
>
> Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
>
> Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
>
> sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama
2
>
> jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari
manis
>
> dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya
hiraukan
>
> lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
>
> hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
>
> perkakas makan.
>
>
>
> Ah, semuanya lunas.
>
> ***
>
>
>
> Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah
bisa
>
> masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
>
> sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
>
> keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
>
> nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
>
> ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
>
> menggoreng nasi.
>
>
>
> Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
>
> suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu
sama
>
> Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
>
> makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"
>
>
>
> Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama
kamu.
>
> Kamu hebat!"
>
>
>
> Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
>
> ***
>
> Ps:
>
> • Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
>
> karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar,
jadilah
>
> sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
>
> • Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi
saya
>
> masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
>
> mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
>
> Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak
berada
>
> di bawah tekanan atau ancaman-red) . Gyaaa!
>

7d.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com   siuhik

Mon Dec 29, 2008 5:26 pm (PST)

Dulu waktu masih bujangan...saya sangat tak hobi masak juga Nok! sanggaatttttt..., tapi karena ibuku buka warung mau tak mau saya harus bantuin, dan jadi biasa saja dengan memasak. jadi bisaku memasak bukan karena keinginan tapi karena kebiasaan, dan nyatanya efek dominonya kurasakan sekarang ini, justru ketika Ibuku sudah almarhumah, mertuaku juga sudah almarhumah rasanya ilmu mereka jadi tumplek blek ke aku, .taraaaa... jadi sering terima pesenan kue! Kemaren waktu lebaran lumayan lo NOk dapet pesenan kuker ampe tujuh lusin... yah lumayan labanya minimal bisa bikinin kuker sodara-sodara dengan gratis... Juga kalo dikantor ada rapat-rapat aku yang bikinin kuenya Nok...

Pesannya : jangan pernah nyesel belajar masak karena yakin deh pasti akan bermanfaat, kalo ga sekarang pasti someday... minimal kalo anaknya Ultah bisa bikin nasi kuning sendiri.. semangattttt...!!!

Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik

________________________________
From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, December 30, 2008 8:01:30 AM
Subject: [sekolah-kehidupan] (catcil) masakan pertama saya

Masakan Pertama Saya
Oleh Retnadi Nur'aini

Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.

Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang
terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan masak,
emang bukan bakat gua."

Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
aja yang nggak mau!"

Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.

Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan menawari
saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar ini
adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!") .

Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus akunya
tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.

Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1 sodet,
1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
***

Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan kehadiran
ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis, wortel,
seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara mengupas
kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan kupasan
yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena saya
kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.

Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
berbonus tangan saya tak kapalan.

Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng- nya dengan mentega.
Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah itu,
baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang), baru
dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.

Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu untuk
menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.

Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk sate
di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
terasi.

Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama 2
jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari manis
dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya hiraukan
lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
perkakas makan.

Ah, semuanya lunas.
***

Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah bisa
masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
menggoreng nasi.

Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu sama
Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"

Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama kamu.
Kamu hebat!"

Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
***
Ps:
• Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar, jadilah
sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
• Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi saya
masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak berada
di bawah tekanan atau ancaman-red) . Gyaaa!

7e.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 5:32 pm (PST)

wah, ternyata mbak siwi dulu juga sama ya? hehehe.
aku juga pernah lho bikin kue basah, dan yah, lumayan lah bisa
dimakan hehehe.
tapi aku nggak bisa bikin kue kering.
berhubung dulu dikasi kado oven sama temen2 pustaka lebah, mau dong,
resep kukernya mbak siwi.

ps: orang ketiga yg nyobain nasi gorengku hari ini, namanya damar.
kata beliau "kok kurang asin ya? agak kemanisan, mbak, kecapnya
berasa bgt,", namun kemudian dia meralat dgn "tapi rasa nasi
gorengnya rumahan bgt, mbak. makasih ya dah boleh nyicipin..." :)
hehehehe.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Siwi LH <siuhik@...> wrote:
>
> Dulu waktu masih bujangan...saya sangat tak hobi masak juga Nok!
sanggaatttttt..., tapi karena ibuku buka warung mau tak mau saya
harus bantuin, dan jadi biasa saja dengan memasak. jadi bisaku
memasak bukan karena keinginan tapi karena kebiasaan, dan nyatanya
efek dominonya kurasakan sekarang ini, justru ketika Ibuku sudah
almarhumah, mertuaku juga sudah almarhumah rasanya ilmu mereka jadi
tumplek blek ke aku, .taraaaa... jadi sering terima pesenan kue!
Kemaren waktu lebaran lumayan lo NOk dapet pesenan kuker ampe tujuh
lusin... yah lumayan labanya minimal bisa bikinin kuker sodara-
sodara dengan gratis... Juga kalo dikantor ada rapat-rapat aku yang
bikinin kuenya Nok...
>
> Pesannya : jangan pernah nyesel belajar masak karena yakin deh
pasti akan bermanfaat, kalo ga sekarang pasti someday... minimal
kalo anaknya Ultah bisa bikin nasi kuning sendiri..
semangattttt...!!!
>
>
> Salam Hebat Penuh Berkah
> Siwi LH
> cahayabintang. wordpress.com
> siu-elha. blogspot.com
> YM : siuhik
>
>
>
>
> ________________________________
> From: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Sent: Tuesday, December 30, 2008 8:01:30 AM
> Subject: [sekolah-kehidupan] (catcil) masakan pertama saya
>
>
> Masakan Pertama Saya
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.
>
> Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau
yang
> terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
> masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
> juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
> yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
> Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
> udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan
masak,
> emang bukan bakat gua."
>
> Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
> aja yang nggak mau!"
>
> Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
> merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
> dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
> untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
> tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
> ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.
>
> Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
> menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan
menawari
> saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
> buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
> sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
> dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
> rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
> ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar
ini
> adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!") .
>
> Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
> akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
> ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
> masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
> serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
> psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus
akunya
> tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.
>
> Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1
sodet,
> 1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
> Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
> ***
>
> Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
> tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan
kehadiran
> ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
> dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis,
wortel,
> seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara
mengupas
> kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
> sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
> Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan
kupasan
> yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena
saya
> kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
> merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
> tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
> mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
> MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.
>
> Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
> Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
> kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
> paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
> waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
> memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
> sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
> berbonus tangan saya tak kapalan.
>
> Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng- nya dengan mentega.
> Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah
itu,
> baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
> kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang),
baru
> dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.
>
> Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
> antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu
untuk
> menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
> saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
> minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
> pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
> secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
> saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.
>
> Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk
sate
> di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
> menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
> potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
> terasi.
>
> Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
> Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
> sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama
2
> jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari
manis
> dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya
hiraukan
> lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
> hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
> perkakas makan.
>
> Ah, semuanya lunas.
> ***
>
> Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah
bisa
> masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
> sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
> keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
> nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
> ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
> menggoreng nasi.
>
> Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
> suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu
sama
> Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
> makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"
>
> Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama
kamu.
> Kamu hebat!"
>
> Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
> ***
> Ps:
> • Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
> karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar,
jadilah
> sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
> • Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi
saya
> masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
> mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
> Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak
berada
> di bawah tekanan atau ancaman-red) . Gyaaa!
>

7f.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Dec 29, 2008 6:12 pm (PST)

Retno, ini ada tips mengulek agar cepat hancur:

Setelah cabai, bawang dkk dibersihkan, goreng dahulu
dalam minyak yang panas, atau bisa juga direbus dalam
air yang mengelegak *lebay* lalu angkat.

Lalu ulek lah mereka dengan penuh perasaan, niscaya .
mereka akan cepat hancur tanpa tenaga yang berlebihan
beneran loh, manjur! Ini Endah yang ngajarin loh.

Ataua ada cara yang lebih praktis, diblender. beeuh
cepeeet seut seut beut beut. selesaaai.

DANI

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
<punya_retno@...> wrote:
>
> Masakan Pertama Saya
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.
>
> Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang
> terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
> masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
> juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
> yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
> Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
> udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan

7g.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Dec 29, 2008 6:20 pm (PST)

gyaaaa, trima kasih kang dani dan mbak endah!

ps: kalo pake blender, konon, rasanya kurang sedep, kang. ain sih
kepikir mau ditumbuk aja pake alu dan lumpang, tapi kupikir cobek is
the best, karena permukaannya datar, jadi lebih "terasa", hehehe.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "fil_ardy" <fil_ardy@...>
wrote:
>
> Retno, ini ada tips mengulek agar cepat hancur:
>
> Setelah cabai, bawang dkk dibersihkan, goreng dahulu
> dalam minyak yang panas, atau bisa juga direbus dalam
> air yang mengelegak *lebay* lalu angkat.
>
> Lalu ulek lah mereka dengan penuh perasaan, niscaya .
> mereka akan cepat hancur tanpa tenaga yang berlebihan
> beneran loh, manjur! Ini Endah yang ngajarin loh.
>
> Ataua ada cara yang lebih praktis, diblender. beeuh
> cepeeet seut seut beut beut. selesaaai.
>
> DANI
>
> In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
> <punya_retno@> wrote:
> >
> > Masakan Pertama Saya
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.
> >
> > Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau
yang
> > terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya
membuat
> > masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira,
ini
> > juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak
ipar
> > yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
> > Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
> > udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan
>

7h.

Re: (catcil) masakan pertama saya

Posted by: "inga_fety" inga_fety@yahoo.com   inga_fety

Mon Dec 29, 2008 6:35 pm (PST)

retno, kita sama, 'terpaksa' belajar memasak karena menikah:)
menikah mengubah segalanya deh he..he..
happyli married:)

salam,
febty

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
<punya_retno@...> wrote:
>
> Masakan Pertama Saya
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.
>
> Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang
> terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
> masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
> juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
> yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
> Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
> udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan masak,
> emang bukan bakat gua."
>
> Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
> aja yang nggak mau!"
>
> Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
> merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
> dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
> untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
> tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
> ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.
>
> Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
> menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan menawari
> saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
> buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
> sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
> dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
> rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
> ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar ini
> adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!").
>
> Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
> akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
> ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
> masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
> serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
> psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus akunya
> tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.
>
> Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1 sodet,
> 1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
> Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
> ***
>
> Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
> tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan kehadiran
> ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
> dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis, wortel,
> seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara mengupas
> kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
> sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
> Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan kupasan
> yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena saya
> kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
> merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
> tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
> mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
> MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.
>
> Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
> Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
> kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
> paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
> waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
> memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
> sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
> berbonus tangan saya tak kapalan.
>
> Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng-nya dengan mentega.
> Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah itu,
> baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
> kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang), baru
> dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.
>
> Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
> antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu untuk
> menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
> saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
> minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
> pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
> secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
> saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.
>
> Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk sate
> di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
> menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
> potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
> terasi.
>
> Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
> Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
> sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama 2
> jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari manis
> dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya hiraukan
> lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
> hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
> perkakas makan.
>
> Ah, semuanya lunas.
> ***
>
> Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah bisa
> masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
> sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
> keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
> nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
> ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
> menggoreng nasi.
>
> Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
> suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu sama
> Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
> makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"
>
> Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama kamu.
> Kamu hebat!"
>
> Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
> ***
> Ps:
> • Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
> karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar, jadilah
> sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
> • Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi saya
> masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
> mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
> Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak berada
> di bawah tekanan atau ancaman-red). Gyaaa!
>

8.

[Catcil] MANUSIA-MANUSIA LAPAR

Posted by: "Suminta Nur Farhan" sunhan83@yahoo.com   sunhan83

Mon Dec 29, 2008 5:08 pm (PST)

Sejak
lahir kita dihadapkan pada sebuah realita yang semua orang pasti
mengalaminya, yaitu kita adalah manusia tanpa membawa apa-apa, miskin,
dan tak berdaya! Bahkan kita hanya mampu menangis… Apakah manusia
ditakdirkan untuk menjadi lemah sampai awal kita menghirup oksigen saja
kita menangis??? Hah! Preman yang bertato Naga saja waktu bayi dia
menangis! Begitu juga Bos-bos yang berlagak anti peluru, hakikatnya
mereka penangis! Sudahlah, kita tinggalkan menangis… Kita lihat sisi
lain dari ketidakberdayaan manusia sejak dilahirkan.
Fenomena
ketidakberdayaan itu menjadi trend masa kini, di-Abad iptek yang
semakin canggih nan membooming. Ketidakberdayaan itu, bukan dari harta
sedikit (miskin) atau tubuh yang lemah (cacat), bukan itu! Akantetapi,
ketidakberdayaan yang menjadi akar masalah hidup masyarakat kita, yaitu
Mentalitas! Ya, mentalitas yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan
sehingga kita melihat orang yang dari ekonomi terlihat cukup bahkan
lebih, mereka (atau kita sendiri) merasa tidak berdaya, serba
kekurangan! Fakta yang mungkin sudah usang kita bicarakan adalah
pemberian/bantuan RASKIN, KOMPOR GAS gratis, BLT dan
"Sumbangan-sumbangan" lainnya, masyarakat kita menampilkan
ke'miskin'annya untuk mendapatkan fasilitas gratis tersebut. Ini menjadi bukti bahwa akar permasalahan kita adalah mentalitas yang parah! Inikah yang dinamakan MANUSIA-MANUSIA LAPAR???
Di
kalangan elit simbol-simbol manusia-manusia lapar bisa kita temui, kita
lihat dengan gampangnya mereka menggerogoti uang rakyat (korupsi)!
Kalau masyarakat awam melihat, mereka adalah orang-orang Hebat! Dan
tentu saja mereka berkecukupan dengan gaji pokok menjadi anggota dewan,
Belum lagi tunjangan yang lebih besar dari gaji pokoknya!!! Akantetapi
masih saja 'doyan' mencari peluang dari jabatannya –korupsi- Hal ini
pun terjadi karena masalah ketidakberdayaan yang ternyata bukan dialami
oleh masyarakat 'bawah' saja, akantetapi masyarakat 'atas'
pun mengalaminya, ya mereka mengalami ketidakberdayaan Mentalitas! Ini
menjadi bukti bahwa cukup harta pun memiliki mentalitas yang parah!
Inikah yang dinamakan MANUSIA-MANUSIA LAPAR???
Manusia-manusia
lapar semakin banyak saja, dengan menghalalkan segala cara mencari uang
(Menipu, memaksa, mencuri dan memperkosa hak hidup). Ada juga
berbondong-bondong mengejar jabatan (bahkan dengan memaksa). Yang sudah
lelah membantai keluarganya sendiri dan bunuh diri!
Kalau
semua masyarakat kita benar-benar menjadi MANUSIA-MANUSIA LAPAR
bagaimana kita bisa hidup dan membangun bangsa ini?? Konon katanya di
Luar Negri subsidi/bantuan/sumbangan yang diberikan oleh pemerintahnya
ditolak mentah-mentah! Bahkan merasa 'aib' jika harus di'sumbang'! Dalam konteks elit politik (seharusnya) merasa 'aib' jika harus korupsi (mendapat uang yang tidak jelas kerjanya -korupsi-).
Jika
kita sudah terbangun (sadar) dari ketidakberdayaan tersebut
(mentalitas) maka kita tidak perlu TURUN kejalan untuk menolak
Undang-undang atau MASUK ke Parlemen membuat Undang-undang! Karena
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, prinsip-prinsip agama dan aturan
yang sudah ada, kita bisa damai, adil dan sejahtera! Syaratnya jangan
menjadi manusia-manusia lapar! Apakah sudah ada manusia-manusia yang
terbebas dari LAPAR? Mungkin sudah ada, bahkan banyak, tapi lebih
banyak Manusia Laparnya!!! Bagaimana dengan kita??? Apakah kita
manusia-manusia Lapar??? Entahlah… Jadi ingat semasa bayi: Menangis tak punya apa-apa!!! Namun, wangi dan suci!
http://penabintang.wordpress.com/karya/bintang-kita/

9a.

Re: [Ruang Musik} Mother, How are You today? (plus balesan tulisan m

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Mon Dec 29, 2008 5:12 pm (PST)

Sama-sama Nihaw

Ditranslet ka indonesia heula atuh. Butuh bantuan ?

Salam buat ibumu yach

asma

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Nia Robie'"
<musimbunga@...> wrote:
>
> eh lupa bilang makasih ke mba Asma:)
> makasih yah mba Asma:) ceritanya sangat mengingatkan dan membuatku
ingin
> bernyanyi:D
>
> salam,
>
> nihaw
>
> Pada 22 Desember 2008 15:19, Nia Robie' <musimbunga@...> menulis:
>
> > jadi pengen nyanyi hiks..hiks..
> >
> > *Mother How Are You Today*
> > -Maywood-
> >
> > Chorus
> >
> > Mother, how are you today?
> >
> > Here is a note from your daughter.
> >
> > With me everything is ok.
> >
> > Mother, how are you today?
> >
> > Mother, don't worry, I'm fine.
> >
> > Promise to see you this summer.
> >
> > This time there will be no delay.
> >
> > Mother, how are you today?
> >
> > Verse
> >
> > I found the man of my dreams.
> >
> > Next time you will get to know him.
> >
> > Many things happened while I was away.
> >
> > Mother, how are you today?
> >
> >
> > hiks..hiks...
> > btw kalo aku ujug2 bawain instrumentalia lagu ini pake biola
ibuku ngerti
> > gak ya? paling dy megang kepalaku dan bilang 'nia kenapa? aneh
banget hari
> > ini?' kikikikik..
> >
> > pengen cepet2 pulang kerumah:)
> > memeluk beliau erat..
> >
> > Pada 22 Desember 2008 08:56, asma_h_1999 <asma_h_1999@...>
menulis:
> >
> >> Pernahkah Kita Mengingat Ibu Kita di Hari-Hari terakhir ini ?
> >>
> >> Asma Sembiring
> >>
> >> Pernah kita mengingat Ibu/Emak/Mama/Nande/Amak kita di hari-
> >> hari belakangan ini ? Pertanyaan itu juga yang saya ajukan pada
diri
> >> sendiri saat mencuci baju di sabtu pagi kemaren.
> >>
> >> Ibu/Emak/Mama/Amak/Nande atau apapun sebutan sayangnya bagi
> >> wanita yang telah melahirkan kita, mungkin saja saat ini sedang
> >> duduk-duduk di kursi goyang depan rumah. Menghabiskan hari
tuanya
> >> dalam lamunan panjang tentang kenangan anak-anaknya yang besar
> >> begitu cepat. Hari-hari membersihkan pipis dan pup, mengajarkan
> >> ucapan pertama, menatih kaki-kaki kecil balitanya berjalan-
hingga
> >> kaki itu akhirnya cukup kokoh menapak, berjalan serta kemudian
> >> meleset berlari secepat ia bisa.
> >>
> >> Ia Membujuk upik dan buyungnya ketika emoh makan dan mogok
> >> sekolah. Ikut-ikutan stres ketika permata hatinya menghadapi
> >> ulangan di kelas. Bahkan ikutan latah bolak-balik ke kamar mandi
> >> saat anaknya mengikuti ujian akhir. Diluar biaya yang
dikeluarkan
> >> ayah dan ibu kita, ibu memendam kekhawatiran besar (walau hal
itu
> >> tak pernah ia sampaikan) dengan kondisi anaknya-hingga mereka
ini
> >> berusia 23 tahun (kira-kira lulus S1).
> >>
> >> Setelah itu, benak para ibu masih dihantui dengan pertanyaan-
> >> pertanyaan lainnya. Apakah anakku akan dapat pekerjaan yang
baik dan
> >> dengan posisi yang baik pula?. Lalu kalau ia memilih pasangan,
> >> calon istri/suaminya dari keturunan baik-baikkah....dan
> >> seterusnya..dan seterusnya. Seumur hidupnya bahkan dihabiskan
> >> memikirkan anak-anaknya, tak peduli anak-anak itu sudah besar
> >> sekalipun.
> >>
> >> Bagi seorang ibu, anak akan selalu menjadi bayi-bayi mereka.
> >> Tak peduli anak-anak ini sudah dewasa sekalipun. Maka berlapang
> >> dadalah jika di depan ibu, kita masih sering ditegur-layaknya
gadis-
> >> gadis ABG yang ditegur gurunya karena cekikikan membicarakan
teman
> >> lelakinya. Karena itu pertanda kasih sayangnya ibu.
> >>
> >> Hari ini di usianya menjelang senja, bisa jadi ia masih
> >> aktif bekerja menjelang pensiunnya. Atau Ia tetap ke ladang
bertanam
> >> padi selayaknya rutinitas yang ia jalani berpuluh tahun
lamanya. Ia
> >> bekerja bukan lagi untuk menyokong kehidupan keluarganya. Karena
> >> mungkin, tabungan/pensiun atau dana kiriman dari anda, anak-
anaknya
> >> sudah lebih cukup untuk hidupnya sehari-hari. Ia bekerja sebagai
> >> perintang hari. Untuk sangu sekedarnya bagi anak dan cucu ketika
> >> pulang berlebaran.
> >>
> >> "Ini beras dari ladang kita. Bawa yaaa ke kota", begitu
> >> mungkin ujarnya. Ia masih saja mengingat betapa lahapnya anda
makan
> >> saat dihidangkan beras merah hasil ladang sendiri.
> >>
> >> Atau Hari ini, mungkin Mamak kita adalah seorang wanita yang
> >> hanya bisa duduk di kursi roda, karena tulang-tulangnya terlalu
> >> rapuh untuk berdiri akibat keropos terkena oestoporosis.
Kekurangan
> >> zat kapur, begitu istilahnya. Karena terlalu banyak kapur yang
> >> kita serap dari dirinya saat mengandung dulu.
> >>
> >> Mungkin juga Nande kita adalah seorang wanita dengan uban
> >> keperakan, menunggu seluruh rambutnya berubah memutih.
Memandangi
> >> foto-foto masa lalu dan masa kini-anak, cucu dan menantunya.
Lalu
> >> mendekap harta berharganya itu dengan rindu mendalam, disertai
> >> cucuran air mata.
> >>
> >> Atau wanita yang mulai pikun. Yang menebar surat anak-
> >> anaknya di depan meja jati tengah rumah yang ikut menua bersama
> >> dirinya. Surat-surat itu begitu rapi ia simpan saat ingatannya
masih
> >> tajam. Ia mulai membaca surat tersebut satu-persatu. Menangis-
> >> tertawa-dan menangis dalam satu waktu bersamaan.
> >> Pernah kita mengingat Ibu kita di hari-hari belakangan ini?
> >>
> >> Bagi perempuan, ingatan pada ibu mungkin menguat saat akan
> >> melahirkan. Betapa rasa sakit yang maha hebat ketika melahirkan
> >> akhirnya memunculkan sebuah kesadaran diri. Begitu banyaknya
yang
> >> telah dilakukan oleh ibu selama ini. Sehingga lebih dari pantas,
> >> terima kasih disampaikan pada ibu.
> >>
> >> Bagi anak laki-laki, momen ketika sungkem pada orang tua di
> >> saat menikah menjadi sarana mengucapkan terima kasih atas kasih
ibu
> >> selama ini. Atau mungkin dalam momen lebaran. Walaupun
kisarannya
> >> lebih banyak pada cerita permintaan maaf.
> >>
> >> Pernah kita mengingat Ibu kita di hari-hari belakangan ini?
> >>
> >> Di saat kita telah dikaruniakan istri yang cantik/suami yang
tampan
> >> serta anak-anak yang lucu. Kesibukan kerja dan rumah tangga yang
> >> amat padat begitu menyita perhatian kita. Di saat seluruh
persoalan
> >> yang kita hadapi membludak satu persatu dalam kepala kecil ini.
> >>
> >> Pernah kita mengingat Ibu kita di hari-hari belakangan ini?
> >>
> >> Atau ingatan itu menjelma saat kesulitan menghadang kita
> >> bertubi-tubi. Lalu kita teringat bahwa do'a ibu begitu mustajab
> >> membantu mempercepat selesainya persoalan kita, di luar usaha
yang
> >> kita lakukan.
> >>
> >> Pernah kita mengingat Ibu kita di hari-hari belakangan ini?
> >>
> >> Tidak hanya sekedar berterima kasih atas apa yang ia
> >> lakukan. Tapi juga mempertanyakan hari-harinya belakangan ini.
> >> Sehatkah?, sakitkah ?, senang atau khawatirkah? .
> >>
> >> Tidak sekedar mengulaskan senyum letih sepulang kerja, lalu
> >> buru-buru masuk kamar-mengunci pintu kamar untuk menghabiskan
> >> seharian penuh membaca novel (buat yang doyan baca) atau pergi
lagi
> >> hang-out atau bercengkrama bersama teman mencari obat pelepas
> >> lelah, setelah seharian bekerja (bagi yang masih single.
> >>
> >> Sesekali (tak perlulah sering-sering), temani ibu kita
> >> berbelanja ke pasar. Bawakan belanjaannya dan perhatikan
bagaimana
> >> gigihnya ia mencari bahan makanan untuk dirimu-anak
kesayangannya,
> >> agar terhidang menjadi makanan yang lezaaat luar biasa. Agar
kita
> >> tahu, betapa sayangnya ia pada kita.
> >>
> >> Sesekali pula, manjakan dia. Ajak beliau menikmati makanan
> >> kesukaannya di restoran atau di warung-warung favoritnya.
Belikan
> >> ia makanan kesukaannya, selagi ia masih mampu mengunyahnya
dengan
> >> gigi yang lengkap dan merasakan cita rasa kelezatan makanan
> >> tersebut.
> >>
> >> Atau bagi yang punya uang lebih dan hidup berjauhan dari
> >> ibu. Kunjungi ibu anda diluar daftar kunjungan rutin (lebaran,
> >> atau sedang sakit). Berikan ia suprais-suprais kecil yang
> >> membahagiakan. Jika anda tak punya materi untuk itu, berdo'alah.
> >> Doakan ibu kita, semoga ia selalu diberi kesehatan dan
keselamatan.
> >>
> >> Sehingga hari tuanya tak hanya dihabis hanya untuk mengenang
> >> anak-anaknya-yang berada nun jauh di sana, sambil menyusut air
mata-
> >> menahan kerinduan yang mendalam.
> >>
> >> Lembang, 20 Des 2008
> >>
> >>
> >>
> >
> >
>

10a.

Re: [Catatan Kaki] Single Parent

Posted by: "Agung Argopo" gopo_alhusna@yahoo.co.id   gopo_alhusna

Mon Dec 29, 2008 5:30 pm (PST)

Ikutan nimbrung aaah...
 
ngga kebayang deh jadi single parents! Ngurus Abiy satu aja susah, apalagi nanti kalau Abiy udah punya adik waduh-waduhwaduh... setuju sama mas Nur, bekerja sebagai penulis plus ngurus anak memang melelahkan, bukan hanya fisik yang dikuras tetapi juga tenaga! Apalagi kalao Anaknya udah makin besar-makin besar-makin tahu banyak hal, makin ingin mencoba banyak hal... makin repot kayaknya. Tapi ikhlasin aja, deh, kan itu amanah dari Allah, pasti Allah akan memberi bayaran yang setimpal, entah di dunia atau di akhirat. Amin...
 
hix.
Achi TM
Yang sedang berjibaku dengan Abiy yang sudah merangkak ke sana kemari dan berdiri-berdiri! Hix...

__________________________________________________________
Coba emoticon dan skin keren baru, dan area teman yang luas.
Coba Y! Messenger 9 Indonesia sekarang.
http://id.messenger.yahoo.com
11a.

(catcil) flying fox

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Mon Dec 29, 2008 5:37 pm (PST)

FLYING FOX

Pernah nyobain naik `flying fox'. Ituloh, jenis permainan
yang suka dipakai dalam outbound untuk menguji keberanian, baik buat
anak-anak maupun orang dewasa. Kayaknya tak perlu dijelasin lagi,
karena kalau cerita flying fox lebih jauh, saya jadi ketauan gak
gaul banget jadinya (hehehe, ketawa dengan senyum dikulum).

Entah mendapat keberanian dari mana, saya tiba-tiba ingin
mencoba flying fox. Mungkin juga karena terkurung lima hari di
Lembang, sementara orang lain pada liburan kemana-mana di akhir
tahun 2008 ini, saya dengan senang hati menerima tawaran seorang
teman. Bersama suami dan 3 anak-anaknya yang berusia 3, 6 dan 9
tahun, liburan sehari di Lembang dijatuhkan ke tempat `petik
strawberry dan dilengkapi permainan anak-anak seperti little army
(latihan tentara buat anak-anak), amazing race (balap mobil-buat
anak-anak juga), naik kuda plus flying fox.

Waktu liat seorang anak ber-flying fox' dari bawah, saya
tiba-tiba berkata pada teman tersebut.
"Pengen nyobain flying fox deh. Biar enggak penasaran
aja". Ujarku (dari sononya sih aku takut ketinggian. Makanya gak
bisa manjat pohon waktu kecil juga).

"Cobain aja Ma", anjur temenku.
"Tapi atuh mah malu. Udah besar gini", ujarku. "Sebenarnya
aku penasaran aja gimana sih rasanya meluncur dari ketinggian itu.
Buat ngalahin rasa takut ketinggian juga", lanjutku.
"Hayooo atuh", dukung temanku. Nekad aku beli tiket
permainan flying fox.

Begitu menaiki tangga menuju tempat meluncur (kira-kira setinggi 6-8
meter kalogak salah), perutku mulai menggigil. Beberapa anak kecil
mendahului giliranku. Aku pandangi sekeliling area. Sebelah kananku
terbentang gunung menjulang, selayaknya tembok alam. Sebelah utara,
selatan, barat dan timur bagian bawah terbentang kantong tanaman
strawberry berjejer rapi. Bagian barat laut, anak-anak lelaki
berteriak kegirangan membawa mobil mereka melalui arena amazing
race. Berzig-zag, wus...wus....lalu "brakkkk"-menumbur tembok
pembatas arena sesekali. Mama dan papa asyik mengabadikan putra
kesayangan berkali-kali.

Sementara aku ? Aku memperketat pelukanku pada sisi tiang
panggung tempat meluncur flying fox, sambil memandangi anak-anak
yang berceloteh tanpa rasa takut-siap meluncur. Duh Tuhan, mau
sampai kapan aku meluk tiang begini.

"Kamu enggak takut", tanyaku pada gadis kecil berusia
sekitar 7 tahunan.
"Enggak", jawabnya. Duh gusti, kalau saja aku seberani anak
itu, pikirku.
Tiba giliranku

"Mas....ini tali bisa nahan bobot badan berapa kilo ?" – aku
masih tak yakin bisa meluncur.
"150 kg teh", jawab petugasnya
"Gak putus kalo saya meluncur ?" (daelah...bener deh nih
anak satu-gitu kali pikiran petugasnya).
"Enggak Teh. Teteh pake celana panjangkan ?"
"Heeh", jawabku. Ia kemudian dengan cekatan mengikat tali
pengaman di pinggang dan kedua pahaku. "Haa, sekarang Teteh
tangannya pegangan di tali itu", ujarnya. Aku turuti instruksi.

"Trus angkat kakinya, dan meluncur", lanjutnya.
"Me....lun....cur......, serius nih", aku membelalak.
(kayaknya si abang waktu itu mau ngakak deh. Cuma gak berani di
depanku).

"Ya iyalah", jawabnya (hadduhhh...jangan sampai pake
dibedong yah). Lalu hup....aku meluncur....terus...terus....dan
terus. Awalnya deg...deg...byarrr...eh...lama-lama sensasi ketakutan
itu ilang sendiri. Apalagi pas liat pemandangan dari atas.
Subhanallah indahnya. Dan sheeeet "loh kok udah nyampe ?", ujarku
protes (dasar asma ya). Si abang yang nungguin cuma senyum
aja. "Mau lagi ahhh", ujarku dalam hati. Kayaknya jadi ketagihan
sih, hehehe.

Tapi btw, satu hal yang aku pelajari dari flying fox adalah,
kadang-kadang ketakutan kita terhadap sesuatu yang belum pernah kita
jalani sangat tidak beralasan. Coba dulu deh...baru setelah itu,
kamu ceritakan bagaimana perasaan kamu saat mengalaminya. Jadi,
jangan bilang tidak dulu sebelum mencoba dan merasakannya
sensasinya.

WARNING : Pesan ini tidak ditujukan untuk hal-hal yang bisa merusak
diri sendiri.

11b.

(catcil) flying fox

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Mon Dec 29, 2008 5:37 pm (PST)

FLYING FOX

Pernah nyobain naik `flying fox'. Ituloh, jenis permainan
yang suka dipakai dalam outbound untuk menguji keberanian, baik buat
anak-anak maupun orang dewasa. Kayaknya tak perlu dijelasin lagi,
karena kalau cerita flying fox lebih jauh, saya jadi ketauan gak
gaul banget jadinya (hehehe, ketawa dengan senyum dikulum).

Entah mendapat keberanian dari mana, saya tiba-tiba ingin
mencoba flying fox. Mungkin juga karena terkurung lima hari di
Lembang, sementara orang lain pada liburan kemana-mana di akhir
tahun 2008 ini, saya dengan senang hati menerima tawaran seorang
teman. Bersama suami dan 3 anak-anaknya yang berusia 3, 6 dan 9
tahun, liburan sehari di Lembang dijatuhkan ke tempat `petik
strawberry dan dilengkapi permainan anak-anak seperti little army
(latihan tentara buat anak-anak), amazing race (balap mobil-buat
anak-anak juga), naik kuda plus flying fox.

Waktu liat seorang anak ber-flying fox' dari bawah, saya
tiba-tiba berkata pada teman tersebut.
"Pengen nyobain flying fox deh. Biar enggak penasaran
aja". Ujarku (dari sononya sih aku takut ketinggian. Makanya gak
bisa manjat pohon waktu kecil juga).

"Cobain aja Ma", anjur temenku.
"Tapi atuh mah malu. Udah besar gini", ujarku. "Sebenarnya
aku penasaran aja gimana sih rasanya meluncur dari ketinggian itu.
Buat ngalahin rasa takut ketinggian juga", lanjutku.
"Hayooo atuh", dukung temanku. Nekad aku beli tiket
permainan flying fox.

Begitu menaiki tangga menuju tempat meluncur (kira-kira setinggi 6-8
meter kalogak salah), perutku mulai menggigil. Beberapa anak kecil
mendahului giliranku. Aku pandangi sekeliling area. Sebelah kananku
terbentang gunung menjulang, selayaknya tembok alam. Sebelah utara,
selatan, barat dan timur bagian bawah terbentang kantong tanaman
strawberry berjejer rapi. Bagian barat laut, anak-anak lelaki
berteriak kegirangan membawa mobil mereka melalui arena amazing
race. Berzig-zag, wus...wus....lalu "brakkkk"-menumbur tembok
pembatas arena sesekali. Mama dan papa asyik mengabadikan putra
kesayangan berkali-kali.

Sementara aku ? Aku memperketat pelukanku pada sisi tiang
panggung tempat meluncur flying fox, sambil memandangi anak-anak
yang berceloteh tanpa rasa takut-siap meluncur. Duh Tuhan, mau
sampai kapan aku meluk tiang begini.

"Kamu enggak takut", tanyaku pada gadis kecil berusia
sekitar 7 tahunan.
"Enggak", jawabnya. Duh gusti, kalau saja aku seberani anak
itu, pikirku.
Tiba giliranku

"Mas....ini tali bisa nahan bobot badan berapa kilo ?" – aku
masih tak yakin bisa meluncur.
"150 kg teh", jawab petugasnya
"Gak putus kalo saya meluncur ?" (daelah...bener deh nih
anak satu-gitu kali pikiran petugasnya).
"Enggak Teh. Teteh pake celana panjangkan ?"
"Heeh", jawabku. Ia kemudian dengan cekatan mengikat tali
pengaman di pinggang dan kedua pahaku. "Haa, sekarang Teteh
tangannya pegangan di tali itu", ujarnya. Aku turuti instruksi.

"Trus angkat kakinya, dan meluncur", lanjutnya.
"Me....lun....cur......, serius nih", aku membelalak.
(kayaknya si abang waktu itu mau ngakak deh. Cuma gak berani di
depanku).

"Ya iyalah", jawabnya (hadduhhh...jangan sampai pake
dibedong yah). Lalu hup....aku meluncur....terus...terus....dan
terus. Awalnya deg...deg...byarrr...eh...lama-lama sensasi ketakutan
itu ilang sendiri. Apalagi pas liat pemandangan dari atas.
Subhanallah indahnya. Dan sheeeet "loh kok udah nyampe ?", ujarku
protes (dasar asma ya). Si abang yang nungguin cuma senyum
aja. "Mau lagi ahhh", ujarku dalam hati. Kayaknya jadi ketagihan
sih, hehehe.

Tapi btw, satu hal yang aku pelajari dari flying fox adalah,
kadang-kadang ketakutan kita terhadap sesuatu yang belum pernah kita
jalani sangat tidak beralasan. Coba dulu deh...baru setelah itu,
kamu ceritakan bagaimana perasaan kamu saat mengalaminya. Jadi,
jangan bilang tidak dulu sebelum mencoba dan merasakannya
sensasinya.

WARNING : Pesan ini tidak ditujukan untuk hal-hal yang bisa merusak
diri sendiri.

12a.

Re: (CERPEN) MALAM INI, AKU MENUNGGU KEMATIAN

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Mon Dec 29, 2008 5:42 pm (PST)

Neng Divin, apa kabar?

bisa tolong kirim cerpenmu ini ke emaiku ? asma_h_1999@yahoo.com (ad
yahoo dot com ya). Pengen baca oiii, cuma baca di milis, mataku jadi
kriting nih. Hurufnya terlalu rapat.

Banyak makasih ya.

Wassalam
asma

- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Divin Nahb
<divin_nahb_dn@...> wrote:
>
> MALAM INI, AKU MENUNGGU KEMATIAN
> by; Divin Nahb
>
> Aku merebahkan tubuh di atas genting rumah sambil menatap lurus ke
atas langit yang hitam. Angin-angin memanjakan bulu roma. Aku
bersidekap, menyembunyikan rasa dingin di balik jaket merah yang
kupakai. Jariku mulai bergerak. Aku hitung jumlah kematian yang
menghampiri orang-orang sekelilingku lalu mengandaikan tiap bintang
yang menempel di langit sana adalah mereka.
> Kakekku mengawali rambahan sunyi dalam ruang hati. Lalu sahabat
kecilku. Berikutnya nenek yang belum lama mengecup tanah kubur. Aku
usap dada membiarkan udara menyusup ke dalamnya. Mengenang mereka
adalah sesuatu yang kerap aku lakukan tiap malam. Betapapun sakit
ditinggal mereka, namun aku mencoba untuk memaknai kematian bukan
hanya dengan air mata saja. Padahal aku paham, jika ayah atau ibu
yang dipanggil Tuhan pasti air mataku akan terus mengalir. Dua orang
itulah, orang tuakulah yang paling sulit untuk aku lepaskan dalam
hidup ini.
> Tuhan… apa yang harus kukatakan untuk meminta kepada-Mu agar
mengambil nyawaku terlebih dahulu dari pada mereka. Bagaimana
mungkin aku sanggup tegar dalam hidup ini tanpa mereka.
> Tak terasa malam inipun aku menggulirkan air mata kembali.
Menerobos kehampaan seorang diri saat siluet kematian ayah dan ibu
mendatangi pelupuk mata. Aku seka air mata di pipi, yang berikutnya
kembali aku dihadapkan dengan bayangan kematian kakek, sahabat
kecil, dan nenekku.
> “Kakek selalu memanggil namamu di detik-detik terakhirnya,”
suara ibu terngiang di telinga.
> “Tubuhnya wangi sekali,” suara kembali terngiang di hari
kematian sahabat kecilku.
> “Kematian nenek begitu mudah. Lihatkan?! Wajah nenek yang
tersenyum?” saat itu, ayah memandang wajah adikku yang sembab
melihat mayat nenek yang tergeletak di atas kasur.
> Aku membayangkan pertemuan-pertemuan indah dengan mereka yang
masih terekam dalam ingatan. Bagaimana kakek memanjakanku dengan
semua pemberiannya. Bagaimana sahabat kecilku bercerita dengan
serunya saat aku bersamanya. Lalu bagaimana nenek menemani tiap
malam tidurku ketika hidup. Bayangan-bayangan tersebut berubah
menjadi hari-hari kematian mereka.
> Tubuhku semakin kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang
tak mungkin hilang karena kehilangan mereka. Hari-hari di mana aku
harus melihat mereka terbujur kaku di bawah kain batik tanpa napas.
Begitu mudahnya Tuhan memutuskan kehidupan dan memanggil mereka.
Dalam telinga, aku masih dapat mendengar tawa mereka satu persatu.
Aku masih dapat melihat senyum mereka walau hanya membayang di
langit hitam.
> Hidup ternyata hanya sebuah sandiwara belaka. Semua orang
memainkan peran sesuai aturan naskah hidup. Tuhan yang mengatur
segalanya, saat Dia menyuruh orang-orang balik ke belakang panggung
saat itulah peranannya dalam kehidupan di bumi berakhir. Lalu Tuhan
pula yang menentukan peran-peran baru. Merekalah anak-anak yang baru
dilahirkan ke dunia ini. Dan suatu saat itu pula mereka akan kembali
ke belakang panggung.
> Tak lebihnya seperti aku yang menunggu kematian malam ini.
Karenanya, tiap malam aku selalu menunggu malaikat pencabut nyawa di
atas genting. Dan itu hanya dikarenakan aku ingin tahu siapa lagi
yang akan menghadap Tuhan. Mungkin saja aku. Toh jika itu terjadi
aku bisa meminta pada malaikat untuk menjaga orang-orang yang
kusayangi, terutama ayah dan ibuku.
> “Wulan! Wulan! Di mana kau nak?!”
> Hah… itu suara ibu. Ada apa ibu memanggilku? Segera saja aku
bangun dari rebah dan perlahan berjalan ke jendela. Aku tidak ingin
mati konyol jatuh dari genting ini. Bisa-bisa malaikat pencabut
nyawa menertawakan diriku begitu tahu aku meninggal terjengkang
jatuh dari genting. Ah… sudahlah, yang jelas tubuhku sudah berada
di tepi jendela melihat ibu yang mengernyit keras ke arahku.
> “Kau sedang apa di luar sana Wulan?” ibu mendekatiku dan
membantu memasukkan tubuhku ke kamar.
> “Menunggu kematian,” jawabku sambil menyibakkan rambutku yang
panjang dan aku gulung-gulung membuat konde dengan menyematkan kayu
seperti sumpit mie.
> “Apa yang kau bicarakan nak?”
> “Bu… kematian itu bukan sesuatu yang perlu kita takuti kan?
Makanya aku menunggu malaikat di atas genting. Mungkin aneh
kedengarannya, tapi meninggal di malam hari itu lebih memiliki seni
tersendiri loh.”
> Jawabanku semakin membuat ibu mengernyit lebih dalam. Tentu saja,
tidak ada kematian yang memiliki seni. Kematian adalah perintah
Tuhan! Kapanpun ya terserah Tuhan, manusia hanya wajib mengiyakan
saja. Kalaupun manusia tidak mau meninggal saat itu, namun Tuhan
menginginkan kematian kita, maka yang tetap akan terjadi adalah
kehendak Tuhan. Manusia hanya sebutir yang tiada daya di mata Tuhan.
> “Oya, ada apa ibu memanggilku?”
> “Kita menjumpai kematian.”
> “Apa?”
> “Malam ini kamu akan bertemu dengan kematian.”
> “Kematian? Bagaimana ibu tahu aku akan bertemu kematian?” aku
semakin bingung dengan ucapan ibu.
> Aku ditarik ibu untuk duduk di tepi ranjang. Berikutnya ibu mulai
bercerita, bahwa memang malam ini ada kematian yang mendekatiku.
Namun tentu saja bukan kematianku sendiri. Dalam bahasa sendunya,
ibu memberitahukan bahwa teman akrab ayahâ€"yang selalu kusebut om
ganteng si baik hati, telah meninggal dunia sewaktu dinas ke luar
kota.
> Saat itu pula air mataku menetes. Betapapun aku memahami akan
kematian sebagai jalan abadi menuju jalan pertemuan manusia dengan
Tuhan. Namun rasanya kematian memang membuat kesedihan terdalam.
Bagaimana kita akan bahagia jika kita kehilangan satu orang yang ada
di sekeliling kita. Seperti tersulut api dari sebatang korek, aku
benar-benar merasakan sakitnya api menjilati dadaâ€"entah di jantung
atau di tempat yang lainnya. Namun aku sungguh merasakan sakit.
> Laki-laki yang sering kusebut om ganteng adalah om Bagus. Baru
tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya dan berbincang mengenai
kesediaannya menjadi donatur utama untuk menyokong kegiatan sosial
yang aku lakukan bersama dengan kawan-kawan di LSM. Saat itu
keadaannya segar bugar, wajahnya tidak menampakkan bahwa dia sakit.
Dia sehat-sehat saja. Tapi nyatanya itu tidak membuat takdir
kematiannya dimundurkan oleh Tuhan.
> “Kita ke sana sekarang bu?” tanyaku yang telah menyeka air
mata.
> “Ya. Ayah langsung ke sana dari kantor.”
> “Sungguh takjub kematian itu ya bu. Aku baru saja bertemu om
Bagus tiga hari yang lalu.”
> “Ya. Dan ayahmu dengan om Bagus baru saja pergi bersama kemarin
sore. Lalu malam ini om Bagus sudah tidak ada.” Ibu menghela napas
sejenak. “Tapi seperti inilah kehidupan. Kita hanya sebentar ada
di dunia ini.”
> Ibu bangun dari tepi tempat tidur sambil sekali lagi mengingatkan
bahwa aku ditunggunya di bawah.
> Aku menyematkan tubuh dengan balutan pakaian hitam kembali.
Mengingatkan pada kejadian-kejadian yang telah lalu, tentang
kematian mereka yang namanya baru saja aku letakkan bersama bintang
di alam bebas malam ini.
> ***
> “Subhanallah. Om Bagus meninggal dengan cara khusnul khatimah.
Saat ingin menunaikan shalat. InsyaAllah dialah ahli surga,” ayah
merangkulku sambil melihat tubuh om Bagus yang terbaring di atas
ranjang dalam rumahnya.
> Senandung Al-Qur̢۪an menggema tiada henti di sekeliling rumah
itu. Kawan-kawan om Bagus tiada henti berdatangan, dari orang-orang
yang terlibat satu organisasiâ€"baik organisasi yang sifatnya
keagamaan sampai ke politik. Atau teman kantor dan para tetangga,
yang jelas kerumunan orang tiada henti berdatangan!! Om Bagus sudah
seperti selebritis yang dikenal banyak kalangan. Bagaimana tidak
demikian? Jika sifat om Bagus sendiri sangat aku kagumi sebagai
sosok yang ramah dan bersahaja.
> Sementara kepiluan merasuki sisi rumah itu, di luar sana tampak
hujan merintik dengan angin yang berhembus kencang. Aku merapatkan
jaket karena suasana dingin menyatu dengan kepiluan di rumah itu.
> Tante Bagus beserta ketiga anaknya yang semuanya adalah perempuan
tampak begitu sedih. Wajah mereka memerah melihat orang yang
dicintainya terbujur kaku di bawah kain batik berwarna coklat.
Tatapan mata mereka seakan kosong.
> Seperti itukah jika aku harus kehilangan orang yang sangat aku
cintai di dunia ini? Sama seperti yang dirasakan tante Bagus dan
ketiga putrinya? Tatapanku kualihkan pada paras wajah ayah yang
masih berada di sebelahku, lalu melengos ke arah ibu yang sedang
bersama ibu-ibu lainnya. Kedua orang itulah yang tidak akan pernah
bisa digantikan siapapun.
> Tuhan aku menyayangi mereka.
> Kupeluk pinggang ayah dan meletakkan kepalaku pada dadanya.
Sekujur tubuhku terasa hangat. Cukup malam ini, aku dipertemukan
dengan kematian om Bagus. Aku memohon pada Tuhan untuk tidak
mengetukkan palu kematian yang lain di malam ini. Karena sebenarnya
aku tidak cukup sanggup untuk memaknainya. Aku begitu cengeng!
> Saat malam terus beranjak, tubuhku yang kini telah terbaring di
atas tempat tidur kembali membayangkan wajah om Bagus yang tersenyum
dalam kepucatannya. Satu bintang kembali berkilau dan aku memejamkan
mata perlahan.
> ***
> Kesunyian mendenting pilu di malam berikutnya. Aku yang telah
tenang dan mampu menerima kenyataan bahwa om Bagus telah tiada
kembali menerobos keluar jendela untuk memandang langit. Aku
merebahkan tubuh di atas genting lagi menunggu tanda-tanda
kematianku sendiri. Walau kemarin Tuhan tidak berkehendak
menjemputku, bukan berarti hari ini aku bisa lepas dari kuasa-Nya.
> Katakanlah jika aku membuang waktu tiap malamku. Namun paling
tidak aku sudah memasrahkan diri pada kehendak-Nya untuk dibawa ke
alam yang lebih abadi dari pada di bumi ini. Walau aku pun sering
merasakan tidak memiliki kekuatan jika aku harus menghadapi beberapa
kematian pada satu hari.
> Dingin malam ini mulai menusuk tulangku. Aku rapatkan jaket
berwarna biru muda dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di
langit hitam.
> Tuhan… jika kemarin adalah kematian om Bagus. Maka kematian
siapa lagi yang akan kau ambil malam ini? Kematian bagi-Mu memang
kapan saja, karena itu adalah kehendak-Mu. Namun aku begitu pasrah
terhadap kematian pada tiap malam saja. Entahlah, namun rasanya
malam itu bagai suasana yang hening untuk bertemu Kau. Dan aku
serasa siap untuk Kau jemput. Tuhan berikanlah aku petanda, apakah
ada kematian hari ini? Dan lagi-lagi aku mohon, jangan biarkan ayah
dan ibu untuk mendahuluiku.
> Malam semakin beranjak. Suasana semakin hening dan hiruk pikuk
tidak terdengar lagi. Ibu yang telah mengetahui keberadaanku tiap
malam menyuruhku untuk segera masuk ke dalam kamar.
> “Wulan, ini sudah larut!”
> “Iya. Sepertinya kematian di sekeliling kita tidak datang malam
ini.”
> Ibu mengecup keningku dan menutup pintu kamar. Aku letakkan
seluruh tubuhku ke atas kasur. Namun ketika baru saja ingin
memejamkan mata, terdengar suara samar dari luar pintu.
> “Kita semua harus ke sana sekarang. Gaos meninggal karena
tabrakan. Ibu bangunkan Wulan ya.” Aku tahu itu adalah suara ayah.
> Sekujur tubuhku bergetar. Malam ini Tuhan menentukan om Gaos untuk
meninggalkan kami. Orang-orang di sekelilingku telah menghadap-Nya,
lalu kapankah giliranku Tuhan?
>
>
> Tangerang, 23 Februari 2008
>

13.

[Ruang Baca] Jangan Jadi Perempuan Cengeng

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Mon Dec 29, 2008 6:28 pm (PST)

Penulis: Pipiet Senja dkk

Penerbit: Afra Publishing

Tebal: 199 halaman

Cetakan: I, Januari 2008

Harga: Rp 30.000,00

Skor: 7

Tertarik membaca buku ini setelah mendapat dua pandangan berlainan
dari Leila dan Sinta. Pipiet Senja menulis tiga dari delapan belas
kisah, walaupun isinya sudah bisa ditebak berdasarkan pengalaman saya
membaca esai-esai beliau. Karena penuturannya yang berapi-api dan
diselingi kosakata nyunda (misalnya: otakku sungguh koclak), cerita
beliau terasa kurang menyentuh bagi saya. Bahkan cenderung kocak. Tapi
demikianlah mungkin cara Teh Pipiet mengajak pembaca memandang
persoalan hidup, seberat apa pun.

Yang menonjol adalah kisah Afifah Afra, Meskipun Aku Bukan Fatimah
(halaman 85). Membuat saya malu hati, dan sepertinya tak mampu sedikit
saja mencontoh sang penulis dalam ketegaran dan kemandiriannya. Dari
segi penulisan, nilainya terbaik. Mulai dari pemilihan judul, sudut
pandang cerita yang diangkat, berbeda dari kebanyakan yang dipaparkan
di sini.

Saya sempat berkerut kening membaca tulisan Deasylawati, Pelajaran
dari Sebuah Perjalanan (halaman 122). Saya juga pemabuk darat yang
lumayan payah, dan membaca kisah ini tidak merasakan ketegaran sama
sekali. Bahkan bisa dikatakan kurang relevan. Kesan yang muncul, juga
dari tulisan berikutnya, adalah memaksakan diri. Tapi kemudian dibantu
oleh analisis panjang lebar Izzatul Jannah di penutup buku, kendati
masih bernuansa teoritis dan sukar dicerna. Cerita ke-17, Asa di Ujung
Cerita, terlalu panjang dan akhirnya terkesan belum selesai.

Poin khusus pula saya alamatkan pada Riannawati untuk Ya Allah,
Burung-burung Puyuh Kami (halaman 77). Mengingatkan saya pada adik di
Klaten, yang ambruk usaha pencaharian keluarganya dalam tempo singkat
pasca gempa besar beberapa tahun ke belakang.

Seperti biasa, buku-buku produksi Indiva senantiasa dihiasi ilustrasi
yang memikat mata. Namun sering kali penyisipannya memenggal tulisan
sehingga agak membingungkan. Di samping itu, cukup banyak kesalahan
cetak yang, sayangnya, sangat mengganggu.

14.

Re: [catcil]  masakan pertama saya

Posted by: "yudhi mulianto" yudhi_sipdeh@yahoo.com   yudhi_sipdeh

Mon Dec 29, 2008 6:43 pm (PST)

wah mantabbbb mulai belajar masak nih...lama-lama juga makin mahir....

bagi pemula yang sibuk banget mungkin bisa beli bumbu yang udah jadi :-)
kalo yang modern beli di supermarket, ada bumbu siap pakai dalam kemasan.

Tapi kalo yang masih suka bumbu tradisional yang segar bisa beli di pasar tradisional yang sudah digiling halus...tinggal bilang sama yang jual beli bumbu untuk masak apa ...langsung deh dibracik sama dian dalam satu bungkus.

Sampe rumah tinggal di tumis dulu pake minyak dikit sampe wangi..baru deh dipakai untuk masak :-) (untuk menghilangkan bau langu si rempah bumbu)

Nah terkhir tinggal takaran garam dan gula sebagai penyedap...sesuai selera :-)

selamat mencoba...semoga berhasil

________________________________
From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, December 30, 2008 8:01:30 AM
Subject: [sekolah-kehidupan] (catcil) masakan pertama saya

Masakan Pertama Saya
Oleh Retnadi Nur'aini

Saya hampir selalu punya pengalaman buruk saat memasak.

Hasil masakan saya hampir selalu gosong, hangus, keasinan—atau yang
terparah, berasap sampai memenuhi dapur—yang pada akhirnya membuat
masakan saya tak pernah laku di meja makan (Meski, saya kira, ini
juga didukung oleh banyak faktor lain, seperti ibu dan kakak ipar
yang jago masak. Kakak ipar saya bahkan punya usaha katering).
Berbagai faktor inilah yang membuat saya kemudian berpikir "Yah
udahlah, toh semua orang emang punya bakat masing-masing. Dan masak,
emang bukan bakat gua."

Yang kemudian dikomentari orang-orang dengan "Ah, itu, mah lo-nya
aja yang nggak mau!"

Pun sudah berbusa mulut saya menjelaskan bahwa memasak itu
merepotkan—harus mengulek, memotong, mencuci peralatan setelahnya,
dll—dan bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Atau bahwa
untuk memasak itu perlu sense of taste—yang mana saya kira, saya
tidak punya—tetap saja komentar orang-orang tentang pembelaan
ketidakberbakatan saya memasak itu tak kunjung surut.

Sementara orang-orang terdekat saya juga tak lelah untuk
menyemangati. Mulai dari suami, ibu, ibu mertua—yang bahkan menawari
saya bumbu kuning racikannya sendiri. "Jadi Retno nanti nggak usah
buat bumbu lagi. Ini bumbu dasar untuk segala masakan,", sampai
sahabat senasib, Ain. "Beneran, deh, Jo, dulu gua kira juga gua
dikutuk di dapur. Tapi masak memang masalah kebiasaan. Sebulan lo
rajin masak, lo akan tahu masakan kurang apa cuma dari aromanya,"
ujar Ain. (Percayalah, komentar saya saat pertama kali mendengar ini
adalah: "SUMPE LO??? LO DAH BISA GITU, NENG??? DAHSYAT!!!") .

Anyway, seperti orang yang terkena terpaan iklan berulang-ulang,
akhirnya saya tersihir dengan gelombang semangat positif memasak
ini. Hari Minggu kemarin pun saya dan suami pergi berbelanja alat
masak. Saat suami saya bermaksud membelikan 1 set panci dan wajan,
serta merta saya menolak. "Duh, Yang, ntar aku jadi tekanan
psikologis nih, kalo kamu beliin alat masak mahal-mahal, trus akunya
tetep nggak bisa masak. Beli yang murah-murah aja, ya," ujar saya.

Setelah membeli perkakas masak sederhana: 1 panci, 1 wajan, 1 sodet,
1 sendok sayur, 1 talenan, 1 pisau, dan 1 cobek, maka pada hari
Senin pun saya mencoba memasak. Untuk pertama kalinya.
***

Menu masakan pertama saya sederhana saja. Terdiri dari sayur sop,
tempe goreng dan tahu goreng, plus sambal terasi. Dengan kehadiran
ibu saya yang membimbing secara lisan, pertama-tama saya mulai
dengan mencuci sayuran. Dilanjutkan dengan memotongi buncis, wortel,
seledri, daun bawang, sawi, dan bakso. Karena tak tahu cara mengupas
kentang, ibu saya pun terpaksa turun tangan untuk mengupas kentang—
sebelumnya, saya pernah menonton cara mengupas kentang di komik
Donal Bebek. Disitu, ada tokoh yang mengupas kentang dengan kupasan
yang tak putus, hingga berbentuk melingkar-lingkar. Nah, karena saya
kira mengupas kentang yang benar adalah demikian, maka saya serta
merta mengaku pada ibu bahwa saya tidak bisa. Ternyata, ibu saya
tidak mengupas kentang dengan cara demikian. Dari sana, saya
mendapat satu pelajaran berharga: JANGAN PERNAH MENCONTOH CARA
MEMASAK DARI KOMIK—TERUTAMA DONAL BEBEK.

Anyway, setelah memotongi sayuran, saya pun mulai membuat bumbu.
Dimulai dengan mengupasi bawang merah dan bawang putih. Untuk
kemudian menguleknya bersama dengan garam dan lada. Bagian yang
paling saya sebali dalam proses memasak. Karena mengulek itu makan
waktu dan tenaga. Untunglah ibu saya yang cantik dan baik hati
memberikan tips: "Dirajang kecil-kecil aja dulu, ya, Sayang,"—
sehingga waktu mengulek saya pun menjadi lebih singkat, yang
berbonus tangan saya tak kapalan.

Setelah bumbu halus, saya pun meng-gongseng- nya dengan mentega.
Untuk kemudian, dicemplungkan ke dalam panci air panas. Setelah itu,
baru saya memasukkan potongan sayuran—dimulai dari bakso, wortel,
kentang, dan buncis (yang butuh waktu lebih lama untuk matang), baru
dilanjutkan dengan seledri, daun bawang, dan sawi.

Setelah sayur sop matang, giliran tempe dan tahu yang menunggu
antrian. Setelah memotonginya, saya pun kembali mengulek bumbu untuk
menggoreng mereka. Lagi-lagi, berikutnya adalah bagian yang paling
saya sebali nomor dua dalam proses memasak. Yaitu: menggoreng saat
minyak sudah panas. Karena saya kerap parno terciprat minyak, Ibu
pun lagi-lagi mengajari saya caranya melemparkan tempe dan tahu
secara aman ke dalam wajan. Sambil tak henti-hentinya menyemangati
saya, "Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan aja," ujar beliau.

Terakhir, mengulek sambal. Setelah membakar terasi dengan tusuk sate
di api, saya pun mengulek makanan favorit saya ini. Dan hasil dari
menu masakan pertama saya adalah: sepanci besar sop sayuran, 13
potong tempe dan tahu goreng—tahunya 4 potong, dan selepek sambal
terasi.

Dengan deg-degan, saya pun menunggu bibir suami saya berkomentar.
Dan saat dia tersenyum dan berujar "Enak Dhe! Sambalnya mantap,
sayurnya seger, tempenya juga enak!" seketika, jerih payah selama 2
jam itu pun musnah sudah. Tak saya hiraukan lagi pedihnya jari manis
dan telunjuk kiri saya yang sempat tersayat pisau. Tak saya hiraukan
lagi jari-jemari tangan saya yang jadi beraroma bawang. Tak saya
hiraukan lagi pegal-pegal tangan seusai mengulek dan mencuci
perkakas makan.

Ah, semuanya lunas.
***

Malamnya, saya pun meng-sms Ain dengan sukacita. "Neng! Gua dah bisa
masak, lho! Kata masku, enaaak! Gyaaa!". Yang dibalas Ain dengan
sms : "Yay! Selamat yaaa! Love you!" plus kiriman resep by e-mail
keesokan harinya. Saking senangnya, tadi pagi bahkan saya memasak
nasi goreng sebelum berangkat kerja. Dengan bumbu yang telah saya
ulek dulu kemarin sore, tadi pagi saya bangun pukul 03.00 untuk
menggoreng nasi.

Dan saat saya berangkat kerja pukul 04.15, saya berujar pada
suami "Ayang, aku tadi bangun pagi, lho! Goreng nasi buat kamu sama
Ibu. Terus tadi aku juga dah bungkusin buat bekal kamu. Ntar kamu
makan yaaa! Enak deh! Jadi bangga nggak kamu sama aku?"

Yang dibalas suami saya dengan "Iya, saya banggaaa sekali sama kamu.
Kamu hebat!"

Gyaaa! Besok masak apa lagi yaaa?
***
Ps:
• Harusnya, untuk bikin sop yang enak itu pake kaldu ayam. Tapi
karena ayam di warung habis, dan rumah kami jauh dari pasar, jadilah
sop kemarin tidak pakai kaldu ayam. Hiks.
• Oya, pagi ini saya juga bawa bekal nasi goreng yang tadi pagi saya
masak. Saat bertemu OB saya, Mas Tio, saya meminta beliau
mencicipinya. Dan kata Mas Tio yang pernah jualan nasi goreng di
Senayan: "Enak, Mbak Retno!" (saat berkomentar, Mas Tio tidak berada
di bawah tekanan atau ancaman-red) . Gyaaa!

Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Group Charity

Citizen Schools

Best after school

program in the US

Sell Online

Start selling with

our award-winning

e-commerce tools.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: