Selasa, 29 Juni 2010

[daarut-tauhiid] Hubungan Makhluk dengan Tuhan

 

Hubungan Makhluk dengan Tuhan

Pada suatu hari ikan-ikan di
samudra berkumpul di hadapan pemimpin mereka. Mereka berkata, "Ya Fulan,
kami bermaksud menghadap lautan. Bukanlah karena ia kami berada dan tanpa ia
kami tiada. Tunjukan kepada kami arahnya dan ajari kami jalan untuk menuju dan
mencapainya. Sudah lama kami tidak tahu di mana tempatnya dan di mana arahnya.

Pemimpinnya berkata,
"Kawan-kawan, saudara-saudara, ucapan ini tidak layak bagi kalian dan
orang-orang seperti kalian. Lautan terlalu luas untuk kalian capai. Ini bukan
urusanmu. Ini juga bukan posisimu. Diamlah. Janganlah berbicara dengan
pembicaraan seperti ini. Cukuplah kalian yakini bahwa kalian berada karena
adanya dan tidak akan ada tanpa keberadaannya.

Mereka berkata, "Jawaban ini
tidak akan ada gunanya bagi kami. Larangan tidak akan menahan kami. Kami harus
menujunya. Anda harus menunjuki kami untuk mengenalnya dan membimbing kami ke
dalam wujudnya. "

Ketika sang pemimpin melihat
gelagat ini dan larangannya tidak digubris, ia mulai menjelaskan,
"Saudara-saudara, lautan yang kalian cari, yang kalian ingin temui, ada
bersamamu dan kalian bersamanya. Ia meliputi kamu dan kalian meliputinya. Yang
meliputi tidak terpisah dari yang diliputi. Lautan itu adalah yang di situ
kalian berada. Kemanapun kamu menghadap, di situ ada Lautan. Lautan bersama
kamu dan kamu barsama lautan. Kamu pada lautan dan lautan pada kamu. Ia tidak gaib
darimu, kalian juga tidak gaib darinya. Ia lebih dekat darimu dari pada urat
lehermu."

Ketika mendengar ucapan itu, mereka
semua bangkit untuk membunuh sang pemimpin. Sang pemimpin lalu berkata kepada
mereka, "Apa salahku sehingga kalian mau membunuhku.

Mereka berkata, "Karena,
menurutmu, lautan yang kami cari adalah lautan yang di situ kami berada.
Bukankah kami berada di dalam air. Apa hubungannya air dengan lautan? Kamu
hanya ingin menyesatkan kami dari jalan-nya. Kamu hanya memperdayakan kami.
"

Sang pemimpin berkata, "Demi
Allah, bukan begitu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Sebetulnya lautan
dan air itu satu dalam hakikat. Di antara keduanya tidak ada perbedaan. Air
adalah nama lautan dari segi hakikat dan wujud. Lautan adalah nama baginya dari
segi kesempurnaan, kekhususan, keluasan, dan kebesaran di atas semua
fenomena."

Cerita di atas untuk
menggambarkan hubungan makhluk dengan Tuhan seolah-olah hubungan antara
penghuni lautan dengan lautan. Perbandingan ini tentu saja tidak tepat. Ia
hanyalah upaya untuk menyederhanakan hakikat yang sangat jauh dari ruang
lingkup pengalaman kita. Walaupun begitu, kebanyakan orang tidak juga
memahaminya. Alih-alih berterima kasih, dalam sejarah, seperti ikan-ikan itu,
kita menolak penjelasan itu, mengafirkan mufasirnya, dan tidak jarang
membunuhnya. Yang jarang adalah sikap merendah menghadapi sesuatu yang tidak
kita pahami. Lebih jarang lagi adalah kesediaan untuk memahami dan menerima
penjelasan, seperti yang dilakukan oleh para pendeta Nasrani di zaman khalifah
Abu bakar:

Sekelompok pendeta datang ke
Madinah. Mereka bertanya kepada Abu Bakar tentang Nabi dan Kitab yang dibawanya.
Abu bakar berkata, "Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia
membawa kitab suci. "Mereka bertanya lagi, "Adakah di dalam kitab
suci itu disebut wajah Allah? "Kata Abu Bakar, "Betul.""Apa
tafsirnya? "Tanya mereka. Abu Bakar berkata, "ini pertanyaan yang
terlarang dalam agama kami. Nabi Saw. tidak menjelaskan kepada kami.
"Pendeta itu tertawa seraya berkata, "Demi Allah, Nabi kamu itu hanya
pendusta belaka. Kitab suci kamu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja.
"Ketika mereka keluar dari situ, Salman mengajak mereka menemui Ali bin Abi
Thalib. Kepadanya, mereka mengajukan pertanyaan yang sama, Ali berkata,
"Aku akan menjawabnya dengan demonstrasi, tidak dengan ucapan. "Ali
kemudian memerintahkan kepada seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, dan ia
pun membakarnya. Ketika kayu itu terbakar dan menjadi api, "Ali bertanya
kepada para pendeta, "Wahai pendeta, mana muka api? "Semua pendeta
itu menjawab, "Ini semua muka api. "Mendengar itu, Ali berkata,
"Semua wujud ini adalah wajah Allah. (Kemudian 'Ali membaca ayat
Al-Quran). Kemana pun kamu menghadap di situ wajah Allah, (QS Al-Baqarah [2]:
115). Semuanya binasa kecuali wajah-Nya. Kepunyaan-Nya segala hukum. Dan
kepadanya kamu semua kembali (QS Al-Qashash [28]: 88). "Mendengar penjelasan
itu, semua pendeta itu masuk Islam dan menjadi pengikut tauhid yang arif.

Dalam peristiwa tersebut, para
pendeta berhasil memahami makna ayat-ayat itu. Tapi Ali, yang bergelar Taj Al-Arifin,
pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan. Ia menyampaikan sesuatu yang
berada di luar kemampuan orang yang mendengarnya. Hamam, seorang yang taat
beribadah, memohon kepada Ali untuk menjelaskan tanda-tanda orang-orang takwa.
Ali berkhotbah tentang hubungan seorang yang bertakwa dengan Tuhan. Begitu 'Ali
selesai berkhotbah, Hamam jatuh pingsan dan akhirnya meninggal dunia."Tadi
aku sebelumnya mencemaskan dia."

Para Nabi dan kekasih-kekasih
Tuhan adalah orang-orang yang telah mencapai tahap yang sangat tinggi dalam
hubungannya dengan Tuhan. Kedekatan mereka dengan Tuhan telah memberikan kepada
mereka pengetahuan langsung ('ilm
hudhuri); dan bukan pengetahuan yang berdasarkan pembuktian rasioal {'ilm
hushuli). Ketika mereka ingin menyampaikan apa yang mereka saksikan kepada
orang awam, mereka tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat dan cepat
dimengerti.

Kenyataan inilah yang menyebabkan
lidah Musa a.s. terikat sehingga ia berdoa: "Tuhan-ku, legakan dadaku,
mudahkan urusanku, dan lepaskan ikatan lidahku, supaya mereka mengerti
pembicaraanku" (QS Tha Ha [20]: 25-28). Ini juga yang menyebabkan Nabi
Muhamad Saw. berkata, "Tidak seorang nabi pun yang merasakan sakit seperti
yang kuderita. Maknanya berkaitan dengan ketidakmampuan Nabi untuk menyampaikan
secara utuh apa yang dialami, atau menemukan orang yang dapat menerimanya. Hal
itu menyedihkan beliau meskipun pengalaman beliau lebih besar dibanding penglaman
para nabi sebelumnya, namun dia tidak dapat menyampaikannya kepada semua orang sesuai
dengan keinginannya. Bayangkan kesedihan seorang ayah yang ingin membuat
anaknya yang buta dapat memahami matahari; bagaimana ia dapat menyampaikannya
sehingga dapat menjelaskan arti dari cahaya."

Kita yang awam ini adalah
orang-orang buta dan tuli. Kita hanya menyaksikan hal-hal yang material saja,
wujud yang terendah. Dalam pandangan Ibnu Arabi, materi adalah wujud yang
paling banyak adam-nya\ eksistensi yang paling non-eksisten.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: