Kamis, 24 Juni 2010

[daarut-tauhiid] Keajaiban Salam

http://www.dakwatuna.com

Keajaiban Salam

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo
________________________________


dakwatuna.com – Cinta adalah sesuatu benih yang hidup dalam hati dan
tumbuh muncul ke permukaan dalam bentuk ekspresi kongkret dan perilaku
riil. Cinta memerlukan ekspresi tersendiri dan esensi syariat Salam
dalam Islam lebih dari sekadar simbol formalitas verbal tetapi sebuah
ekspresi tulus yang lahir dari perasaan cinta, kasih sayang, doa,
harapan, suka cita, motivasi, kepedulian, perhatian, penghargaan dan
ikatan batin yang tulus dalam berbagai bentuknya.

Alice Gray memberikan tips mengawetkan hubungan romantis pasangan
dalam bukunya List To Live By For Every Married Couple (2002) yaitu
dengan memelihara komunikasi efektif melalui berbagai ekspresi
perasaan, sukacita, dam keprihatinan yang terdalam. Menurutnya,
pernikahan itu dibangun di atas ekspresi-ekspresi kecil penuh kasih
sayang dengan menekankan pentingnya ucapan-ucapan selamat dalam
berbagai pengalaman penting dan momentum berarti (munasabat) serta
sebaliknya mengabadikan kartu ucapan selamat yang terkirim untuk
pernikahan, ulang tahun, ulang tahun pernikahan ataupun ucapan spesial
apapun merupakan hal yang bermanfaat sebagaimana saran Angela Dean
Lund, konsultan kenangan-kenangan kreatif.

Salam merupakan salah satu bentuk pemberian motivasi yang sangat
berarti dalam sebuah hubungan agar dapat meningkatkan semangat dalam
vitalitas kehidupan fisik material maupun psikologis spiritual, maka
karena cinta memerlukan motivasi yang intens dan kontinyu agar
tercipta hubungan yang harmonis dan bergairah sepanjang musim, seperti
diungkapkan oleh John Gray dalam Men are From Mars, Women are from
Venus (1992) sehingga memerlukan manajemen salam dan seni memahami
entry point serta titik-titik sensitif serta sentimentil untuk
mengeratkan hati pasangan ataupun orang lain (ta'liful qulub). Namun
demikian, patut disayangkan, banyak kalangan umat dan aktivis dakwah
yang melewatkan dan menyiakan entry point ini membina dan mengeratkan
hubungan dengan orang-orang dekatnya serta lingkungan pergaulannya
sehingga tercipta hubungan yang loyal, bergairah dan indah.

Sebagai seorang muslim, adalah telah menjadi sebuah keharusan syar'i
dan keniscayaan pergaulan untuk memahami manajemen salam dengan saling
membudayakan salam secara positif dan efektif. Banyak sekali dalil
syar'i, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang menganjurkan agar
kita selalu memberi salam kepada siapa pun termasuk yang kita belum
kenal apalagi orang-orang dekat yang telah lama kita kenal. (QS.24:27)

Diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a. bahwasanya seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, apakah Islam yang paling
baik itu? beliau menjawab: Engkau memberi makan dan memberi
(mengucapkan) salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang belum
kamu kenal." (HR. Muttafaqun 'Alaih )

Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada umat Islam untuk memelihara
tujuh perkara yaitu; menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah,
mendoakan orang yang bersin, membantu yang lemah, menolong yang
dizhalimi orang, memberi salam, mengabulkan permintaan seseorang
(memohon dengan sumpah kepada Allah). (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Imam Ibnu Hibban (w.354 H.) dalam Raudhatul 'Uqala wa Nuzhatul Fudhala
menegaskan bahwa Islam sangat menganjurkan budaya Salam pada hubungan
sosial secara umum, karena mengandung hikmah dapat mengikis rasa
kebencian, kemarahan dan mencerahkan pergaulan sebagaimana riwayat
hadits Nabi saw yang mengatakan bahwa Salam merupakan salah satu nama
agung Allah yang dihamparkan di muka bumi, maka tebarkanlah Salam di
antara kalian.

Manajemen salam secara baik akan melatih seseorang dapat
mengoptimalkan upaya membudayakan salam yang merupakan salah satu cara
untuk memperkuat persaudaraan khususnya antara sesama muslim, menambah
perasaan saling cinta antar sesama orang beriman. Rasulullah SAW dalam
sebuah hadits menegaskan bahwa tidak akan masuk surga sehingga orang
telah beriman, dan tidak beriman sehingga saling mencintai cara
efektif untuk dapat saling mencintai adalah dengan menyebarkan salam.
( HR. Muslim )

Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People (1979)
mengajarkan bagaimana cara memelihara dan mengeratkan hubungan sosial
khususnya ikatan mahligai perkawinan di antara dengan saling memberi
salam berupa ucapan selamat dan pujian yang ikhlas serta memberikan
perhatian-perhatian pada hal-hal kecil yang menarik pasangan seperti
ketika hari ulang tahun peristiwa pernikahan dan kelahiran.

Menghidupkan budaya salam secara kreatif dan inisiatif bagi pribadi
pendamba keshalihan akan tumbuh secara mandiri karena keyakinan bahwa
salam merupakan kebiasaan tersebut termasuk sebuah ibadah yang dapat
menghantarkan kepada surga sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam
sabdanya: "Hai manusia, sebarkanlah salam, berdermalah makanan,
hubungkanlah tali persaudaraan (silaturahim), shalat malamlah pada
saat orang-orang sedang tidur lelap niscaya kalian akan masuk surga
dengan selamat. ( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Tradisi Salam lahir dan hidup sepanjang sejarah hubungan manusia
berlangsung sejak zaman Nabi Adam as. Dalam sebuah hadits diriwayatkan
bahwa ketika Allah SWT telah selesai menciptakan Adam as, maka Allah
SWT memerintahkan kepada Adam as. untuk menemui dan memberi Salam
kepada segolongan malaikat yang sedang duduk menunggu untuk kemudian
Adam as diminta mendengarkan apa yang mereka ucapkan sebagai
penghormatan kepadanya. Salam yang diucapkan para malaikat kepada Adam
as. adalah salam hormat kepadamu dan salam hormat kepada keturunanmu
(yang beriman). Maka Adam as berkata: "Assalamu'alaikum" dan mereka
menjawab: "Assalamu'alaikum Warahmatullah". ( HR. Bukhari )

Pada dasarnya, hukum memberi salam dan menjawabnya adalah berbeda.
Memberi salam adalah sebuah sunnah yang dianjurkan sedangkan
menjawabnya adalah wajib sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abdil Barr
bahwa para ulama sepakat tentang hal ini. Ketentuan syariat ini
menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan pemeliharaan hubungan
dengan mengajarkan pentingnya menghargai ekspresi positif orang lain
berupa ucapan selamat dengan cara membalasnya dengan ucapan salam
senada atau lebih baik lagi sebagaimana hadits tentang permulaan salam
di atas sehingga para ulama sepakat bahwa menambahkan kalimat dalam
menjawab salam adalah sesuatu yang dianjurkan memberikan balasan salam
yang lebih baik sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap
inisiator salam. Firman Allah SWT : "Apabila kamu dihormati dengan
suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik,
atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan
segala sesuatu". (QS. 4:86)

Kristine Carlson dalam Don't Sweat the Small Stuff for Women (2001)
mengkritik kebiasaan dan sikap sementara orang yang kurang arif dalam
menerima salam berupa pujian dan kata selamat dengan berbagai respon
negatif bahkan pasif, padahal kita dapat menyambutnya dengan ucapan
"terima kasih". Dalam hal ini sunnah Nabi saw lebih jauh mendorong
kebiasaan positif dalam menyikapi ucapan salam dengan menjawabnya
tidak sekadar "terima kasih" tetapi memberikan ucapan selamat kembali
kepada penyampai dan orang yang mengucapkannya minimal setara bobot
ucapannya.

Esensi prosedur salam dalam syariat Islam yang berupa tatacara memberi
salam yaitu orang yang berkendaraan lebih dulu memberi salam kepada
yang berjalan, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, jama'ah
yang sedikit memberi salam kepada yang lebih banyak, yang muda memberi
salam kepada yang lebih tua sebagaimana hadits dalam riwayat Muttafaq
'Alaih mengajarkan kepribadian rendah hati dan peduli etika pergaulan
dengan memahami posisi diri dan orang lain serta tanggap terhadap
ekspresi menghargai orang lain sebagai point entry untuk dihargai dan
media perekat hubungan sosial sehingga lahir keshalihan yang
memancarkan akhlaq yang baik (khiyarukum ahasinukum akhlaqan).

Persoalan fiqih yang kadang mengganjal dalam manajemen salam adalah
salam antar jenis yang bukan mahram. Bila kita perhatikan teks-teks
dalil yang menganjurkan untuk menyebarkan salam pada dasarnya bersifat
umum dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Artinya,
jika ada seorang lelaki yang secara tulus ikhlas mengucapkan salam
kepada seorang wanita, maka wanita itu sesuai dengan nash Al-Qur'an
wajib membalasnya dengan jawaban yang lebih baik atau minimal yang
serupa dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian hijab gender tidak
bisa mengoyak ajaran dan doktrin Salam serta filosofisnya.

Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Ummu Hani binti Abi Thalib
berkata: "Saya mengunjungi Rasulullah pada tahun al-Fath (penaklukan
kota Mekah), ketika itu beliau sedang mandi sementara Fatimah,
putrinya, sedang menutupi tempat mandi beliau dengan tabir, lantas
saya mengucapkan salam kepada beliau, lalu beliau bertanya, 'siapa
itu?' saya menjawab, 'Ummu Hani binti Abi Thalib', kemudian beliau
berkata, 'selamat datang Ummu Hani'" (HR Bukhari dan Muslim)

Ketika Rasulullah saw menyampaikan kepada istrinya Aisyah bahwa
malaikat Jibril mengucapkan salam kepadanya, maka 'Aisyah ra. menjawab
salamnya dengan ucapan "wa'alaikum salam warahmatullah".

Imam Ibnu Hajar meriwayatkan dalam Fathul Bari-nya hadits Asma' binti
Yazid yang mengatakan bahwa Nabi saw pernah melewati kami kaum wanita,
lalu beliau mengucapkan salam kepada kami. Imam Ahmad juga
meriwayatkan dalam Musnad-nya bahwa ketika sahabat Mu'adz tiba di
Yaman, ia didatangi seorang perempuan dengan dua belas anaknya seraya
mengucapkan salam kepada Mu'adz.

Demikian yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya tentang
memberi salam kepada kaum wanita atau sebaliknya meskipun terdapat
sebagian ulama yang mensyaratkan kebolehan itu dengan kondisi 'aman
dari fitnah' seperti Imam Al-Hulaimi dan Al-Mihlab. Dari sumber-sumber
di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama zaman dahulu
tidak mengharamkan mengucapkan salam kepada wanita, khususnya jika
laki-laki itu berkunjung ke rumah si wanita untuk urusan tertentu yang
syar'i, untuk mengobati, mengajar, dsb. Berbeda dengan wanita yang
bertemu dengan laki-laki di jalan umum, maka si lelaki sebaiknya tidak
mengucapkan salam kepada wanita, kecuali jika antara mereka ada
hubungan yang kuat, seperti hubungan nasab, kekeluargaan, semenda,
dll. Sedangkan alasan yang paling kuat yang dijadikan sandaran oleh
golongan yang melarangnya adalah karena 'takut fitnah' yang sudah
seyogyanya dijaga oleh setiap muslim semampu mungkin untuk menjaga
kesucian agamanya dan kehormatannya. Hal itu, sebenarnya, pangkal
tolaknya adalah hati nurani dan daya tahan iman seorang muslim itu
sendiri, karena itu hendaklah ia bertanya pada dirinya sendiri.

Dalam persoalan kasus salam antar beda jenis yang bukan mahram
beberapa hal yang perlu diperhatikan agar terjaga kemurniaan dan
efektivitas positifnya adalah bahwa salam itu diucapkan ataupun
disampaikan dalam kerangka birr wat taqwa (kebajikan dan ketakwaan),
salam itu tepat waktu dan kondisi, salam itu dilandasi ketulusan
ikhlas dan aman dari potensi fitnah.

Dalam konteks ini, pendapat kalangan yang mengatakan bahwa suara
wanita itu aurat sehingga mutlak tidak boleh ada kontak komunikasi
antar jenis adalah tidak relevan karena tidak adanya dalil khusus yang
melandasi pelarangan tersebut dan tidak ada seorang pun ulama mu'tabar
(eligible) yang berpendapat begitu. Bagaimana dikatakan suara wanita
itu aurat, sedang Allah berfirman: "… apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir…" (Al-Ahzab:53).

Ini berarti bahwa mereka, para istri nabi, menjawab permintaan
tersebut dari belakang tabir. Demikianlah yang biasa dilakukan Aisyah
dan Ummul Mu'minin lainnya, menjawab pertanyaan, meminta sesuatu dan
meriwayatkan hadits serta menceritakan sisi-sisi kehidupan Rasulullah,
padahal semestinya aturan yang berlaku atas mereka lebih ketat dan
lebih berat daripada wanita lainnya. Sebaliknya, banyak pula kaum
wanita yang bertanya dan berbicara di majelis terbuka Nabi saw. Betapa
banyaknya peristiwa sejarah yang tidak terhitung jumlahnya pada zaman
Nabi saw dan sahabat, yang menunjukkan bahwa kaum wanita dapat dan
biasa berbicara dengan kaum laki-laki, berdialog, berdiskusi,
mengucapkan dan menjawab salam. Tidak seorang pun yang berkata kepada
wanita, 'diamlah, karena suaramu itu aurat'.

Seni memberi dan menjawab ucapan selamat dalam manajemen salam
merupakan salah satu bentuk setoran efektif untuk bank emosi kita
dalam kebiasaan proaktif untuk menarik simpati orang lain dan membina
berbagai hubungan sebagaimana ditegaskan Stephen R. Covey dalam The 7
Habits of Highly Efective Families (1999). Bahkan menurutnya sebagai
media sinergi untuk mewujudkan sistem kekebalan keluarga perlu
dihidupkan budaya kreatif ucapan selamat sebagai bagian implementasi
lima cara mengekspresikan cinta yaitu; 1. berempati, 2. berbagi rasa,
3. meyakinkan dan motivasi, 4. berdoa, 5. berkorban.

Jangan pernah melewatkan satu kesempatan dari peristiwa apapun yang
dialami oleh orang-orang yang kita kasihi atau kita kenali untuk
memberikan salam yang dapat menyumbangkan rasa kebahagiaan dan
motivasi pada mereka sebagai suatu pengikat batin yang dahsyat
sekaligus amal yang sangat mulia sebagaimana sabda Nabi saw yang
mengatakan bahwa sebaik-baik amal adalah memberikan rasa kebahagiaan
pada hati orang lain. Sesuatu yang remeh dan kecil bukan sebagai
alasan untuk kita lewatkan meskipun hanya menulis satu coretan kecil,
satu baris pesan melalui SMS, satu kalimat telepon, satu, satu kartu
ucapan selamat yang sederhana, kalau hal itu memang dapat memberikan
kebahagiaan orang lain, bukankah Nabi saw melarang kita untuk
meremehkan dan tidak menghiraukan hal-hal positif apapun sekalipun
remeh dan kecil.

Dalam optimalisasi fungsi manajemen salam dan untuk mengetahui secara
proaktif momentum yang tepat bagi ekspresi salam, agar menjadi salam
yang efektif maka diperlukan proses pembelajaran, pengenalan dan
saling memahami (tafahum) antar kekasih, sahabat dan relasi. Barbara
De Angelis dalam The 100 Most Asked Questions About Love, Sex and
Relationships menekankan pentingnya kerjasama dan keyakinan bersama
bagaimana perasaan cinta diekspresikan secara benar sehingga dapat
membahagiakan pasangan dan sahabat. Oleh karena itu kita perlu 'ngeh',
'ngerti' dan tahu (ta'aruf) hari-hari, momentum dan saat-saat yang
tepat untuk memberikan ucapan dan ungkapan selamat kepada orang-orang
sekitar kita. Dan kita harus arif dalam memilih kata, media dan cara
penyampaian salam agar tidak mengurangi keberkahan dan efektivitas
salam. Wallahu A'lam Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah. []

http://www.dakwatuna.com/2009/keajaiban-salam/


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: