Rabu, 22 Desember 2010

[daarut-tauhiid] Bahasa Ibu

 

Bahasa Ibu
Oleh: Udo Yamin Majdi

Bahasa ibu. Tema ini, tiba-tiba saja memenuhi otak saya, saat orang lain mulai membicarakan Mother's Day. Bila 75 negara di belahan dunia lain, misal Amerika, Kanada, Jerman, Italia, Belanda, Jepang, Taiwan, Hongkong, Malaysia, Singapura, Australia dan seterus, merayakan Hari Ibu atau Mother's Day pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei untuk mengenang aktivis sosial Julia Ward Howe (1870) yang mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara, atau di Eropa dan Timur Tengah mereka memperingatinya setiap bulan Maret untuk memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno, maka di Indonesia kita merayakannya pada saat ini, tanggal 22 Desember.

Tentu saja, spirit Hari Ibu di Indonesia, berbeda dengan di Barat dan Eropa sana, sebab Kongres Perempuan Indonesia III, tahun 1938 dan dikukuh oleh Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Indonesia untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa. Pejuang perempuan itu diantaranya: Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Saya tidak mau membahas polemik: "mengapa diberi nama Hari Ibu, bukan Hari Perempuan?" atau pertanyaan, "Apa hukumnya menurut Islam merayakan Hari Ibu?", dan pertanyaan lainnya. Sehingga kita ribut, dan lupa berbuat baik untuk ibu kita. Saya membuat catatan ini, bukan pula untuk menggegap-gepitakan Hari Ibu, melainkan sekeder refleksi kita agar kita lebih mencintai ibu kita. Sengaja saya tidak membahas kebaikan ibu kita, sebab kisah luar biasa tentang ibu itu, telah ditulis hampir 500 peserta Lomba Kisah Kasih Ibu --kerjasama antara Word Smart Center dan Penerbit Mizan-- dan 100 naskah terbaik dibukukan, insya Allah terbit bulan depan, Januari 2011. Saya ingin membidik kisah ibu dari sudut lain, seperti yang saya kemukakan di awal, yaitu bahasa Ibu.

*  *  *

Bahasa ibu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah "bahasa pertama" yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat, seperti keluarga dan lingkungan. Tidak salah memang, bahasa ini dinisbatkan kepada ibu --Bahasa Ibu, bukan Bahasa Bapak-- sebab memang ibu adalah keluarga dan lingkungan pertama yang dimiliki seorang bayi. Setidaknya, selama sembilan bulan, seorang ibu bercakap-cakap dengan anaknya dalam kandungan.

Bahasa ibu, bahasa pertama dan tidak pernah akan terlupakan. Ini yang saya rasakan. Hampir dua dasawarsa, tepatnya 17 tahun, saya tidak menggunakan bahasa ibu saya, Bahasa Lampung. Sejak saya menjadi santri di Garut, saya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Sunda. Dan di Mesir, tentu saja selain dua bahasa itu, saya memakai bahasa Arab.

Meskipun saya sangat jarang menggunakan bahasa Lampung, namun ketika saya bertemu dengan orang Lampung, terutama di internet, saya menggunakannya. Misalnya, tiga hari yang lalu, di facebook, saya bertemu dengan teman satu kelas ketika SLTP. Dalam berkomunikasi, kami menggunakan bahasa Lampung. Walaupun kami saat ini, tidak tinggal di kampung halaman kami. Bahkan, suatu ketika, saya mengikuti sebuah seminar di Jawa Barat dan pembicaranya, salah satunya, Prop. Dr. Bagir Manan, MA.. Mantan Ketua Mahkamah Agung dan rektor UNISBA itu berkata, "Saya merantau sudah 40 tahun, namun sampai saat ini saya tidak lupa dengan bahasa Lampung."

Nah, bisa jadi, bahasa ibu, bukan hanya bahasa pertama, melainkan juga bahasa terakhir yang muncul dari mulut seseorang. Dengan kata lain, bahasa ibu adalah bahasa sejak lahir hingga mati.

*  *  *

Apakah bahasa ibu sama dengan bahasanya ibu?

Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya ingin mendiskusikan bagaimana Allah memilih bahasa ibu Nabi Muhammad SAW.

Dalam beberapa kitab tarikh, diceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika masa menyusu tidak tinggal bersama ibunya, Aminah, di Makkah, melainkan tinggal bersama ibu susunya, Halimah as-Sa'diyah, di Kampung Bani Bani Sa'ad. Mengapa?

Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, dalam kitab Ar-Rahiq al-Makhtum (Dar el-Wafa, 2003), salah satunya untuk menjaga lisan nabi agar fasih berbahasa Arab. Dalam Al-Quran surat ke-106, Allah menuturkan kebiasaan Suku Quraisy melancong untuk berdagang, ke Syria pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin. Dan setiap tahun, ada pasar besar bernama Pasar 'Ukaz.

Dengan demikian, kota Makkah sejak waktu itu, sudah menjadi kota spritual sekaligus kota bisnis. Banyak orang luar berkunjung di sana, selain untuk tawaf di Ka'bah, juga untuk berdagang. Secara otomatis, selain Quraisy sebagai penduduk asli yang suka melancong keluar negeri melakukan eksport-import, di Makkah juga tinggal masyarakat urban. Dari sinilah terjadilah akulturasi dan asimilasi budaya, termasuk percampuran bahasa asli dengan bahasa pendatang, dan lahirlah bahasa baru, ini kita kenal dengan "bahasa pasaran". Maka di Arab, ada bahasa Arab fushah dan bahasa Arab 'ammiyah.

Sedangkan di Kampung Bani Sa'ad itu, bahasa Arab masih murni. Bani Sa'ad ini masih bagian dari suku Quraisy. Dan bahasa Quraisy merupakan bahasa pemersatu kabilah-kabilah Arab.Jadi, Allah menakdirkan Nabi disusui oleh Halimah, karena menginginkan bahasa ibu nabi Muhammad Saw adalah bahasa Arab asli, sehingga semua suku Arab bisa memahami apa yang akan beliau sampaikan.

Dapat kita bayangkan, apa jadinya, jika Nabi tinggal di Makkah dan bahasa ibunya bahasa pasaran, maka Al-Quran akan berisi bahasa 'ammiyah dan belum tentu suku-suku di Arab itu akan memahami dakwah beliau.

Di sini kita dapat melihat perbedaan "bahasa ibu", dengan "bahasanya ibu". Siti Aminah tinggal di Makkah, secara otomatis memakai bahasa 'ammiyah, minimal dalam dialeknya. Sedangkan Nabi Muhammad Saw karena tinggal di keluarga Sa'ad bin Bakr yang memakai bahasa fushah. Begitu juga halnya dengan keluarga kami, meskipun isteri saya berbahasa Sunda, tidak serta merta berbahasa Sunda. Kami memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu untuk ketiga anak kami: Fatih, Fathin dan Fatiya.

*  *  *

Jika bahasa ibu tidak mungkin kita lupakan, maka bagaimana mungkin kita bisa melupakan sosok ibu yang memperkenalkan kita dengan bahasa ibu itu? Manakala kita menyakini pada hakikatnya semua yang kita kuasai dari Allah, bagaimana mungkin kita melupakan-Nya yang telah mengajari kita berbicara? Lalu, sudahkah kita mengucapkan terima kasih kepada ibu kita dan bersyukur kepada Allah Swt? Bila kasih sayang ibu sepanjang masa dan rahmat Allah melebihi siapapun, maka wajarkah jika kita berterima kasih dan bersyukur hanya sehari dalam setahun?

"Dialah Allah, telah menciptakan manusia dan mengajarinya berbicara" (QS. Ar-Rahman [55]:3-4)

*  *  *

Cairo, 22 Desember 2010

NB: Catatan sederhana ini hanyalah sebatas renungan saya disela-sela mengurus copy right buku di Cairo. Semoga menjadi bahan diskusi, dan tolong luruskan manakala ada yang keliru.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: