Kamis, 23 Desember 2010

[daarut-tauhiid] KECERDASAN dan AGAMA

KECERDASAN
DR Hamid Fahmy Zarkasyi, MPhil
Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa negara
Eropah. Banyak fakta yang menarik untuk dibagi bersama. Diantara yang
menarik adalah ketika saya berkunjung ke Inggeris, Maret 2010. Di Nottingham
saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham
menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan
sebaliknya semakin sekuler dan bahkan atheist ia semakin cerdas. Saya tidak
baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W.Cantwell Smith
definisi religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti "religiusitas" pun
begitu. Makna cerdas pun juga masalah. Sebab kini berkembang istilah
kecerdasan spiritual. Jadi desain penelitian tersebut nampaknya perlu
dipersoalkan.

Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu dikaji lebih
lanjut. Jika maksudnya adalah kecerdasan intelektual itupun masih perlu
ujian lebih mendalam. Sebab kecerdasan itu bukan karena pandangan hidup
sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah kecerdasan spiritual,
jelas sekali tidak benar.

Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan gereja yang
telah menjadi Masjid. Di Birmingham, masjid Mu'az adalah bekas gereja dan
seminari. Beberapa gereja di daerah Aston, Birmingham sudah menjadi sarang
burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding "jama'ah" yang
antri masuk bar. Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak orang. Di sana
tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa,
di Manchester terdapat nama gereja "A Church for those who don't like to go
to church". Itulah arti pernyataan "spirituality has gone to the east".
Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas
Birmingham Barat itu maju tanpa agama. Artinya semakin sekuler, semakin
rendah spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya mengapa di Barat training
kecerdasan spiritual menjamur. Jadi riset diatas tidak reliable. Apalagi
menurut Islam spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak beda.

Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah.
Ternyata tidak. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di
Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama,
pemerintahnya mulai mengurusi agama. Di Inggeris pemerintah terpaksa
membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini di Amerika malah muncul idea
de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat.
Harvey Cox, yang pernah menjual idea sekularisasi agama-agama, akhirnya
mengoreksi idenya itu. Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering
Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan.

Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang bijak bestari. Bulan lalu
saya menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria. Temanya
tentang moderasi dan toleransi. Seorang peserta bertanya, mengapa di
Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropah tidak.
Jawab saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga
tidak toleran pada agama. Di Indonesia agama bisa muncul di ruang publik.
Ceramah agama-agama bisa muncul di TV. Tabligh akbar, Natalan atau
peringatan hari keagamaan bisa diadakan diruang publik. Sesuatu yang
mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain bahwa menjadi sekuler itu tidak
membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti ekslusif.

Tapi anehnya, yang kini dituduh ekslusif adalah sikap keberagamaan. Itupun
berdasarkan analisa abad ke 16 dan 17, disaat mana sekte-sekte agama di
Eropah waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya
tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik
bermuara pada pembunuhan. Andrew Sullivan di The New York Times Magazine
menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama
Eropah abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di
dunia Islam.

Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang. Yang jadi
sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal
konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak
sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati
sia-sia pun lebih banyak konflik politik. Tidak puas dengan sample peristiwa
Jack Nelson-Pallmeyer, merujuk kepada kitab suci. Ia lalu menulis buku "Is
Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Qur'an". Intinya, kedua
kitab ini memerintahkan pembunuhan.

Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang sebenarnya
justru antara agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme
gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap ekslusif itu diganti menjadi
sikap inklusif dan pluralis. Secara teologis agama yang banyak itu, oleh
John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu
diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick.
Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.

Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, "all
race, all nation, all religion but one god". Saya lalu segera menyimpulkan
ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke
London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit
hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi
dia itu benar. Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation,
di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi
kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu simbul
pluralisme dan kesamaan Tuhan agama-agama.

Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan
dosen systematic theology Professor Hans Joachim Sander. Saya terkejut
ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer.
Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu,
katanya adalah proyek Amerika. Bahkan dia terus terang "liberalisme itu
omong kosong". Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama
sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah
pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Lucunya,
menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas. Artinya menjadi
sekuler atau liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri
dan orang lain. Begitulah nestapa masyarakat yang telah kehilangan misykat.
Wallahu a'lam.

Sumber:

http://www.insistnet.com/

--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können.
>> al-Ra'd [13]: 28


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: