* *
Asy-Syekh Al-Imam Abu Abdullah Muhammad ibnu Hazm *Rahimahullah* yang alim
dalam berbagai macam ilmu, telah mengatakan: Segala puji begi Allah Yang
Mahaperkasa, Mahakuasa, Maharaja, Mahamenang, Mahaagung, Maha Pengampun,
Maha Penyantun lagi Maha Pemaaf. Semoga salawat serta salam-Nya atas
Nabi-Nya, yaitu Nabi Muhammad *shalallahu alaihi wassalam*, cahaya dari
semua cahaya, dan pemimpin bagi orang-orang yang bercahaya menuju ke
tempat yang
tetap dan abadi. Semoga salawat serta salam-Nya tercurahkan pula kepada
keluarganya yang terpilih serta para sahabatnya yang berbakti.
Kemudian perlu diketahui, sesungguhnya cabang ilmu yang akan kami bahas ini
merupakan *ilmu pelengkap ijtihad*, karena rukun atau pilar penyangga yang
paling besar di dalam Bab "Ijtihad" ialah mengetahui *Naql.* Termasuk di
antara faedah ilmu *Naql* ini ialah mengetahui *nasikh* dan *mansukh*. Karena
untuk memahami pengertian *khitab-khitab* atau perintah-peritah itu amatlah
mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah dari berita-berita yang
ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit
pelaksanaannya. Hanya saja yang menjadi kesulitan itu ialah
mengetahui *bagaimana
caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum **dan **makna-makna yang tersirat
di balik nas-nas yang ada*. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut
*nash-nash* tersebut ialah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu
*makna lahiriah
dan makna yang tersirat,* serta *pe**ngertian-pengertian lain yang
terkandung di dalamnya*.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang
bersumber dari Abu Abdur Rahman. Ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali
r.a. bersua dengan seorang *qadhi* atau hakim (hakim yang menggunakan hukum
Islam, bukan hukum kafir), lalu Ali r.a. bertanya kepadanya: "Apakah kamu
mengetahui masalah *nasikh*, dan *mansukh*?" Si Qadi tadi menjawab:
"Tidak". Maka Ali r.a. menegaskan: "Kamu adalah orang yang celaka dan
mencelakakan".
Ada sebuah *atsar* lain yang berasal dari Sa'id ibnu Abul Hasan, bahwa pada
suatu hari ia bertemu dengan Abu Yahya Al-Mu'arrif.
Lalu Abu Yahya berkata kepadanya: "Hai Sa'id, ketahuilah aku, ketahuilah
aku, sesungguhnya aku ini adalah dia".
Maka Sa'id menjawab: "Apakah maksudmu dengan dia? Aku masih belum mengerti."
Lalu Abu Yahya berkata: "Dialah aku sebagaimana yang akan aku kisahkan
sekarang ini, yaitu bahwa pada suatu hari aku bertemu dengan Khalifah Ali
r.a., sedangkan pada saat itu aku menjabat sebagai qadi atau hakim di kota
Kufah.
Lalu Khalifah Ali r.a. bertanya kepadaku: 'Siapakah kamu?' Aku menjawab:
'Aku adalah Abu Yahya.
Maka Khalifah Ali r.a. menjawab: 'Kamu bukanlah Abu Yahya, tetapi kamu
adalah orang yang mengatakan: Ketahuilah aku, ketahuilah aku'.
Selanjutnya Khalifah Ali bertanya: 'Apakah kamu mengetahui tentang
*nasikh* dan
*mansukh*?'
Aku menjawab: 'Tidak'.
Maka Khalifah Ali r.a. berkata: 'Engkau ini adalah orang yang celaka dan
mencelakakan'. Sesudah itu aku berhenti dari jabatanku, dan aku tidak mau
lagi melakukan peradilan kepada seorang pun. Aku katakan demikian supaya
kamu mengambil manfaat dari kisahku ini, hai Sa'id".
Abu Hurairah r.a. telah menceritakan, bahwa Huiaifah r.a. ditanya oleh
muridnya tentang sesuatu masalah, lalu ia menjawab: "Sesungguhnya orang
yang boleh memberikan fatwa itu hanya ada tiga macam orang, salah satu di
antaranya yaitu seseorang yang mengetahui tentang masalah *nasikh* dan *
mansukh*". Lalu mereka (murid-muridnya) bertanya: "Siapakah yang
mengetahui *nasikh* dan *mansukh*?" Huzaifah menjawab: "Umar, atau sultan
yang terpaksa harus mengeluarkan fatwanya, atau seorang lelaki yang
dibebani untuk memberi fatwa".
Ad-Dahhak ibnu Muzahim telah menceritakan, bahwa pada suatu hari Ibnu Abbas
r.a. bersua dengan seorang *qadhi* yang sedang memutuskan suatu perkara,
lalu ia menendang dengan kakinya seraya bertanya: "Apakah kamu telah
mengetahui tentang mana yang *nasikh* dan mana yang *mansukh*?"
Lalu qadi itu berkata: "Siapakah yang mengetahui mana yang *nasikh* dan
mana yang *mansukh*?"
Ibnu Abbas bertanya kembali: "Jadi, kamu masih belum mengetahui mana yang *
nasikh* dan mana yang *mansukh*?"
Qadi menjawab: "Tidak".
Lalu Ibnu Abbas r.a. berkata: "Kamu ini adalah orang yang celaka dan
mencelakakan".
Asar-asar (atsar-atsar) yang menyangkut masalah ini banyak sekali, dan di
sini hanya diketengahkan sebagian kecil saja darinya, dengan maksud untuk
diketahui bahwa betapa pentingnya kedudukan masalah *nasikh* dan *mansukh* di
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di mata para sahabat, karena
sesungguhnya kedudukan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itu adalah sama.
Al-Miqdad ibnu Ma'diykariba telah menceritakan bahwa Rasulullah *shalallahu
alaihi wassalam*. telah bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan
yang semisal dengannya (Sunnah) – sebanyak tiga kali – Ingatlah, hampir
tiba saatnya ada seorang lelaki yang mengatakan seraya bersandar pada
singgasananya: 'Kamu sekalian harus berpegang teguh kepada Al-Qur'an ini;
maka apa saja perkara yang dihalalkan di dalamnya, halalkanlah ia. Dan apa
saja perkara yang diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah ia'."
Sebelum kami memulai inti pembahasan masalah ini, terlebih dahulu kami
mengemukakan mukadimah yang akan menjadi pengantar untuk mengetahui hal
yang dimaksud. Di dalam mukadimah tersebut disebutkan hakikat dan *nasakh* dan
ketetapan-ketetapannya serta hal-hal yang berkaitan erat dengannya.
Perlu diketahui bahwa istilah *nasakh* itu mempunyai akar kata di dalam
ilmu bahasa, dan mempunyai definisi menurut ilmu *Ma'ani* (mantiq) serta
memiliki syarat-syarat menurut ilmu fiqih.
Adapun bentuk asal dari lafaz *an-naskhu* menurut istilah bahasa,
pengertiannya menunjukkan kepada suatu ungkapan yang berarti *membatalkan
sesuatu, kemudian menempatkan hal lainnya sebagai penggantinya*.
Sehubungan dengan hal ini Imam Abu Hatim telah mengatakan bahwa pengertian
dan lafaz *an-naskhu* itu ialah memindahkan madu dari sarang lebah,
kemudian lebahnya dipindahkan ke sarang yang lainnya. Termasuk pula ke
dalam pengertian *an-naskh* yaitu memindahkan tulisan; dan di dalam sebuah
hadis terdapat pula suatu ungkapan yang menunjukkan kepada pengertian ini,
yaitu:
*Tiada suatu kenabian pun, melainkan ia di-nasakh (dihapus) oleh fatrah* (masa
kekosongan).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian lafaz *an-naskhu* menurut
terminologi bahasa menunjukkan kepada dua pengertian, yaitu *meghilangkan
dengan pengertian menghapus sama sekali, dan menghilangkan, dengan
pengertian memindahkan*.
Adapun lafaz *an-naskhu* yang bermakna menghilangkan, mengandung pengertian
mengganti, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan
orang-orang Arab: *Nasakhatisy* *syaibusy* *syababa* (Uban telah mengganti
rambut yang hitam). Juga perkataan mereka yang lainnya, yaitu *Nasakhatisy*
*syamsuz* *zilla* (matahari telah mengganti kegelapan malam). Kesemuanya
itu menunjukkan kepada pengertian menghilangkan, kemudian menggantikan
kedudukannya.
Di samping itu terkandung pula pengertian menghilangkan tanpa mendatangkan
penggantinya; dan menghilangkan hukum sesuatu serta membatalkannya tanpa
mengadakan penggantinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam
perkataan berikut ini, yaitu: *Nasakhatir rihud diyara* (Angin yang kencang
telah melenyapkan dan menghapus bekas-bekas dari rumah-rumah itu).
Adapun mengenai lafaz *an-naskhu* yang bermakna memindahkan, diambil dari
asal kata *nasakhtal kitaba*. Dikatakan demikian apabila kita memindahkan
tulisan yang terdapat di dalamnya ke tempat yang lain. Atau dengan kata
lain, kita menukil isi kitab tersebut. Dengan demikian, pengertiannya
tidaklah menunjukkan bahwa kita menghilangkan tulisan yang terdapat di
dalam kitab itu. Makna lain yang menunjukkan kepada pengertian ini ialah
sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
åóÐóÇ ßöÊóÇÈõäóÇ íóäØöÞõ Úóáóíúßõã ÈöÇáúÍóÞøö ÅöäøóÇ ßõäøóÇ äóÓúÊóäÓöÎõ ãóÇ
ßõäÊõãú ÊóÚúãóáõæäó
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan.
(Q.S. AI-Jasiyah: 29)
Yakni telah mencatatnya ke dalam kitab-kitab catatan amal perbuatan, atau
memindahkan catatan dari suatu kitab ke tempat yang lain.
Hanya saja makna yang populer bagi lafaz *an-naskh* di dalam Al-Qur'an
ialah membatalkan suatu hukum, tetapi tulisannya masih tetap ada. Demikian
pula pengertiannya di dalam Sunnah atau di dalam Al-Qur'an sendiri, yaitu
hendaknya ayat yang me-*nasikh* dan ayat yang di-*mansukh* masih tetap
bacaannya. Akan tetapi, ayat yang di-*mansukh* tidak boleh diamalkan.
Contohnya ialah dalam masalah *iddah* (masa tunggu) seorang istri yang
ditinggal mati oleh suaminya. Sebelum ada ayat yang me-*mansukh*-nya, *iddah
* baginya adalah satu tahun penuh, kemudian turunlah ayat lain yang me-*
mansukh*-nya, yaitu firman-Nya:
íóÊóÑóÈøóÕúäó ÈöÃóäÝõÓöåöäøó ÃóÑúÈóÚóÉó ÃóÔúåõÑò æóÚóÔúÑðÇ
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah: 234)
Adapun definisi lafaz *an-naskhu*, sebagian ulama mengatakan bahwa ia
berarti penjelasan bagi selesainya masa ibadah sesuatu masalah. Menurut
pendapat yang lainnya berarti "habisnya masa laku suatu ibadah yang
lahiriahnya masih tetap berlangsung". Sedangkan menurut pendapat sebagian
ulama lainnya, artinya "menghapus suatu hukum yang sebelumnya ditetapkan".
Adapun mengenai syarat-syarat wawasan pengenalannya sangat terbatas, antara
lain ialah hendaknya *nasakh* ini dianggap sebagai *khitab*. Karena dengan
matinya orang yang terkena *taklif*, otomatis hukum yang dimaksud
terputus. Mati adalah suatu hal yang membebaskan seseorang dari hukum *tak
**lif* maka ia tidak ada yang me-*mansukh*-nya.
Yang lainnya ialah hendaknya hukum yang di-*mansukh* itu merupakan hukum
syara' (hukum yang wajib). Karena hal-hal yang bersifat *'aqliyah* (rasio)
yang sandarannya adalah *bara-atul asliyah* tidak dapat di-*mansukh*;
tetapi yang dapat di-*mansukh* itu hanyalah disebabkan ibadah-ibadah itu
tadinya bersifat wajib.
Yang lainnya lagi ialah hendaknya janganlah hukum yang terdahulu terikat
oleh waktu yang tertentu, sebagaimana hadis Rasulullah SAW. yang mengatakan:
Tidak ada salat sesudah salat Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada
salat sesudah salat Asar hingga matahari terbenam.
Karena waktu yang diperbolehkan di dalamnya menunaikan salat-salat
*nafilah* (salat
sunat), yang tidak ada penyebabnya telah ditentukan waktunya. maka tidak
ada larangan untuk mengerjakan salat-salat sunat ini pada waktu yang
tertentu, me-*nasakh* ketentuan hukum sebelumnya, yaitu yang
memperbolehkannya.
Karena penentuan waktu itulah yang mencegah adanya pe-***nasakh*-an.
Yang lainnya lagi ialah, hendaknya kedudukan *nasikh* datang sesudah *
mansukh* dalam tenggang waktu yang cukup, dan penjelasan yang dikemukakan
oleh *nasikh* adalah tujuan terakhir dari hukum yang dimaksud karena
pergantian *maslahat* sesuai dengan berlalunya zaman. Seperti seorang
dokter. ia melarang seseorang melakukan sesuatu hal pada musim panas, tetapi
ia memerintahkannya pada musim dingin. Contoh lainnya ialah menghadap ke arah
Baitul Muqaddas sewaktu di Mekah (kemudian menghadap ka'bah), yang demikian
itu sesuai dengam pilihan orang-orang Yahudi. Seperti masalah diwajibkannya
bersedekah atas harta yang lebih dari kebutuhan, hal ini diberlakukan pada
permulaan Islam. Demikian itu karena bersemangatnya kaum muslim di
dalam membersihkan
diri dan menunaikan ajaran agamanya.
PASAL PERTAMA
Orang-orang Yahudi. mengingkari adanya *nasakh*. Mereka mengatakan bahwa *
nasakh* itu membuka pintu kekeliruan dan kekacauan.
Padahal mereka sendirilah yang keliru, karena sesungguhnya pengertian *
nasakh* itu ialah tidak memberlakukan suatu ibadah yang telah diketahui
oleh Yang memerintahkannya, bahwa hal itu adalah baik. Kemudian perlu pula
diingat bahwa *taklif* atau kewajiban itu mempunyai tujuan yang menjadi
sasarannya; dan setelah tercapai sasarannya, maka kewajiban itu ditiadakan.
Sedangkan pengertian kacau seperti yang dimaksud mereka ialah mengubah
perkara yang diperintahkan dengan perkara yang baru, yang tidak dikenal,
sebagai sumber hukum.
Menurut akal atau rasio,masalah *nasakh* ini pun tidak bertentangan
dengannya bila ditinjau dari dua alasan, yaitu:
*Alasan pertama* ialah pentasyri' (pembuat hukum, yaitu Allah) itu boleh
memerintahkan hukum apa pun, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
*Alasan kedua* ialah jiwa manusia apabila telah terbiasa terhadap suatu
perintah yang biasa dikerjakannya, lalu bilamana perintah itu diubah kepada
perintah yang lain, maka hal itu akan dirasakan berat baginya karena ia
telah terbiasa mengerjakan perintah yang pertama tadi. Dengan demikian,
akan tampaklah ketaatannya kepada pentasyri', yaitu bila dia mengerjakan
apa yang telah diperintahkan-Nya itu.
Sesungguhnya *nasakh* ini merupakan suatu hal yang diakui oleh syara',
karena telah terbukti bahwa di antara ajaran Nabi Adam a.s. yang berlaku
bagi segolongan di antara anak-anaknya ialah boleh menikah dengan saudara
perempuan sekandung dan perempuan-perempuan yang masih muhrim. Sebagaimana
diperbolehkan pula di dalam syariat Nabi Adam a.s. bekerja di hari Sabtu,
kemudian hal tersebut di-*nasakh* (dihapus) oleh syariat Islam (syariat
Islam masa Nabi Musa a.s. – jangan pernah berpikir Nabi Musa a.s. membawa
agama Yahudi - )
PASAL KEDUA
*Nasakh* itu hanya terjadi dalam masalah yang menyangkut perintah dan
larangan. Oleh karena itu, tidak berlaku atas hal-hal yang bersifat berita
murni; *istisna* atau pengecualian bukanlah termasuk *nasakh*, karena *
nasakh* itu hanya berlaku pada hal-hal yang menyangkut perintah saja,
sebagaimana yang telah disebutkan. Berbeda halnya dengan terjadinya *nasakh* di
dalam kalimat berita. Sebagian para ulama mengatakan bahwa *istisna* dan *
takhsis* termasuk *nasakh* pula; tetapi para ahli Fiqih berbeda pendapat.
PASAL KETIGA
* *
*Nasakh* itu terdiri atas tiga bagian yaitu:
Pertama adalah *nasakh* tulisan dan hukumnya. Sehubungan dengan hal ini ada
sebuah hadis yang diceritakan oleh Anas ibnu Malik r.a. Anas ibnu Malik
r.a. telah menceritakan, kami dahulu sering membaca suatu surat yang
panjangnya sama dengan surat At-Taubah; hanya saja kami tidak hafal lagi
kecuali ayat ini, yaitu:
*Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan mencari
yang ketiganya untuk ditambahkan kepada kedua lembah yang ada itu, niscaya
dia pun akan mencarinya lagi untuk yang keempatnya. Dan tiadalah yang dapat
memenuhi perut anak Adam itu, melainkan hanya tanah. Dan Allah akan
mengampuni orang yang bertobat.*
Kedua adalah *nasakh* (hapus) tulisannya saja, tetapi hukumnya tidak, yakni
masih tetap berlaku. Sehubungan dengan hal ini sahabat Umar r.a. telah
menceritakan bahwa kami dahulu sering membacakan ayat ini, yaitu:
*Janganlah kalian suka membuat kedua orang tua kalian benci.*
Makna yang dimaksud ialah janganlah kalian berpaling dari orang tua kalian.
Dan ayat yang lainnya lagi, yaitu:
*Lelaki yang dewasa dan perempuan yang dewasa apabila keduanya berzina,
maka rajamlah keduanya oleh kalian dengan tiada ampun lagi, sebagai
pembalasan dari Allah. Dan Allah adalah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana*
Makna yang dimaksud ialah lelaki pelaku zina muhsan dan perempuan pelaku
zina *muhsan*.
Ketiga adalah nasakh hukumnya saja tapi tulisan nashnya masih tetap ada.
Sebagai contohnya adalah mengenai masalah kiblat; pada mulanya seorang yang
mengerjakan shalat diperbolehkan menghadap ke arah mana saja, karena
berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah (QS. Al Baqarah 115)
Kemudian ayat ini dinasakh oleh ayat lainnya karena menghadap ke Baitul
Maqdis, yaitu firman Allah SWT yang memerintahkan:
Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (QS Al Baqarah : 144)
Contoh – contoh lain yang sama masih banyak, insya Allah akan kami
kemukakan nanti pada tempatnya.
PASAL KEEMPAT
Surat-surat yang di dalamnya tidak terdapat *nasikh *dan *mansukh *terdiri
atas empat puluh tiga surat.
BAB BERPALING DARI ORANG-ORANG MUSYRIK
Ayat-ayat yang disebutkan di bawah di *mansukh* (dihapus) hukumnya oleh
firman Allah SWT yang terdapat di dalam surat At-Taubah, yaitu:
*…Fa'qtulu 'lmusyriikina haytsu wajadttumuuhum…*
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.
(QS. At-Taubah : 5)
Yaitu :
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik (QS. Fussilat : 34)
Dan kamu (Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka (QS
Asy-Syura : 6)
Bagi kami amal-amal kami...(QS. Asy-Syura : 15)
Jika mereka berpaling...(QS. Asy-Syura :48)
Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan)...(QS. Az-Zukhruf : 83)
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka...(QS. Az-Zukhruf : 89)
Maka tunggulah...(QS. Ad-Dukhan :10)
Hendaklah mereka memaafkan...(QS. Al-Jasiyah : 14)
Maka bersabarlah kamu...(QS. Al-Ahqaf : 35)
Dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka...(QS. Muhammad : 4)
Maka bersabarlah kamu (Muhammad) (QS. Qaf : 39)
Maka beri peringatanlah...(QS. Qaf: 45)
Dan jauhilah mereka...(QS. Al-Muzzammil : 10)
Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak...(QS. Al-Muzaammil : 11)
Maka bersabarlah kamu...(QS. Al-Insan : 24)
Karena itu, beri tangguhlah..(QS. At-Tariq :17)
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (QS Al-Gasyiyah : 22)
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (QS At-Tin : 8)
Untuk kalian *dien* kalian, dan untukkulah *dien*-ku. (QS Al-kafirun : 6)
Ayat-ayat yang disebutkan di atas di *mansukh* (dihapus) hukumnya oleh
firman Allah SWT yang terdapat di dalam surat At-Taubah, yaitu:
* *
*…Fa'qtulu 'lmusyriikina haytsu wajadttumuuhum…*
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.
(QS. At-Taubah : 5)
Referensi
(Sumber : al-Mahalli, Imam Jalaluddin ; As-Suyuti, Imam Jalaluddin.
Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, Bandung :
Percetakan Sinar Baru Algesindo Offset, 2006)
[Non-text portions of this message have been removed]
------------------------------------
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar