A. PEMBATAL-PEMBATAL
KEIMANAN
Di negeri kita, banyak sekali
terdapat acara ritual persembahan baik berupa makanan atau hewan sembelihan
untuk sesuatu yang dianggap keramat. Seperti di daerah pesisir selatan pulau
Jawa, banyak masyarakat memiliki tradisi memberikan persembahan kepada
"penguasa" laut selatan. Begitupun di tempat lain, yang intinya adalah agar
yang "mbau rekso" berkenan memberikan kebaikan bagi masyarakat setempat.
Dilihat dari kacamata agama, acara ini sebenarnya sangat berbahaya, karena bisa
mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Iman menurut Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jamaah memiliki cabang yang banyak. Di antara cabang-cabang iman tersebut
ada yang merupakan rukun, ada yang wajib dan ada pula yang mustahab. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Iman mempunyai 63 atau 73
cabang, paling utamanya adalah kalimat tauhid La ilaha illallah dan paling
rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu
cabang dari keimanan." (HR. Muslim, An-Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam hadits yang mulia ini Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan tiga perkara yang terkait dengan
keimanan. Pertama adalah ucapan, yakni kalimat tauhid La ilaha illallah dan
inilah hal yang rukun. Kedua adalah amalan, yakni menyingkirkan gangguan dari
jalan dan inilah hal yang mustahab. Sedangkan yang ketiga adalah amalan hati,
yakni malu dan ini termasuk hal yang wajib.
Lawan dari iman adalah kufur.
Sebagaimana keimanan mempunyai banyak cabang, maka kekufuran pun memiliki
cabang yang banyak. Namun tidak setiap yang mengerjakan salah satu dari
cabang-cabang keimanan menyebabkan pelakunya dikatakan mukmin, seperti halnya
tidak setiap yang melakukan salah satu dari cabang kekufuran lantas pelakunya
dikatakan kafir.
Untuk lebih memperjelas hal di
atas, salah satu contohnya adalah orang yang menyambung tali silaturrahmi
(perbuatan ini merupakan cabang keimanan). Ia belumlah dapat dikatakan mukmin
karena amalan tersebut, sampai ia mengerjakan rukun-rukun iman. Demikian halnya
dengan yang meratapi mayit di mana perbuatan ini adalah salah satu dari cabang
kekafiran. Tidaklah setiap orang yang melakukan hal tersebut menjadi kafir
keluar dari Islam.
Iman itu bukanlah sesuatu yang
sempit penggunaannya. Artinya, tidaklah seseorang itu dikatakan mukmin manakala
terkumpul padanya sifat atau ciri-ciri keimanan, lalu tidak dikatakan mukmin
manakala tidak terdapat padanya sifat keimanan secara lengkap. Pola pikir
semacam ini adalah pemikiran dua kelompok sempalan Islam yaitu Khawarij dan
Mu'tazilah.
Adapun Ahlus Sunnah, mereka
menyatakan seseorang bisa saja dalam dirinya ada sifat-sifat keimanan, kemudian
kemunafikan atau kekufuran. Dan ini bukanlah hal yang mustahil. (Uraian di atas
diambil dari kaset ceramah Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh berjudul Nawaqidhul
Iman)
Oleh karena itu, seseorang
dinyatakan beriman atau menyandang nama iman adalah dengan kalimat yang agung
yaitu kalimat tauhid La ilaha illallah. Kalimat ini sebagai akad keimanan.
Akad keimanan ini tidak akan
lepas dari diri seseorang kecuali dengan perkara yang betul-betul kuat dan
jelas-jelas dapat menggugurkannya, bukan lantaran perkara-perkara yang masih
meragukan atau bahkan mengandung kemungkinan-kemungkinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu mengatakan:
"Sesungguhnya vonis kafir atau
kekafiran itu tidak terjadi dengan sebab persoalan yang masih mengandung
kemungkinan." (As-Sharimul Maslul hal. 963, melalui nukilan dari Wajadilhum
billati hiya Ahsan hal. 91)
Keimanan adalah ikatan, sedangkan
pembatal adalah hal yang melepaskan atau memutuskan ikatan tersebut. Jadi yang
dimaksud pembatal-pembatal keimanan adalah perkara atau perbuatan-perbuatan
yang menjadikan pelakunya kafir keluar dari Islam.
Iman seperti yang telah lewat
penyebutannya adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Dengan demikian, pembatal
keimanan pun tidak lepas dari tiga perkara ini, yakni qauliyyah (ucapan),
'amaliyyah (perbuatan), dan i'tiqadiyyah (keyakinan).
Pembatal Iman Karena Qauliyyah
Pembatal keimanan karena
qauliyyah letaknya adalah lisan, yakni seseorang mengucapkan kalimat-kalimat
yang menyebabkan batal keimanannya dan menjadi kafir karenanya.
Banyak orang yang memiliki
persepsi bahwa ucapan-ucapan yang mengandung kekafiran, seperti mencela Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau mencela dien
dan semisalnya, tidaklah menjadi sebab pelakunya kafir keluar dari Islam,
selama di dalam hatinya masih ada keimanan. Anggapan ini tentu saja keliru
karena bertentangan dengan nash dan apa yang telah ditetapkan ahlul ilmi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
"Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera
Maryam'." (Al-Ma`idah: 17)
"Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan: 'Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang
tiga'." (Al-Ma`idah: 73)
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
berkata:
"Barangsiapa mengucapkan
perkataan kufur dengan lisannya, dalam keadaan sengaja dan tahu bahwa itu
adalah ucapan kufur, maka ia telah kafir lahir dan batin. Tidak boleh bagi kita
terlalu berlebihan sehingga harus dikatakan: 'Mungkin saja dalam hatinya ia
mukmin'. Siapa yang mengucapkan (kekufuran) itu, maka sungguh dia telah keluar
dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).
Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar." (An-Nahl: 106) [Ash-Sharimul
Maslul hal. 524]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar
rahimahullahu menerangkan bahwa para ulama telah bersepakat tentang orang yang
mencela Allah dan Rasul-Nya, menolak sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa
Ta'ala turunkan, atau membunuh seorang nabi Allah Subhanahu wa Ta'ala meski dia
mengimani apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan, maka dia kafir.
(At-Tamhid, 4/226, melalui nukilan dari At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 38)
Dengan demikian, barangsiapa yang
mencela Allah Subhanahu wa Ta'ala maka dia kafir, baik bercanda atau serius.
Demikian pula orang yang menghina Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya, dan
kitab-kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah:
'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah:
65-66)
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullahu
berkata:
"Jika (seseorang) mencela Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, padahal dia meyakini dua kalimat syahadat,
maka dihalalkan darahnya, sebab dengan itu dia telah meninggalkan agamanya."
(Jami'ul 'Ulum wal Hikam hal. 171, syarh hadits ke-14)
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu pun
menjelaskan hal yang sama ketika membantah pendapat yang menyatakan bahwa
ucapan lisan semata tidaklah menyebabkan kekafiran. Beliau berkata:
"Sesungguhnya kita mengetahui bahwa orang yang mencela Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya dalam keadaan sukarela bukan karena terpaksa, bahkan orang
yang berbicara dengan kalimat-kalimat kufur dengan sukarela dan tidak dipaksa,
serta orang yang mengejek Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya dan
ayat-ayat-Nya, maka dia telah kafir lahir batin." (Majmu'ul Fatawa, 7/368)
Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin
Abdillah bin Baz rahimahullahu berkata:
"Mencela dien adalah kufur akbar
dan murtad dari Islam, wal 'iyadzu billah (Kita memohon perlindungan kepada
Allah). Apabila seorang muslim mencela agamanya atau Islam atau melecehkan dan
menganggap remeh serta merendahkan Islam, maka ini adalah riddah (murtad) dari
Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: 'Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu
minta maaf karena kamu telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah: 65-66)
Para ulama secara pasti telah
bersepakat bahwa ketika seorang muslim mencela dan merendahkan agamanya atau
mencela Rasul dan merendahkannya, maka dia murtad, kafir, halal darah dan
hartanya. Jika bertaubat maka diterima taubatnya. Jika tidak, maka dibunuh."
(Diambil dari Fatawa Nur 'alad Darbi (melalui) CD)
Pembatal Iman Karena 'Amaliyyah
Pembatal iman yang disebabkan
oleh 'amaliyyah adalah seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang
menjadikannya kafir, yakni tindakan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan
penghinaan yang jelas terhadap dien. Seperti sujud kepada patung atau matahari,
melemparkan mushaf Al-Qur`an ke tempat-tempat kotor, sihir, dan lain
sebagainya.
Tak ada seorangpun dari ahli
qiblat (kaum muslimin), yang keluar dari Islam sampai dia menolak satu ayat
dari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala atau menolak sesuatu dari hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau shalat kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta'ala, atau menyembelih bagi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika ada yang melakukan salah satu dari hal tersebut, maka wajib bagimu untuk
mengeluarkannya dari Islam. Demikian ditegaskan Al-Imam Al-Hasan bin 'Ali
Al-Barbahari rahimahullahu dalam Syarhus Sunnah (hal. 31).
Al-Qadhi 'Iyadh bin Musa
rahimahullahu setelah menerangkan kekafiran karena ucapan, beliau berkata:
"Demikian pula kami menyatakan
kafir terhadap perbuatan yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai
perbuatan yang tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir, meski pelakunya
menyatakan Islam saat melakukannya. Seperti (perbuatan) sujud kepada patung
atau matahari, bulan, salib dan api, serta berusaha mendatangi gereja dan berjanji
setia bersama penghuninya. Semua perbuatan ini tidaklah dilakukan kecuali oleh
orang-orang kafir." (At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 41)
Al-Imam Syihabuddin Ahmad bin
Idris Al-Qarafi berkata:
"Kafir karena perbuatan contohnya
adalah melempar mushaf ke tempat-tempat kotor dan menentang hari kebangkitan,
menentang kenabian atau sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengatakan
(Allah) tidak mengetahui, atau tidak menghendaki atau tidak hidup dan
selainnya." (At-Tawassuth wal Iqtishad hal. 47)
Pernah diajukan satu pertanyaan
ke hadapan Fadhilatusy Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu
mengenai kufur amali yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Beliau menjawab:
"Sembelihan untuk selain Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan sujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah
kufur amali yang mengeluarkan dari millah (agama). Demikian pula bila seseorang
shalat kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sujud kepada selain-Nya,
maka dia telah kufur dengan kekufuran amali yang akbar –wal 'iyadzu billah–.
Begitu juga kalau dia mencela dien atau Rasul, atau melecehkan Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Itu semua adalah kufur amali yang paling besar menurut
seluruh Ahlus Sunnah wal Jamaah." (Majalah Al-Furqan Al-Kuwaitiyyah edisi
94/Syawwal 1418 H)
Pembatal Iman karena I'tiqadiyyah
Pembatal i'tiqadiyyah adalah
keyakinan-keyakinan dalam hati atau amalan-amalan hati yang karenanya
membatalkan keimanan. Seperti al-i'radh (berpaling) yakni meninggalkan Al-Haq,
tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
"Sebenarnya kebanyakan
mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling." (Al-Anbiya`:
24)
Barangsiapa yang berpaling dari
apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Rabbnya,
dengan cara memalingkan hatinya dari beriman terhadapnya atau memalingkan
anggota badan dari mengamalkannya, berarti dia kafir karena pembangkangannya
itu. (Al-Madkhal hal. 156) [1]
Kekafiran karena i'tiqad yang
lainnya adalah menolak dan menyombongkan diri di hadapan Al-Haq, melecehkannya
dan melecehkan para pengikutnya, dalam keadaan meyakini bahwa apa yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar dari Rabbnya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah
mereka kecuali iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir."
(Al-Baqarah: 34)
Menganggap halal (istihlal)
terhadap sesuatu yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diketahui secara
pasti keharamannya dalam agama adalah penyebab kekafiran, terutama jika
menyangkut i'tiqad (keyakinan). Adapun kalau menyangkut fi'l (perbuatan), maka
harus dilihat dulu bentuk perbuatannya, apakah perbuatan yang menyebabkan pelakunya
kafir ataukah tidak.
Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin
rahimahullahu pernah ditanya tentang ketentuan istihlal yang menyebabkan
seseorang kafir.
Beliau menjawab:
"Istihlal adalah seseorang
meyakini halalnya sesuatu yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dan ini
adalah istihlal i'tiqadi, menyebabkan kafir pelakunya, pent.). Sedangkan
istihlal fi'li, harus dilihat. Apabila memang menyangkut perbuatan yang dapat
menjadikan pelakunya kafir, maka dia kafir murtad, misalnya seseorang sujud
kepada patung, maka dia kafir. Mengapa? Karena perbuatan itu menjadikannya
kafir. Contoh lain adalah seseorang yang bermuamalah dengan riba. Ia tidak
meyakini riba itu halal tapi tetap melakukannya. Maka dia tidaklah kafir,
karena tidak menganggap halal (riba tersebut). Dan diketahui secara umum bahwa
memakan harta riba tidaklah menjadikan kafir seseorang, tetapi perbuatan
tersebut adalah dosa besar. Namun bila ada seseorang berkata: 'Sesungguhnya
riba itu halal,' maka ia kafir karena telah mendustakan Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya.
Inilah ketentuan istihlal. Dan
nampaknya perlu ditambahkan syarat lain yaitu hendaknya orang yang melakukan
tindakan istihlal ini bukan orang yang mendapat keringanan karena kebodohannya.
Jika ternyata demikian keadaan pelakunya, maka ia tidaklah kafir. (Liqa` Babil
Maftuh, soal no. 1200, melalui nukilan dari catatan At-Tawassuth Wal Iqtishad
hal. 31)
Barangkali ada yang bertanya,
mengapa sujud kepada patung dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam? Padahal
tidak nampak dari perbuatan itu kecuali kufur amali saja.
Jawabannya adalah karena
perbuatan tersebut tidak terjadi melainkan bersamaan dengan lenyapnya amalan
hati, seperti niat, ikhlas, dan patuh. Semua itu tidak terdapat lagi saat
seseorang sujud kepada patung. Oleh karena itu, meskipun yang nampak adalah
kufur amali, namun berkonsekuensi adanya kufur i'tiqadi, dan itu pasti.
(A'lamus Sunnah Al-Mansyurah hal. 181-182 oleh Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad
Al-Hakami)
Jadi tidak setiap kufur amali
tidak mengeluarkan pelakunya dari millah Islam. Justru sebagiannya dapat
mengeluarkan dari millah Islam.
Bentuk kekafiran karena i'tiqad
juga bisa terjadi jika seseorang meyakini adanya serikat bersama dengan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam hal wujud-Nya, Rububiyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, dan
meyakini bahwa nama dan sifat serta perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah
sama dengan makhluk-Nya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(Asy-Syura: 11)
Wallahul musta'an.
Footnote:
[1]Yang dimaksud dengan berpaling
yang dapat membatalkan keislaman adalah berpaling dari pokok agama yang dengan
pokok-pokok itu seseorang menjadi muslim walaupun tidak tahu agama secara
detail. (Al-Qaulul Mufid, karya Al-Wushabi, hal. 53)
Sumber: http://www.asysyariah.com
Tambahan penjelasan dari
pembatal-pembatal keislaman:
Seorang ulama Ahlus Sunnah dari
negeri Yaman, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washabi, menulis dalam kitab
beliau yang ringkas "Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid," sepuluh sebab yang
menyebabkan batalnya keislaman seseorang. Tidak seperti batalnya jenis-jenis
ibadah lain di dalam Islam yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama,
batalnya keislaman berakibat fatal kepada pelakunya di dunia dan di akhirat.
Berikut adalah tulisan beliau yang sudah diringkas yaitu :
Pertama, Syirik kepada Allah, yaitu
menjadikan perantara (sekutu) antara si hamba dengan Allah. Si hamba berdoa
kepada para perantara ini, meminta syafa'at, bertawakkal, beristighatsah kepada
mereka, bernazar untuk mereka, dan menyembelih kurban dengan menyebut nama
mereka. Si hamba berkeyakinan segala perbuatannya tersebut dapat menolak
mudharat atau mendatangkan manfaat. Orang yang semacam ini telah kafir.
Kedua, murtad dari Islam. Masuk dan
memeluk agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunisme, Ba'tsi, paham sekuler,
Freemasonry, dan faham-faham kufur lainnya.
Ketiga, tidak mengkafirkan orang yang
jelas-jelas kafir. Baik itu Yahudi, Nasrani (Kristen/Katolik), Majusi, Musyrik,
Atheis, atau lainnya dari jenis bentuk kekufuran. Atau, meragukan kekafiran
mereka, membenarkan mazhab dan pemikiran mereka. Yang demikian ini juga
dihukumi kafir. Allah sendiri telah mengkafirkan, namun orang ini menentang
dengan mengambil sikap yang berlawanan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Karena itu, tidak mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah, ragu, dan bahkan
membenarkan mazhab mereka, sama dengan artinya berpaling dari keputusan Allah.
Keempat, orang yang meyakini bahwa
petunjuk selain Nabi lebih sempurna daripada petunjuk beliau. Atau, meyakini
bahwa hukum selain hukumnya lebih baik. Seperti orang-orang yang lebih
mengutamakan hukum thaghut daripada hukum-hukum-Nya. Termasuk ke dalamnya orang
yang beryakinan bahwa aturan dan perundangan yang dibuat oleh manusia lebih
utama daripada syariat Islam. Atau, meyakini bahwa hukum-hukum Islam tidak
layak diterapkan pada masa sekarang. Atau, meyakini bahwa Islam merupakan
penyebab kemunduran kaum muslimin.
Atau, meyakini bahwa Islam itu sebatas
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, dan tidak mencakup perkara-perkara
kehidupan lainnya. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang berpandangan
bahwa pelaksanaan hukum Allah dalam masalah memotong tangan pencuri, atau
merajam pelaku zina muhshan (yang sudah pernah nikah, red), tidak relevan
dengan kondisi sekarang.
Juga termasuk ke dalamnya orang
yang meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah dalam muamalah,
penerapan hukum pidana, dan yang lainnya. Meskipun dia tidak meyakini bahwa hal
itu lebih baik daripada hukum yang ditetapkan oleh syariat Islam. Lantaran
dengan begitu dia telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dan setiap
orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dari
perkara-perkara agama yang sudah pasti secara ijma' seperti zina, riba, khamr,
dan berhukum dengan selain syariat Allah maka dia itu kafir berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin.
Kelima, orang yang membenci apa yang
dibawa oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. Kendati dia tetap
mengamalkannya. Maka, orang ini dihukumi kafir.
Keenam, orang yang memperolok-olok
Allah atau Rasul-Nya, Al-Qur`an, agama Islam, malaikat, dan para ulama yakni
ilmu yang dihasung ulama tersebut. Atau, memperolok-olok salah satu syiar
Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka'bah, wukuf di Arafah,
masjid, azan, jenggot, sunnah-sunnah Nabi, dan lain-lain dari syiar-syiar Allah
dan kesucian Islam, maka orang yang semacam ini dihukumi kafir.
Ketujuh, sihir. Di antaranya ialah
ash-sharf dan al-'athf. Adapun ash-sharf ialah praktik sihir yang bertujuan
mengubah hasrat dan keinginan manusia, seperti memalingkan kecintaan seorang
suami kepada istrinya, dan sebaliknya. Adapun al-athf ialah praktik sihir yang
dapat membuat orang menjadi cenderung mencintai sesuatu yang tadinya
biasa-biasa saja dengan cara-cara syaitan.
Kedelapan, membantu orang-orang kafir
memerangi kaum muslimin.
Kesembilan, orang yang meyakini bahwa ada
manusia yang boleh keluar dari syariat Muhammad sebagaimana bolehnya Khidir
keluar dari syariatnya Musa AS maka orang yang semacam ini pun dihukumi kafir.
Karena menurutnya, Nabi itu diutus pada suatu kaum tertentu, dan setiap orang
tidak wajib mengikutinya.
Kesepuluh, berpaling dari agama Allah
Ta'ala. Tidak mau mempelajari dan mengamalkannya: berpaling dari pokok-pokok
agama ini, yang menjadikan seseorang itu muslim meskipun dia jahil dalam
masalah-masalah agama yang rinci. Karena mengetahui tentang masalah agama yang
rinci itu, terkadang tidak bisa dilakukan kecuali oleh ulama dan penuntut ilmu.
Sumber : http://www.salafy.or.id
B. BAHAYA MENGKAFIRKAN
SESAMA MUSLIM
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal
Jamaah dalam Masalah Takfir
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
"Ringkas kata, wajib bagi yang
ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali
dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Dan hendaknya berhati-hati dari
perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan
anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan
seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini."
(Ad-Durar As-Saniyyah, 8/217, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru' Fittakfir
karya Muhammad bin Nashir Al-'Uraini, hal. 30)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Pemberian vonis kafir dan fasiq
bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ia
termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka
wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga
tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur'an dan
As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum asal bagi seorang
muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada di
atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar'i adanya sesuatu
yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang
muslim atau menghukuminya sebagai fasiq." (Al-Qawa'idul Mutsla Fi Shifatillahi
wa Asma-ihil Husna, hal. 87-88)
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah Wal
Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun hal
ini tidak menjadikan mereka seperti Murji'ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan
tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus Sunnah wal
Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang,
setelah benar-benar terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada lagi sesuatu yang
dapat menghalangi dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Ada dua syarat (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
Pertama:Adanya dalil (syar'i) yang
menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
Kedua: Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak
mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari) bahwa apa
yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan ia sengaja dalam mengerjakannya.
Jika seseorang tidak mengerti
bahwa itu adalah suatu kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya
adalah firman Allah taala:
"Barangsiapa menentang Rasul
setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa:
115)
"Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi." (At-Taubah: 115)
"Dan Kami tidak akan mengadzab
sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat
berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang
permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan
kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun
ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka
sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur.
Namun jika seseorang tidak
bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir.
Contohnya:
- Seseorang yang dipaksa untuk
mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
- Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan
sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan
seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil
menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu
ia pun memeluknya seraya berkata: "Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu."
Orang ini salah mengucap karena sangat gembira.
Namun bila seseorang mengerjakan
kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur
kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul
ilmi (para ulama). (Majmu' Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin,
2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Kafirkah Berhukum dengan Selain
Hukum Allah?
Al-Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
"Yang benar adalah bahwa berhukum
dengan selain hukum Allah taala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar,
sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan
hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum
Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari
Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari
Islam-pen). Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak
wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa
bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang
dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta
tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai
seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran
-pen)." (Madarijus Salikin, 1/336-337)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat
Al-Maidah ayat 44:
"Berhukum dengan selain hukum
Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran
yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal
dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk
dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam
-pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih." (Taisirul Karimir Rahman,
hal. 195)
Beliau juga berkata tentang
tafsir Surat Al-Maidah ayat 45:
"Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna
zhulmin (kedzaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil -pen).
Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman -pen) di
saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari
dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada
keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut." (Taisirul Karimir Rahman,
hal. 196)
Asy-Syaikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
"Ketahuilah, kesimpulan dari
pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kedzaliman dan kefasikan dalam syariat
ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang
dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum
Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap
hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan
kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak
berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan
sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya
tidak mengeluarkannya dari keislaman." (Adhwa-ul Bayan, 2/104)
Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz
rahimahullah berkata:
"Barangsiapa berhukum dengan
selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1. Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam," maka
dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat
Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat
Islam," maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama,
akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah," maka ia
kafir dengan kekafiran yang besar.
4. Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini," namun dia dalam keadaan yakin bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan
bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan
selainnya. Tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau
dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran
yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai
dosa besar.
(Al-Hukmu Bighairima'anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari
At-Tahdzir Minattasarru' Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al-Uraini hal.
21-22)
Tambahan
Penjelasan dari Fatwa Ulama:
1.
Imam Ibnul Jauzy rahimahullah
Beliau berkata dalam Zadul Masir
(2/366), "Pemutus perkara dalam masalah ini adalah bahwa barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juhud terhadapnya padahal dia
mengetahui bahwa Allah menurunkannya, seperti yang diperbuat oleh orang-orang
Yahudi maka dia kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena
condong kepada hawa nafsu tanpa juhud maka dia adalah orang yang zholim lagi
fasik".
2.
Imam Al-Qurthuby rahimahullah
Beliau berkata, "Dan penjelasan
hal ini adalah bahwa seorang muslim jika dia mengetahui hukum Allah -Ta'ala-
pada suatu perkara lalu dia tidak berhukum dengannya maka : kalau perbuatan dia
ini karena juhud maka dia kafir tanpa ada perselisihan, dan jika bukan karena
juhud maka dia adalah pelaku maksiat dan dosa besar karena dia masih
membenarkan asal hukum tersebut dan masih meyakini wajibnya penerapan hukum
tersebut atas perkara itu, akan tetapi dia berbuat meksiat dengan meninggalkan
beramal dengannya". Lihat Al-Mufhim (5/117).
3.
Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Beliau berkata dalam Minhajus
Sunnah (5/130) setelah menyebutkan firman Allah -Ta'ala- dalam surah An-Nisa`
ayat 65, "Maka barangsiapa yang tidak komitmen dalam menerapkan hukum Allah dan
RasulNya pada perkara yang mereka perselisihkan maka sungguh Allah telah
bersumpah dengan diriNya bahwa orang itu tidak beriman, dan barangsiapa yang
komitmen kepada hukum Allah dan RasulNya secara bathin dan zhohir akan tetapi
dia berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya (dengan meninggalkan hukum
Allah-pent.) maka yang seperti ini kedudukannya seperti para pelaku maksiat
lainnya (yakni masih beriman-pent.)". Lihat juga Majmu' Al-Fatawa (3/267) dan
(7/312)
4.
Imam Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafy rahimahullah
Setelah menjelaskan pembagian
kekafiran seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qoyyim di atas, beliau dalam Syarh
Al-'Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 323-324 berkata, "… dan hal ini disesuaikan
dengan keadaan orang yang berhukun tersebut : Jika dia meyakini bahwa berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah tidaklah wajib dan bahwa dia diberikan pilihan
dalam hal itu atau karena dia menghinakannya (hukum Allah) dalam keadaan dia
tetap meyakini bahwa hal itu adalah hukum Allah, maka ini adalah (kekafiran)
akbar. Dan jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan
dan dia mengetahui hal itu (hukum Allah) dalam perkara ini, tapi dia berpaling
darinya bersamaan dengan itu dia mengakui bahwa dirinya berhak mendapatkan
siksaan maka dia adalah pelaku maksiat dan dikatakan kafir secara majaz (ungkapan)
atau kufur ashghar. Dan jika dia tidak mengetahui hukum Allah di dalamnya
(perkara tersebut) padahal dia telah mengerahkan seluruh usaha dan kemampuannya
untuk mengetahui hukum perkara itu tapi dia salah, maka dia adalah orang yang
tidak sengaja bersalah, baginya satu pahala atas ijtihadnya dan kesalahannya
dimaafkan".
Sumber: http://al-atsariyyah.com
Refleksi Terhadap Fenomena Takfir
Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak
hanya menimpa para "aktivis," bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput
darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja
yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada
atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan
fitnah ini pun dijadikan sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah
kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di
negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta'an. Betapa ngerinya fitnah ini,
padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
"Jika seorang lelaki berkata
kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu
dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman
kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang
mengatakannya." (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin 'Umar, dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035,
5077, 5259, 5824)
Di antara hal lain yang perlu dijadikan
refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum)
dengan takfir mu'ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang
mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang
kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam.
Para ulama rahimahumullah
membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu'ayyan. Mereka seringkali
menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: "Barangsiapa mengatakan atau
melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama
pelakunya)." Namun ketika masuk kepada takfir mu'ayyan (untuk orang-orang
tertentu) maka mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan
atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata:
"Suatu perkataan kadangkala termasuk dari bentuk kekafiran, maka pelakunya
boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan: 'Barangsiapa mengatakan
demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya -pen).' Namun untuk pribadi
orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar
tegak (disampaikan) kepadanya hujjah." (Fitnatut Takfir, hal. 49)
Beliau juga berkata:
"Dan tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai
benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang
menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang menyatakan: 'Sesungguhnya
khamr atau riba itu halal,' dikarenakan ia baru masuk Islam (belum tahu ilmunya
-pen), atau dikarenakan hidup di daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh
dakwah -pen). Atau mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu
bahwa itu dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam...,
maka (orang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan)
kepada mereka hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah taala:
"Agar tidak ada alasan bagi
manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (An Nisaa':
165)
Dan Allah telah mengampuni segala
kekeliruan dan kealpaan umat ini. (Majmu' Fatawa, 35/165-166) Wallahul a'lam
bish shawab.
Penutup
Demikianlah apa yang bisa kami sampaikan tentang fitnah takfir dan bahayanya,
berikut pula manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah dalam masalah ini, serta beberapa
refleksi dari fenomena takfir. Semoga Allah Ta'ala senantiasa menganugerahkan
hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, serta melindungi kita semua dari berbagai
macam fitnah baik yang tampak maupun tidak tampak. Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.
Sumber: http://www.asysyariah.com
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar