Sabtu, 28 Januari 2012

[daarut-tauhiid] Biografi Ulama : Abu Dzar Al-Ghifari Sosok Pejuang Sendirian

Penulis : Al Ustadz Ja'far Umar Thalib -hafidhohullah-
Sumber : http://downloaddakwahsalafy.wordpress.com/2012/01/17/biografi-ulama-abu-dzar-al-ghifari-sosok-pejuang-sendirian/

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan
yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini
terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan
menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai
suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan.
Latar belakang tabi'at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah
tabi'at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.


Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan
terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di
kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang
mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta
merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia
mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita
ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai
dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk
mencari tau apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan
berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah beberapa lama,
kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang
yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut.
Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : "Apa yang telah kamu lakukan
?", tanyanya. Unais menjelaskan : "Aku sungguh telah menemui seorang
pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang
jelek".

Abu Dzar bertanya lagi : "Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?".

Unais menjawab : "Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang
sya'ir, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah
biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa
dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan
darinya dengan omongan para tukang sya'ir, ternyata amat berbeda
omongannya dengan bait-bait sya'ir. Demi Allah, sesungguhnya dia
adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah
dusta".

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk
bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah
mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk
berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan
sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka'bah dan tinggal
padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya
kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan
telah meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera
menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya
dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat
berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi
dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan
orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat
kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang
mendekat kepadanya bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan
menghadapi hukuman berat dari tuannya. Demikian pula bila dari
kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah.
Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara
dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan apa yang
diinginkannya.

Dia hanya menanti dan menanti di Ka'bah, dalam keadaan semua
perbekalannya telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang
mengganggu perutnya dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan
lain selain itu. Demikian terus suasana penantian itu berlangsung
selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak kemasukan
apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air
zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama
tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ? yang
dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan
pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui darinya
langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya
terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap
masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.

Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri
di salah satu pojok Ka'bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib
dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ?
Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib
menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun
pergi kerumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada
tuan rumah dan tuan rumahpun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya
datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke
Ka'bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah. Tapi Ali bin Abi
Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang
sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa
lagi dengan tamunya di Ka'bah dan segera menanyainya : "Apakah hari
ini anda akan kembali ke kampung ?". Abu Dzar menjawab dengan tegas :
"Belum !". Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk
menanyainya : "Apa sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang
mendatangkanmu ke mari ?". Dan Abu Dzarpun terperangah mendapat
pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah
menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu
Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini,
sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik
mengajukan syarat bernada tantangan : "Bila engkau berjanji akan
merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu". Langsung saja
Ali menyatakan janjinya : "Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu". Dan
Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda Quraisy yang terhormat
ini, sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali :
"Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi".
Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan
menyatakan kepadanya : "Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?!
ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku
masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan
memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku
seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan
demikian, maka segera engkau pergi menjauh". Maka Abu Dzarpun
mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati
halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada
beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika
Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan
masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : "Wahai Aba
Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !,
maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau
datang kembali untuk bergabung dengan kami".

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: "Demi yang Mengutus engkau
dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka
bahwa aku telah masuk Islam". Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar
tersebut.

Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka'bah
banyak berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat
banyaknya orang berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras-
keras suara dengan menyatakan : "Wahai orang-orang Quraisy, aku
sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan
utusan Allah".

Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan
mereka berteriak memerintahkan orang-orang di situ : "Bangkitlah
kalian, kejar orang murtad itu". Maka segera orang-orang mengerumuni
Abu Dzar sembari memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah
waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim
paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas
berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar :
"Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan
Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan
kalian". Demi masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun
melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari
pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila
meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan
keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko
seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ini, tidak menciutkan
nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka'bah
menantang para dedengkot kafir Quraisy. Keesokan harinya dia
mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan
syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy.
Sehingga mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk
kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi
seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang
mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah seperti
kemaren.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan
proklamasi masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati
dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di
kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia
rajin menda'wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah
masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu
Al Waqi'ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar
telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa
bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah
ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka
berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung
mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah
hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.

Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah
peperangan Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan
dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu
Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid
Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak
menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.
Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat
mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan
beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya.
Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan
apa.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga
disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung
menasehatinya :

(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa'ad 3 / 164)

"Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan
itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan
dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang
yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan
amanah jabatan itu dengan benar pula". HR. Ibnu Sa'ad dalam
Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :

(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya' 1 / 162)

"Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau
akan ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku". Maka Abu Dzarpun
bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?",
Rasulullahpun menjawab : "Ya, di jalan Allah". Dengan penuh semangat
Abu Dzarpun menyatakan : "Selamat datang wahai mala petaka yang Allah
taqdirkan". HR. Abu Nu'aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1
hal. 162.

Asma' bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu
Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan
memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam
keadaan sedang tiduran padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari
telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk
dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau
tidur ?. Maka dia menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada
rumah bagiku selain masjid ? Maka Rasulullahpun duduk bersamanya,
kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila
engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan
pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan
negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi,
sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya :
Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar
menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid
ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi
: Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab
: Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi
pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar
itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu
yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan : Tentu,
demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan
kepadanya : "Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan
kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu,
sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam
keadaan mentaati penguasamu itu". HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6
hal. 457.

Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :

(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa'ad jilid 3 hal. 161).

"Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang
dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar". HR. Ibnu
Sa'ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At
Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer
radhiyallahu 'anhuma.

Abu Dzar berjuang sendirian :

Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu
Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia
adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang
dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid'ahan (yakni
segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam). Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah
dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang
dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya)
"Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (Yakni
Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk
mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau
memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih
menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak
meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun,
dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahmi walaupun
karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian pula aku diperintahkan
untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan
aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran.
Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata
illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali
dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan
perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah". HR. Ahmad dalam
Musnadnya jilid 5 hal. 159.

Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang
hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan
oleh Al Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa
berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : "Aku pernah
masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di
suatu halaqah (ya'ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya
melingkar) dengan orang-orang Quraisy. Tiba-tiba datanglah ke halaqah
itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya kurus kering,
dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup, dan orang inipun berdiri
di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang
yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa
dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan
batu itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya
sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan
batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya,
demikian terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan
tulang pundaknya.

Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu
menundukkan kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang
menyapanya dari hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang
itupun segera meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh
daripadanya . Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu :
Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar.

Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk
menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya :
Aku melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa
yang engkau ucapkan.

Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak
mengerti sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi
Muhammad) sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku
dan akupun segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan
kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.

Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada
punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu
keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku
melihatnya.

Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau
seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan
semuanya sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk
keperluanku).

Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu
kenyataannya selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama
sekali.

Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu
dari kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan
dari mereka sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka.

Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku
tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan
minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung
dengan Allah dan RasulNya".

Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 –
1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa
menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram.
Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh
menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni
dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena
menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini diceritakan oleh Abu
Buraidah sebagai berikut :

"Ketika Abu Musa Al Asy'ari datang ke Madinah, dia langsung menemui
Abu Dzar. Maka Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa
adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah
seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu
Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku
!!

Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh
darinya : "Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum
engkau menjabat jabatan di pemerintahan".

Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah
Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan
menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah
engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?

Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.

Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba
membangun bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau
hewan piaraan ?

Abu Hurairah menjawab : Tidak.

Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku,
engkau saudaraku". Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa'ad
dalam Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.

Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan
wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :

(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad jilid 3 hal. 162)

"Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah
yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya
ketika aku meninggalkannya untuk mati". HR. Ibnu Sa'ad dalam
Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.

Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin
mempertahankan kondisi melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti,
karena ingin mendapatkan posisi yang paling dekat dengan Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :

Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari
kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam
adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu'awiyah
merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul
Mu'minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu
Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia
segera menta'ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu
Dzar menghadap Amirul Mu'minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu
oleh Amirul Mu'minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah
menjadi orang dekatnya Amirul Mu'minin Utsman. Mendengar penjelasan
itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : "Wahai Amirul Mu'minin, aku
tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di
daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah".

Maka Amirul Mu'mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk
membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk
membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada
beliau : "Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya
sendiri".

Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut
tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di
sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai
ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya
dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan
jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya
sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada
Allah dan membaca Al Qur'an. Sesekali dia turun ke Madinah karena
takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang
demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam.

Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia
berkunjung ke Amirul Mu'minin dan di sana ada Ka'ab dan Abdullah bin
Abbas sedang membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan
Abdurrahman bi A'uf. Maka Amirul Mu'minin bertanya kepada Ka'ab :
Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta seseorang itu
yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi
yang mengumpulkannya. Maka Ka'ab menjawab : Bila harta itu adalah
kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni
zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.

Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan
langsung memukul Ka'ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua
telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka'ab :
Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban
atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas
hartanya. Sedangkan Allah telah berfirman : (artinya)"Dan mereka lebih
mengutamakan saudaranya dari pada dirinya walaupun menyulitkan
dirinya". S. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman : (artinya)"Mereka kaum
Mu'minin itu memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan". S. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan
beberapa ayat lainnya dari Al Qur'an yang semakna dengan ayat-ayat
tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya
bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas
hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali
meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.

Melihat kejadian itu, Amirul Mu'minin segera menegur Abu Dzar :
"Takutlah engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari
perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras
itu kepada saudaramu". Juga Amirul Mu'minin meminta kepada Ka'ab untuk
memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas)
atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan Ka'abpun
akhirnya memaafkannya.

Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh
kekecewaan dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan
semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia
menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak
istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa
Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari
tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi
demikian, istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya :
"Mengapa engkau menangis ?".

Istrinya menjawab : "Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi,
dalam keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu".

Maka Abu Dzar menasehati istrinya : "Jangan engkau menangis, karena
aku telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama
sekelompok orang yang lainnya. Beliau bersabda : "Sungguh salah
seorang dari kalian akan meninggal dunia di padang pasir yang akan
disaksikan oleh sekelompok kaum Mu'minin".

Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : "Ketahuilah
olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan
Rasulullah, telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak
tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah
pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang dikabarkan oleh
beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah ke
jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku
tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni
pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan
peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)".

Istrinya menyatakan kepadanya : "Bagaimana mungkin akan ada orang yang
engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!".

Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan :
"Lihatlah jalan !". Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan
yang ada didepan Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang
mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu
padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah
sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan
melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar
melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya. Orang-orang
di rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka
perempuan itupun menyatakan kepada mereka : "Di sini ada seorang pria
Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah
membalas kalian dengan pahalaNya". Maka merekapun menanyainya :
"Siapakah dia ?" Perempuan itu menjawab : "Dia adalah Abu Dzar".
Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya
masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di
gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas
tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka :
"Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai
sekelompok kaum Mu'minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar".
Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : "Kalian menyaksikan
bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai
kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali dengannya. Aku memohon
kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang
mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah
menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau
utusan pemerintah untuk satu urusan".

Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat
berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan
kepadanya : "Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu.
Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya
ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang
aku pakai ini".

Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian
dengan serta merta menyatakan kepadanya : "Engkaulah orang yang aku
minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu".

Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya,
dan selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat
jalan wahai Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau
rindukan. Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan
dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu
Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah
tersebut di Rabadzah itu.

P e n u t u p :

Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah
sepeninggalnya. Amirul Mu'minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar
peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita
kematian itu dengan mengucapkan : "Semoga Allah merahmati Abu Dzar".
Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.

Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada
kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan
dunia. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa
mati. Memang tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah,
asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur'an
dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus
Shaleh.

Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman
pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al
Qur'an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan
ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu,
sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di
zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur'an
dan Al Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para
pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang
jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena
pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman
ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta
fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah
jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada
keridho'anNya.

Daftar Pustaka :

1. Al Qur'an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu
Zakaria An Nawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa'ad.
5. Hilyatul Awliya' Wa Thabaqatul Ashfiya', Al Hafidl Abu Nu'aim Al Asfahani.
6 . Siyar A'lamin Nubala', Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: