Minggu, 29 Januari 2012

[daarut-tauhiid] Fenomena Ibadatul-Autsaan

 

Fenomena Ibadatul-Autsaan
 
Ibadah
bila dilihat dari sisi lughowi mempunyai arti ketundukan dan kerendahan,
sedangkan menurut makna istilahi ibadah adalah sebutan yang menyeluruh untuk
setiap apa yang dicintai Allah dan diridhoiNya dari ucapan-ucapan dan
amalan-amalan lahir maupun batin. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu'ul
Fatawa: 10/149)

Adapun
al-autsaan diambil dari asal kata al-watsan, yaitu sebuah nama yang digunakan
untuk menyebutkan semua jenis peribadahan, seperti do'a, istighotsah yakni
minta kelapangan dari segala kesempitan hidup, kondisi yang tidak menentu,
kekacauan, ketakutan dan yang lainnya, kemudian isti'anah yakni meminta
pertolongan dalam mendatangkan segala kemaslahatan dan menolak berbagai macam
mudharat, lalu at-tabarruk, yakni dengan istilah orang sekarang: ngalap berkah
dan lain-lainnya dari jenis ibadah yang diperuntukkan kepada selain Allah,
seperti kuburan yang dianggap keramat, batu ajaib, paranormal, khodam setia
atau rijalul ghoib (jin muslim atau kafir) dan seterusnya.

Sebagian
orang barangkali beranggapan kalau watsan atau autsaan adalah patung dan
berhala, sehingga praktek ibadatul autsaan hanyalah ditujukan bagi
mereka-mereka penyembah patung atau berhala. Cara pandang model ini jelas
keliru, sebab Allah telah berfirman dalam Al Qur`an mengenai perkataan Ibrahim
kepada kaumnya, "Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah
autsaan, dan kamu membuat dusta." (QS Al Ankabuut: 17). Allah juga
berfirman, "Mereka menjawab: Kami menyembah berhala-berhala dan kami
senantiasa tekun menyembahnya." (QS Asy Syu'araa: 71). "Ibrahim
berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?" (QS Ash
Shaffaat: 95). Maka, diketahuilah dari sini bahwa watsan atau autsaan digunakan
untuk menyebutkan patung-patung dan selainnya yang diibadahi di samping Allah.
(Fathul Majid: 292, cet. Al Bayaan)

Karena
itu, siapapun orangnya yang berdo'a dan meminta pertolongan dalam mengatasi
problema hidup kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui oleh
seorang pun dari makhluk dan menjadi kekhususan kekuasaan Allah-, maka dia
telah terjerumus dalam praktek ibadatul-autsaan.

Di tengah-tengah sulitnya mencari penghidupan, ekonomi yang morat-marit, status
sosial selalu menjadi ukuran, gaya hidup yang bonafid jadi idaman. Ketika
kelezatan dunia menjadi target utama, maka orang-orang yang lemah keimanannya
dan lemah pendiriannya mulai goyah terseok-seok ke sana ke mari ingin segera
meraih kemudahan dan kelezatan dunia yang sebetulnya tak lebih dari sekedar
fatamorgana.

Namanya
juga memanfaatkan situasi dan kondisi sekaligus nyari rezeki. Paranormal,
orang-orang pintar yang juga serba kesusahan segera bereaksi, seolah kehadiran
mereka sebagai satu-satunya jalan keluar meski harus melakukan praktek syirik
dan mengajak orang berbuat musyrik.

Mereka
membuka layanan praktek ibadatul-autsaan 1x24 jam dengan kata-kata dan
janji-janji manis sebagai daya tarik laris. Praktek yang dibukanya biasanya
berkisar seputar: berhubungan dengan rijalul ghoib (jin muslim atau kafir),
tarik rejeki, penglaris usaha, penolak bala, jauhkan perselingkuhan, tampil
cantik dan menarik, datangkan aura pesona, perjodohan dan banyak lagi yang lainnya.

Mendapati
kenyataan yang demikian ini, akan bertambahlah keimanan dan keyakinan serta
kehati-hatian dalam mengarungi kehidupan dan mengaplikasikan nilai-nilai agama
dalam keseharian bagi siapa yang membaca sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, "Akan ada di antara kalian yang mengikuti tata cara beragama
orang-orang sebelum kalian, sampai-sampai kalau mereka masuk lubang biawak
kalian pun turut memasukinya." Para sahabat bertanya, "Apakah mereka
itu Yahudi dan Nashrani?" Rasulullah menjawab, "Siapa lagi jika bukan
mereka?!" (HR Bukhari Muslim)

Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa apa yang
pernah dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashrani akan kembali dilakukan oleh
ummat ini, satu peringatan agar kita selaku ummatnya selalu mawas diri jangan
sampai terperangkap ke dalam praktek ibadah mereka. Tak salah bila kemudian
Imam Sufyan ibnu Uyainah memvonis siapa saja yang berilmu namun rusak ada
kemiripan dengan Yahudi dan ahli ibadah namun rusak ada kemiripan dengan
Nashrani.

Ibadatul-autsaan
bila ditelusuri dari awal historinya, jelas bukan bermula dari ummat ini, ia
hanyalah warisan dari ummat-ummat yang menyimpang seperti disinggung dalam
hadits di atas, ironinya justru umat ini yang malah gemar dan semarak mempraktekkan.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah bahwa Huyay bin Ahthab dan Ka'ab
ibnul Asyrof datang ke Mekkah, maka berkumpullah orang-orang musyrikin di
sekitarnya dan berkata, "Kalian (berdua) ahli kitab dan ahli ilmu,
kabarkan kepada kami tentang kami dan Muhammad." Huyay dan Ka'ab bertanya,
"Apa bedanya kalian dan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami adalah
orang yang menyambung hubungan silaturrahim, menyediakan makanan dan minuman
(bagi yang membutuhkan), menghilangkan kesusahan dan memberi minum para jama'ah
haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang pelit dan selalu memutuskan
silaturrahim, siapa yang paling baik, kami ataukah dia?" Ka'ab dan Huyay
menjawab, "Kalian yang paling baik dan benar jalannya." Maka turunlah
firman Allah subhanahu wa ta'ala, "Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan
thaghut (yaitu syaithon dan semua yang diibadahi selain Allah) dan mengatakan
kepada orang-orang kafir (musyrik Mekkah) bahwa merekalah yang lebih benar
jalannya dari orang-orang yang beriman." (QS An Nisaa: 51)

Di
dalam ayat ini Allah beritakan ihwal orang-orang sebelum kita yang diberikan
kepadanya sebahagian Al Kitab (yakni Taurat dan Injil) di mana mereka percaya
kepada jibt dan thaghut alias syetan dan semua yang diibadahi selain Allah dan
inilah sesungguhnya praktek ibadatul-autsaan yang menjadi bagian dari agamanya
mereka, ini pulalah fakta yang menggambarkan kalau ibadatul-autsaan bukan
bagian dari agama kita dan bukan pula bagian dari praktek ibadah kita.

Pada
ayat lainnya Allah menceritakan kebinasaan dan hukuman bagi orang-orang Yahudi
karena mereka melakukan praktek ibadatul-autsaan. Allah berfirman,
"Katakanlah: Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih
buruk pembalasannya dari (orang-orang fasiq) itu di sisi Allah, yaitu
orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut. Mereka itu lebih
buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus." (QS Al Maidah:
60). Allah juga berfirman, "Dan sesungguhnya telah kamu ketahui
orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman
kepada mereka: Jadilah kamu kera yang hina." (QS Al Baqarah: 65)

Ayat
inipun menjadi bukti bahwa ibadatul-autsaan adalah model ibadahnya Yahudi.

Bila kita menengok kembali sejarahnya para ashabul kahfi, sungguh sangat
menakjubkan, seperti firman Allah, "Atau kamu mengira bahwa orang-orang
yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda
kekuasaan Kami yang mengherankan?" (QS Al Kahfi: 9). Namun demikian
ternyata praktek ibadatul-autsaan telah terjadi saat itu jauh sebelum kita,
yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin, para penguasa di zaman tersebut.

Ashabul
kahfi adalah para pemuda yang beriman kepada Allah yang berada di dalam negeri
syirik, mereka keluar dari negeri itu guna menyelamatkan aqidah lalu Allah
mudahkan untuk mereka hingga menjumpai sebuah gua, mereka pun masuk ke dalamnya
dan tertidur di dalamnya sampai waktu yang sangat panjang sekira tiga ratus
sembilan tahun, seperti firman Allah, "Dan mereka tinggal dalam gua mereka
tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)." (QS Al Kahfi: 25).

Mereka
tertidur tidak membutuhkan makan dan minum, Allah bolak-balikkan tubuh mereka
sehingga tidaklah membeku darah pada salah satu bagian tubuhnya. Ini semua
termasuk hikmah Allah. Allah berfirman, "Dan kamu mengira mereka itu
bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke
kiri." (QS Al Kahfi: 18). (Al Qoulul Mufid: 478, cet. Ibnul Haitsam
-Qohiroh-).

Pendeknya,
ketika para ashabul kahfi itu terbangun dan diketahui keberadaannya oleh
penduduk negeri, hingga mereka (para ashabul kahfi) meninggal dunia, maka para penguasa
di waktu itu berkeinginan untuk membangunkan masjid di atas kuburan-kuburannya.
Dan inilah praktek ibadatul-autsaan. Allah berfirman, "Orang-orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata: Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah
rumah peribadatan di atasnya." (QS Al Kahfi: 21).

Para pembaca, semua kisah dan berita di dalam Al Qur`an ataupun As Sunnah yang
memuat kejelekan suatu perbuatan, siksaan, kebinasaan, musibah, dan kehancuran
yang telah menimpa orang-orang dan umat sebelum kita, bukanlah sebatas kisah
dan cerita tanpa makna, bukanlah dongeng yang hanya diperdengarkan setiap pagi
dan petang hari, bukan pula senandung penghantar tidur atau nina bobo. Tetapi
semua itu adalah pelajaran yang berharga sehingga kita dapat memahami arti
hidup ini.

Anda,
kami, dan semua dibimbing dan dituntut untuk meyakini firman Allah subhanahu wa
ta'ala, "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur`an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman." (QS Yusuf: 111).

Kehancuran,
siksa, kebinasaan, dan keguncangan serta berbagai macam malapetaka yang telah
melibas orang-orang dulu, umat sebelum kita disebabkan karena ulah perbuatannya
yang menyimpang dan di luar kehendak Allah, akan kembali dirasakan dan terulang
jalan ceritanya berikut episodenya pada umat ini, pada kita jika kita melakukan
tindakan-tindakan yang sama seperti mereka.

Bila
orang-orang sebelum kita mereka disiksa dan dibinasakan karena melakukan
praktek ibadatul-autsaan, maka kita pun akan mengalami nasib yang sama jika
melakukan hal yang sama.

Mengapakah
kita rela menjual aqidah-aqidah kita yang teramat berharga dengan kelezatan
yang usianya hanya sesaat, sehingga kita lebih memilih untuk mengabdi kepada
al-andaad, al-aalihah, dan al-autsaan daripada mengabdi kepada Allah, Al Ahad
laa syariikalah. Benarlah apa yang dikatakan Imam Sufyan Ats-Tsauri,
"Tidak ada kebaikan dalam kelezatan yang ujungnya neraka."

Bukankah
kita tahu bahwa Allah lah yang telah berfirman, "Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhoanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS Al
Kahfi: 28).

Anda, kami, dan kita semua sama-sama meyakini bahwa tidaklah Allah menciptakan
kita melainkan telah disiapkan rizkinya, maka raihlah rizki itu dengan cara
yang diridhoiNya, hadapilah kesulitan-kesulitan yang ada. Mengapakah kita
lemah?! Kesulitan adalah sebuah tantangan guna mengukur daya keyakinan kita
kepada Rabbul Izzah. Di balik kesulitan ada kemudahan!!

Wal
ilmu indallah.

Sumber: Buletin Al Wala' Wal Bara'
 
Keterangan tambahan:
 
Pertama.Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu
'anhu berkata:

Kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain sementara kami ketika itu baru saja
meninggalkan kekufuran -mereka baru berislam ketika Fathu Makkah-. Abu Waqid
berkata setelah itu: Lalu kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata:
"Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath(Mereka ingin
menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut karena mengharapkan
barakah dari pohon tersebut.) sebagaimana mereka (orang-orang kafir musyrikin)
memiliki Dzatu Anwath yang berupa sebuah pohon, tempat mereka beri'tikaf
(berdiam) di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon
tersebut." Mendengar permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
"Allah Maha Besar! Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah berucap sebagaimana
ucapan Bani Israil kepada Musa: ("Buatkanlah untuk kami ilaah sebagaimana
mereka memiliki ilaah-ilaah. Musa pun berkata: "Sesungguhnya kalian ini
adalah orang-orang yang bodoh."(QS.Al A'raf : 138)) Sungguh-sungguh kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian." (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya, 5/218, At-Tirmidzi, 6/343, Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah, no. 76,
berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis
Sunnah: "Isnadnya hasan.")
 
Dalam kisah di atas jelas sekali
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam rangka
peringatan dan pengingkaran beliau bila umat beliau mengikuti umat terdahulu.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata: "Di sini ada
larangan dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyyah dari kalangan
ahlul kitab dan musyrikin." (Taisir Al-'Azizil Hamid, hal. 143)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:

"(Hadits) ini merupakan
pengabaran tentang akan terjadinya perkara tersebut dan celaan bagi orang yang
melakukannya. Hal ini seperti pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan
manusia menjelang datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan
perbuatan-perbuatan mereka nantinya berupa perkara-perkara yang diharamkan.
Dengan demikian diketahui, penyerupaan (tasyabbuh) umat ini dengan Yahudi dan
Nashrani serta Persia dan Romawi termasuk perkara yang dicela oleh Allah dan
Rasul-Nya." (Iqtidha' Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 77)
 
Ibnu Baththal rahimahullah
berkata:

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat beliau akan
mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid'ah dan hawa nafsu
sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah memperingatkan hal ini dalam hadits yang banyak bahwasanya di
akhir zaman akan ada kejelekan. Dan hari kiamat tidak akan datang kecuali pada
sejelek-sejelek manusia dan agama ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang
khusus." (Fathul Bari, 13/314)
 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam nyatakan dalam sabda beliau:

"Kalian sungguh-sungguh akan
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian."

Tidaklah dimaksudkan beliau
memberikan pengesahan dan penetapan tentang bolehnya hal tersebut, namun justru
yang beliau inginkan adalah memberi tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang
kafir dalam perkara kesesatan dan penyimpangan. (Al-Qaulul Mufid, 1/202,
I'anatul Mustafid, 1/224)
 
Kedua.Larangan dari menyerupai ahli
kitab yaitu Orang-orang Yahudi dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
sebagai Al-Maghdhubu 'alaihim (yang dimurkai Allah) dan Nashrani sebagai
Adh-Dhallun (yang tersesat), sebagaimana dinyatakan dalam ayat terakhir Surat
Al-Fatihah:

"Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang
Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan
bukan pula jalannya orang-orang yang sesat." (Al-Fatihah: 6-7)

Diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan
dari sahabat 'Adi ibnu Hatim radhiallahu 'anhu di dalam hadits yang panjang,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Yahudi itu adalah yang dimurkai dan Nashara adalah orang-orang
yang disesatkan." Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no.
4029 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami' no.8202 dan
dalam komentar beliau terhadap Syarah Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah no .811

Imam ahli tafsir dan ahli hadits, Ibnu Abi Hatim, berkata: "Saya tidak mendapatkan
perselisihan di antara ahli tafsir bahwasanya al-maghdhub 'alaihim (di dalam
ayat itu) adalah Yahudi dan adh-dhallun adalah Nashara, dan yang mempersaksikan
perkataan para imam tersebut adalah hadits 'Adi bin Hatim." (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/40)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

"Kekafiran Yahudi pada prinsipnya
karena mereka tidak mengamalkan ilmu mereka. Mereka mengetahui kebenaran namun
tidak mengikutinya, baik dalam ucapan atau perbuatan, ataupun sekaligus dalam
ucapan dan perbuatan. Sementara kekafiran Nashrani dari sisi amalan mereka yang
tidak didasari ilmu, sehingga mereka bersungguh-sungguh melaksanakan berbagai
macam ibadah tanpa didasari syariat dari Allah, serta berbicara tentang Allah
tanpa didasari ilmu." (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hal.23, Darul Anshar
1423 H). Lihat pula keterangan dan pendalilan beliau yang lebih panjang
mengenai dimurkainya Yahudi dan disesatkannya Nashrani dalam kitab tersebut
(hal. 22-24).

Demikian sesungguhnya keadaan Yahudi dan Nashrani, sehingga setiap kali shalat
kaum muslimin meminta perlindungan dari mengikuti jalan keduanya (jalannya
Yahudi dan Nashrani) ketika mereka membaca ayat di dalam surat Al-Fatihah
tersebut.
 
Sumber: http://www.asysyariah.com
(dirangkum dari beberapa artikel)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: